SINAR hangat matahari sore menyambut Nara dan Yesha saat mereka baru saja turun dari motor besar. Debur ombak yang menabrak batu karang serta kicauan burung menambah suasana tenang sore hari. Lidah ombak membasahi bibir pantai lalu kembali pada lautan, begitu terus berulang kali. Langit diatas sana cerah, secerah suasana hati dua manusia yang sejenak berdiri di teras depan sebuah vila dua tingkat yang berada strategis, hanya beberapa belas meter saja dari tepi pantai. Senyum mereka terkembang sempurna dengan retina sibuk menatap lautan sejauh mata memandang.
Yesha melirik Nara disisinya, semilir angin menerbangkan rambut panjang gadis itu, membuatnya terlihat jauh lebih cantik dari hamparan pemandangan indah dihadapan Yesha. Hari keempat sejak Yesha mengungkapkan perasaannya pada Nara, gadis ini sepertinya masih senang membuat Yesha menunggu. Kalau itu gadis lain, mungkin tanpa berpikir dua kali pun Yesha akan langsung diterima. Tapi ini Keinarra, dia senang membuat perasaan Yesha terombang ambing sejak awal.
“Cantik ya, Sha?” Nara menoleh pada Yesha, bertanya.
“Iya. Cantik.” Jawab Yesha.
“Pemandangannya—”
“Lo nya.”
Kedua sudut bibir Nara tertarik ke bawah, ia sedang menahan senyum.
Yesha terkekeh kecil, mengacak puncak kepala Nara gemas. “Masuk yuk.” Ajaknya, lalu berbalik menuju pintu utama.
Nara mengikuti langkah Yesha, berdiri didepan pintu sementara Yesha sendiri terlihat mengeluarkan access card dan menempelkan benda itu di gagang pintu digital. Lampu hijau terlihat, suara kunci yang terbuka terdengar.
Vila yang mereka masuki tidak terlalu besar. Yesha dan Nara langsung disambut ruang tengah saat baru masuk beberapa langkah. Ruangan yang tertata rapi, dilantai bawah hanya ada satu kamar, satu kamar mandi, satu dapur bersih, dan pintu belakang, tidak ada benda benda aneh yang menarik perhatian Nara. Yesha mengajaknya naik ke lantai atas, dan ruangan yang kini dipijaki Nara sukses membuatnya terkesima.
“Ini hadiah ulang tahun gue yang kesembilan. Vila ini, semua benda yang ada disini.” Kata Yesha, mempersembahkan hadiah ulang tahunnya yang tidak pernah Nara bayangkan ada anak usia sembilan tahun yang menerimanya.
“Semua ini?”
Yesha mengangguk.
Nara menatap tidak percaya, sebab didepannya kini adalah ruangan yang nyaris seukuran ruang musik mereka disekolah. Lengkap dengan sebuah piano casio, satu gitar akustik dan satu elektrik, sebuah ruang rekaman yang lengkap, sofa sofa panjang, dan dua kamar tidur. Dan jangan lupakan benda benda kesenian yang menjadi setengah hidup dari seorang Yeshaka, kanvas kanvas berbagai ukuran berderet di salah satu sisi dinding. Beberapa diantaranya sudah dilukis, beberapa kosong.
Yesha melangkah ke salah satu sisi dinding yang ditutupi gorden besar. Yang saat gorden itu disingkap, menampilkan kaca sebesar dinding itu sendiri, dengan pemandangan yang langsung menuju pantai. Terlihat spektakuler. Membuat mata Nara berbinar takjub.
“Wanna see something cool?” Tanya Yesha.
Eh? Nara menatap Yesha. Semua ini saja sudah keren sekali dimatanya. Lalu apalagi yang lebih keren dari ini semua?
Yesha meraih sebuah remote control dari dalam laci disisi sofa, menekan salah satu tombol seraya mengarahkannya pada dinding kaca. Suara mendesing pelan terdengar, dinding kaca itu merekah menjadi dua, lalu masuk ke dinding kanan dan kirinya seperti disedot dan hilang dalam lima detik. Bersamaan dengan itu, sebuah lantai lain muncul dari dalam lantai yang mereka pijaki—Nara tidak tahu pasti darimana itu muncul—membentuk sejenis balkon berukuran empat kali tiga meter keluar dari bangunan vila.
Nara masih berdecak kagum melihat itu saat Yesha berjalan pada ‘balkon portabel’ dan menuju salah satu sisinya, membungkuk, menarik sesuatu dari lantai, lantas terbentuklah pagar pembatas setinggi pinggang. Ia kembali berjalan ke semua sisi balkon, mendirikan pagar pembatas.
Lelaki itu menepuk nepuk telapak tangannya setelah selesai, berbalik menghadap Nara yang masih berdiri ditengah ruangan lantai dua.
“Come.” Ajak Yesha, merentangkan tangannya, dengan bangga mempersembahkan balkon portabelnya.
Nara berjalan menghampiri Yesha, ikut berdiri didepan pembatas menatap langit yang hampir senja. Semilir angin kembali menyapa kulit mereka, membuat rambut menari nari kecil.
“Keren, kan?” Tanya Yesha.
Nara mengangguk antusias. “Keren banget.”
“Oh, bentar.”
Tubuh Nara ikut berputar mengikuti pergerakan Yesha yang kembali kedalam vila entah hendak melakukan apa. Sampai lelaki itu kembali dan memasang dua kursi khas pantai yang terlihat menyenangkan. Juga satu meja kecil yang Yesha tata didepan dua kursi yang berdampingan.
Nara terkekeh melihat itu, mendekat pada dua kursi yang ada ditengah tengah balkon.
“Duduk, Ra.” Yesha mempersilahkan.
Tanpa disuruh dua kali Nara duduk di salah satu kursi, menunggu Yesha yang kembali lagi kedalam. Tak lama dia terlihat membawa dua gelas minuman hijau, menatanya dimeja.
“Suka matcha, kan?” Yesha bertanya, sedikit sok tahu sebenarnya.
Nara mengangguk. “My favorite flavour.”
“Oh ya?” Yesha menatap Nara antusias. Melihat Nara mengangguk lagi, lelaki itu tersenyum lebar. “Me too.”
Nara tertawa kecil, mengambil gelas berisi matcha dingin. “Thanks, ya.”
“Sure.” Yesha duduk disamping Nara, ikut menikmati matcha-nya.
Hening sepuluh detik penuh. Mereka sibuk menikmati langit yang beranjak senja, terlihat memanjakan mata. Suasana pantai menjelang pergeseran waktu ini terasa hangat dan menyenangkan. Apalagi duduk berdua memandangi senja seperti ini.
“Ra.”
“Ya?”
“Biasanya gue suka latihan nyanyi sambil liat senja disini. Biasanya sih sendirian, tapi sekarang sama lo. So, lo mau denger nggak?”
Nara menatap Yesha penuh. Itu tawaran yang sangat menarik. Katanya Yesha berbakat dalam semua bidang seni termasuk bernyanyi. Nara belum pernah mendengarnya bernyanyi, lantas gadis itu mengangguk setuju.
“Oke, tunggu.” Yesha menaruh matcha miliknya yang tersisa separuh diatas meja, beranjak dari kursi. Ketiga kalinya masuk kedalam vila. Yang kali ini Nara tahu lelaki itu mau mengambil apa lagi.
Sesuai dugaan Nara, Yesha kembali dengan sebuah gitar akustik. Ia duduk ditempatnya semula, memangku gitar, memasang jemarinya didepan senar.
“Dengerin ya.”
Nara mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya. “Gue rekam boleh?”
“Boleh.”
Kedua sudut bibir Nara tertarik sempurna. Ia menaruh ponselnya diatas meja bersandarkan pada gelas matcha, mengaktifkan kamera depan, dirinya dan Yesha terlihat dilayar ponsel.
Yesha menatap Nara lekat, senyumnya mengembang sempurna. “This song is for my beautiful girl, my best part of my life.”
Blush.
Pipi Nara memerah, wajahnya keras menahan senyum.
Suara petikan gitar terdengar, Yesha fokus memulai intro lagu yang Nara kenali adalah lagu dari Daniel Caesar berjudul Best Part. Dan belum apa apa Nara seolah sudah bisa merasakan akan semerdu apa suara Yesha, dan akan sesalah tingkah apa dirinya.
Yesha berdeham, memulai lagu.
You don’t know babe
When you hold me
And kiss me slowly
It’s the sweetest thing
And it don’t change
If I had it my way
You would know that you are…
You’re the coffee that I need in the morning
You’re the sunshine in the rain when it’s pouring
Won’t you give yourself to me
Give it all
I just wanna see
I just wanna see how beautiful you are
You know that I see it
I know you’re a star
Where you go I follow
No matter how far
If life is a movie
Oh you’re the best part
Ohh you’re the best part
Ohh you’re the best part
Yesha menghentikan permainan gitarnya, menatap Nara yang justru cemberut lucu melihat itu. Yesha tertawa kecil, gemas sendiri. “Kenapa?”
“Ish! Lagi! Kok berhenti tiba tiba gitu? Kan lagunya belum selesai?” Nara memprotes keras.
Yesha tertawa, memeluk gitarnya. “Udah ah, malu gue.”
“Ih lagi, Yesha!” Desak Nara.
“Nggak.”
Nara semakin cemberut. “Jahat ah! Bete banget.”
“Yaudah.” Yesha kembali membenahi posisi gitarnya.
Mata Nara berbinar senang. “Bener ya?”
“Cium dulu tapi.”
Nara melotot, wajahnya tiba tiba panas. Sementara Yesha hanya tertawa melihat itu, seolah apa yang dikatakannya tidak berdampak apa apa bagi jantung Nara. “Modus ya lo!”
“Bercanda!” Yesha tertawa, memasang jemarinya didepan senar gitar. “Tapi boleh kalau mau beneran juga.”
“Yesha!”
“Iya ini dilanjutin.”
It’s the sunrise
And those brown eyes, yes
You’re the one that I desire
When we wake up
And then we make love
It makes me feel so nice
You’re my water when I stuck in the desert
You’re my Tylenol I take when my head hurts
You’re the sunshine of my life
I just wanna see how beautiful you are
You know that I see it
I know you’re a star
Where you go I follow
No matter how far
If life is a movie
Oh you’re the best part
Ohh you’re the best part
Ohh you’re the best part
Nara mendekat, lantas mendaratkan satu kecupan singkat di pipi kiri Yesha. Yang sungguh, Yesha mendapati jantungnya sempat berhenti berdetak karena itu. Wajah Yesha merah padam, giliran dirinya yang dibuat salah tingkah oleh gadis dihadapannya. Tanpa bisa menutupi apapun senyum Yesha tercetak lebar sekali. Ia menaruh gitarnya di sisi kursi, menatap Nara yang justru ikutan malu.
“Kok lo bisa sih bikin gue sesalting ini?” Tanya Yesha terang terangan.
Nara tertawa kecil. “Tadi, kan, bukannya minta cium?”
“Ada kamera padahal.” Yesha menunjuk ponsel Nara yang masih merekam.
Dan Nara yang baru menyadari itu melotot, menatap pada ponselnya dan pada Yesha bergantian. “Heh!”
Keduanya lantas tertawa bersama.
Nyanyian suara Yesha sungguh membuat Nara terpesona. Jika saja dirinya adalah es krim, mungkin sudah dibuat meleleh dengan suara Yesha. Senja, debur ombak, kicau burung, semilir angin, dan nyanyian Yesha, berdua menikmati suasana seperti ini seolah menjadi adegan paling sempurna didalam hidup Nara.
“Yesha.”
“Hm?”
Nara bergumam, memilin jemarinya dengan gugup. “I think I ready to talk.”
Yesha terdiam, menatap Nara berusaha memastikan bahwa arah pembicaraan mereka akan menuju kesana. Pada pembahasan yang selalu Yesha tunggu selama ini.
“About…”
“About us.” Nara mengangguk mempertegas.
Padahal Yesha menunggu sejak kemarin, tapi saat waktunya tiba, ia justru merasa terlalu cepat. Yesha belum mempersiapkan apa apa. “Kalau masih ragu jangan dulu, Ra. Just take your time.”
Nara menggeleng, ini sudah waktunya. Ia tidak ingin lagi membuat Yesha menunggu lebih lama. “Gue bilang gue siap buat ngomongin ini.”
Yesha akhirnya mengangguk. “So, kita mulai darimana?”
“Dari gue aja,” Nara lalu menghela napas, mengatur detak jantungnya yang mulai tidak normal debarannya. “Yesha, you know…ehm, I like you, just a little. I mean, not a lot…not yet…”
Yesha mendengarkan dengan seksama. Menatap Nara lekat lekat. Lelaki itu mengangguk, menyuruh Nara melanjutkan.
“Gue udah mikirin ini dari kemarin, dan kayak yang lo tahu sendiri, gue masih takut buat jatuh cinta. Lo yakin bisa bantu gue lawan rasa takut itu?” Tanya Nara sungguh sungguh.
Yesha menghela napas, memasang senyum setulus mungkin. “Jangankan rasa takut itu, Ra, gue bakal selalu sama lo lawan apapun yang lo takutin di dunia ini. Gue akan bikin lo percaya, kalau jatuh cinta emang semenyenangkan itu, Ra.”
Nara tersenyum. Sekeras apapun Nara mengorek kebohongan dikedua bola mata Yesha, ia tidak bisa melihat apapun selain ketulusan disana. Ia tahu Yesha sungguh sungguh dengan perasaannya. Nara dapat merasakannya.
Yesha meraih jemari Nara, menggenggamnya erat. “Hei, listen to me. Di dunia ini nggak ada yang instan, begitu juga perasaan. It’s totally okay kalau lo belum ngerasain perasaan yang sama kayak gue, it’s okay kalau lo belum terlalu paham apa itu cinta. Kita bisa belajar sama sama, Kei. Gue mau belajar banyak hal hebat sama lo, gue mau jadi orang pertama yang tahu kabar lo, gue mau jadi orang pertama yang lo cari di situasi senang atau sedih. I wanna be your home, Kei, tempat lo pulang. Let’s feel loved and in love together.”
Nara menatap Yesha tepat dimatanya, sementara ia merasakan ibu jari Yesha mengelus punggung tangannya lembut. Nara tahu Yesha sedang berusaha meyakinkannya, ia sendiri yang memulai pembicaraan ini, maka Nara harus tahu resiko yang ia ambil di ujung percakapan. “Yakin mau ngelewatin semuanya bareng gue?”
Yesha mengangguk tanpa ragu. “Sangat yakin.”
“Kalau gitu kasih gue title buat kita.”
Mendengar itu nyaris membuat jantung Yesha loncat saking bahagianya. Senyum lelaki itu terkembang sempurna, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. Yesha mengangguk antusias, wajah cerahnya membuat Nara ikut tersenyum. “Give me a sec.” Ia berdiri berlari kecil kedalam vila.
Kepala Nara berputar mengikuti pergerakan Yesha. “Heh, mau kemana?” Tanyanya setengah berteriak, Yesha sudah hampir hilang dari pandangannya.
“Give you a title!” Yesha membalas sekilas. “Tunggu disitu bentar!”
Nara mendengus. Otaknya berusaha menebak apa yang akan dilakukan Yesha. Lelaki itu kadang tidak bisa diduga kelakuannya. Tapi sekeras apapun Nara memikirkan, ia tidak bisa mengira ngira apa yang akan dilakukan Yesha.
Sepuluh menit. Tidak ada tanda tanda lelaki itu akan kembali.
Nara sudah berulang kali menoleh ke belakang tempat siluet Yesha menghilang dari pandangannya. Tapi jangankan raganya, batang hidungnya pun tidak nampak. Kemana sih dia?
“KEINARRA!”
Nara melonjak kecil mendengar panggilan itu. Suara Yesha, tapi bukan dari dalam vila. Melainkan dari arah depan Nara, dari bawah, arah pantai.
“RAA!”
Nara beranjak dari kursi seraya mengantongi ponselnya yang sudah berhenti merekam. Mendekat dan berdiri didepan pagar pembatas. Detik itu juga matanya langsung tertuju kebawah. Pada hamparan pasir pantai. Yesha ada disana, tepat diujung tulisan yang sepertinya dia buat sendiri entah dengan apa. Nara menutup setengah wajahnya dengan tangan karena haru, bercampur senang dan salah tingkah. Butuh waktu beberapa saat untuk Nara bisa membaca tulisan besar diatas pasir bertuliskan ‘Be Mine!’. Tulisan yang terlihat lebih besar dari Yesha sendiri.
“Lo ngapain?!” Teriak Nara berusaha mengalahkan suara debur ombak.
“Kebaca, kan?!” Balas Yesha dari bawah.
Nara mengangguk malu malu.
“So the answer is what?!”
Aduh, jika tidak ada Yesha disini, Nara sudah berjingkrak kesana kemari saking berbunga hatinya. Untung Yesha ada dibawah sana, dia tidak akan melihat betapa merona wajah Nara sekarang.
“Tapi itu tanda seru Yesha! Bukan tanda tanya!” Kata Nara, menunjuk ujung tulisan Yesha.
“Emang bukan pertanyaan!” Yesha menggeleng, tersenyum lebar.
“Terus kenapa minta jawaban?!” Nara menggernyit bingung. “Ini pemaksaan?!”
Yesha tertawa, mengangguk. “Iya!”
Nara ikut tertawa lebar, tawa penuh bahagia.
“Gue nggak nerima penolakan!” Yesha berteriak lagi.
“Yaudah!”
Yesha terlihat menatap Nara tidak percaya, kebahagiaan di paras tampannya semakin terpancar begitu jelas. “Yaudah apa?!”
“Lo diterima!”
“Jadi pacar lo?!”
“Iya!”
“Kita jadian ya?!”
“Iyaa Yesha iyaaa!”
Keduanya saling tatap dari kejauhan. Saling melempar senyum terbaik yang mereka punya. Sampai Nara akhirnya mundur dari pagar pembatas, berlari kecil turun kebawah vila. Satu menit kemudian gadis itu sudah berlarian diatas pasir pantai menghampiri Yesha yang sudah melebarkan tangannya, siap menyambut pelukan sang gadis.
Nara berhambur ke pelukan Yesha, tertawa lebar saat Yesha memutar tubuh mungil Nara diantara dekapan lengannya, membuat kedua kaki Nara melayang diudara, rambutnya terbang kesana kemari.
“Yesha! Hahaha!”
Yesha ikut tertawa, lantas menurunkan tubuh Nara dan memeluknya erat, terasa lega saat merasakan Nara membalas pelukannya.
Tidak pernah ia membayangkan hari ini akan terjadi dalam hidupnya. Bertemu dengan seorang gadis yang tidak membutuhkan waktu lama untuk memenangkan hati Yesha. Yang berhasil membuat Yesha jatuh cinta dengan semua hal kecil dari dirinya tanpa dia sendiri sadari.
“I LOVE YOU, KEINARRA!” Yesha berteriak lantang pada lautan di hadapannya.
Nara menjauhkan tubuhnya dari pelukan Yesha, ikut berdiri menghadap lautan tanpa melepaskan lengan Yesha yang merangkul pinggangnya mesra. “I LOVE YOU TOO, YESHAKA!”
Yesha menoleh pada Nara yang juga ikut menatapnya. Lelaki itu lantas mendaratkan satu kecupan singkat di kening Nara, membuat sang gadis mengerjap lucu, tersenyum malu.
“Makasih udah suka gue—”
Yesha menaruh telunjuknya didepan bibir tipis Nara, memutus ucapannya. Lelaki itu menggeleng tegas. “Bukan gitu sekarang, Ra.”
Nara menggernyit. Apanya yang bukan begitu?
Telunjuk Yesha beralih menyentuh hidung mancung Nara. “Kamu.”
Kedua sudut bibir Nara tertarik keatas, ia sepertinya mengerti maksud Yesha. Ini saatnya mengubah kata ganti satu sama lain. Nara ikut meletakkan telunjuknya di hidung mancung Yesha. “Kamu.”
“Aku sayang kamu.” Ungkap Yesha tulus.
“Makasih udah jatuh cinta sama aku, Yesha.” Balas Nara.
Yesha tersenyum hangat, lega rasanya. Ia kembali menarik Nara kedalam pelukannya. Rasanya ia bisa memeluk gadis ini sepanjang malam. Tidak mau jauh jauh darinya.
Semburat jingga dari matahari yang mulai pulang ke peraduan di ufuk barat ber-gradasi dengan indah bersama birunya lautan. Ungu, merah, jingga, biru, terlihat sempurna seperti sebuah lukisan oase berkualitas tinggi. Pemandangan yang spektakuler, dengan suasana yang tak kalah spektakuler. Perasaan luar biasa yang Yesha dan Nara rasakan. Debaran yang akan selalu mereka rindukan untuk setiap pertemuan yang akan datang.
Mulai detik ini Yesha berjanji akan selalu mengisi kosongnya seorang Keinarra.
Dan Nara berjanji akan selalu memeluk rumitnya seorang Yeshaka.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments