Seorang gadis dengan rambut bergelombang sebahu berlari ngos-ngosan menghindari sesuatu, peluh membanjiri keningnya, ia tampak sangat kelelahan.
“Hah, enak saja menyuruh ku mencuci ulang!” runtuk gadis itu dan melihat sekeliling. Tanpa sadar, kakinya mengarahkan dirinya ke taman kota. “Aku tidak bisa seperti ini terus, aku harus keluar dari sana. Huhuhu, mamiii ... Lily capeeek! Mau ikut mami saja,” rengeknya sembari mengusap peluh.
Lilyana gadis yang amat malang, ia sendiri pun mengakui hal tersebut. Sepeninggal ibunya beberapa tahun yang lalu hidupnya berubah drastis sembilan puluh derajat. Tepatnya ketika sang ayah menikah lagi, membawa ibu tiri dan saudara tiri durjana.
Di depan ayahnya ia diperlakukan dengan begitu baiknya, dan di belakang sang ayah dengan terang-terangan mereka menampakkan wujud aslinya. Ia diperlakukan dengan sangat buruk melebihi kehidupan bawang putih di dunia dongeng. Dan akhir-akhir ini kehidupannya semakin kelam, ayahnya pergi selamanya menyusul sang ibu.
Mereka memperlakukannya semakin beringas, harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya diambil alih oleh mereka. Sedangkan dirinya dijadikan babu di rumahnya sendiri. Segala pekerjaan rumah ia yang mengerjakan seorang diri, dan tidak hanya itu, ia juga harus melayani keduanya dua puluh empat jam! Tidak ada toleransi baik itu malam atau tengah malam, baik itu ia sedang makan ataupun membersihkan diri. Jika namanya dipanggil, ia mau tidak mau harus menghadap.
Dan saat ini setelah mengerjakan segala pekerjaan rumah, melayani nyonya-nyonya yang Maha Agung. Lily melarikan diri karena tidak sanggup lagi, Naura saudara tirinya itu memerintahkannya untuk mencuci ulang baju yang telah ia cuci dan setrika sampai licin. Padahal baju tersebut sudah bersin dan rapi, entah ditaruh dimana otak saudara tirinya yang Maha Benar itu.
“Argghhh! Gara-gara mereka aku belum sempat sarapan,” runtuk Lily lagi sembari mengusap perutnya yang mulai mendemo. Ia merogoh saku celana berharap ada sisa uang belanja di sana. “Tiga ribu, ya... lumayan buat beli roti sama air kemasan.” Ucapnya penuh syukur dan mulai berjalan menuju warung tenda dipinggir jalanan.
Lily menengok ke belakang, takut saudara tirinya itu masih mengejarnya. Naura memang sempat mengejar, tetapi berhenti di tengah jalan karena tak sanggup menyamai langkah kaki Lily yang begitu cepat.
Bukan sekali dua kali gadis itu kabur dari rumah akibat tidak betah dengan perlakuan mereka, namun tinggal di jalanan itu sangat sulit apalagi dirinya yang seorang perempuan. Lily akan selalu kembali karena tidak memiliki pilihan dan tiba di rumah tubuhnya akan memar sana sini karena siksaan sang ibu tiri. Gadis itu juga sempat melawan, tetapi tenaganya yang tidak makan berhari-hari tidak bisa dibandingkan dengan tenaga ibu dan saudara tirinya yang mengeroyok.
“Bu, minuman gelas seribu sama roti dua.” Lily menyodorkan uang terakhirnya sisa uang belanja kebutuhan dapur yang diberikan Davina, sang ibu tiri.
“Itu aja, Neng?” tanya sang ibu dan mendapatkan anggukan dari Lily.
Setelah mendapatkan makanannya, Lily memasuki area taman dan duduk dipojokkan sepi melihat manusia yang berlalu-lalang bersama keluarganya dengan wajah berseri-seri.
“Mereka tanpa bahagia,” lirih gadis itu dan mulai memakan rotinya setelah menusuk minuman gelas dengan sedotan.
Lapangan taman begitu ramai hari ini karena hari libur, banyak kepala keluarga yang membawa anggota keluarganya untuk datang berpiknik menghabiskan waktu bersama dengan canda ria. Wajah mereka begitu berseri sangat berbanding terbalik dengan gadis lusuh di pojokkan yang tak lain adalah Lily.
Lily menunduk, menekuri telapak tangannya yang kebas nan kasar. “Aku tidak bisa begini terus, tidak mau menjadi babu sepanjang hidup,” gumam gadis itu yang baru saja memasuki umur dua puluh tahun. “Apa terima saja tawaran nyonya Belle yang seorang mucikari ...?” renungnya akan tawaran dari wanita paruh baya yang berdandan bahenol tempo lalu.
“Aissss, nggak, nggak! Jangan tergoda menjadi seperti itu Lily, ingat nasehat mami! Ingat!” katanya yang kini merutuki dirinya.
Lily mengedarkan pandangan, melihat sekeliling taman dengan pandangan tak minat. Melihat keluarga yang berkumpul dalam satu tikar, melihat pasangan-pasangan yang duduk di bangku taman dengan tangan saling tertaut dan bibir melempar senyum. Sungguh sangat serasi dan romantis.
“Yak!” gadis itu tiba-tiba berdiri dengan penuh semangat. “Kenapa aku tidak mencari suami saja? Ya! Kait pria kaya sekalian.” Gadis itu setuju akan pikirannya sendiri yang begitu cemerlang menurutnya. “Dengan begitu aku akan terbebas dan tidak hidup susah lagi!” ia pun mulai menyisir rambutnya yang awut-awutan serta lepek, melakukan senam wajah agar lebih rileks.
“I’m ready!” Lily mulai mencari mangsa setelah membenah pakaian serta tampilan wajahnya. Memindai satu persatu lelaki yang memenuhi standarnya. Berpenampilan kaya serta tak apa jika wajahnya pas-pasan, yang paling penting masih lajang.
“Jangan yang itu, sudah terlalu tua. Bajunya juga biasa-biasa saja.” Nilainya lalu mulai menggulir pandangan ke arah lain. “Yang itu sepertinya cocok, kaya dan tampan.” Lily membasahi bibirnya agar terlihat memerah, berjalan menghampiri pria itu dengan penuh percaya diri serta tak lupa menebar pesona tak kala mata keduanya bertemu. Lily semakin mendekat, dan pria di sana menautkan alis melihat keanehan gadis itu.
“Sayang,” perempuan semampai mendekati si pria dengan es krim di kedua tangannya. Lily sontak saja memutar arah.
“Jangan yang itu, nanti digrebek warga dikira pelakor.” Ia mengetuk kepalanya agar kembali ke jalan yang lurus. Sorot matanya yang murung kembali berbinar tak kala melihat mangsa yang baru.
“Cocok nih,” kata Lily setelah mengamati situasi dan kondisi, dan tampaknya pria itu memang masih lajang. Duduk seorang diri dengan pakaian mewah melekat di tubuhnya, wajahnya aman tampan yang menjadi bonus untuk Lily.
Lily berjalan mendekat dengan pelan tetapi pasti, gadis itu kini berhasil duduk bersama si pria di bangku taman di bawah pohon yang rindang.
Lily mengedipkan mata, dibalas kedipan mata oleh si pria. Lily mengedip sekali lagi dengan senyum menawan berceceran, dan dibalas oleh pria itu dengan hal yang sama.
“Asiikkk, umpan di makan!” gumam Lily dalam hati, meronta bahagia. Ia pun memberanikan diri bergeser mendekat.
“Hai, Abang. Sendirian aja?”
Klik!
Lily mengedipkan mata, pria di sampingnya cengengesan ria sekarang. Lily menganggap itu sebagai jawaban.
“Kalau sendirian, boleh dong aku temanin?” tawarnya sembari menyisipkan anak rambut ke belakang telinga. Pria itu mengangguk heboh, membuat Lily yakin dapat mengaitnya. “Temenin jadi teman hidup juga, aku mau kok?” katanya malu-malu.
“Teman hidup?” gumam pria itu pelan dengan kernyitan di dahi.
“Iya, biar nggak kesepian. Jadi kita menikah, yuk.” Ajak Lily tanpa buang waktu, kali aja berhasil ‘kan. Namanya juga usaha.
Pria yang Lily ajak bicara tampak diam, tepatnya berusaha memaknai ucapan lawan jenis di depannya. Keningnya mengernyit dalam.
“Menikahhh?” tanyanya sembari menyatukan kedua tangannya yang ia buat mengerucut.
“Aelah, Bang. Pikiran lu langsung ke cipokan aja.” Lily melambaikan tangan dengan wajah bersemu merah.
“Ya, ayo kita menikah ...!” pria berpenampilan Tuan Muda bertepuk tangan dengan riang, menyetujui ajakan si gadis. Tingkahnya yang berlebihan sedikit mencuri perhatian orang-orang.
“Eh, se-serius?” Lily yang kini malah tidak percaya. Pria itu mengangguk antusias.
“Iya, ayo kita menikah. Hihihihi ....” Tawanya girang dan seketika membuat mata Lily membulat. Pria kaya, tampan rupawan ini bertingkah selayaknya bocah.
“O oh, no!” teriaknya tertahan baru menyadari sesuatu, baru saja ingin melarikan diri. Namun, tangannya dengan cepat dicekal oleh si pria.
***
Dunia ini penuh dengan hari buruk, tidak ada habisnya. Begitulah pengandaian yang Lily buat untuk dirinya sendiri.
“Eh, Bang. Lepas, Bang. G-gue dipanggil emak nih.” Alasan Lily, berusaha keluar dari jeratan tangan kokoh si pria yang baru saja ia niatkan menjadi calon suaminya. Namun, niatan itu dengan cepat ia tepis jauh-jauh. Sejauh timur dan barat kalau bisa.
Bagaimana tidak, pria tanpa rupawan ini sepertinya mengalami gangguan yang istimewa.
“Nggak bakalan, kita akan menikah. Ayo, pergi ke orang tuaku.” Celotehnya dengan bibir yang blepotan oleh liurnya.
Lily meneguk susah salivanya, mimpi apa ia semalam. Ganteng sih, tapi jangan yang spek beginian ya Tuhan. Apakah ini karma karena ia yang sering mengatai ibu dan saudara tirinya diam-diam. Pikir Lily yang mendadak mengingat dosa-dosanya.
“Nggak Bang, lu cari yang lain aja yang lebih cantik dan seksi. Gue mah masih bocil!” tolak Lily berusaha membebaskan diri, tenaga pria ini amat kuat sekali.
“Aku maunya kamu, siapa suruh ajak menikah!” bantah si pria. Dan mulai berdebat dengan Lily, tak lupa gayanya yang seperti anak kecil songong tak mau kalah. Pokoknya harus mendapatkan apa yang ia inginkan. Titik! Tidak pake koma!
“B-bang—“
“Tuan Mudah Alvian, Anda di sini ...” beberapa pria bertubuh besar nan kekar terlihat menghela napas lega mendapati junjungan mereka yang sempat menghilang. Napas keempat orang itu tak beraturan, kepanikan masih menghiasi wajah mereka yang kini berangsur tenang.
“Tuan Muda, kita harus pulang. Tuan besar menunggu Anda di rumah.”
Tuan Muda, Tuan Besar! Pastilah pria ini sangat kaya. Pikir Lily, menyayangkan buruannya yang tidak bisa menjadi calon suaminya.
“Aku akan pulang, tetapi harus sama dia.” Sontak keempat orang itu mengarahkan pandangan mereka ke arah telunjuk Alvian yang mengarah pada Lily.
“Eh! Nggak bisa, Bang. Gua harus pulang, emak gue nyari’i tuh. Banyak kerjaan di rumah.” Mau tidak mau Lily kembali mencari alasan, tidak mungkin ia mengikuti dan menikahi pria yang terlihat keterbelakangan mental ini.
“Huwaaaa ... kamu nggak mau ikut?” tanya Vian dengan mata berkaca-kaca dan terlihat mulai histeris, tanda sebentar lagi akan tantrum. Lily mengangguk ragu-ragu.
Seketika Tuan Muda itu menangis membahana, histeris, menghiraukan segala tatapan aneh yang menyorot padanya.
“Tuan ... Tuan ..., tolong Anda tenanglah.” Para pengawalnya berusaha menenangkan. Namun, tentu saja Alvian bukanlah orang yang mudah ditenangkan.
“Nona, tolong bantu kami. Ikutlah dengan Tuan Muda, kami janji akan mengantarkan Anda pulang lagi.” Lily yang ingin pergi setelah tangannya dilepaskan, langsung dicegat oleh salah satu pria berbadan kekar itu.
“Tapi, Pak.” Lily terlihat ragu dan terbesit ketakutan. Keberaniannya yang menggoda pria kaya bahkan berniat mengaitnya menguar begitu saja. Apalagi berhadapan dengan pria kekar yang kapan saja bisa mencelakainya.
“Kami tidak akan mencelakai Nona, kami berjanji. Tapi tolong tenangkan Tuan kami, Anda tidak kasihan melihatnya ditatap seperti itu oleh orang-orang.”
Lily mengedarkan pandangan, dan benar saja. Orang-orang memandang Vian dengan tatapan aneh, ada yang memojokkan, merendahkan, jijik dan sebagainya. Bahkan ada yang terang-terangan mengejek dan mengatainya gila, idiot, dan kata kasar lainnya. Lily mengepalkan tangan, dan ia pun membujuk Tuan Muda itu untuk pulang.
“Kamu juga ikut ‘kan?” Alvian memastikan dan Lily mengangguk. “Kita akan menikah ‘kan?” tanyanya lagi tidak mendapat jawaban dari si gadis, sebab Lily tengah merutuki dirinya yang begitu sial dan ceplas-ceplos.
Setelah menempuh perjalanan 1 jam lebih, akhirnya rombongan Alvian yang juga ada Lily di sana memasuki mansion yang begitu besar dan mewah. Bahkan jarak gerbang dan beranda rumah harus dengan menggunakan kendaraan, saking luasnya arena rumah tersebut.
Lily yang memang kasta biasa saja hanya bisa menatap dengan takjub, dan tentu mulutnya tidak terbuka lebar. Ia masih memiliki harga diri untuk tidak melakukan hal tersebut.
“Ayo masuk,” ajak Alvian girang karena kini ia membawa teman baru untuk pertama kalinya di rumahnya. Sebelumnya pria itu memang tidak memiliki teman, selama ini hanya bermain dengan pelayan dan pengawal saja yang terlihat kaku dan tidak asik.
“Selama datang, Tuan Muda.” Sambut para pelayan yang sudah berjejer, mereka sudah diberitahu oleh sekuriti akan kedatangan junjungan mereka.
Alvian menghiraukan, ia malah menarik tangan Lily untuk mengajaknya ke kamarnya. “Eh, pelan-pelan napa, Bang?” Lily tidak sanggup menyamai Alvian yang begitu aktif. Ia terseret-seret oleh pria gagah itu.
“Cepat, aku akan tunjukkan kamarku padamu!” Alvian tidak menghiraukan, ia malah semakin semangat membawa Lily menuju kamarnya. Tetapi sebelum itu, suara tegas nan berwibawa menahannya.
“Alvian, siapa yang kamu bawa?” sontak pria itu berhenti, dan kini berjalan menuju sang ayah.
“Ayah, lihat! Aku membawa teman hidupku, kami akan menikah!” beritahu Alvian dengan semangatnya, tidak memedulikan mata sang ayah yang hampir keluar dengan tangan yang memegang dada bagian jantung karena saking syoknya. Lily? Jangan ditanya. Gadis itu tremor, kakinya bahkan seperti jeli sekarang. Pria muda ini sungguh blak-blakan, tidak melihat situasi dan kondisi.
“Apa? Tidak bisa! Kamu tidak bisa menikahi perempuan sembarangan.” Alvian memandang kedatangan sang ibu tiri—Kirana, mulutnya mencebik keriting sana sini. Terlihat sangat tidak menyukai perempuan yang asal nimbrung itu padahal tidak diundang.
Alvian memeluk lengan Lily erat, kedua kini tak berjarak lagi. Bahkan kulit lengan kedua saling berserobok. “Tidak ada yang mengajakmu berbicara, bleeek ....” Alvian malah mengejeknya dengan menjulurkan lidah. Hal itu tentu saja memicu kemarahan dari sang ibu tiri, perempuan itu mengepalkan tangan menahan emosi, wajahnya bahkan sudah memerah.
“Awas, tanduknya tumbuh tuh.” Lagi Alvian mengejeknya, pria itu menyimpan kedua jari telunjuk ke atas kepala menyerupai tanduk dan kembali memeluk Lily.
“Masss,” Kirana tidak tahan.
“Sudahlah, Rana. Kamu tahu anakmu seperti itu.” Kata ayah Alvian menengahi, keduanya memang sering terlibat cekcok.
“Ayah, tolong persiapan pernikahan kami. Aku ke kamar dulu.” Ucap Alvian enteng, seolah permintaannya barusan adalah ia yang menitipkan legonya agar dirangkai oleh sang ayah. Alvian pun berlari menuju kamar bersama Lily yang berusaha mengungkapkan sesuatu, namun tak kesampaian karena Alvian.
“Mas, jangan biarkan Alvian menikahi gadis sembarangan. Aku sudah menyiapkan beberapa gadis terpandang yang akan menjadi calon istrinya.” Pinta Kirana pada sang suami.
“Tuan Arthur, maaf mengganggu, ada sesuatu yang mendesak yang harus Anda lihat.” Asisten dari pria itu datang dengan tergesa, tampaknya memang membawa sesuatu yang serius.
“Kita ke ruang kerjaku.” Arthur mengajak sang asisten ke ruang kerjanya.
“Tapi, Mas!” tahan Kirana. Ia masih ingin membahas persoalan Alvian yang membawa perempuan lusuh tadi.
“Kita akan membahasnya lain kali, Rana.” Pungkas Arthur melangkah pergi.
Kirana mendengus tidak terima, bagaimana pun caranya ia harus membuat Alvian agar menikahi perempuan yang dipilihkannya. Anak idiot itu tidak boleh menikahi perempuan acak.
***
Alvian benar-benar membawa Lily ke kamarnya yang berada di lantai dua paling pojokkan sebelah kanan, sampai di ruang itu barulah si gadis dapat bernapas dengan leluasa. Sedari tadi ia memang menahan napasnya, berhadapan dengan orang tua pria yang menariknya sungguh membuatnya gugup. Suasana terasa mencekam dan tidak bersahabat, ia merasa kecil berada di hadapan mereka.
“Ayo, ayo ... aku mau tunjukkin semua miniaturku yang berada di lemari.” Alvian kembali menarik Lily menuju lemari yang dimaksud. Kamar pria itu begitu luas, bahkan lebih luas dari ruang tamu Lily. Gadis itu kembali memandang takjub, mengira berapa lama kamar ini akan dibersihkan serta berapa orang yang membersihkannya.
“Eh, Bang. Lu orang kaya beneran ternyata.” Lily amat takjub.
“Iya, makanya kamu nikah sama aku!” sahut Vian dengan celoteh khasnya yang bak anak kecil.
“Hahahah ... lu beneran mau nikah sama gue, Bang?” Vian langsung mengangguk antusias. Membuat si gadis tertegun. Ya, pikiran baik dan liciknya mulai berjalan dan menimbang. Memikirkan keuntungan dan kerugian yang akan ia hadapi. Yang pasti jika ia menerima lelaki yang terlihat lebih tua beberapa tahun dari nya ini, ia tentu akan terbebas dari belenggu ibu dan saudara tirinya. Dan tidak akan terlunta-lantu di jalanan lagi.
“Siniiii, lihat. Miniaturnya bagus-bagus ‘kan?” Vian menunjukkan satu persatu mainannya pada Lily, dan gadis itu mengangguk setuju.
“Lu masih suka main beginian?” spontan Lily bertanya.
“Hm, ini semua teman-temanku.” Jawab Alvian memeluk salah satu miniaturnya. Dan Lily dapat melihat bahwa pria ini sangat menyayangi mainannya. “Mereka yang nemenin aku setiap hari,” ungkap Vian mengusap miniaturnya dengan sayang.
“Jadi, lu nggak punya temen manusia?” tanya Lily penasaran.
“Punyalah!”
“Siapa?”
“Kamu!” ucap Alvian dan langsung memeluk gadis itu dengan erat, memeluknya selayaknya ia memeluk teman-teman miniaturnya.
“B-bang, g-gue sesak napas Bang!” Lily mangap dengan mulut seperti ikan yang kekurangan air.
“Alvian!” teriakan itu sungguh menjadi penyelamat bagi Lily, hampir saja ia kehabisan oksigen dan pindah alam hanya karena pelukan.
“Kamu mau anak orang mati?!” tanya Arthur masih dengan nada tingginya, melihat gadis itu tengah meraup oksigen di sekitarnya.
‘Meninggal Om! Lu kira gue hewan,’ gadis itu masih sempatnya membatin.
“Nggakkk! Kan, kita belum nikah!” Alvian menggeleng dengan heboh.
“Cepat minta maaf,” pinta ayahnya. Arthur memang selalu mengajari anaknya dengan tegas. Dan Alvian akan menyadari kesalahannya jika sang ayah memintanya demikian.
“Oh ya, kita belum kenalan. Nama aku Alvian Adhitama.” Vian meraih tangan Lily lalu berjabat tangan dengan heboh, sampai Lily harus memegang tangannya yang tengah berjabat dengan Alvian untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mengikuti pergerakan pria itu.
“Lilyana,” sebut Lily cepat dan menarik tangannya, tubuhnya seolah terpelanting akibat ulah Alvian yang terlalu bersemangat.
“Lily, nama kamu bagus.” Alvian bertepuk tangan, bibirnya tersenyum lebar semakin menampilkan ketampanan yang paripurna.
Lily hampir saja oleng dibuatnya, kembali tersadar saat Alvian mengusap liurnya yang berceceran di sudut mulut.
“Sekarang minta maaf,” kembali sang ayah mengingatkan.
“Lily, aku minta maaf, ya.” Alvian mengatupkan tangan di dada, dengan nada mencicit seperti anak kecil. Begitu penuh penghayatan. Lily pun mengangguk memaafkan. “Lain kali aku bakalan peluk pelan-pelan kok,” katanya membuat bola mata Lily membulat. Sedangkan Arthur memutar bola matanya malas.
“Sepertinya tidak ada pilihan lain,” gumam pria itu yang entah apa maksudnya.
“Vian, kamu bersihkan diri. Tunggu makanan yang akan dibawakan Mbak Dina. Lily, ayah pinjam dulu.” Pinta Arthur memandang gadis yang berada di samping sang anak, ia berniat mengajaknya bicara.
“Tapi—“
“Ayah akan membawanya kembali, hanya sebentar saja.” Potong Arthur sebelum anaknya itu menolak.
“Tapi aku mau makan berdua sama Lily, Ayah.” Katanya dengan pandangan memohon, kalau sudah begitu, ayahnya tentu saja tidak akan bisa menolak.
“Ayah, meminjamkannya sebentar saja. Kalian akan bisa makan bersama.” Katanya memberi pengertian pada sang anak. Lily dari tadi yang mendengar obrolan ayah dan anak tersebut merasa aneh. Pinjam! Pinjam apa? Memang dirinya barang yang bisa di pinjam lalu dikembalikan. Huh! Ingin mengeluarkan protesnya tetapi tentu saja ia tidak berani.
Ia hanya bisa mendelik-delik pada Alvian, bermaksud mengirimkan kode agar dirinya tidak dibawa oleh ayah pria itu.
“Matamu kenapa Lily, kelilipan?” tanya Alvian tidak mengerti.
‘Hadeeeh’ Lily menghela napas pelan, lalu berusaha menyunggingkan senyum. “Tidak kok, mataku baik-baik saja!” elaknya.
“Bagaimana?” tanya Arthur.
“Baiklah, Ayah.” Jawab Alvian kemudian, mempersilahkan sang ayah membawa Lily. “Tapi, harus dibawa kembali tepat waktu.” Ingin sekali Lily menjitak kepala pria itu.
“Tentu.” Ayahnya mengangguk menyetujui. “Tolong ikut saya,” katanya pada Lily. Mau tidak mau, Lily pun mengikuti ayah Alvian.
Lily duduk berhadapan dengan Arthur dan hanya terhalang oleh meja besar yang berada di ruang kerja pria itu.
“Minumlah.” Pinta Arthur dengan dirinya yang juga meraih teh yang baru saja dihidangkan oleh pelayan.
Lily mengangguk, dan menyesap sedikit. Setelahnya gadis itu kembali duduk dengan tegak. Jujur saja, saat ini ia tengah dilanda kegugupan. Berhadapan dengan ayah Alvian seolah menyita seluruh oksigen yang berada di dekatnya. Alhasil gadis itu bernapas dengan pelan.
“Ah, maaf jika membuatmu tegang. Minumlah, agar lebih rileks.” Arthur sama sekali tidak memiliki maksud untuk menakuti gadis di depannya, namun ia pun tidak bisa merubah visualnya. Jika berusaha tersenyum, takut akan terlihat aneh. Wajah datarnya memang sudah tercetak dari sana nya.
Lily mengangguk dan menampilkan senyum tipisnya. “Iya, Tuan.” Ucapnya dan kembali menyesap tehnya dengan lebih tenang. Beberapa saat kemudian, ia pun dapat mengendalikan dirinya.
“Apa yang ingin Anda bicarakan, Tuan?” tanya Lily sopan, setelah mengumpulkan keberaniannya. Dapat Arthur lihat, lawan bicaranya sudah lebih santai.
“Panggil paman saja, kamu bukan pekerjaan di sini.”
“Ah, baik P-paman.” Kata Lily dengan lidah yang kaku.
“Umurmu berapa, Nak?” tanya Arthur, menilai gadis ini masih sangat muda. Ia begitu penasaran akan keistimewaan gadis ini sehingga menarik perhatian sang anak bahkan ingin menikahinya.
Alvian sendiri memang sudah cukup umur untuk menikah, namun karena keadaannya yang tidak memungkinkan membuat sang istri mencarikan pasangan untuknya. Sayangnya, Alvian selalu menolak mentah-mentah semua perempuan yang ditawarkan Kirana.
“20 tahun, Paman.” Jawab Lily apa adanya.
Arthur menyesap tehnya, mengangguk pelan. “Masih sangat muda, berbeda 7 tahun dengan anak paman. Apa kamu sudah siap menikah?” pertanyaannya sontak membuat Lily tersendat, dan gadis itu terbatuk membahana. Bahkan sudut matanya sampai mengeluarkan air.
Lily memukul dadanya, dan menerima uluran tisu yang disodorkan Arthur. Dengan cepat ia mengusap sudut mata dan mengeluarkan sisa air di hidungnya akibat tersendat.
“Paman mau menikahkan anak Paman dengan saya?” tanya Lily memastikan setelah ia dapat menguasai dirinya.
Arthur mengangguk, “Tentu, karena dia mau menikahimu. Tetapi kamu tahu sendiri dia seperti apa, Alvian sedikit istimewa dari pemuda lainnya.”
“Semua manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, Paman.” Ucapan Lily membuat Arthur tersenyum. Gadis ini sungguh memiliki pemikiran yang luas dan hati yang tulus. Pikir Arthur memuji dalam hati. Tidak akan pernah menyangka jika ia mengetahui apa yang sedang gadis yang dikiranya berhati tulus itu pikirkan. Diam-diam Lily menyunggingkan senyum misterius.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!