Belum selesai perbincangan kami tiba-tiba dari pintu gerbang yang besar itu keluar pria paruh baya dengan wajah yang terlihat marah dan tidak bersahabat.
"Darimana kamu, malam begini baru pulang?"
Ternyata itu adalah papanya Riri, wajah yang sepertinya tak asing bagiku.
Oh iya aku ingat orang ini adalah Suryo Sasmito, salah satu pengusaha sukses di negeri ini. Aku pernah melihatnya beberapa kali di televisi maupun surat kabar, jadi ternyata Riri adalah anak salah satu orang hebat di negeri ini.
"Maaf pah tadi ada tugas kelompok dan ini baru saja sele..."
"Sudah berani bohong kamu ya sama papa, Jelas-jelas tadi Pak Iwan bertemu teman sekelas kamu dan dia bilang hari ini kamu tidak masuk kuliah. Mau jadi apa kamu? Seharian tidak ada kabar, handphone tidak bisa dihubungi."
Handphone tidak bisa dihubungi? Bukankah tadi Riri bilang bahwa dia menghubungi sopir nya supaya pulang duluan. Jadi Riri berbohong kepadaku?
Dengan penuh pertanyaan dikepalaku lalu aku menjabat dan mencium tangan orang tua Riri.
"Maaf om Riri aku yang ajak, jika ada orang yang patut disalahkan akulah orangnya om."
"Siapa kamu?" Tanya papa Riri dengan nada sedikit membentak.
"Aku Adit om temannya Riri."
"Teman macam apa kamu mengajarkan hal-hal tidak baik pada anak gadis saya. Kamu itu hanya memberikan pengaruh buruk untuk anak saya, sekarang kamu pergi dari hadapan saya atau saya panggilkan petugas keamanan."
"Baik om saya pamit."
Tanpa banyak berkata-kata lagi akupun meninggalkan rumah mereka, terlihat mata Riri berkaca-kaca dan terucap kata maaf dari bibirnya.
Sesampainya di kontrakan aku melihat Udin yang sedang menungguku di teras kontrakan.
"Darimana sih ente bor? Motor mau gw pake juga, malem gini baru pulang. Gagal deh gw jalan sama si Lia janda kampung sebelah."
Aku meminta maaf lalu meninggalkan Udin masuk tanpa banyak berkata-kata lagi.
Di dalam kontrakan kemudian kulihat ponselku, ternyata ada pesan masuk dari Riri.
Terima kasih untuk hari ini, maaf jika aku berbohong kepadamu.
Semua itu kulakukan hanya karena aku tak mau melihatmu susah karena aku.
Aku tidak sempat membalas pesan itu, karena badanku terasa sangat lelah dan langsung tertidur pulas karenanya.
Pagi harinya aku terbangun dan merasa suhu tubuhku sangat panas. Sepertinya aku sakit karena kehujanan semalam, lagipula aku tidak sempat mandi dan membersihkan diri ketika sampai dikontrakan.
"Wah sepertinya gw sakit, gimana nih kalo begini gw gak bisa cari uang buat Ibu dan Rai."
Selama ini aku sangat menjaga kesehatanku, karena aku berpikir jika aku sakit siapa yang akan mencari uang untuk keluargaku.
Bahkan jika aku merasa tak enak badan atau hanya masuk angin dan flu ringan aku tetap pergi mengamen.
Ibu memang membuka jasa menjahit dirumah, tapi pendapatannya tak tentu. Kadang dapat uang kadang juga tidak. Maka dari itu aku mati-matian berjuang demi ibu dan adikku, biarlah aku susah asal mereka tidak.
Tapi sakit yang kali ini kurasakan sedikit berbeda seperti biasanya, badanku terasa panas sekali. Kepalaku pusing dan aku sedikit mual.
Akupun mencari ponselku, aku hendak menelepon Udin dan meminta tolong untuk membelikanku obat. Akan tetapi belum sempat aku meneleponnya tiba-tiba saja pandanganku kabur, dan setelahnya aku terjatuh tak sadarkan diri.
Akhirnya aku tersadar dan melihat Udin duduk disampingku.
"Kok lu ada disini Din?"
"Iye, tadi gw udah mau berangkat kerja tapi tiba-tiba gw denger suara berisik dari dalem kontrakan lu. Pas gw intip ternyata lu lagi geletakan di lantai. Saking paniknya pintu kontrakan lu kepaksa gw dobrak, sorry Dit pintu kontrakan lu rusak hehe."
"Nggak apa-apa Din, makasih ya lu selalu peduli sama gw."
"Lebay lu pake ngucapin makasih segala, udah sewajarnya kan sahabat saling tolong menolong. Lu makan dulu nih, tadi pas lu masih pingsan gw sempet beli bubur ayam di depan."
Udin memang Sahabat paling baik yang aku punya di Jakarta, di sini hanya dia dan Bi Eha lah keluargaku.
"Hp gw mana Din? Gw mau cek takut Riri khawatir ama gw, soalnya semalem chat dia belum sempet gw bales."
"Ya elah dasar bucin, lagi begini masih aja lu mikirin cw. Tuh hp lu gw taro diatas meja, kayaknya rusak deh gara-gara kebanting pas lu jatoh tadi."
Benar saja apa yang dikatakan Udin, ponselku rusak dan tidak bisa dihidupkan. Maklum saja karena ponsel yang kupunya ini adalah ponsel model lama yang kubeli dalam kondisi bekas.
Hari itupun berlalu dengan Udin yang menemaniku seharian.
Keesokan harinya kurasa panasku semakin tinggi, itu membuat Udin semakin panik.
Dia menawarkan untuk membawaku ke Rumah Sakit tapi kutolak, karena aku tidak punya uang untuk berobat dan lagi aku tidak mau menyusahkan sahabatku itu.
Pada Sore harinya tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kontrakanku.
"Masuk aja pintunya rusak gak bisa dikunci." sahut Udin.
Ternyata Riri yang datang sore itu.
"Lho Ri, kok kamu tau kontrakan aku?"
Riri hanya terdiam mendengar pertanyaanku, seraya melihat kondisiku yang terbaring lemah. Kemudian muncul bi Eha yang berlari ke arahku dan langsung mengusap rambutku.
"Aduuuh anak Bibi, kenapa sakit ngga ngabarin Bibi sih." Ucap Bi Eha yang terlihat panik.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Bi Eha lalu Riri berkata dengan nada yang terdengar marah.
"Iya nih bi, mana handphonenya ngga bisa di hubungin lagi."
"Handphonenya rusak neng, kemarin dia pingsan terus handphonenya kebanting " sahut Udin.
Riri terdiam sejenak, tak lama dia pun mendekatiku.
"Kamu sakit dit? Ini pasti gara-gara jalan sama aku kan? Maafin aku Dit." Sambil kemudian memegang keningku.
Setelah menyentuh keningku Riri sepertinya menyadari bahwa suhu tubuhku sangat tinggi.
"Ya ampun Adit kamu panas banget, kamu udah periksa ke Dokter?"
"Belum Ri, nggak apa-apa besok juga sembuh kok. Apalagi setelah ketemu kamu, badanku udah agak enakan nih hehe ."
"Gak bisa, kamu harus tetep periksa kondisi kamu ke dokter. Pak Iwan tolong masuk pak, bantu aku bawa Adit ke Dokter."
Kemudian aku di bopong oleh Pak Iwan dan Udin menuju mobil, mereka membawaku ke Rumah Sakit terdekat dengan di temani Riri dan Bi Eha.
Sementara Udin tidak ikut karena harus menjaga kontrakanku yang pintunya rusak dan tidak bisa terkunci.
Sesampainya di Rumah Sakit, aku lalu dilarikan ke UGD untuk diperiksa. Dokter berkata aku terkena tifus dan mengharuskanku di rawat di sana.
Di kamar rumah sakit Riri dan Bi Eha terus menemaniku, hingga tak terasa waktu pun telah berganti malam.
"Ri makasih ya." Ucapku.
"Iya Adit, kamu istirahat ya nggak usah mikirin yang macem-macem."
"Ri sepertinya diluar udah gelap, kamu mending cepet pulang nanti Papamu marah lagi gara-gara aku."
"Gak kok Dit, justru tadinya aku mau ketemu kamu karena mau menyampaikan permintaan maaf dari Papa. Karena malam itu Papa udah salah paham sama kamu. Sepulangnya kamu dari rumahku aku sudah jelasin semuanya dan akhirnya Papa ngerti."
"Gak apa-apa Ri, wajar kalo orang tua khawatir sama anaknya. Apalagi anaknya secantik kamu."
"Apaan sih Dit, lagi sakit juga masih sempet-sempetnya ngegombal."
"Ya udah, sekarang kamu pulang aja dulu. Hari udah semakin malem tuh."
"Iya neng gak apa-apa biar malam ini Adit Bibi yang jaga, lagian kamarnya enak begini. Dingin..Ada tv, ada kulkas. Bibi mah bisa betah disini." Tambah Bi Eha.
"Oh baik kalo begitu, aku pamit pulang ya Bi, Dit. Besok pasti aku kesini lagi."
Akhirnya Riri undur diri sementara aku berakhir di rumah sakit dengan Bi Eha yang menjagaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Pak Samuel Hutabarat
mantap....
2025-04-10
0
Anin 💝💋
baca nya marathon..mumpung ada waktu
2020-08-27
2
Joanne March⚘
nyicil baca 5 chapter dulu yaa & sudah ku beri 5 like tersisa+rate 5 untukmu
jangan lupa beri like di lapakku tiap chapternya yaa😊thank you
2020-08-21
2