Tinggal di Mansion

Terhitung dua hari Lily tinggal di mansion mewah keluarga Adhitama, membuat gadis itu amat betah. Tidak ada lagi pekerjaan atau pun cambukkan yang ia dapat. Malah kehidupan yang mewah nan dimanjakan dari para pekerja yang berada di kediaman. Dan Alvian memperlakukannya bak putri yang apa pun keinginannya akan terwujud.

Kehidupan yang sempurna! Kalimat itu sangat cocok menggambarkan hari seorang gadis yang kini tak lusuh lagi. Tubuhnya kini dihiasi pakaian mahal, parfum langka, dan skincare dari brand terkenal. Ayah dari Tuan Muda Alvian itu sungguh memanjakan calon menantunya.

Namun, tentu saja akan ada hal-hal yang menjadi duri penghalang dari kebahagiaan. Lily pun mengalami hal tersebut, calon ibu mertuanya itu sangat mirip dengan ibu tirinya. Bedanya dia tidak berani menyentuh Lily, hanya mulut tajamnya saja yang terus menghujat gadis itu. Seperti saat ini contohnya ...

“Heh, gadis kampungan!” sentak Kirana geram akan tingkah gadis yang berlalu-lalang dengan bebas di rumahnya.

“No, Tante. Aku tidak terlahir di kampung, tapi di kota. Cuman bukan di kalangan elite aja,” jawab Lily santai bahkan kelewat santai membuat Kirana semakin geram.

“Kamu hanya orang luar, jadi jangan banyak tingkah. Cepat ke belakang dan bantu para pelayan. Cuci piring sana, jangan mau yang enak aja!” sinis Kirana, derajat Lily di matanya sama dengan para pelayan di rumahnya.

“Oh, no! Aku calon mantu Tante, bukan calon pelayan. Dan yeahhh, lebih baik nama ku dicatat malaikat maut dari pada harus mencuci piring!” tolak Lily dengan gayanya yang kampungan menurut Kirana.

“Heh! Kamu nantang, saya!” Kirana naik pitam, barang kali ia akan darah tinggi jika Lily benar-benar menjadi menantunya. Perempuan sembrono yang tidak tahu attitude.

“Ada apa ini, ada apa? Ada yang mau berkelahi, ayo ... ayoo ... aku jadi wasit!” Alvian datang dengan langsung bertepuk tangan heboh, dan kebetulan peluit tergantung di lehernya. Lelaki dewasa itu meniupnya membuat suasana rumah menjadi riuh pecah memekakkan telinga.

Kirana menutup telinga dengan kedua tangan, perempuan paru baya itu benar-benar stress. “Argghhh!” teriaknya meluapkan emosi, di sambut cekikikan oleh Lily dan tawa membahana dari Vian.

“Hahahahha,” tawa Vian dengan gaya bocahnya, pria itu bahkan sampai memegang perutnya. Frustasi Kirana adalah lakon terbaik yang amat menghiburnya.

“Dasar kampungan! Dasar idiot! Kalian memang cocok!” makin Kirana tidak menahan lagi, perempuan paru baya itu pun pergi dengan menghentakkan kaki.

“Nenek sihirnya marah Lily, dia kaburrr, ayo kita kejaaarrr.” Alvian sudah bersiap-siap.

“Aelah Bang, nggak usah. Lebih baik kita ke kolam, yuk. Berenang, enak nih panas gini sambil nyelam terus minum jus jeruk.” Gadis itu sudah membayangkan dirinya yang mengambang di kolam. Menggerakkan tangan dan menghentakkan kaki.

“Woahh, seru. Ayo ... ayo ....” Alvian langsung menarik pergelangan tangan Lily, tak lupa ia memerintahkan pelayan untuk membawa jus jeruk serta camilan untuk mereka.

***

Pandangan Arthur lurus ke arah bawa, pria itu memegang pagar besi yang bertengger di lantai kamarnya. Matanya memancarkan kebahagiaan, dan rasa bersalah secara bersamaan.

Tidak pernah ia melihat sang anak sebahagian itu setelah insiden kecelakaan yang merenggut nyawa wanita tersayang mereka. Berbagai cara dan upaya telah Arthur lakukan demi melihat kebahagiaan kembali terpancar dari sang anak.

Usai pemakaman ibunya, Alvian menjadi pribadi yang pendiam. Arthur memutuskan untuk menikah lagi, berharap dapat menutupi rasa kehilangan mereka pada sang istri pertama yang merupakan ibu Alvian.

Namun, semua yang ia lakukan sama sekali tidak membuahkan hasil. Kabar buruk kembali datang, satu tahun yang lalu Vian mengalami kecelakaan mobil dan dinyatakan mengalami cacat mental akibat benturan hebat pada kepalanya dari insiden tersebut.

“Hahahah ... Bang! Lu berenang kaya katak,” tawa Lily menghiasi taman belakang tempat kolam renang berada. Di sana Alvian tengah menunjukkan kebolehannya dalam berenang pada sang gadis, dan sepertinya itu berjalan lancar. Pikir pria itu, melihat tawa Lily yang membahana.

“Ayo ... ayo ... kita berenang sama-sama,” ajak Alvian melambaikan tangannya.

“Tunggu bentar, Bang. Kuenya enak banget,” walaupun sangat ingin berenang, Lily tentu tidak bisa melewatkan makanan enak di sampingnya ini.

“Huft!” Vian bete! Kue itu lebih menarik darinya. Pria itu pun memercikkan air pada Lily demi mendapatkan perhatian gadis itu.

“Ih, Bang Vian! Jangaaannn!” bukannya berhenti Alvian makin semangat, larangan seolah perintah untuknya. “Hais, awas ya ....” Lily pun menceburkan diri bergabung dengan Vian, air memercik ke mana-mana dan mengenai wajah pria itu. Alvian sama sekali tidak marah, pria itu malah menyambutnya dengan tawa. Keduanya pun malah berperang dengan saling memercikkan air.

“Cukuppp! Aku kalah, aku kalah!” Vian mengangkat tangan menyerah, ia berbalik menghindari serangan Lily yang begitu agresif.

“Mas! Gadis itu membawa pengaruh buruk untuk Alvian!” datang-datang Kirana langsung menjelekkan nama Lily pada sang suami, ia mencebikkan bibir melihat Alvian yang ikut kampungan seperti gadis dekil itu. Dan dalam pandangannya, dua manusia itu terlihat idiot. Terlihat cocok sebenarnya, namun Kirana ingin wanita pilihannya yang menikahi anak idiotnya.

“Pengaruh buruk?” Arthur menaikkan salah satu alisnya.

“Iya! Lihat saja sekarang ...”

“Aku melihat sebaliknya, gadis itu membawa pengaruh baik untuk Alvian kita. Dia gadis yang baik dan santun, makanya Alvian langsung nyaman dengannya. Lihat, mereka terlihat bahagia bukan?” senyum samar tersungging di bibir kaku Arthur. Istrinya menggulir bola mata dengan mulut mencebik keriting.

“Jadikan saja temannya, lalu Alvian tetap menikah dengan wanita pilihanku.” Rupanya sang istri masih ngotot akan perjodohan tersebut.

“Kenapa?” tanya Arthur, Kirana sendiri menampilkan gestur bertanya. Menanyakan maksud sang suami. “Kenapa Mama ingin sekali menjodohkan Alvian dengan perempuan pilihan Mama?” tanya Arthur menyelidik.

Bola mata Kirana bergerak mencari alasan, “A-aku hanya ingin yang terbaik untuk Vian, Mas. Ingin dia mendapatkan gadis yang baik.” Sebisa mungkin ia mengendalikan dirinya agar tak terlihat gugup.

Arthur menghela napas, “Mas tahu maksud baik kamu, Sayang. Tapi, baik menurut kamu belum tentu baik menurut Vian. Biarkan Vian menentukan sendiri pilihannya. Toh, itu juga bisa membuatnya bahagia seperti harapan kita.”

Kirana tidak membantah lagi, untuk saat ini ia hanya bisa mengangguk setuju.

“Tidak usah terlalu dipikirkan, mas yakin Vian walaupun begitu tetap tahu yang baik dan buruk untuk dirinya.” Lanjut Arthur meraih lengan sang istri dan menuntunnya meninggalkan balkon kamar.

Arthur dan Kirana masuk, meninggalkan suara samar-samar Alvian dan Lily di kolam renang taman belakang.

“Bang Vian! Handuk aku ....” Teriak Lily saat Vian membawa lari handuk yang diperuntukkan untuk dirinya.

“Wleeekkk! Ayo ambil!” Vian mengibarkan handuk layaknya bendera, pria itu rupanya ingin memberi balasan pada sang gadis yang telah mengalahkannya dalam permainan.

“Hais, awas ya. Aku bakalan dapat kembali handuk itu.” Lily naik ke permukaan, berlari mengejar Vian. Keduanya kini terlibat kejar-kejaran.

“Argh!” Kaki Alvian terantuk batu, secara refleks pria itu pun mengangkat kakinya.

“Bang minggir—“

Brak!

Tak sempat menoleh, tak sempat menghindar. Lily jatuh di atas tubuh besar Vian, membuat si pria merasakan tubuh bagian depan si gadis. Sesaat matanya melebar sempurna.

Tak!

Dengan cepat Vian membalikkan posisi, kini tubuh kecil Lily berada dikungkungannya. “Kita main tindih-tindih ya ...?” mata Vian mengerjap lucu, jangan lupakan tampang polos dan gaya khasnya yang idiotnya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!