Hari berikutnya, Anna terdiam mengingat kejadian di tempat peninjauan lokasi kemarin sore. Dia menggelengkan kepala karena pikirannya yang tidak benar.
"Apa yang kau pikirkan, Anna? Apa kau sudah gila? Dia itu atasanmu dan baru satu hari kau mengenalnya, lalu, hanya karena dia menolongmu, kau malah terpesona padanya? Dasar gila!" Anna menggerutu sendiri, dia beranjak dari kursi hendak masuk ke dalam rumah, tetapi ketika dia berdiri, Tante nya sudah berada di belakang kursi hingga tubuh mereka hampir saja bertabrakan.
"Apa yang kau pikirkan?" Tante pun bertanya dengan nada heran.
"Bukan urusan Tante!" Jawab Anna tak kalah ketus. Gadis itu ingin berlalu pergi, tetapi Rosalinda mencekal lengan Anna dengan kuat.
"Hei, apa begitu caramu berbicara pada orang tua? Dari kecil aku merawatmu dan ini balasanmu padaku? Hah!" Linda melotot tajam.
Anna melepaskan cekalan Linda dengan sedikit paksaan. "Tante, semua ini Tante yang memulainya. Apa Tante tidak ingat, bagaimana sikap Tante padaku? Semenjak papa meninggal, Tante memperlakukanku semena-mena."
Rosalinda ingin menjawab perkataan Anna, akan tetapi gadis itu malah dengan cepat masuk ke dalam rumah. Bahkan, dia tidak mendengar panggilan dari Linda.
"Anna! Anna! Dasar anak tidak tahu sopan santun." kesal Linda menatap punggung belakang Anda dengan tajam.
Anna menghentakkan kakinya diatas lantai sambil berjalan menuju ke kamar. Setelah itu, dia mengunci pintu dan menghempaskan diri di atas kasur. Disana, Anna terlihat bersedih, dia menatap bingkai yang ada di meja dekat tempat tidur. Air matanya tiba-tiba menetes begitu saja, Anna beranjak dan berjalan menghampiri meja itu.
Perlahan, gadis manis tersebut mengambil bingkai yang mana didalamnya ada sang Papa, Mama dan dirinya yang tengah tertawa bahagia. Tak lupa, seorang gadis kecil yang usianya sedikit tua dari Anna tersenyum manis juga. Anna mengelus bingkai itu, air matanya jatuh membasahi foto keluarganya.
"Pa, Anna merindukan Papa. Anna mau ikut Papa, kenapa Anna harus berada di tempat ini? Kenapa Anna tidak tinggal bersama Mama?" Anna memeluk bingkainya, dia teringat sesuatu lalu mengusap air mata dengan cepat.
"Dia! Gadis ini enak sekali, dia bisa tinggal bersama dengan Mama, sementara aku? Aku harus tinggal dirumah yang seperti neraka ini. Tidak! Ini tidak adil!" Anna bertekad untuk mencari Mamanya.
Dia meletakkan bingkai itu lalu berdiri di dekat jendela.
"Mama, aku pasti akan datang dan mengubah hidup kalian." ucap Anna menatap lurus ke depan dengan senyum sinis di bibirnya.
"Anna?"
Gadis itu menoleh kebelakang, dia tersenyum lebar dan terlihat bahagia.
"Papa?" Anna berlari menuju ke arah sang papa berada, tetapi dia tidak dapat menyentuh tubuh papa nya saat ini.
"Pa, kenapa —" Anna baru sadar jika papanya sudah tiada.
Pria berwajah tampan dan memiliki rambut sedikit panjang itu tersenyum ke arah Anna. Dia mengedipkan matanya perlahan seakan-akan menenangkan Anna, lalu dirinya menghilang begitu saja.
"Papa!" teriak Anna sekuat mungkin dan napasnya terlihat tidak beraturan.
Anna memegang dada, keringat mengucur dari dahinya.
"Astaga, ternyata cuma mimpi." Anna menyeka keringat lalu mengambil napas dan menghembuskan perlahan.
Disaat mata Anna melihat ke arah meja, dia kembali teringat mimpinya tadi yang mana dia harus pergi mencari Mamanya. Anna merangkak dan meraih bingkai itu, dia melihat wajah sang Mama dan gadis yang usianya tak jauh dari dia sendiri.
'Aku pasti akan mencari kalian. Mama, tunggu kedatanganku.' Anna tersenyum sinis.
Gadis itu segera turun dari ranjang, dia bersiap untuk mandi dan pergi.
*******
Anna berjalan menyusuri beberapa batu nisan, dirinya berhenti ketika sudah berada di tempat yang dia tuju. Gadis itu berjongkok sambil mengusap batu nisan yang bertuliskan Vicky Abraham. Tak sengaja air mata menetes tanpa permisi, Anna segera mengusapnya dan dia bergegas menaburkan bunga serta air ke pemakaman sang Ayah.
"Pa, Anna tau kalau papa pasti bahagia disana." Anna menghapus air mata yang menetes. "Anna sangat merindukan Papa, Anna tidak mau hidup bersama Tante, Pa. Anna pasti akan mencari Mama sampai ketemu dan setelah itu Anna bisa tinggal bersama dengan mereka." Anna menatap lurus ke depan, lalu dia kembali mengelus nisan papanya.
"Pa, Anna minta doa dari papa. Doakan supaya Anna bisa cepat bertemu dengan Mama dan lepas dari Tante. Anna tidak ikhlas jika harus hidup seperti ini, sementara kakak tiri Anna hidup bahagia bersama Mama." tersirat dendam di raut wajah Anna. "Baiklah, Anna pamit, ya, Pa. Semoga papa bahagia selalu disana, suatu saat nanti kita pasti akan bertemu kembali." Anna memeluk erat nisan sang ayah, air mata terus mengalir tiada henti hingga gadis itu sesenggukan.
Beberapa saat kemudian, Anna pergi dari makam ayahnya. Dia berjalan sambil membenahi kerudung yang menutupi rambutnya.
Bruk
Saat sedang memperbaiki kerudung, tiba-tiba Anna tak sengaja menabrak seseorang. Mata mereka saling bertatapan, Anna seperti pernah melihat manik mata itu.
'Kenapa sepertinya tidak asing?' batin Anna sembari terus menatap.
"Maaf, Nona. Saya tidak sengaja." ucap wanita seumuran Anna, suara wanita itu berhasil membuat Anna tersadar dari lamunannya.
"Akh, i—iya. Saya juga tidak sengaja karena tadi sedang memperbaiki kerudung."
"Baiklah, sekali lagi maaf. Saya permisi." sambung wanita itu dengan senyum manis yang terukir di bibirnya.
Setelah wanita tersebut pergi, Anna masih menatap punggung belakang wanita itu.
"Semuanya seperti tidak asing, tapi siapa dia? Sudahlah, mengapa aku harus memikirkannya." ucap Anna tidak ingin memperpanjang pemikirannya tentang wanita tersebut. Dia lantas pergi keluar dari area pemakaman.
Wanita yang tadi menubruk Anna berjongkok di depan makam seseorang. Disana bertuliskan nama Adijaya Pamungkas. Ya, itu adalah makam ayah wanita tersebut.
"Pa, Zahra datang. Zahra sangat merindukan Papa. Pa, Ra ingin bercerita. Ra kembali bertemu dengan seorang pria yang dulunya Ra cintai, sekarang dia sudah menjadi sosok pria berwibawa, tampan, dan tegas." Zahra mengelus makam papanya, dia telah menaburkan bunga di makam itu lalu dirinya pun bergegas bercerita pada sang ayah, meskipun dirinya tahu jika ayahnya tidak akan mendengar atau menjawab.
"Pa, Ra berharap pria itu bisa menjadi jodoh Ra. Doain Ra, ya, Pa. Ra juga sudah berdoa pada Tuhan, semoga saja doa Ra bisa menjadi kenyataan." Zahra tersenyum kecil, di dalam hatinya ada kesedihan mendalam mengingat masa masa bersama sang ayah yang sangat dia rindukan.
"Ra juga mendoakan agar papa tenang di alam sana. Tunggu Ra dan Mama, ya, Pa. Kita pasti akan bertemu kembali." Zahra mencium nisan ayahnya, dia beranjak sambil mengusap air mata yang turun tanpa permisi.
Setelah melangkah sedikit jauh, Zahra melihat makam yang bunganya masih basah. Dia menghampiri makam itu, dirinya tercengang.
"Ini 'kan makam almarhum papa Vicky." Zahra melihat ke sekeliling. "Siapa yang datang kesini?" dia melotot dan teringat sesuatu. ''Gadis itu—" lanjutnya, dia menaburkan sedikit bunga dan menyiram air di makam Vicky. Lalu, dirinya berlari kecil mencari keberadaan gadis yang dia tubruk tadi.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments