Bab 5 - Sketsa Pembawa Sial

Senior yang rambutnya dikuncir ke atas ini menyunggingkan senyum. Bibir kanannya terangkat sedikit ke atas.

“Gelang ini sangat berharga bagi gue. Lain kali jangan gitu lagi atau lo nggak bisa nanggung akibatnya.”

Kak Marvin berucap demikian sambil memegang kedua pundakku. Tatapannya tajam. Mata itu lebih gelap dari mendung, lebih dalam dari jurang. Aku agak bergidik. Cengkeramannya kuat. Sekilas aku teringat kepada Kak Akesh ketika sedang marah.

“Nala, gue cari ke mana-mana ternyata di sini.” Ah, beruntung Si Kutu Buku Agas datang.

Sikap Kak Marvin perlahan berubah. Ia kembali tersenyum ramah, seolah tak terjadi apa-apa.

“Itu aja perkenalan awal kita. Bye, Junior!”

Ia melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Apa-apaan sikapnya itu? Apakah ia salah mengira kalau aku menguntitnya atau mencuri gelangnya? Kujelaskan juga percuma. Sudahlah, cukup tak usah berurusan lagi dengannya.

“Natapnya sampe gitu banget lo? Ngefans juga?”

“Hah? Apa sih dari tadi ngefans-ngefans mulu bahasan orang-orang.”

“Sensi amat, gue cuma bercanda, elah.”

Aku memutar mataku malas, enggan menanggapi Agas.

“Gue baru tahu lo kenal Kak Marvin. Eh tapi siapa yang nggak kenal doi ya? Secara kan doi terkenal banget, bunga kampus FIB.”

“Bunga kampus FIB?”

“Iya, cewek-cewek pada ngefans tuh, yang cowok juga pada kagum.”

“Orang-orang gila apa ya suka sama psikopat gitu.”

Agas yang tak tahu duduk perkaranya hanya ngang-ngong saja. Setelah memberi selamat padaku karena juara satu, ia heboh membicarakan Kak Bina yang ternyata jago nulis puisi. Selama ini ia memang sudah kenal dengan Si Monster Es itu, namun hanya sebatas itu saja.

Dengan kata lain, ya sekadar tahu, tak pernah mengobrol sama sekali. Ia tahu karena aku satu tongkrongan dengannya. Namun kali ini, ia bertekad untuk mengenal Kak Bina lebih jauh. Ia bahkan meminta nomornya padaku.

Kak Bina, selamat lo juara satu lomba cipta puisi. Kok lo nggak hadir malam ini?

Aku mengirim pesan ke grup tongkrongan kami.

Gue kira lo udah nggak nganggep kita lagi, iya nggak Binn?

Kak Ical membalas. Seperti biasa, dia yang paling heboh.

Lah iya? Gue cuma iseng aja itu ikut lomba.

Sejujurnya aku kangen dengan mereka berdua.

Eh Kak, temen gue yang namanya Agas mau minta nomor lo, dia juara dua BTW. Nggak tau deh mau buat apa,

mungkin mau diskusi sama lo? Wkwk

Oh orang yang selalu bareng sama lo itu? Boleh aja.

Selanjutnya, isi obrolan di grup ini hanya haha-hihi saja. Kak Bina dan Kak Ical masih saja bertengkar dan ribut. Sementara Kak Akesh tak muncul sama sekali. Bahkan membaca pesan pun tidak.

Kak, kalau malam itu tak pernah terjadi, akankah kamu meneleponku saat tahu aku juara satu? Dulu kamu selalu mendukungku bahkan meski pun aku tak pernah berprestasi. Sekarang hidupku menjadi sedikit sepi.

Ayo besok malam kita ke klub. Gue yang traktir.

Kak Bina bilang ia ingin merayakan kemenangannya. Meski hadiah lomba memang tak begitu besar. Bahkan lebih besar biaya mentraktir kami.

Oke Kak. Eh ini Si Agas mau ikut katanya, boleh nggak? Katanya dia mau ikut patungan sama lo buat nraktir anak-anak.

Gas aja sih.

Oke, misi selesai. Sampai jumpa besok malam, Kak!

***

Keesokannya, aku berangkat kuliah seperti biasa. Tak ada hal istimewa yang terjadi, kecuali kejadian sial yang tiba-tiba menghampiri. Aku mulai takut dengan pepatah jangan terlalu membenci sesuatu, nanti ia datang padamu.

“Nala sama Agas, kan? Nanti sore kosong? Dateng ke sekre BEM ya, buat foto. Kami mau unggah untuk ucapin selamat di Instagram KMSI sama BEM.”

Lihat saja orang yang tiba-tiba datang dan merintah ini. Aku tak suka nada bicaranya yang sok berkuasa.

“Bisa kirim foto aja nggak Kak? Biar nggak usah datang ke sekre.”

“Emang kenapa nggak mau ke sekre? Lagipula deket sekre KMSI. Kamu kan anggota KMSI, meski bukan pengurus. Nggak papa, itung-itung main, kan?”

Hendak membantah, suaraku tak sempat keluar karena ia potong.

“Agas bisa datang, kan?”

“Eh, bisa Kak, ntar sore kami nggak ada kelas kok.”

“Good.”

Ia melirik ke arahku, memberikan tatapan menang. Kemudian berjalan keluar kelas. Tak menoleh ke belakang. Caranya berjalan menunjukkan bahwa ia orang yang sangat percaya diri namun tak sombong. Langkahnya tegap tapi kepalanya tak mendongak. Ia menatap lurus ke depan.

Kurasa tak salah jika ia menjadi mahasiswa nomor satu di fakultas. Hanya saja, deskripsi itu tak cocok lagi saat ia berbicara. Pasalnya ketika berbicara, ia menjadi sangat congkak. Namun hal itu tertutupi oleh sikapnya yang mendadak sangat ramah itu.

Waktu cepat berlalu, sore pun tiba. Dengan enggan, aku dan Agas berjalan menuju sekre. Jika diingat kembali, kami belum pernah ke sini.

Ruangan ini tak bergitu besar, tapi cukup hidup. Ada banyak lukisan yang tergantung di dinding. Sementara di pojok belakang terdapat dua rak berisi buku-buku sastra. Selain buku teori, ada banyak novel dari berbagai era. Mulai dari angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 50-an, Angkatan 70-an, Era Reformasi, hingga Era 2000.

Tanpa sadar, aku dan Agas berjalan menuju ke arah rak buku itu. Menyentuh sederet novel yang seperti bongkahan emas bagi mahasiswa sastra Indonesia. Sangat susah mencari novel-novel ini. Bahkan anak sastra seperti kami pun kepayahan.

“Kalian boleh lho pinjem novel-novel ini, syaratnya satu anak satu buku. Buku ini khusus mahasiswa sastra. Syaratnya tinggal nunjukin KTM (kartu tanda mahasiswa). Nanti ada pengurus yang bakal ngedata.”

Suara tak mengenakkan itu membangunkan kami dari buaian lautan buku.

“Beneran, Kak? Gue udah lama nyari novel-novel ini, tapi sayang banget kalau cuma boleh minjem satu buku.”

“Kalau nggak sabar ya tinggal baca aja di sini, kalau baca di tempat boleh ambil berapa pun.”

Aku memutar mata malas, enggan menanggapi obrolan mereka.

“Kalau gitu, ayok kalian foto di spot yang udah panitia siapkan.”

Ia menunjuk ke photo boot. Kemudian memanggil ketua KMSI Ardhit yang membawa kamera. Aku menyarankan Agas duluan yang difoto. Hanya untuk melihat bagaimana ia akan berpose. Sebenarnya aku bingung harus bergaya seperti apa.

Pasalnya aku sangat jarang foto. Aku lebih senang mengunggah gambar sketsa daripada potret diri di media sosial. Apalagi jika ada banyak orang begini, ya sebenarnya hanya ada lima orang, tapi itu sudah membuatku sangat gugup.

Akhirnya tiba giliranku. Aku hanya bisa memaksakan sedikit senyum. Melihat tingkahku, Agas menahan senyum,

lalu menggodaku.

“Rileks aja Dek, jangan kaku gitu,” ucap Kak Ardhit ramah. Rupanya ia sering membantu dokumentasi anak BEM karena gemar fotografi.

Sejurus kemudian, Kak Marvin mendekat ke arahku dan berdiri di depanku dengan jarak yang sangat dekat.

“Rileks aja, dasar bocil. Atau lo grogi karena ada gue?” Ia berbisik.

“Pede gila,” balasku sambil mengacungkan jari tengah. Entah dari mana keberanian itu datang. Ia tersenyum lalu kembali ke tempatnya.

Ajaibnya, setelah itu aku jadi lebih rileks dan satu foto terbidik apik. Meski sesi foto selesai, aku dan Agas memutuskan untuk tinggal lebih lama. Untung saja kakak tingkat (kating) nyebelin itu pergi duluan karena ada urusan.

Agas si penggila novel itu tentu menuju rak buku. Sementara aku, meski sempat kagum dengan koleksi mereka, namun hanya sebatas itu saja. Aku tak tertarik dengan buku sama sekali. Aku memilih melihat-lihat lukisan-lukisan yang lebih banyak bertema ilalang. Meski satu tema, setiap lukisan memiliki karakter tersendiri. Bercerita sesuatu yang berbeda meski nampak sama.

“Tertarik dengan lukisan-lukisan ini?”

“Eh, i-iya Kak, yang buat satu orang ya? Mahasiswa juga?”

“Iya, buatan Marvin.”

“Hah?”

“Iya, M.A.S itu Marvin Agra Sutha. Tuh anak emang nggak ada matinya. Nggak cuma juara ngelukis tingkat nasional, dia juga sering ngewakilin universitas untuk lomba cerpen. Cuma saat acara bulan bahasa kemarin, dia sengaja absen.”

Wah, udah kaya tokoh utama di novel aja nih si Marvin. Jangan sampai deh terlibat lebih jauh sama tuh orang.

“Ngomong-ngomong, Marvin bilang dia suka sama karya lo.”

Deg. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Saat ikut lomba komik strip, sebenarnya di setiap karyaku, terdapat tanda tangan N.A.S. Jangan bilang tebakanku benar? Sial! Jadi selama ini dia salah paham bahwa aku menguntitnya bukan tanpa alasan. Karena sketsa yang kutinggalkan di perpustakaan untuknya?

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

betul banget 🤣🤣🤣🤣

2024-05-18

0

Durrotun Nasihah

Durrotun Nasihah

ih...semngt nay

2024-05-16

0

piyo lika pelicia

piyo lika pelicia

semangat dek ☺️

2024-05-12

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 - Minimal, Kau Harus Tahu Perasaanku
2 Bab 2 - Aku akan Jadi Bayanganmu
3 Bab 3 - Kita Selesai?
4 Bab 4 - Apa Aku Ngobrol dengan Orang Sakit Jiwa?
5 Bab 5 - Sketsa Pembawa Sial
6 Bab 6 - Ingin Pergi tapi Ada Sesuatu yang Menahan
7 Bab 7 - Kesempatan Khusus
8 Bab 8 - Perasaan Gatal yang Tak Bisa Digaruk
9 Bab 9 - Awal yang Indah
10 Bab 10 – Nalaya dan Agas
11 Bab 11 - Putri Palsu
12 Bab 12 - Elang yang Mengincar Mangsanya
13 Bab 13 - Pertemuan Tak Terduga
14 Bab 14 - Haruskah menjadi Antagonis?
15 Bab 15 - Kucing dan Anjing
16 Bab 16 - Apa yang Sedang Terjadi?
17 Bab 17 - Cemburu
18 Bab 18 - Sebuah Asap Mulai Muncul
19 Bab 19 - Menghadapi Dua Orang Sulit
20 Bab 20 – Kecanduan Racun
21 Bab 21 – Mengubah Penampilan
22 Bab 22 – Bersikap Biasa Saja
23 Bab 23 – Pria yang Menunggu Kekasihnya
24 Bab 24 – Ingin Berlari
25 Bab 25 - Malam yang Memanjang
26 Bab 26 – Diselingkuhi Dua Kali
27 Bab 27 – Belanja Berdua
28 Bab 28 - Ditinggal Sendirian
29 Bab 29 – Hidup dalam Manipulasi
30 Bab 30 – Semuanya sedang Berjuang
31 Bab 31 – Menantang Lawan
32 Bab 32 – Tak Bisa Lari
33 Bab 33 – Tarik Menarik
34 Bab 34 – Melanggar Janji
35 Bab 35 – Kembali ke Apartemen
36 Bab 36 – Kabar Baru
37 Bab 37 – Menanti Penjelasan
38 Bab 38 – Berkembang Bersama
39 Bab 39 - Batasan
40 Bab 40 - Putus dan Tersambung
41 Bab 41 - Bimbang
42 Bab 42 - Kembali
43 Bab 43 – Berjumpa Lagi
44 Bab 44 – Hukuman
45 Bab 45 –Begitulah Cinta
46 Bab 46 – Saatnya Bersantai, Seharusnya
47 Bab 47 - Tangis
48 Bab 48 - Kata yang Sulit
49 Bab 49 – Senyum Tersembunyi
50 Bab 50 – Semua Berjalan Lancar
51 Bab 51 – Liburan!
52 Bab 52 - Kuku Serigala
53 Bab 53 – Memori Masa Kecil (1)
54 Bab 54 – Bertemu Mama
55 Bab 55 – Pertemuan Keluarga
56 Bab 56 – Sebuah Perintah
57 Bab 57 – Ayah
58 Bab 58 – Menepi
59 Bab 59 - Ayah dan Anak
60 Bab 60 - Sebuah Rencana Bersama
61 Bab 61 - Liburan Keluarga
62 Bab 62 - Bunga Melati
63 Bab 63 - Obrolan Antarpria
64 Bab 64 - Seorang Ayah
65 Bab 65 - Antara Anak dan Pasangan
66 Bab 66 - Kata yang Terlambat
67 Bab 67 - Kembali ke Kampus
68 Bab 68 - Menjemput Saingan Kecil
69 Bab 69 - Pengganggu
70 Bab 70 - Sisa Kasih Sayang
71 Bab 71 - Sebuah Tawaran
72 Bab 72 - Arti Sahabat
73 Bab 73 - Kisah yang Rumit
74 Bab 74 - Dua Sejoli
75 Bab 75 - Jalan
76 Bab 76 - Perasaan Tidak Enak
77 Bab 77 - Komunikasi
78 Bab 78 - Mencari Inspirasi
79 Bab 79 - Air Hujan
80 Bab 80 - Lukisan Pertama
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bab 1 - Minimal, Kau Harus Tahu Perasaanku
2
Bab 2 - Aku akan Jadi Bayanganmu
3
Bab 3 - Kita Selesai?
4
Bab 4 - Apa Aku Ngobrol dengan Orang Sakit Jiwa?
5
Bab 5 - Sketsa Pembawa Sial
6
Bab 6 - Ingin Pergi tapi Ada Sesuatu yang Menahan
7
Bab 7 - Kesempatan Khusus
8
Bab 8 - Perasaan Gatal yang Tak Bisa Digaruk
9
Bab 9 - Awal yang Indah
10
Bab 10 – Nalaya dan Agas
11
Bab 11 - Putri Palsu
12
Bab 12 - Elang yang Mengincar Mangsanya
13
Bab 13 - Pertemuan Tak Terduga
14
Bab 14 - Haruskah menjadi Antagonis?
15
Bab 15 - Kucing dan Anjing
16
Bab 16 - Apa yang Sedang Terjadi?
17
Bab 17 - Cemburu
18
Bab 18 - Sebuah Asap Mulai Muncul
19
Bab 19 - Menghadapi Dua Orang Sulit
20
Bab 20 – Kecanduan Racun
21
Bab 21 – Mengubah Penampilan
22
Bab 22 – Bersikap Biasa Saja
23
Bab 23 – Pria yang Menunggu Kekasihnya
24
Bab 24 – Ingin Berlari
25
Bab 25 - Malam yang Memanjang
26
Bab 26 – Diselingkuhi Dua Kali
27
Bab 27 – Belanja Berdua
28
Bab 28 - Ditinggal Sendirian
29
Bab 29 – Hidup dalam Manipulasi
30
Bab 30 – Semuanya sedang Berjuang
31
Bab 31 – Menantang Lawan
32
Bab 32 – Tak Bisa Lari
33
Bab 33 – Tarik Menarik
34
Bab 34 – Melanggar Janji
35
Bab 35 – Kembali ke Apartemen
36
Bab 36 – Kabar Baru
37
Bab 37 – Menanti Penjelasan
38
Bab 38 – Berkembang Bersama
39
Bab 39 - Batasan
40
Bab 40 - Putus dan Tersambung
41
Bab 41 - Bimbang
42
Bab 42 - Kembali
43
Bab 43 – Berjumpa Lagi
44
Bab 44 – Hukuman
45
Bab 45 –Begitulah Cinta
46
Bab 46 – Saatnya Bersantai, Seharusnya
47
Bab 47 - Tangis
48
Bab 48 - Kata yang Sulit
49
Bab 49 – Senyum Tersembunyi
50
Bab 50 – Semua Berjalan Lancar
51
Bab 51 – Liburan!
52
Bab 52 - Kuku Serigala
53
Bab 53 – Memori Masa Kecil (1)
54
Bab 54 – Bertemu Mama
55
Bab 55 – Pertemuan Keluarga
56
Bab 56 – Sebuah Perintah
57
Bab 57 – Ayah
58
Bab 58 – Menepi
59
Bab 59 - Ayah dan Anak
60
Bab 60 - Sebuah Rencana Bersama
61
Bab 61 - Liburan Keluarga
62
Bab 62 - Bunga Melati
63
Bab 63 - Obrolan Antarpria
64
Bab 64 - Seorang Ayah
65
Bab 65 - Antara Anak dan Pasangan
66
Bab 66 - Kata yang Terlambat
67
Bab 67 - Kembali ke Kampus
68
Bab 68 - Menjemput Saingan Kecil
69
Bab 69 - Pengganggu
70
Bab 70 - Sisa Kasih Sayang
71
Bab 71 - Sebuah Tawaran
72
Bab 72 - Arti Sahabat
73
Bab 73 - Kisah yang Rumit
74
Bab 74 - Dua Sejoli
75
Bab 75 - Jalan
76
Bab 76 - Perasaan Tidak Enak
77
Bab 77 - Komunikasi
78
Bab 78 - Mencari Inspirasi
79
Bab 79 - Air Hujan
80
Bab 80 - Lukisan Pertama

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!