TERIMA SAKITNYA

MOTOR besar itu berhenti tepat didepan gerbang rumah Nara yang tidak dikunci. Yesha—yang sudah mengenakan seragam sekolah—melepas helm, turun dari motor. Tadi, pagi pagi buta Yesha bilang pada Nara bahwa ia akan pulang untuk ganti baju sekolah, menyiapkan buku, sekalian membawa motornya lalu kembali ke rumah Nara untuk berangkat bersama.

Lelaki itu berjalan melewati pelataran yang tidak begitu luas, melintas di ruang tengah dan langsung menuju ke dapur saat mendengar suara dari arah sana. Nara pasti sedang menyiapkan sarapan. Masih ada waktu setengah jam untuk berangkat sekolah tepat waktu.

“Hai, Ra.” Yesha duduk dibangku belakang Nara.

“Hai.” Nara—yang juga sudah siap dengan seragamnya—balas menyapa, menoleh sekilas. “Cepet banget.” Komentarnya.

“Iyalah. The flash aja kalah.” Sahut Yesha asal.

Nara berdecih pelan. Tidak menanggapi lagi.

“Bikin apa, sih?”

“Sandwich. Lo mau?”

“Why not?”

Sejenak Nara menoleh menatap Yesha. Lihatlah, tadi malam dia menangis, wajah kusut dan murung. Tapi pagi ini wajahnya cerah, terlihat semringah, dan matanya memang selalu terlihat menawan.

“Are you okay, Sha?” Tanya Nara memastikan.

Yesha yang langsung mengerti maksud utama dari pertanyaan itu diam sejenak, lalu menjawab, “Not really, but so much better.”

Nara manggut manggut mengerti, kembali memutar kepala menatap sandwich-nya yang setengah jadi.

“Udah bilang ke Tasya kalau lo gak bisa berangkat bareng pagi ini?” Tanya Yesha teringat sesuatu.

“Udah.” Jawab Nara pendek.

“Apa katanya?”

“Nggak apa apa selama gue gak bilang berangkat sama lo.”

Yesha berdiri dari bangku, berjalan ke sisi Nara, menatap gadis itu dari samping. “Emang kenapa sih? Kan, cuma berangkat bareng, lagian gue yang mau.” Tanyanya heran. Terkadang yang membuat Yesha kesal adalah Nara selalu merasa terbatasi untuk bergaul dengan Yesha. Dan semua itu gara gara Tasya. Kenapa pula Nara terlalu memikirkan perasaan orang lain?

Nara menumpuk roti terakhir pertanda sandwich-nya selesai dibuat. “Tasya itu masih suka sama lo, sekalipun citra lo disekolah udah rusak gue berani jamin gak segampang itu buat ubah rasa sukanya jadi benci gitu aja.” Jelasnya.

“Oh ya?” Kedua alis Yesha terangkat.

“Iyalah.” Nara menjawab yakin.

“Gimana dong?”

“Gimana apanya?”

“Yesha sukanya sama kamu.”

Nara mengambil sepotong sandwich, menghadap Yesha dan menyuapkannya pada mulut lelaki itu secara paksa, menyumpalnya. “Makan tuh suka.” Lantas gadis itu berbalik membawa sandwich miliknya, berjalan meninggalkan dapur.

Yesha tidak kaget, justru tertawa setelah menggigit sandwich-nya, menatap punggung Nara yang menjauh. “Masa saltingnya lucu banget.” Katanya setengah bergumam.

Dan benar. Wajah Nara sekarang merah padam, jantungnya nyaris berhenti berdetak saat mendengar ungkapan secara tiba tiba itu. Aduh, tanpa Yesha bilang pun Nara sudah tahu dan bisa menebaknya sejak semalam. Kenapa harus diperjelas sih? Wajahnya sekarang panas, rasanya kaku menahan senyum. Tidak, Nara tidak boleh terbawa perasaan.

“Yesha gue bawa dulu tas!” Nara memberitahu setengah berteriak, naik ke kamarnya.

“Iya, cantik!” Balas Yesha dari dapur.

“Diem!”

Yesha tertawa.

...***...

“Stop! Stop! Gue turun disini aja!”

Yesha spontan menghentikan laju motornya sesaat sebelum menemui pertigaan menuju sekolah. Menatap Nara lewat kaca spion dengan heran.

“Kenapa? Kan, sekolahnya juga masih disana?”

Nara turun dari motor Yesha, membetulkan posisi ransel dan roknya yang sedikit terlipat. “Lo gila? Apa kata mereka semua kalau liat gue sama lo datang bareng ke sekolah?”

Yesha diam sesaat, berpikir. Tidak mengerti letak salahnya dimana. “Ya terus emang kenapa?”

Nara menepuk dahi. Si populer ini selalu menggampangkan hal itu. “Mana bisa gitu lah. Gue nggak mau ya jadi bahan gosip mulut ember mereka semua, lagian gimana kalau Tasya tahu? Aduh, nggak dulu. Gue gak mau banyak masalah.” Nara melambaikan tangannya acuh tak acuh, berjalan di trotoar mendahului motor Yesha.

Bukan berangkat bersama kalau begitu bagi Yesha. Ia melajukan motornya pelan, menyamakan dengan langkah Nara. “Seriusan gak akan naik lagi?”

“Lo duluan aja.” Nara menggeleng.

“Gak mau.”

Nara melotot. Astaga, sebentar lagi sekolah mereka tersisa belasan meter saja. Yesha ini sedang apa? “Udah sana lo duluan, Yesha.”

“Kalau gue gak mau?”

“Lo mau bikin gue dapat masalah sepagi ini?”

“Gue masalah buat lo?”

Heh, bukan begitu maksud Nara. Gadis itu menggeleng cepat.

Terlambat. Yesha terlihat tersinggung. “Yaudah kalau gitu.” Ia melajukan motornya mendahului Nara.

“Heh! Yesha! Gak gitu maksudnya!” Aduh, lelaki itu justru marah pada Nara. Ia berdecak. “Dasar baperan. Terserah lo deh.” Nara mendumel.

Sepuluh menit kemudian Nara sudah melintasi lapangan sekolah yang mulai ramai pagi ini. Sejenak ia melongok ke parkiran, motor Yesha sudah terparkir disana. Sepertinya lelaki itu sudah masuk ke kelas.

Nara menaiki tangga lantai dua, berjalan di lorong menuju kelasnya. Ia berbelok ke kanan, dan langkahnya terhenti saat bertemu Tasya dengan segelas air di tangannya yang membuat Nara sedikit bingung. Dia mau kemana dengan wajah masam seperti itu?

“Lo mau keman—”

BYUR!

“TASYA!”

Nara terkesiap. Terkejut luar biasa. Tasya baru saja menyiramkan segelas air ditangannya pada wajah Nara dengan kasar. Ekspresi gadis itu terlihat sangat marah, kedua matanya berkaca kaca. Dia nyaris melempar Nara dengan gelas kaca kosong ditangannya jika saja Rania dan Laudy tidak datang tepat waktu dan menahannya.

“LO GILA YA?”

“Ra, lo nggak apa apa?” Rania menghampiri Nara.

Tidak. Nara tidak baik baik saja. Ia amat sangat terkejut sekarang. Apa yang baru saja Tasya lakukan? Nara mengusap wajahnya yang basah.

“Gak usah munafik lo!” Tasya membentak Nara.

“Gue ada salah apa sama lo?!” Nara bertanya dengan bingung. Emosinya nyaris terpancing.

“Gue capek sama lo, Ra…” Tasya menatap Nara tajam, kedua tangannya terkepal. “Sampai kapan lo mau bohongin gue terus?! Gue capek pura pura nggak tahu!”

Nara semakin dibuat bingung, keningnya terlipat. “Bohongin apa sih, Sya?!”

“Lo ada hubungan se-spesial apa sama Yesha dibelakang gue?”

Nara terdiam. Menatap Tasya tidak mengerti. “Maksud lo?”

“Lo tahu gue suka sama Yesha, kan? Gue yakin lo tahu sesuka apa gue sama dia! Sesalah apapun Yesha! Tapi lo? Lo tega, Ra…”

Satu dua murid yang iseng memperhatikan mendadak berubah menjadi kerumunan. Mereka mengelilingi Nara, Tasya, Rania, dan Laudy, memperhatikan dengan antusias apa yang sedang terjadi tanpa ada niat menengahi pertengkaran.

Tasya menyeka pipinya kasar, napasnya memburu. “Gue benci setiap liat lo pake jepit rambut itu. Jepit rambut dari Yesha yang dia kasih didepan rumah lo pas hujan, kan? Sayang banget ya lo sama jepit rambut ini sampai lo pake hampir setiap hari!”

Nara mengaduh saat tiba tiba Tasya menarik jepit rambutnya kasar, membuat kepala Nara terasa ditarik. Rambutnya berantakan.

“Tasya lo keterlaluan tahu nggak!”

“Lo gak usah ikut campur!” Tasya membentak Rania, memaksanya tidak perlu ikut bicara. Ia melempar jepit rambut Nara ke lantai, menginjaknya hingga terdengar suara patahan yang membuat Nara refleks hendak mengambilnya.

“Jangan, Sya! Lo apa apaan sih?!” Nara berjongkok berusaha menyingkirkan kaki Tasya dari jepitnya.

“Lo yang apaan!” Tasya justru mendorong bahu Nara, membuat gadis itu terjerembab.

Semua orang yang menyaksikan saling tatap, bisik bisik mulai terdengar.

“Gue selama ini pura pura gak tahu! Pura pura gak liat lo jalan sama Yesha! Pura pura gak liat pas lo dipeluk Yesha didepan rumah lo! Pura pura gak tahu pas Yesha beliin lo eskrim! Bahkan pura pura gue beneran nganterin makan malam dari mama buat lo padahal lo asyik makan malam sama Yesha dirumah! Lo pikir gue nggak tahu juga kalau lo sama Yesha berangkat bareng pagi ini? Gue nggak sebodoh itu, Ra! Lo tuh penghalang!”

Rania memegangi lengan Nara bermaksud membantunya berdiri, tapi Nara menolaknya halus, menggeleng, ia bisa berdiri sendiri. Nara tidak mau Tasya ikut marah pada Rania karena membelanya.

Nara menatap Tasya lamat lamat seraya berdiri. Rasa bersalah menyeruak didalam diri Nara. Tasya adalah sepupu sekaligus sahabatnya, apa yang telah Nara lakukan?

“Gue minta maaf, Sya, g-gue nggak bermaksud jadi penghalang buat lo,” Ucap Nara sungguh sungguh, matanya mulai berair. “G-gue sama sekali gak punya hubungan apapun sama Yesha, gue nggak bohong. Gue ng-ngaku g-gue salah, tapi semua yang terjadi antara gue sama Yesha terjadi gitu aja, Sya.”

Tasya masih menatap Nara dengan marah. Tidak menerima alasan apapun. “Tapi lo suka sama dia, kan?” Todongnya.

Nara diam. Air matanya jatuh, ia perlahan menggeleng walau jauh didalam lubuk hatinya ada sesuatu yang seakan terbalik dengan gelengan kepalanya. “Ng-nggak. Gue nggak ada rasa buat Yesha.”

Rania maju. “Yesha bahkan bukan siapa siapa lo, Sya! Lo gak berhak marah sama Nara! Lo gak perlu egois sama sesuatu yang bahkan bukan milik lo dan belum tentu bakal jadi milik lo!”

“Gue gak nyuruh lo ikut campur! Gue temenan sama lo udah lama tapi lo malah belain dia?!”

“Gue belain apa yang menurut gue benar!” Rania menatap Tasya sengit, tidak peduli persahabatannya dengan Tasya bisa hancur detik ini juga. “Lo pede banget ngelabrak Nara, emangnya Yesha suka sama lo?”

PLAK!

“TASYA!” Nara menarik Rania yang baru saja mendapat satu tamparan keras dari Tasya. Tapi Rania justru menepis tangan Nara, gadis itu maju melayangkan tangannya ke udara.

PLAK!

“SADAR, SYA!” Teriak Rania, membalas perbuatan Tasya. Ia lalu beralih menatap Laudy yang diam saja. “Lo ngomong dong! Bisu lo? Sadarin temen lo yang udah kelewat obsesi ini!” Rania menunjuk Tasya—yang masih memegangi pipinya—dengan sarkas.

Laudy mundur, tidak mau ikut campur.

“Sialan lo, Dy!”

“Rania udah!”

Mana mau Rania yang sudah emosi mendengarkan Nara. Ia menatap seisi lorong yang berkerumun. “PANGGIL YESHA! Gue berani jamin dia gak suka sama Tasya!”

“Ran!” Nara menggeleng.

“Yesha suka sama lo, kan, Ra?” Itu pertanyaan mendesak, Rania menggoyangkan lengan Nara untuk membuatnya bicara. “Jawab aja lo nggak usah takut! Emang Tasya bisa apa kalau Yesha sukanya sama lo?”

“Iya, lo bener.”

Bukan. Bukan Nara yang menjawab. Melainkan seseorang yang baru saja keluar membelah kerumunan dengan tenang, sesaat berjongkok saat tiba didekat Nara, mengambil jepit rambut yang sudah rusak.

“Padahal gue beli ini sengaja cuma pengen liat Nara senyum, karena tahu dia suka ini. Semudah itu lo rusakin?” Yesha menatap Tasya dengan tersinggung. “But it’s okay, gue bisa beliin dia yang lebih bagus lagi dari ini.” Ia melempar sisa jepit itu kedalam tong sampah dengan akurat.

Yesha menghela napas berat, masih menatap Tasya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. “Lo tahu nggak apa yang Nara punya tapi nggak ada di diri lo?”

Tasya diam.

“Banyak sebenernya. Tapi salah satunya dia gak egois kayak lo.”

“Lo beneran suka sama Nara?” Tasya sepertinya nggak berbasa basi.

Yesha mengangguk mantap. “Iya. Kenapa? Salah?”

Demi melihat pengakuan terang terangan itu, tidak hanya Tasya, nyaris semua orang yang mendengar terperangah. Saling tatap tidak percaya. Tapi tidak ada yang berani melayangkan protes apalagi melihat seserius apa wajah Yesha sekarang. Mereka hanya mampu diam, memilih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Apa yang bikin Nara lebih baik dari gue, Sha?” Suara Tasya bergetar. Susah payah menahan diri agar tidak terisak.

“Banyak, Sya. Gue udah bilang tadi.”

“Iya tapi apa?! Kenapa lo lebih suka dia setelah apa yang gue lakuin buat lo selama ini?!” Tasya marah.

“Makasih. Makasih buat semua yang lo lakuin maupun yang lo kasih ke gue selama ini, beneran makasih. Nara nggak pernah ngelakuin itu, nggak pernah ngasih apapun ke gue. Karena emang bukan itu yang gue mau, apalagi materi gue gak butuh. Tapi Nara ngasih sesuatu yang selama ini gue cari. Lo tahu apa? Ketulusan, tanpa dasar apapun. Tanpa harapan gue bakal naruh hati sama dia.” Yesha menjeda kalimatnya.

“Lo tahu apa tentang yang terjadi antara gue sama Nara? Tahu tentang yang kita alamin? Siapa yang ada buat gue saat gue ngerasa sendirian? Yang tetep ada dipihak gue saat semua orang mandang gue salah. Yang liat gue bukan dari cerita sempurna tapi justru dari kelemahan gue. Yang tahu gue gak baik baik aja tanpa gue bicara. Yang mau dengerin cerita gue tanpa menghakimi dan milih nunggu gue cerita sendiri tanpa paksaan. Lo, Sya?” Yesha bertanya, lalu menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaannya sendiri. “Bukan. Tapi dia.” Ia menatap Nara, tersenyum tulus.

Air mata Nara jatuh lagi. “Y-Yesha…”

“Makasih, Ra. Makasih udah jadi kupu kupu yang gue kejar justru malah terbang menjauh. Makasih buat semua ketulusannya.”

Nara menunduk. Terisak kecil. Situasi ini menyulitkan Nara.

Yesha kembali menatap Tasya, ia tahu ini akan sulit. “Kalau lo mau marah jangan marah sama Nara, marah sama gue yang udah lancang jatuh cinta sama dia. Gak ada manusia yang bisa ngatur mau jatuh cinta sama siapa, kapan, dan dimana. Begitu juga gue. Perasaan gak bisa di paksain, Sya. Gue sukanya sama Nara, dan lo pantas dapet seseorang yang jauh lebih baik dari gue, yang lebih layak buat nerima cinta lo. Gue bukan orangnya, Sya. Jadi gue mohon, maafin Nara. Izinin gue buat bahagiain dia. Kalaupun berlutut didepan lo bisa bikin lo maafin Nara dan izinin gue jadi milik dia, demi Nara bakal gue lakuin sekarang juga, Sya.”

Nara memegang lengan Yesha, menggeleng saat lelaki itu menatapnya. Tidak, Nara tidak mungkin membiarkan Yesha melukai harga dirinya demi Nara. Tidak walaupun jika tidak begitu tidak akan membuatnya bersatu atau Tasya memaafkannya.

Tapi Yesha justru tersenyum, mengusap punggung tangan Nara lembut. Ia kembali menatap Tasya kali ini sungguhan dengan tatapan memohon. “Gue cuma butuh Nara. Mau lo semarah apapun lagi setelah ini gak akan mengubah fakta. Lo pikirin baik baik, Sya. Jangan buang buang waktu lo buat suka sama gue, apalagi masih berusaha buat bikin gue suka sama lo. Gak akan berhasil, gue udah punya tempat gue pulang.”

Tasya termangu. Kalimat panjang lebar Yesha jelas mampu menyentuh relung hatinya. Sakit, tapi itu adalah faktanya. Tidak peduli sesakit apa dirinya, Tasya tahu Yesha tidak akan mengubah labuhan hatinya. Sekali Yesha jatuh cinta pada seseorang, maka yang lainnya tidak berarti bagi lelaki itu.

“Gue izin bawa Nara pergi.” Pamit Yesha. Ia berbalik menghadap Nara, tangannya terulur merapikan rambut gadis itu yang sedikit tidak beraturan, lalu menyeka air matanya. “Kamu nggak apa apa, kan? Hm? Kita pulang aja ya? Tenangin diri dulu, aku temenin.”

Nara mengangguk pelan.

Yesha tersenyum, menggenggam jemari Nara dan membawanya pergi meninggalkan kerumunan.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!