Setelah kejadian itu, aku menghilang tiga hari. Mengabaikan ajakan hang out dari grup WhatsApp yang di dalamnya ada Kak Akesh dan teman-temannya. Aku memang sudah masuk ke dalam geng mereka.
Kalian pikir aku menyerah? Tentu saja tidak! Aku menonton ulang puluhan film percintaan untuk menyusun strategi bagaimana mendapatkan Kak Akesh. Meski dari awal aku tak pernah mendapatkannya.
Strategi pertama, aku akan muncul di sekitarnya, tapi tak benar-benar mendekat. Aku hanya ingin ia melihat eksistensiku. Aku adalah bayangan yang semakin ia berlari menjauh, lebih dekat pula aku dengannya.
Maka hari ini saat tiba jam makan siang, aku pergi ke kantin lebih lambat dari biasanya. Di pojok dekat tangga, tiga pemuda: Kak Bina, Kak Ical, dan Kak Akesh sedang bercengkrama, bercanda sambil menikmati makanan.
Aku memilih duduk di meja yang dapat mereka lihat. Tepat selisih dua meja dari mereka. Sendirian.
“Nala, sini gabung kita. Ngapain lo di sana sendirian?” Teriak Kak Ical.
“Nggak dulu Kak, lagi nunggu temen nih, udah janjian.”
Sampai makan siang selesai, tentu saja tak ada satu pun teman yang menghampiri. Sebenarnya ada dua anak cewek, tapi itu pun karena semua meja sudah penuh. Rupanya semesta mendukung rencanaku.
Sesekali mataku melirik ke arah Kak Akesh dan teman-temannya. Pria yang menjadi pusat gravitasiku itu mencuri-curi pandang ke arahku. Aku pun tersenyum puas. Yakin bahwa ia tak akan begitu mudahnya mengabaikanku.
Aku memang salah, tapi bukankah ia juga begitu menyayangiku? Ia sering bilang kalau aku sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Aku memang seusia dengan adiknya yang kini kuliah di luar negeri. Saat ini aku terus menyugesti diri sendiri bahwa Kak Akesh hanya akan marah sesaat padaku.
Seperti kakak yang akan memaafkan dan menerima adiknya, apapun kesalahan yang ia perbuat. Meski, aku sangat benci mengakui fakta bahwa kami terjabak dalam friend zone. Atau malah adik kakak zone?
***
Nala tidak tahu pergolakan yang terjadi di pada diri Akesh.
Jujur saja aku bingung harus bersikap seperti apa terhadap Nala. Dari semua hal, mengapa dia bisa menyukaiku yang sudah seperti kakaknya sendiri ini? Apakah dia menyukaiku atau hanya melampiaskan nafsu saja. Ah... apakah malam itu kami bercinta? Lantas, mengapa ada bercak darah di spray kasurku?
Memikirkan hal ini membuat perutku mual. Isi pikiranku sangat sesak sampai asam lambungku kambuh. Kemudian sekarang apa? Aku menyuruhnya menjauh, tapi dia muncul di hadapanku.
“Kalian lagi berantem? Tumben-tumbenan jauh-jauhan gini,” ucap Bina. Si sialan yang pendiam tapi sekali bicara nusuk ke hati. Apa-apaan dengan intuisi perempuan itu? Hah!
“Sok tahu!” Aku nyengir. Menutupi semuanya.
“Eh iya juga, biasanya kan ‘adek’ lo nempel mulu sama lo, sampe ke toilet pun lo ditungguin di depan,” Ical menimpali. Dua orang ini memang kombo super.
Dasar dua kunyuk bangsat ini. Ucapan mereka menambah runyam pikiranku. Aku jadi teringat sikap Nala selama ini. Sikap yang awalnya kuanggap sebagai tingkah lucu dan kasih sayang seorang adik kepada kakaknya.
Sebenarnya berada di dekat Nala membuatku senang. Ia pribadi yang menyenangkan. Meski tak tahu banyak hal, aku akan dengan senang hati mengajarinya apapun. Menghabiskan waktu bersamanya membuatku menemukan figur seorang adik. Barangkali karena aku tak dekat dengan Tasya adik kandungku? Ya, bisa jadi.
Flashback…
Awal pertemuanku dengan Nala terjadi 12 tahun lalu atau saat usiaku delapan tahun. Saat itu untuk pertama kalinya orang tuaku bertengkar hebat.
“Aku akan pergi bawa Caca ke luar negeri, kamu tinggal sama Akesh!”
Mama menangis histeris setelah membanting foto pernikahan mereka ke lantai sampai retak. Setelahnya aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Keduanya berteriak marah-marah. Aku menutup kedua telinga sambil duduk gemetaran.
Takut, aku pun lari keluar rumah. Bersembunyi, jongkok di antara tanaman mama di depan rumah. Kedua tanganku masih menutup telinga, air mata menetes ke pipi. Badanku masih menggigil tapi aku tak bersuara.
“Kakak mau lolipop? Tapi jangan nangis lagi ya.”
Aku menatap sosok anak kecil di depanku. Tangan kanannya menyodorkan lolipop. Matanya berbinar-binar, ia tersenyum lebar hingga nampak dua gigi atasnya yang ompong.
“Dulu ayah ngasih lolipop juga sebelum meninggal. Katanya biar aku nggak sedih lagi.”
Oh, ternyata ada anak seusiaku yang telah ditinggal ayahnya. Tak jauh berbeda dengan nasibku yang sebentar lagi akan ditinggal ayah keluar negeri.
Semenjak pertemuan itu, Nala sering datang ke rumahku. Ia bilang dirinya dan ibunya baru saja pindah ke sini seminggu yang lalu. Aku pun jadi tak begitu kesepian meski mama sibuk bekerja. Saat merasa sedih, aku akan datang ke rumahnya dan sering menginap. Ia pun sesekali menginap di rumahku.
Namun di antara semuanya, ada fakta aneh ternyata ibu kami adalah sahabat di sekolah. Namun semenjak lulus, mereka berpisah karena mama pindah ke kota. Semenjak itu mereka tidak pernah bertemu kembali.
Flashback selesai.
***
Ada dua perempuan yang menhampiri Nala. Anehnya, mereka seperti tak saling mengenal. Pasalnya, perempuan berambut sebahu dan dicepol itu malah asik mengobrol sendiri. Seolah mengabaikan Nala. Anak itu justru asik dengan ponselnya. Sepertinya keduanya bukan teman Nala.
Maksudku, Nala biasa menceritakan teman-teman di sekitarnya. Entah seminim apapun interaksi mereka. Ia sering menunjukkan isi chat dengan temannya atau menunjukkan fotonya. Ia akan mengoceh si ini begini, si itu begitu, bla bla bla. Dan Nala tidak pernah menceritakan tentang dua perempuan di depannya itu.
“Eh Akesh, tugas resensi novel lo udah kelar?”
“Oi, Kampret! Malah ngalamun nih anak. Lagi ada masalah sama cewek lo?”
Ical menjentikkan jarinya di depan mukaku, membuatku kaget.
“Udah, kenapa?!”
“Hehe… lihat dong, cuma mau tahu cara lo ngulas kali ini gimana.”
“Jangan deh, nih anak ntar makin malas dan nggak tahu diri,” Bina menyahut.
“Eh diem deh lu, kempret! Ini tuh namanya belajar dari ahlinya. Lo kan tahu sendiri temen lo yang satu ini langganan dapet nilai A.”
“Udah gua kirim ke email, cek buru,” tukasku setelah meletakkan ponsel sehabis mengirim email.
“Thank’s Bos! Tuh lu harusnya sesekali baik hati kaya Akesh deh Binn. Biar hidup lo berkah.”
Sudut bibir kanan Bina tersungging, seolah-olah meremehkan Ical. Lelaki berambut ikal itu kesal dan beranjak dari tempat duduknya. Tangan kanannya mengepal, menuju ke arah lawan debatnya.
“Kalau kalian masih pengen ribut lanjutin aja. Tapi jangan nyesel kalau ntar gue jorokin kalian ke selokan depan.”
“Hehe bercanda Bro, serius amat lo.” Ical bergidik ngeri mengingat air selokan yang begitu hitam dan bau. Sementara Bina malah nyengir menyaksikan aksi dua sahabatnya. Sebenarnya Bina dan Ical tidak akan saling memukul. Ical tentu hanya menggertak gadis itu.
Setelah beberapa saat akhirnya mereka berdua tenang. Aku kembali menyendokkan nasi goreng ke mulut. Ah, rasanya tak seenak biasanya dan… apa-apaan dengan porsi yang seperti lebih banyak ini? Biasanya hanya dalam waktu 15 menit, makananku habis. Kurasa nafsu makanku terganggu karena asam lambung naik.
Aku kembali menoleh ke arah Nala. Hah… dia memesan dua minuman sekarang? Es jeruk?! Dua gelas?! Ia meneguk minuman asam manis itu sambil melirik ke arahku. Mata kami pun saling bertatapan.
Nala, sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan? Es jeruk adalah simbol jika salah satu dari kita sedang sedih tapi tak ingin bercerita. Biasanya saat kamu memesannya, aku secara otomatis akan menghiburmu. Begitu pula sebaliknya.
Namun kali ini … maaf. Mungkin aku tak bisa karena sepertinya penyebab kesedihanmu adalah diriku. Aku sadar
itu. Maaf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Lexasea
Thor.. bagus kata-katanya enak dibacanya…👍🏻
2024-05-19
1
Lexasea
Haii.. thor aku sudah mampir…
Mampir juga yuk di karya pertamaku “Jodohnya Caca” 🤗
2024-05-17
1
Durrotun Nasihah
baru awal baca ...menarik
2024-05-16
1