LUKA LAMA

NARA membuka roomchat Yesha sesaat sebelum mengunci pintu. Tadi pagi, ia nyaris terlambat bangun kalau saja tidak mimpi buruk. Entah mimpi buruk itu kabar baik atau tidak. Tapi setidaknya pagi ini Nara justru bisa berangkat tepat waktu karena bermimpi buruk. Sudah dua hari semenjak mama dan kakaknya pergi Nara mengalami mimpi itu.

Nara menggernyit. Dia kalah? Rasa kecewa Yesha seolah sampai kesini. Nara seolah bisa merasakannya juga. Semoga kondisinya tidak terlalu buruk sekarang. Harusnya Nara bisa menemuinya disekolah nanti.

Tak lama ojek online pesanan Nara tiba didepan gerbang. Bergegas Nara naik setelah memastikan semua terkunci dengan aman. Aduh, lupakan dulu berangkat bersama Tasya. Bisa jadi Yesha lebih membutuhkannya sekarang. Tapi kalau misalkan semua ucapannya di chat adalah hanya untuk membuat Nara cepat cepat kesekolah tapi tidak terjadi apa apa, lihat saja, Nara sudah siap menghajarnya.

Jalanan pagi terlihat cukup padat. Ojek online yang ditumpangi Nara dengan gesit menyalip kanan kiri. Satu dua kali membuat Nara berseru tertahan. Mentang mentang Nara sempat menyuruhnya bergegas ke sekolah, ojek online ini jadi betulan bergegas. Nyaris ugal ugalan. Membuat Nara ngeri menatap kedepan.

Tiba didepan gerbang sekolah, setelah membayar ojek online-nya, Nara berjalan melintasi lapangan yang entah kenapa pagi ini cukup kosong. Tidak seperti biasanya. Bahkan sepanjang lorong entah dilantai satu maupun dua, Nara melintas dengan bingung, nyaris semua murid berkerumun. Tiga sampai lima orang atau lebih membuat lingkaran, berbisik bisik, wajah mereka serius, seolah sedang membicarakan topik yang sama.

Dan suasana semakin terasa ganjil saat kaki Nara menginjak ruang kelas. Kerumunan lebih besar disana. Satu dua kali Nara mendengar nama Yesha disebut, tapi sang pemilik nama belum nampak wujudnya. Apa dia belum datang? Dan apa semua orang sedang membicarakan kekalahannya? Hei, yang benar saja. Memangnya Yesha harus menang terus? Dia juga manusia bukan? Bisa berbuat salah kapan saja.

Rania muncul dari ambang pintu saat Nara baru saja berniat duduk. Wajahnya cemas, segera menghampiri Nara terburu buru.

“Ra…”

“Lo kenapa pucet gitu? Darimana lo?” Tanya Nara bingung.

Justru Rania terlihat lebih bingung melihat ekspresi kebingungan Nara. “Lo seriusan biasa aja?”

Kening Nara terlipat. “Hah? Apa, sih? Justru dari tadi gue bingung orang orang pada kenapa. Emangnya ada apaan? Lagi pada ngomongin apaan deh?”

“Lo nggak buka grup kelas?”

Nara menggeleng polos.

Rania menepuk dahi, berdecak. Pantas saja Nara tidak tahu apa apa. “Udah kesebar satu sekolah, Ra. Semua orang udah tahu tentang Yesha.”

“Yesha?”

“Sabitha hamil. Anak Yesha.”

DEG.

Nara termangu. Jantungnya seolah baru saja mencelos jatuh.

“Dia ngehamilin anak orang, Ra! Cowok keren yang diidolain satu sekolah itu ternyata cuma bajingan gak beradab!” Rania berseru tertahan. Ia terdengar marah, sorot matanya penuh kebencian.

Nara terdiam. Lututnya lemas seketika.

“Tasya, sama belasan—nggak, puluhan cewek disana sekarang cuma bisa nangis. Lo emang nggak ngerasa dibohongin selama ini?”

Nara bahkan sudah merasakannya jauh sebelum mereka semua. Tapi bagaimana Nara akan menjelaskannya pada Rania? Bahwa Nara sempat menjadi saksi matanya.

“Ada Nara nggak?”

Kepala Nara dan Rania refleks menoleh ke arah yang sama. Tepatnya pada seorang siswi dengan jas osis yang berdiri dibawah bingkai pintu.

“Gue?” Nara menunjuk dirinya sendiri.

Siswi itu mengangguk. “Iya, lo dipanggil ke BK sekarang juga.”

“Hah?”

“Ra?” Rania refleks menoleh pada Nara dengan kaget, meminta penjelasan. Tak hanya Rania, semua orang didalam kelas sontak menghentikan percakapan, kompak menoleh pada Nara. Ikut penasaran kenapa Nara ikut dipanggil ke ruang BK. Membuat kelas hening.

Nara menggeleng tidak tahu.

“K-kenapa gue?” Tanya Nara dengan mata membelalak.

Siswi itu menggeleng. “Nggak tahu. Pokoknya kesana aja, lo udah ditungguin.” Setelah memastikan Nara mengangguk, siswi itu berlalu meninggalkan kelas.

Dibawah tatapan Rania dan seisi kelas, Nara melangkah canggung keluar. Jelas mereka semua meminta Nara menyimak apa yang terjadi didalam ruang BK nanti. Astaga, jantung Nara berdebar hebat. Kenapa ia jadi terseret seret begini? Apa yang harus Nara katakan disana nanti?

Nara blingsatan kesana kemari tanpa suara sesaat sebelum mengetuk pintu BK yang ditutup rapat, menghela napas berkali kali. Tangannya mendadak keringat dingin. Suara percakapan didalam ruang BK tidak terdengar hingga keluar. Nara tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi didalam sana.

Perlahan Nara mengetuk pintu. Gorden hijau yang menutupi kaca pintu dibuka sedikit dari dalam. Melihat Nara yang berdiri diluar, suara kunci pintu yang diputar terdengar, pintu dibuka perlahan dari dalam.

Nara melangkah masuk, manggut sopan kepada semua orang yang duduk mengisi semua kursi pengadilan yang ada. Pandangan Nara langsung bersirobok dengan Yesha saat ia baru saja menginjak lantai ruang BK. Untuk sesaat mereka bertatapan, tapi Nara tidak juga bisa membaca ekspresi diwajah Yesha. Sabitha juga ada disana, bersama kedua orang tuanya. Dibangku utama duduk Pak Kepala Sekolah yang biasanya amat membanggakan Yesha. Lalu di kanan dan kirinya ada seorang guru pria yang Nara tahu sebagai Pak Jun, selaku kesiswaan, juga Bu Nirin, selaku guru BK. Disamping Yesha ada seorang pria, berumur sekitar tiga puluh tahun, Nara pikir jika itu ayah Yesha, tapi rasanya terlalu muda. Entah siapa dia.

Dan Nara duduk dibangku yang tersisa, tepat diseberang Yesha, hanya dipisahkan oleh sebuah meja yang diatasnya sudah disediakan air sebagai jamuan kecil.

“Kamu Nara yang anak baru itu, kan?” Pak Kepala Sekolah bertanya pada Nara.

Yang ditanyai mengangguk pelan.

“Kamu tahu alasan kamu dipanggil kesini?”

Nara menatap Pak Kepala Sekolah, menggeleng. Ia tidak tahu pasti alasannnya ikut duduk disini.

“Kamu sudah dengar berita yang menyebar ke satu sekolah?” Giliran Pak Jun yang bertanya. Dengan nada mengintrogasi.

Nara sesaat menatap Yesha. Lelaki itu balas menatap Nara dengan tenang, tatapan biasa ketika ia menatap Nara seperti sebelum sebelumnya. Akhirnya Nara menunduk, kepalanya lagi lagi mengangguk pelan.

“Sabitha bilang pada hari saat kelas kamu pelajaran olahraga di Gimnasium, kamu yang menyimpan bola basket ke gudang Gim. Benar begitu?”

Nara disini sebagai saksi. Sabitha telah menyebut namanya. Setidaknya itulah yang bisa Nara tangkap setelah berhitung dengan situasi. “Benar, Pak.”

“Apa benar kamu melihat Sabitha didalam gudang?”

“Iya, Pak.” Angguk Nara tanpa berani mengangkat pandang. Suara isak tangis Sabitha yang kembali terdengar tidak cukup membuat Nara ingin menaruh atensi.

“Apa benar kamu melihat Yesha dan Sabitha melakukan hal ‘itu’ di gudang Gimnasium?”

Hening mengudara sepuluh detik penuh.

Nara memilin jemarinya gelisah, menelan ludahnya kasar. Lidahnya mendadak kelu. Bagaimana ini?

“Nara,” Suara Bu Nirin terdengar. “Kamu tinggal bilang iya atau tidak.”

“Jawab! Apa benar Yesha yang menghamili anak saya?!”

“Mohon tenang, Pak. Biarkan dia menjawab sendiri.”

Nara sempat berjengit mendengar bentakan ayah Sabitha. Orang tuanya terlihat marah dan kecewa. Entah bagaimana hancurnya mereka melihat putri kesayangannya mengalami ini, Nara tidak bisa membayangkannya.

“Nara.” Bu Nirin menyentuh bahu Nara, secara tidak langsung mendesaknya bicara sebelum situasi semakin rumit. Sebelum ayah Sabitha semakin marah.

Nara mengangkat pandang perlahan. Dan tatapannya jatuh pada Yesha yang menatapnya masih dengan tatapan yang sama tenangnya. Lihatlah, lelaki itu terlihat begitu rileks. Seolah tidak sedang dalam masalah besar yang bisa menghancurkan hidupnya kapan saja. Dia masih Yesha yang sama seperti Yesha yang sempat menenangkan Nara dibawah hujan. Yesha yang menyebalkan tapi bisa membuat Nara tertawa. Yesha yang berbakat, yang seharusnya pantas diidolakan bahkan oleh satu dunia. Diluar masalah ini dia adalah Yesha yang harus Nara akui adalah seseorang yang luar biasa. Tapi Nara harus bagaimana?

“Nara, bisa tolong dijawab segera? Apa benar kamu melihat Yesha dan Sabitha melakukan tindakan tidak senonoh itu di gudang Gim sekolah?”

Nara meremas roknya tanpa sadar. Ia menatap lurus pada Yesha.

“Nara—”

“Tidak, Bu,” Nara menjawab mantap. Ia bisa melihat ekspresi wajah Yesha berubah terkejut. “S-saya melihat Sabitha. Tapi saya nggak lihat Yesha ada disana.” Geleng Nara.

Sontak Sabitha berdiri, matanya membelalak tidak percaya. “LO BOHONG!”

“Sabitha!” Tegur Pak Kepala Sekolah.

Ibu Sabitha yang ikut menangis menarik lengan putrinya agar duduk.

“Kamu yakin, Ra?” Pak Jun bertanya.

Nara mengangguk mantap, menatap Pak Jun. “Yakin, Pak. Saya nggak lihat Yesha.”

“Tapi ada laki laki disana?”

“Ada. Tapi bukan Yesha. Saya nggak tahu siapa karena gudang Gimnasium gelap waktu itu.”

“Kamu bisa pastiin kalau itu bukan Yesha?”

Nara diam sesaat, lalu mengangguk. “Saya ketemu Yesha didepan Gimnasium setelah keluar dari sana.”

“RA! LO KETERLALUAN!”

“Sabitha tolong tenang!”

Pak Kepala Sekolah menatap Yesha. “Benar begitu Yesha?”

Nara menatap Yesha tajam. Menyuruhnya menyamakan jawaban dengan Nara. Semua usaha Nara sia sia jika Yesha mengaku. Susah susah Nara menyelamatkannya.

Tapi untungnya Yesha mengangguk setelah itu. “Benar, Pak. Saya ketemu Nara didepan Gimnasium hari itu.”

Tangis Sabitha semakin terdengar nyaring. Entah ia sungguhan menangis karena sakit hati atau hal lain. Bagi Nara tangisan itu tidak terdengar seperti tangisan seseorang yang tidak mendapat keadilan.

“Kenapa kamu tidak langsung melapor pas lihat kejadian itu, Ra?” Tanya Bu Nirin.

“Sabitha nyuruh saya diam, Bu.” Setidaknya Nara tidak berbohong tentang itu.

Hingga lima belas menit kemudian percakapan antara pihak sekolah dan orang tua Sabitha berlangsung serius. Yesha dan Nara lebih banyak diam, menyimak. Sibuk berperang dengan pikiran masing masing. Entahlah, Nara justru merasa apa yang dilakukannya ini benar. Tapi—aduh, tidak tahulah mana yang benar sekarang.

Percakapan didalam ruang BK belum juga selesai. Tapi Nara dan Yesha sudah dipersilahkan meninggalkan ruangan terlebih dahulu.

Nyaris semua murid menyambut di kanan dan kiri lorong saat Nara dan Yesha keluar dari ruang BK. Semua mata tertuju pada mereka. ‘Kenapa mereka keluar duluan?’, demikianlah arti tatapan semua orang.

“Ra.”

Tasya, Rania, dan Laudy kompak mendekat, menahan langkah Nara—dan Yesha.

“Kenapa lo nggak ngasih tahu kita kalau lo tahu semua ini dari lama?”

“Seenggaknya lo bisa ngasih tahu kita, Ra.”

Entah mereka tahu darimana. Entah siapa yang menguping percakapan didalam BK. Yang bisa Nara tebak sekarang adalah, semua orang tahu tentang apa yang Nara lakukan didalam sana sejak tadi.

Nara diam. Tidak berniat menjawab.

“Pasti berat ya buat lo,” Rania justru mengusap lengan Nara, memeluknya sesaat. “Nggak apa apa, Ra, gue ngerti alasan kenapa lo nggak bilang ke kita.”

“Lo korban dia juga, Ra?” Celetukan seorang siswa membuat Nara refleks melepas pelukan Rania, menatap pada siswa yang bicara dengan tajam.

“Bener ya? Lo korban—”

“Yang bilang Yesha pelaku disini siapa?” Sinis Nara.

“Udah ada buktinya, kan? Sabitha hamil gara gara dia.”

“Yesha tuh nggak salah!” Bentak Nara. Kedua tangannya terkepal tanpa sadar. Menatap semua orang yang ada disepanjang lorong dengan marah. “Lo semua tahu apa sih?! Gue saksi disini! Lo semua lebih percaya gosip dibanding saksi?!”

Yesha menyentuh lengan Nara. “Ra…”

Nara menoleh.

Kepala Yesha menggeleng, menyuruh Nara menyudahi. Biarkan saja mereka menyimpulkan sesuka hati, Yesha tidak tertarik menanggapinya.

“Tapi—”

“Udah, ya. Gue nggak apa apa, kita ngobrol lain kali ya. Gue pulang duluan.”

“Yesha—”

“Bye, Ra.”

Yesha berlalu membelah kerumunan bersama pria yang sejak tadi selalu ada disampingnya.

Dan hari itu, ada perasaan tidak rela dihati Nara saat melihat semua orang menyudutkan Yesha. Semua citra baik yang Yesha bangun dari tahun ketahun sempurna rusak hari itu. Dunia ini berputar. Semua terjadi begitu cepat. Dua puluh empat jam lalu semua orang masih memuji muji Yesha, masih bertanya tanya kapan ia akan kembali ke sekolah, masih menanti nanti kehadirannya ditengah mereka sebagai sosok yang sempurna. Tapi hari ini semua orang membencinya. Justru berharap dia enyah, menyingkir saja dari hadapan mereka. Menganggap Yesha lelaki paling buruk didunia ini.

Dan Nara ikut merasakan betapa berat semua itu bagi seorang Yeshaka.

...***...

“Om.”

Arvan menoleh pada Yesha, langkahnya terhenti.

“Makasih udah mau ngewakilin ayah nemenin Yesha di sekolah. Om pasti kaget pas denger Yesha terlibat sama hal kayak gitu.” Ucap Yesha tulus, sedikit merasa bersalah om nya yang harus menggantikan posisi sang ayah karena terlalu sibuk.

Arvan tersenyum, menepuk bahu Yesha. “Nggak apa apa, kita satu keluarga Yesha, kamu jangan sungkan buat minta tolong sama om. Lagipula kamu nggak salah apa apa, kan?”

Yesha mengangguk.

“Sabitha itu pasti suka sekali sama kamu sampai harus nuduh kamu kayak gitu, biar bisa bersatu sama cowok yang dia suka.”

Lagi lagi Yesha mengangguk, tapi Arvan justru terlihat terkejut. Eh? Benar begitu? Padahal ia hanya asal bicara.

“Sabitha sempet bilang kayak gitu bulan lalu ke Yesha. Yesha kira bercanda, tapi Yesha nggak tahu kalau dia bakal senekat hari ini.”

Arvan masih terdiam.

Yesha tersenyum, “Nggak apa apa om, Yesha mau kerumah duluan kalau gitu, nunggu ayah pulang.”

Helaan napas terdengar dari Arvan. “Yasudah, kamu hati hati, kalau ada apa apa hubungin om aja ya.”

“Iya, Om.”

Mereka berpisah di tempat parkir sekolah.

Yesha mengemudikan motor besarnya keluar dari sekolah. Lima menit kemudian ia sudah melesat dijalanan ibu kota.

...***...

Pukul tujuh lewat lima belas menit.

Yesha mengangkat pandang saat melihat ayahnya baru saja tiba diruang tengah. Ia hampir duduk seharian disini dengan kegelisahan yang rasanya bisa membuat kepala Yesha meledak detik ini juga. Lelaki itu menatap ayahnya nyaris tanpa ekspresi. Dan saat Edwin sudah tiba didepannya, hanya dipisahkan oleh sebuah meja, Yesha sudah bersiap menghujaninya dengan jutaan pertanyaan, ia sudah menunggu kedatangan ayahnya sejak kemarin malam.

“Di luar hujan besar sekali, sampai ada petirnya segala,” Edwin melepas jas kerjanya, menepuk nepuk bagian yang terkena tempias air hujan.

Yesha tidak menyahut. Telinganya tidak tuli untuk mendengar suara hujan beserta petir sampai kedalam rumah besarnya sejak satu jam lalu.

“Bagaimana Yesha? Masalah disekolah kamu sudah selesai?” Tanya Edwin.

Yesha mengangguk.

“Om Arvan tadi sudah lapor ke ayah, kalau kamu mau ayah bisa menuntut secara hukum, itu namanya pencemaran nama baik. Bisa bisanya anak ayah dituduh ngelakuin hal yang tidak tidak.”

“Nggak usah, Yah.” Sahut Yesha.

“Terus kamu mau gimana? Citra kamu udah rusak di sekolah.”

“Yesha gak mau ngelakuin apa apa. Nggak penting juga. Lagian alasan Yesha nunggu ayah pulang disini bukan mau ngebahas itu, ada yang jauh lebih penting buat dibahas.”

Kening Edwin menggernyit. Sejenak ia menaruh jasnya pada lengan sofa yang paling dekat, lalu menatap Yesha. “Apa yang mau kamu bahas?”

Helaan napas terdengar dari Yesha. “Yesha mau nanya tentang bunda.”

“Apa yang mau kamu tanyakan?”

Bukannya menjawab, Yesha justru meraih sebuah tab yang sejak tadi sudah ia siapkan disisi kanannya. Lelaki itu menyalakan tab-nya, sejenak menggulir layar, lalu membalik dan menyodorkannya pada Edwin.

“Kenapa ada berita kayak gini tentang bunda, Yah?”

Edwin terdiam menatap benda pipih ditangannya yang menampilkan ratusan berita tentang mendiang istrinya di masa lalu. Tatapannya tidak sepenuhnya mencerna isi dari berita berita yang ditunjukkan Yesha, tapi sebuah tatapan kosong yang membawanya ke masa lalu. Edwin tahu lambat laun Yesha akan mengetahuinya, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini.

“Yah—”

“Darimana kamu dapat berita kayak gini?”

“Bisa darimana aja, Yesha bisa cari tahu kapan aja Yesha mau,” Jawab Yesha logis. “Dan Yesha udah bukan anak kecil lagi yang gak paham sama isi dari semua berita itu.” Lanjutnya.

“Ayah nggak mau bahas.” Edwin menyimpan tab diatas meja dengan asal. Hendak melangkah pergi.

Yesha berdiri, “Yesha mau tahu kebenarannya. Yesha berhak buat tahu!” Susah payah Yesha mengendalikan intonasi bicaranya demi menjaga sopan santun pada ayahnya. Jauh dilubuk hatinya Yesha ingin sekali marah, berteriak pada ayahnya. Tapi bukan itu yang diajarkan sang bunda padanya sejak dulu.

“Yesha udah besar, Yah. Entah ayah mau ngasih tahu Yesha sekarang atau Yesha cari tahu sendiri, cepat atau lambat Yesha bakal tahu kebenarannya. Ayah mau Yesha sekecewa apalagi, Yah? Setelah buat Yesha ngerasa dibohongi selama ini, ayah mau buat Yesha lebih kecewa lagi dari ini…?”

Langkah Edwin terhenti. Pria itu membalik badan menatap putra sulungnya. Dengan tatapan yang tidak bisa Yesha mengerti. “Apa yang mau kamu tahu?”

“Semuanya. Semua yang Yesha nggak tahu.”

Hening.

Suara hujan terdengar semakin deras. Tempias airnya mengenai jendela.

“Ayah sama bunda kamu adalah teman baik sejak SMA. Bertahun tahun bunda kamu yang menemani ayah belajar banyak hal demi menjadi pewaris perusahaan ini. Perusahaan yang diwariskan kakek kamu. Kami saling jatuh cinta sejak lama, tapi semua itu baru terungkap dibulan bulan terakhir sebelum ayah dijodohkan dengan anak teman kakek kamu. Akhirnya ayah menikah dengan perempuan pilihan kakek kamu, Yesha. Tapi lima bulan setelah itu bunda kamu datang lagi ke ayah, dia mengaku hamil anak ayah. Dua orang bayi kembar. Itu menjadi kehancuran rumah tangga ayah dengan istri pertama ayah. Kami cerai, dan ayah memutuskan untuk menikahi bunda kamu, bertanggung jawab atas apa yang sudah ayah lakukan.”

Yesha tahu cerita itu baru dimulai. Tapi mengetahui fakta bahwa dirinya adalah anak yang ada diluar pernikahan ayah dan bundanya sudah cukup membuat hatinya seperti ditikam oleh ribuan belati. Tangan Yesha terkepal tanpa sadar, rahangnya mengeras, ia hampir tidak bisa mengendalikan emosi. Tapi Yesha bertekad akan terus mendengarkan hingga akhir. Hingga ia mendapatkan jawaban lain.

“Tapi kelahiran bayi kembar itu adalah anugrah bagi keluarga kecil ayah. Karir bunda kamu melesat cepat di dunia musisi, dan karir ayah naik drastis dalam bisnis. Semuanya berjalan bahagia. Sampai saat usia kamu dan Zara baru menginjak lima tahun, berita dari masa lalu itu diungkap oleh seseorang…” Edwin menjeda kalimatnya. Ia melihat sorot mata Yesha begitu tajam namun redup. Edwin tahu semua ini akan terasa menyakitkan baginya.

“Ingat saat ayah melarang kamu dan Zara pakai ponsel atau internet apapun selama hampir empat tahun dulu?”

Yesha diam. Ia ingat betul kejadian itu. Perlahan Yesha bisa merangkai jawaban dikepalanya sendiri, menebak arah cerita.

“Kamu tahu kenapa?”

“Karena ayah nggak mau Yesha sama Zara tahu berita itu.” Jawab Yesha.

Edwin mengangguk membenarkan. “Susah payah ayah meredam berita itu. Keluarin uang ratusan juta buat mengubur berita tentang bunda kamu, tapi berita itu terlalu banyak. Semua orang sudah tahu cerita masa lalu itu. Dan semuanya menyalahkan bunda kamu, menganggap bunda kamu sudah menipu satu negara. Berita itu ada dimana mana, ujaran kebencian untuk bunda kamu ada dimana mana. Sampai pada satu titik dimana bunda kamu udah nggak tahan sama semuanya…” Suara Edwin bergetar. Rasa sakit itu masih terasa pedih dihatinya bahkan hingga detik ini.

Yesha menelan ludah kasar. Bersiap mendengar sepahit apapun kenyataannya.

“Kenapa ayah cuma izinin kamu dan Zara buat lihat jasad bunda kamu dari jauh di hari dia meninggal? Kenapa kamu nggak pernah diizinin jenguk bunda kamu di rumah sakit kalau emang bunda kamu meninggal karena sakit?”

Itu pertanyaan dibenak Yesha saat ini. Edwin dengan mudah telah membaca ekspresinya. “K-kenapa?”

“Karena bunda kamu nggak pernah sakit secara fisik Yesha. Dan dia bukan meninggal karena sakit. Tapi bunuh diri. Di atap gedung agensinya sendiri.”

DEG.

Yesha termangu. Tubuhnya gemetar hebat. Jutaan pisau panas itu seolah baru saja menghujam dan mengoyak dada Yesha berkali kali. Seluruh atmosfer disekitar Yesha seolah membeku. Sambaran petir diluar sana seolah masuk dan menyambar Yesha, membuat relung hatinya hancur.

“Itu alasan kenapa ayah nggak mau kamu jadi musisi, Yesha. Ayah nggak mau kamu terlibat dengan media sampah kayak yang terjadi sama bunda kamu!” Edwin berseru tegas.

“Tapi Yesha bukan bunda, Yah!” Yesha balas berseru dengan suara gemetar.

“Ayah nggak mau kamu berakhir tragis kayak bunda kamu, Yesha! Dulu dia diidolakan semua orang tapi di hari kematiannya bahkan gak ada yang mau bantu ayah merapikan isi kepalanya yang berceceran ditanah!”

Yesha menutup telinga, enggan mendengar itu. Membayangkannya saja Yesha tidak sanggup. “Yesha nggak mau denger lagi, Yah…udah cukup…!”

“Itu, kan, yang mau kamu dengar? Jawaban itu, kan?”

“Udah, Yah! Yesha udah nggak mau denger lagi!”

“Jangan musisi Yesha…apapun cita cita kamu walaupun bukan pebisnis akan ayah dukung, tapi jangan musisi…jangan buka lagi luka masa lalu kita…kamu gak akan dapat apa apa kalau dunia tahu kamu anak dari bunda kamu…” Suara Edwin ikut parau, ia memohon dengan sangat pada putranya.

Yesha menatap ayahnya tajam, kedua matanya merah, bulir bening itu siap meluncur kapan saja dari sana. “Apa yang harus Yesha takutkan dari fakta bahwa Yesha anak bunda?”

“Demi masa depan kamu Yesha!”

“YESHA ANAK BUNDA!” Intonasi Yesha meninggi, emosinya nyaris meledak. “DAN YESHA GAK PERLU NGUBUR FAKTA ITU BUAT WUJUDIN MIMPI YESHA, YAH! YESHA BISA DENGAN VERSI YESHA SENDIRI! DENGAN JALAN YESHA SENDIRI!”

“Kamu nggak paham maksud ayah Yesha!—”

Yesha berbalik, menyambar jaket jeans-nya dan berlalu dari hadapan Edwin dengan langkah besar. Yesha marah. Marah sekali.

“YESHAKA!”

Tidak peduli. Bahkan hujan sebesar ini tidak mampu menghentikan langkah Yesha. Dibawah guyuran hujan dan tatapan prihatin dari belasan pembantunya, Yesha keluar dari rumah besar itu. Menerobos derasnya hujan dan gelegar petir, membiarkan air matanya bersatu dengan jutaan air hujan. Membiarkan hujan membasahi raganya, berharap rasa sakit itu ikut hanyut bersama aliran hujan.

Raganya sakit.

Batinnya lebur. Hancur berantakan.

Disepanjang jalan perumahan yang sepi, suara tangis Yesha menyatu dengan derasnya suara hujan. Satu dua gelegar petir meredam teriakan penuh amarah Yesha serta tangannya yang berkali kali meninju apapun yang terlihat didepan matanya. Rasa sakit di buku tangannya bahkan tidak seberapa dibanding luka besar yang menganga dihatinya.

Langkah Yesha limbung, lelaki itu terhuyung dan nyaris jatuh ke aspal, saat tiba tiba bahunya dipegangi oleh seseorang dari arah depan. Sebuah payung jatuh disekitar mereka. Yesha mendongak, menatap seseorang yang berhasil menompang tubuhnya.

Seseorang yang menompang raga Yesha dan semua luka didalamnya.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!