Dunia ini penuh dengan hari buruk, tidak ada habisnya. Begitulah pengandaian yang Lily buat untuk dirinya sendiri.
“Eh, Bang. Lepas, Bang. G-gue dipanggil emak nih.” Alasan Lily, berusaha keluar dari jeratan tangan kokoh si pria yang baru saja ia niatkan menjadi calon suaminya. Namun, niatan itu dengan cepat ia tepis jauh-jauh. Sejauh timur dan barat kalau bisa.
Bagaimana tidak, pria tanpa rupawan ini sepertinya mengalami gangguan yang istimewa.
“Nggak bakalan, kita akan menikah. Ayo, pergi ke orang tuaku.” Celotehnya dengan bibir yang blepotan oleh liurnya.
Lily meneguk susah salivanya, mimpi apa ia semalam. Ganteng sih, tapi jangan yang spek beginian ya Tuhan. Apakah ini karma karena ia yang sering mengatai ibu dan saudara tirinya diam-diam. Pikir Lily yang mendadak mengingat dosa-dosanya.
“Nggak Bang, lu cari yang lain aja yang lebih cantik dan seksi. Gue mah masih bocil!” tolak Lily berusaha membebaskan diri, tenaga pria ini amat kuat sekali.
“Aku maunya kamu, siapa suruh ajak menikah!” bantah si pria. Dan mulai berdebat dengan Lily, tak lupa gayanya yang seperti anak kecil songong tak mau kalah. Pokoknya harus mendapatkan apa yang ia inginkan. Titik! Tidak pake koma!
“B-bang—“
“Tuan Mudah Alvian, Anda di sini ...” beberapa pria bertubuh besar nan kekar terlihat menghela napas lega mendapati junjungan mereka yang sempat menghilang. Napas keempat orang itu tak beraturan, kepanikan masih menghiasi wajah mereka yang kini berangsur tenang.
“Tuan Muda, kita harus pulang. Tuan besar menunggu Anda di rumah.”
Tuan Muda, Tuan Besar! Pastilah pria ini sangat kaya. Pikir Lily, menyayangkan buruannya yang tidak bisa menjadi calon suaminya.
“Aku akan pulang, tetapi harus sama dia.” Sontak keempat orang itu mengarahkan pandangan mereka ke arah telunjuk Alvian yang mengarah pada Lily.
“Eh! Nggak bisa, Bang. Gua harus pulang, emak gue nyari’i tuh. Banyak kerjaan di rumah.” Mau tidak mau Lily kembali mencari alasan, tidak mungkin ia mengikuti dan menikahi pria yang terlihat keterbelakangan mental ini.
“Huwaaaa ... kamu nggak mau ikut?” tanya Vian dengan mata berkaca-kaca dan terlihat mulai histeris, tanda sebentar lagi akan tantrum. Lily mengangguk ragu-ragu.
Seketika Tuan Muda itu menangis membahana, histeris, menghiraukan segala tatapan aneh yang menyorot padanya.
“Tuan ... Tuan ..., tolong Anda tenanglah.” Para pengawalnya berusaha menenangkan. Namun, tentu saja Alvian bukanlah orang yang mudah ditenangkan.
“Nona, tolong bantu kami. Ikutlah dengan Tuan Muda, kami janji akan mengantarkan Anda pulang lagi.” Lily yang ingin pergi setelah tangannya dilepaskan, langsung dicegat oleh salah satu pria berbadan kekar itu.
“Tapi, Pak.” Lily terlihat ragu dan terbesit ketakutan. Keberaniannya yang menggoda pria kaya bahkan berniat mengaitnya menguar begitu saja. Apalagi berhadapan dengan pria kekar yang kapan saja bisa mencelakainya.
“Kami tidak akan mencelakai Nona, kami berjanji. Tapi tolong tenangkan Tuan kami, Anda tidak kasihan melihatnya ditatap seperti itu oleh orang-orang.”
Lily mengedarkan pandangan, dan benar saja. Orang-orang memandang Vian dengan tatapan aneh, ada yang memojokkan, merendahkan, jijik dan sebagainya. Bahkan ada yang terang-terangan mengejek dan mengatainya gila, idiot, dan kata kasar lainnya. Lily mengepalkan tangan, dan ia pun membujuk Tuan Muda itu untuk pulang.
“Kamu juga ikut ‘kan?” Alvian memastikan dan Lily mengangguk. “Kita akan menikah ‘kan?” tanyanya lagi tidak mendapat jawaban dari si gadis, sebab Lily tengah merutuki dirinya yang begitu sial dan ceplas-ceplos.
Setelah menempuh perjalanan 1 jam lebih, akhirnya rombongan Alvian yang juga ada Lily di sana memasuki mansion yang begitu besar dan mewah. Bahkan jarak gerbang dan beranda rumah harus dengan menggunakan kendaraan, saking luasnya arena rumah tersebut.
Lily yang memang kasta biasa saja hanya bisa menatap dengan takjub, dan tentu mulutnya tidak terbuka lebar. Ia masih memiliki harga diri untuk tidak melakukan hal tersebut.
“Ayo masuk,” ajak Alvian girang karena kini ia membawa teman baru untuk pertama kalinya di rumahnya. Sebelumnya pria itu memang tidak memiliki teman, selama ini hanya bermain dengan pelayan dan pengawal saja yang terlihat kaku dan tidak asik.
“Selama datang, Tuan Muda.” Sambut para pelayan yang sudah berjejer, mereka sudah diberitahu oleh sekuriti akan kedatangan junjungan mereka.
Alvian menghiraukan, ia malah menarik tangan Lily untuk mengajaknya ke kamarnya. “Eh, pelan-pelan napa, Bang?” Lily tidak sanggup menyamai Alvian yang begitu aktif. Ia terseret-seret oleh pria gagah itu.
“Cepat, aku akan tunjukkan kamarku padamu!” Alvian tidak menghiraukan, ia malah semakin semangat membawa Lily menuju kamarnya. Tetapi sebelum itu, suara tegas nan berwibawa menahannya.
“Alvian, siapa yang kamu bawa?” sontak pria itu berhenti, dan kini berjalan menuju sang ayah.
“Ayah, lihat! Aku membawa teman hidupku, kami akan menikah!” beritahu Alvian dengan semangatnya, tidak memedulikan mata sang ayah yang hampir keluar dengan tangan yang memegang dada bagian jantung karena saking syoknya. Lily? Jangan ditanya. Gadis itu tremor, kakinya bahkan seperti jeli sekarang. Pria muda ini sungguh blak-blakan, tidak melihat situasi dan kondisi.
“Apa? Tidak bisa! Kamu tidak bisa menikahi perempuan sembarangan.” Alvian memandang kedatangan sang ibu tiri—Kirana, mulutnya mencebik keriting sana sini. Terlihat sangat tidak menyukai perempuan yang asal nimbrung itu padahal tidak diundang.
Alvian memeluk lengan Lily erat, kedua kini tak berjarak lagi. Bahkan kulit lengan kedua saling berserobok. “Tidak ada yang mengajakmu berbicara, bleeek ....” Alvian malah mengejeknya dengan menjulurkan lidah. Hal itu tentu saja memicu kemarahan dari sang ibu tiri, perempuan itu mengepalkan tangan menahan emosi, wajahnya bahkan sudah memerah.
“Awas, tanduknya tumbuh tuh.” Lagi Alvian mengejeknya, pria itu menyimpan kedua jari telunjuk ke atas kepala menyerupai tanduk dan kembali memeluk Lily.
“Masss,” Kirana tidak tahan.
“Sudahlah, Rana. Kamu tahu anakmu seperti itu.” Kata ayah Alvian menengahi, keduanya memang sering terlibat cekcok.
“Ayah, tolong persiapan pernikahan kami. Aku ke kamar dulu.” Ucap Alvian enteng, seolah permintaannya barusan adalah ia yang menitipkan legonya agar dirangkai oleh sang ayah. Alvian pun berlari menuju kamar bersama Lily yang berusaha mengungkapkan sesuatu, namun tak kesampaian karena Alvian.
“Mas, jangan biarkan Alvian menikahi gadis sembarangan. Aku sudah menyiapkan beberapa gadis terpandang yang akan menjadi calon istrinya.” Pinta Kirana pada sang suami.
“Tuan Arthur, maaf mengganggu, ada sesuatu yang mendesak yang harus Anda lihat.” Asisten dari pria itu datang dengan tergesa, tampaknya memang membawa sesuatu yang serius.
“Kita ke ruang kerjaku.” Arthur mengajak sang asisten ke ruang kerjanya.
“Tapi, Mas!” tahan Kirana. Ia masih ingin membahas persoalan Alvian yang membawa perempuan lusuh tadi.
“Kita akan membahasnya lain kali, Rana.” Pungkas Arthur melangkah pergi.
Kirana mendengus tidak terima, bagaimana pun caranya ia harus membuat Alvian agar menikahi perempuan yang dipilihkannya. Anak idiot itu tidak boleh menikahi perempuan acak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments