Part 5-Sindiran Jablay!

Wajah Mas Arka terlihat memerah menahan amarah. Apalagi ucapanku sudah merendahkan harga dirinya. Namun, semua yang aku katakan memang benar adanya. Jika buka karena penghianatan mereka tentu aku tak akan seperti ini .

“Apa Mas?”

“Tutup mulut busukmu! Aku ini suamimu tidak seharusnya kau merendahkan ku seperti ini,” teriak Mas Arka dan jari telunjuknya mengarah kearah ku.

Aku hanya menatap tanpa berniat membalas ucapannya sedikit pun. Di dalam sini, terasa amat sakit melihat orang yang teramat dicintai membentak seperti ini. Aku terkekeh miris, melihatnya tak pernah terlintas di pikiranku jika akhirnya pernikahan yang selama ini ku idamkan jadi seperti ini.

“Memang kenyataannya seperti itu, Mas. Laki-laki yang hanya tahu meminta uang tanpa mau bekerja sedikitpun mana tahu susahnya mencari pundi-pundi keuangan. Seharusnya kalian semua berterima kasih kepadaku, kalau bukan aku yang membiayai hidup kalian mungkin sekarang kalian kurus kering serba kekurangan. Ups, maaf.”

Plak…

Satu tamparan mendarat di pipiku. Ku daratan dua tamparan di pipi mulus adik iparku. Ia menjerit kesakitan karena tamparanku. Aku tak perduli, bahkan tiga tamparan di pipinya tak sebanding dengan rasa sakit ku. Ku tutup pintu kamar dengan keras, aku terduduk di lantai dengan lelehan air mata yang ditahan tadi akhirnya keluar juga. Aku menangis dalam diam meratapi nasib baik yang tak pernah singgah di hidupku. Aku lelah.

Apa salah aku tuhan? Akankah aku bisa bahagia.

***

Setelah perdebatan pagi tadi, aku mengurung diri di dalam kamar. Rasa sakit atas sikap mereka membuatku enggan untuk keluar. Aku terduduk di pinggiran ranjang dengan tangan memegang perut yang terasa lapar. Hari pun sudah menunjukkan pukul satu siang sudah seharusnya perut diisi dengan protein dan juga karbohidrat agar memiliki energi.

Sebenarnya malas sekali untuk keluar tapi perut ini harus diisi dengan makanan agar memiliki kekuatan untuk bermain drama dengan mereka. Setelah menimbang-nimbang akhirnya ku putuskan untuk keluar kamar.

Saat knop pintu kamar ku putar, suara keluarga benalu seketika berhenti bercanda gurau. Bahkan hening.

“Enak ya bangun tidur langsung cari makan. Berasa jadi nyonya, nih?” sapaan adik iparku.

Aku menghentikan langkah dan menatap adik iparku dengan senyuman manis.“Hehe, iya nih. Tahu ajak luh Din, Kakak iparmu lagi lapar. Enak juga sih jadi nyonya, bangun tidur langsung makan nggak usah beres-beres kayak babu. Oh iya, masak apa?”

Raut wajah Dina terlihat memerah, hidungnya terlihat kembang kempis seperti banteng yang siap mengamuk. Bahkan sekarang ia sudah berdiri di hadapanku dengan tangan yang sudah terangkat.

“Mau ada, Din? Nggak cukup tiga tamparan tadi ha?”

Dina terlihat menciut mendengar kata tamparan, mungkin ia trauma. Tapi ya sudahlah sih, kan mereka lebih jahat. Aku hanya melindungi diriku.

“Belagu banget, udah berasa jadi nyonya kau Rin? Datang-datang bukanya kasih duit malahan nanya makanan. Kau pikir semua gratis ha? Secara dirimu sekarang pengangguran plus kere hahaha,” ejek Ibu, Mas Arka.

“Ha. Serius Ma? Oalah Rani lupa Ma kalau sekarang sudah jadi nyonya besar hehe. Sekarang karena Rani udah jadi nyonya, Mama ke dapur gih ambilkan aku nasi ya. Lapar soalnya,” ujarku sambil mengelus perut yang keroncongan.

Aku terkekeh geli. Sebenarnya aku tak tega berperilaku seperti ini, tapi melihat sikap mereka yang berubah secara tiba-tiba mau tak mau aku harus seperti ini. Ya Allah maafin, Rani.

Brak…!

Mas Arka menggerebek meja, ia menatapku dengan tatapan setajam silet. Rahangnya mengeras menandakan sekarang ia sedang diliputi emosi tingkat tinggi.

Sebenarnya aku agak ciut. Namun, aku harus pura-pura tak takut.

“Sudah cukup, Rani! Mengapa sikapmu jadi seperti ini? Berani-beraninya menyuruh Ibuku untuk menyiapkan makananmu, otak kau dimana Ran?”

“Sikapku, Mas? Nggak salah nih. Bukannya sikap kalian yang berubah kepadaku tanpa angin tanpa hujan jadi kasar seperti ini! Apa salah aku Mas, Wapa karena aku di PHK ha?”

“Bukan. Mas hanya lagi pusing sekarang, terlebih keluarga kita tak ada pemasukan sedikitpun. Semakin hari pengeluaran semakin besar.”

“Mangkanya cari kerja Mas. Aku udah capek selama ini kerja luntang-lantung ke sana kemari cari uang demi kebutuhan keluarga kita. Harusnya kamu bantu aku! Bukan merasa seperti orang kaya.”

“Aku harus kerja apa, Ran? Kau tau sendiri kalau aku hanya tamatan SMA. Nggak mungkin bisa kerja seperti kau kemarin.”

“Astaga, Mas Arka. Mangkanya dicari Mas, kalau kamu nunggu kerja datang sendiri nggak mungkin ada! Kerja apa aja yang penting halal, kerja bangunan nggak apa-apa kok. Yang penting setiap hari kita ada pemasukan.”

“Nggak… Nggak mau, enak saja kau menyuruhku kerja bangunan. Bisa turun ketampanan aku jika harus kerja seperti itu, udah deh daripada berdebat nggak ada ujungnya lebih baik kamu siap-siap, mandi terus cari kerjaan sana keburu hari siang,” ketus Arka.

“Ingat uang semester Dina udah nunggu,” sambung Arka enteng.

“Urus saja sendiri uang semester, Dina. Itu adik kau bukan adikku,” sahutku. Bisa-bisanya aku mati muda kalau seperti ini.

Tanpa menunggu balasan ku tinggalkan keluarga yang teramat ajaib ini. Namun, mereka berjalan di belakangku. Entah apa yang akan mereka lakukan.

Ku buka tutup tudung saji di atas meja makan, tak ada makanan sedikitpun. Aku cek ke dalam kulkas terlihat kulkas kosong melompong. Keningku mengerut melihat keadaan kulkas yang kosong, perasaan baru minggu kemarin aku belanja bahan makan tapi sekarang raib entah kemana.

Aku menoleh menatap mereka yang tersenyum mengejek kearah ku, karena tak menemukan bahan makanan sedikitpun.

“Kemana bahan masakan?”

“Nggak ada, loe pikir di rumah ini gratis ha? Kalau mau makan sini uangnya,” ujar Dina tertawa mengejek.

“Kamana bahan masakan, Mas?” Ku ucapkan pertanyaan sekali lagi. Tak ku hiraukan sahutan Dina.

“Nggak ada, kalau mau makan kau beli sendiri jangan ngelunjak. Tapi kalau punya uang sih.”

Aku menghela nafas panjang belum dua puluh empat jam aku berstatus sebagai PHK. Tapi sikap mereka sudah terang-terangan seperti ini. Aku terkekeh miris mendapati keluarga seperti mereka, angan-angan mendapatkan keluarga yang menerima apa adanya tapi ternyata mendapatkan keluarga yang hanya memanfaatkan saja.

Tak ku hiraukan lagi kemana bahan masakan. Ku langkahkan kaki ke kamar dan mencari benda pipihku. Akan aku buat mereka mati kutu.

Selesai memesan makanan ku duduk di ruang tamu sambil menunggu makanan yang kupesan.

Tak sabar melihat respon mereka saat melihat apa saja yang aku pesan. Mungkin saja mereka akan berubah baik karena menginginkan makanan yang aku beli.

Bersambung…

Next?

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

ni baru cerita bagus…cewek pintar,bukan ceek goblok

2024-09-29

0

Ririn Santi

Ririn Santi

paling klu makanan dtg lgsg direbut keluarga benalu

2024-06-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!