Alvian benar-benar membawa Lily ke kamarnya yang berada di lantai dua paling pojokkan sebelah kanan, sampai di ruang itu barulah si gadis dapat bernapas dengan leluasa. Sedari tadi ia memang menahan napasnya, berhadapan dengan orang tua pria yang menariknya sungguh membuatnya gugup. Suasana terasa mencekam dan tidak bersahabat, ia merasa kecil berada di hadapan mereka.
“Ayo, ayo ... aku mau tunjukkin semua miniaturku yang berada di lemari.” Alvian kembali menarik Lily menuju lemari yang dimaksud. Kamar pria itu begitu luas, bahkan lebih luas dari ruang tamu Lily. Gadis itu kembali memandang takjub, mengira berapa lama kamar ini akan dibersihkan serta berapa orang yang membersihkannya.
“Eh, Bang. Lu orang kaya beneran ternyata.” Lily amat takjub.
“Iya, makanya kamu nikah sama aku!” sahut Vian dengan celoteh khasnya yang bak anak kecil.
“Hahahah ... lu beneran mau nikah sama gue, Bang?” Vian langsung mengangguk antusias. Membuat si gadis tertegun. Ya, pikiran baik dan liciknya mulai berjalan dan menimbang. Memikirkan keuntungan dan kerugian yang akan ia hadapi. Yang pasti jika ia menerima lelaki yang terlihat lebih tua beberapa tahun dari nya ini, ia tentu akan terbebas dari belenggu ibu dan saudara tirinya. Dan tidak akan terlunta-lantu di jalanan lagi.
“Siniiii, lihat. Miniaturnya bagus-bagus ‘kan?” Vian menunjukkan satu persatu mainannya pada Lily, dan gadis itu mengangguk setuju.
“Lu masih suka main beginian?” spontan Lily bertanya.
“Hm, ini semua teman-temanku.” Jawab Alvian memeluk salah satu miniaturnya. Dan Lily dapat melihat bahwa pria ini sangat menyayangi mainannya. “Mereka yang nemenin aku setiap hari,” ungkap Vian mengusap miniaturnya dengan sayang.
“Jadi, lu nggak punya temen manusia?” tanya Lily penasaran.
“Punyalah!”
“Siapa?”
“Kamu!” ucap Alvian dan langsung memeluk gadis itu dengan erat, memeluknya selayaknya ia memeluk teman-teman miniaturnya.
“B-bang, g-gue sesak napas Bang!” Lily mangap dengan mulut seperti ikan yang kekurangan air.
“Alvian!” teriakan itu sungguh menjadi penyelamat bagi Lily, hampir saja ia kehabisan oksigen dan pindah alam hanya karena pelukan.
“Kamu mau anak orang mati?!” tanya Arthur masih dengan nada tingginya, melihat gadis itu tengah meraup oksigen di sekitarnya.
‘Meninggal Om! Lu kira gue hewan,’ gadis itu masih sempatnya membatin.
“Nggakkk! Kan, kita belum nikah!” Alvian menggeleng dengan heboh.
“Cepat minta maaf,” pinta ayahnya. Arthur memang selalu mengajari anaknya dengan tegas. Dan Alvian akan menyadari kesalahannya jika sang ayah memintanya demikian.
“Oh ya, kita belum kenalan. Nama aku Alvian Adhitama.” Vian meraih tangan Lily lalu berjabat tangan dengan heboh, sampai Lily harus memegang tangannya yang tengah berjabat dengan Alvian untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mengikuti pergerakan pria itu.
“Lilyana,” sebut Lily cepat dan menarik tangannya, tubuhnya seolah terpelanting akibat ulah Alvian yang terlalu bersemangat.
“Lily, nama kamu bagus.” Alvian bertepuk tangan, bibirnya tersenyum lebar semakin menampilkan ketampanan yang paripurna.
Lily hampir saja oleng dibuatnya, kembali tersadar saat Alvian mengusap liurnya yang berceceran di sudut mulut.
“Sekarang minta maaf,” kembali sang ayah mengingatkan.
“Lily, aku minta maaf, ya.” Alvian mengatupkan tangan di dada, dengan nada mencicit seperti anak kecil. Begitu penuh penghayatan. Lily pun mengangguk memaafkan. “Lain kali aku bakalan peluk pelan-pelan kok,” katanya membuat bola mata Lily membulat. Sedangkan Arthur memutar bola matanya malas.
“Sepertinya tidak ada pilihan lain,” gumam pria itu yang entah apa maksudnya.
“Vian, kamu bersihkan diri. Tunggu makanan yang akan dibawakan Mbak Dina. Lily, ayah pinjam dulu.” Pinta Arthur memandang gadis yang berada di samping sang anak, ia berniat mengajaknya bicara.
“Tapi—“
“Ayah akan membawanya kembali, hanya sebentar saja.” Potong Arthur sebelum anaknya itu menolak.
“Tapi aku mau makan berdua sama Lily, Ayah.” Katanya dengan pandangan memohon, kalau sudah begitu, ayahnya tentu saja tidak akan bisa menolak.
“Ayah, meminjamkannya sebentar saja. Kalian akan bisa makan bersama.” Katanya memberi pengertian pada sang anak. Lily dari tadi yang mendengar obrolan ayah dan anak tersebut merasa aneh. Pinjam! Pinjam apa? Memang dirinya barang yang bisa di pinjam lalu dikembalikan. Huh! Ingin mengeluarkan protesnya tetapi tentu saja ia tidak berani.
Ia hanya bisa mendelik-delik pada Alvian, bermaksud mengirimkan kode agar dirinya tidak dibawa oleh ayah pria itu.
“Matamu kenapa Lily, kelilipan?” tanya Alvian tidak mengerti.
‘Hadeeeh’ Lily menghela napas pelan, lalu berusaha menyunggingkan senyum. “Tidak kok, mataku baik-baik saja!” elaknya.
“Bagaimana?” tanya Arthur.
“Baiklah, Ayah.” Jawab Alvian kemudian, mempersilahkan sang ayah membawa Lily. “Tapi, harus dibawa kembali tepat waktu.” Ingin sekali Lily menjitak kepala pria itu.
“Tentu.” Ayahnya mengangguk menyetujui. “Tolong ikut saya,” katanya pada Lily. Mau tidak mau, Lily pun mengikuti ayah Alvian.
Lily duduk berhadapan dengan Arthur dan hanya terhalang oleh meja besar yang berada di ruang kerja pria itu.
“Minumlah.” Pinta Arthur dengan dirinya yang juga meraih teh yang baru saja dihidangkan oleh pelayan.
Lily mengangguk, dan menyesap sedikit. Setelahnya gadis itu kembali duduk dengan tegak. Jujur saja, saat ini ia tengah dilanda kegugupan. Berhadapan dengan ayah Alvian seolah menyita seluruh oksigen yang berada di dekatnya. Alhasil gadis itu bernapas dengan pelan.
“Ah, maaf jika membuatmu tegang. Minumlah, agar lebih rileks.” Arthur sama sekali tidak memiliki maksud untuk menakuti gadis di depannya, namun ia pun tidak bisa merubah visualnya. Jika berusaha tersenyum, takut akan terlihat aneh. Wajah datarnya memang sudah tercetak dari sana nya.
Lily mengangguk dan menampilkan senyum tipisnya. “Iya, Tuan.” Ucapnya dan kembali menyesap tehnya dengan lebih tenang. Beberapa saat kemudian, ia pun dapat mengendalikan dirinya.
“Apa yang ingin Anda bicarakan, Tuan?” tanya Lily sopan, setelah mengumpulkan keberaniannya. Dapat Arthur lihat, lawan bicaranya sudah lebih santai.
“Panggil paman saja, kamu bukan pekerjaan di sini.”
“Ah, baik P-paman.” Kata Lily dengan lidah yang kaku.
“Umurmu berapa, Nak?” tanya Arthur, menilai gadis ini masih sangat muda. Ia begitu penasaran akan keistimewaan gadis ini sehingga menarik perhatian sang anak bahkan ingin menikahinya.
Alvian sendiri memang sudah cukup umur untuk menikah, namun karena keadaannya yang tidak memungkinkan membuat sang istri mencarikan pasangan untuknya. Sayangnya, Alvian selalu menolak mentah-mentah semua perempuan yang ditawarkan Kirana.
“20 tahun, Paman.” Jawab Lily apa adanya.
Arthur menyesap tehnya, mengangguk pelan. “Masih sangat muda, berbeda 7 tahun dengan anak paman. Apa kamu sudah siap menikah?” pertanyaannya sontak membuat Lily tersendat, dan gadis itu terbatuk membahana. Bahkan sudut matanya sampai mengeluarkan air.
Lily memukul dadanya, dan menerima uluran tisu yang disodorkan Arthur. Dengan cepat ia mengusap sudut mata dan mengeluarkan sisa air di hidungnya akibat tersendat.
“Paman mau menikahkan anak Paman dengan saya?” tanya Lily memastikan setelah ia dapat menguasai dirinya.
Arthur mengangguk, “Tentu, karena dia mau menikahimu. Tetapi kamu tahu sendiri dia seperti apa, Alvian sedikit istimewa dari pemuda lainnya.”
“Semua manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, Paman.” Ucapan Lily membuat Arthur tersenyum. Gadis ini sungguh memiliki pemikiran yang luas dan hati yang tulus. Pikir Arthur memuji dalam hati. Tidak akan pernah menyangka jika ia mengetahui apa yang sedang gadis yang dikiranya berhati tulus itu pikirkan. Diam-diam Lily menyunggingkan senyum misterius.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments