Bab 4 - Apa Aku Ngobrol dengan Orang Sakit Jiwa?

“Hasilnya negatif HIV. Kalian baik-baik saja,” ucap seorang dokter spesialis penyakit dalam.

Haruskah aku ikut lega seperti Kak Akesh? Ia mungkin merasa tak punya tanggung jawab lagi setelah ini.

“Untuk ke depannya, harap memakai pengaman. Tidak, sebaiknya tidak melakukannya dengan selain pasangan.”

Hatiku kecut. Rasanya seperti ketangkap basah.

“Makasih Dok, kalau begitu kami permisi sekarang,” kata Kak Akesh setelah menerima dua kertas hasil medis kami.

Kak Akesh menoleh ke arahku, memberi kode untuk keluar dari ruangan dokter ini. Aku pun mengekor pria yang memakai jaket kulit hitam ini. Namun aku memperlambat langkahku, memperlebar jarak kami.

“Nala lo bisa balik sendiri kan? Gue mau jemput Rachel sekarang.”

Aku tak menjawab. Hanya menatapnya. Kulihat ia mendengus kasar dan menggelengkan kepala. Kemudian melangkah cepat hingga sosoknya tak terlihat. Tak biasanya ia meninggalkanku seperti ini.

Enggan pulang, aku duduk di bangku teras rumah sakit. Menatap orang-orang lalu lalang masuk dan keluar gedung. Udara di sini lebih segar daripada di dalam, meski tetap beraroma obat.

Tak lama kemudian, mataku menangkap sosok yang sepertinya tak asing. Apakah itu Kak Marvin? Ia sedang

memapah seorang kakek. Saat mereka berjalan, sebuah gelang jatuh. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan mengambilnya. Namun saat hendak memanggil sang empunya, dua sosok itu menghilang.

Aku tak ingin masuk lagi ke rumah sakit itu karena membuatku teringat kejadian barusan. Maka dari itu, aku memilih menyimpan sementara benda ini. Sebuah gelang manik-manik kayu yang bagian tengahnya terdapat huruf M. Samar-samar hidungku mencium aroma kayu cendana.

Jika dilihat dari talinya, benda ini sudah dipakai bertahun-tahun. Namun kondisinya masih kuat. Aku pun memasukkan “gelang M” ini ke saku jaketku. Kemudian menuju pintu gerbang karena ojek online yang kupesan sudah sampai. Sebelumnya aku ke sini berboncengan naik motor dengan Kak Akesh.

***

Nala tak menjawabku. Di manik matanya terdapat kabut basah. Kurasa jika aku di sini lebih lama, ia tak dapat membendung air mata dan aku jadi tak tega meninggalkannya.

Bak pria yang kejam, aku meninggalkannya dan bilang ada janji dengan pacarku. Padahal setelah sampai di tempat parkir, aku menelpon Rachel dan bertanya apakah dia mau menonton film di bioskop. Iya, kami tak janjian sebelumnya.

Kemudian di sinilah aku, bergandengan tangan dengan Rachel. Wanita manja ini menyenderkan kepalanya di pundakku, menikmati adegan demi adegan di layar bioskop.

Cup. Wanita 160 sentimenter ini mengecup pipiku sekilas.

“Sayang, ngelamunin apa?” Bisiknya.

“Hah? Enggak kok, kamu laper nggak Yang?”

“Pengen makan yang manis-manis, kita cari cake gimana?”

“Oke-oke, tunggu sebentar ya, filmnya hampir selesai.”

Wanita manis itu mengangguk. Aku pun merangkul pundaknya. Betapa beruntungnya aku punya pacar seperti Rachel. Tampilannya anggun tapi tingkahnya sangat lucu dan manja. Saat berada di dekatku, ia selalu menempel, seperti memeluk atau menyender.

Setelah film berakhir, kami menuju took kue di mal. Karena tak suka makanan manis, aku memesan es kopi late. Sementara Rachel memesan dua potong kue rasa strawberi dan tiramisu.

“Tadi pagi bukannya kamu bilang ada kelas sore, Yang? Bolos?”

“Iya tadi nganter Nala ke rumah sakit bentar, dia sakit.”

Rachel langsung meletakkan garpunya. Ia cemberut.

“Sakit apa dia?”

“Nggak enak badan, kecapean kayaknya,” sergahku cepat. Jika hendak berbohong memang harus cepat tanggap mencari jawaban.

Rachel mendengus lagi mendengar jawabanku.

“Aku kadang iri sama Nala. Dia lebih sering sama kamu dibandingkan aku.”

“Bukan kadang, tapi sering,” aku menggodanya, menyolek dagunya.

“Ih, aku serius tahu, Sayang. Selama ini aku bisa tahan dia nempelin kamu mulu itu karena kamu selalu bilang kalau kamu udah anggap dia kaya adik kamu sendiri!”

Akesh mengerjapkan mata usai mendengar hal ini. Apakah pernyataan itu masih berlaku ke depannya?

Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi ini pura-pura melotot. Karena beda fakultas, kami memang tak sering bertemu. Kami bertemu dua hingga tiga kali seminggu. Jika sedang sibuk, bisa seminggu sekali atau bahkan tak berjumpa sama sekali.

“Iya-iya, itu kan kamu udah tahu, jadi nggak usah cemburu lagi ya, Cantik. Lagian apa yang perlu dicemburuin coba? Kan kamu yang jadi pacar aku.”

Rachel nyengir. Sementara aku tersenyum getir. Aku merasa sedang membual. Terus mengucapkan omong kosong membuat lidahku pahit.

***

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melepas Kak Akesh. Tidak, maksudku untuk sehari saja. Lagi pula jadwalku padat. Sebagai pengganti mata kuliah, dosen menyuruh kami mengikuti seminar dari siang sampai sore. Kemudian dilanjut menghadiri pentas seni atau pensi fakultas.

Rangkaian acara ini dibantu oleh himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) atau bisa disebut KMSI (Keluarga Besar Mahasiswa Sastra Indonesia) dalam rangka menyambut bulan bahasa. Sebelumnya juga ada lomba cipta puisi, cerpen, dan komik strip.

Seminar bahasa terasa sangat membosankan bagiku. Karena tak membawa buku dan pensil, aku tak bisa menggambar. Mataku ini bohlamnya gampang low kalau menerima materi. Aku tertidur.

“Eh La, bangun! Ayo siap-siap ke gedung serba guna.”

Agas membangunkanku. Ia adalah satu-satunya teman dekatku di jurusan. Berbeda denganku, ia adalah kutu buku. Lelaki yang lima senti lebih tinggi dariku ini memakai kaca mata. Oh tapi itu hanya aksesoris semata, untuk menunjang penampilannya.

Yah, padahal kan kutu buku zaman sekarang banyak yang tak memakai kacamata. Barangkali ia ingin menghayati sebagai seorang kutu buku sejati? Lihat saja setiap hari novel di tangannya beda-beda.

“Hah, ngapain?”

Dia memukul kepalaku dengan novelnya. Sialan, itu sakit!

“Pikun ya lo? Malam ini kan puncak peringatan bulan bahasa. Malam ini juga bakal diumumin pemenang tiga kategori lomba.”

“Ya, ya. Gue ucapin selamat sekarang aja deh. Sial-sialnya lo bakal juara dua lomba cipta puisi kali ini. Kalo lagi kaya biasanya, paling juara satu,” jawabku malas.

Dia kembali memukulku dengan novelnya. Tapi kali ini di lenganku. Sial, jangan-jangan novel-novel itu ia bawa untuk menyiksa orang.

“Pesertanya kan ini seuniversitas! Siapa tahu ada bakat tersembunyi yang keluar sangkar malam ini. Siapa tahu?”

“Huh? Serah deh, gue nggak peduli.”

Kami pun menuju ruang serba guna. Ruangan ini hanya mampu menampung dua ribu orang, setidaknya sejumlah itulah kursi yang tersedia. Sisanya bisa berdiri. Selain itu terdapat satu panggung besar di depan.

Pensi malam ini cukup meriah dan aku menikmatinya. Ada banyak pertunjukan yang memukau, mulai dari teater, tari tradisional, hingga musikalisasi puisi. Hingga di malam puncak, tibalah saat yang ditunggu-tunggu sebagian orang: pengumuman lomba.

“Feeling gue lo bakal juara deh buat kategori komik strip.”

“Jangan ngaco, lo. Gue ikut juga asal-asalan karena lo paksa, lupa ya?”

“Gambar lo tuh bag—“

Kutangkup bibirnya dengan kelima jari kananku. Berisik.

Seperti yang telah diduga, Agas juara. Tapi kok dia juara dua? Juara satu malah Kak Bina? Sayangnya Kak Bina tak hadir. Kali ini anak-anak jurusanku tak banyak menyabet juara.

Pemenang lomba cipta cerpen malah dari fakultas kedokteran dan peternakan. Juara tiga dan dua cipta komik strip malah dari fakultas hukum, dan … hah? Aku yang juara satu?

Aku maju ke panggung dengan gugup. Berjabat tangan dengan dekan yang menyerahkan piala dan amplop berisi uang tunai. Setelah itu, para juara foto bersama dekan dan ketua KMSI Ardhit.

Turun dari panggung, aku jadi teringat benda yang menghuni saku jaket sejak kemarin.

“Halo Kak Marvin, gue Nala. Gue mau balikin gelang Ka—“

“Oh lo fans gue juga?”

Dia pun langsung menyambar gelangnya dari tanganku, setelah itu dia langsung memakainya. Ia bahkan mencium gelang itu sekilas. Wajahnya terlihat sangat puas usai melakukan hal itu.

“Hah?”

“Tapi saran gue sih lo jangan segininya," ucapnya dengan tatapan yang membuat tidak nyaman.

Aku pun makin kebingungan.

"Karena kita senior dan junior, kalau ketemu di jalan ya tinggal sapa aja.”

Apa aku baru saja ngobrol dengan orang sakit jiwa?

“Lo kenal sama Marvin, Dek? Maksud gue deket (?),” kata Kak Ardhit.

“Enggak kok Kak, cuma lagi sial aja nemuin gelang dia,” aku nyengir.

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

aku mampir ya Thor...
jangan lupa mampir juga di karya ku

2024-05-18

1

Bilqies

Bilqies

gimana gak cemburu orang sih nala nempel trus sama kamu

2024-05-18

1

Bilqies

Bilqies

kaya nya lebih dari itu deh 🤭

2024-05-18

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 - Minimal, Kau Harus Tahu Perasaanku
2 Bab 2 - Aku akan Jadi Bayanganmu
3 Bab 3 - Kita Selesai?
4 Bab 4 - Apa Aku Ngobrol dengan Orang Sakit Jiwa?
5 Bab 5 - Sketsa Pembawa Sial
6 Bab 6 - Ingin Pergi tapi Ada Sesuatu yang Menahan
7 Bab 7 - Kesempatan Khusus
8 Bab 8 - Perasaan Gatal yang Tak Bisa Digaruk
9 Bab 9 - Awal yang Indah
10 Bab 10 – Nalaya dan Agas
11 Bab 11 - Putri Palsu
12 Bab 12 - Elang yang Mengincar Mangsanya
13 Bab 13 - Pertemuan Tak Terduga
14 Bab 14 - Haruskah menjadi Antagonis?
15 Bab 15 - Kucing dan Anjing
16 Bab 16 - Apa yang Sedang Terjadi?
17 Bab 17 - Cemburu
18 Bab 18 - Sebuah Asap Mulai Muncul
19 Bab 19 - Menghadapi Dua Orang Sulit
20 Bab 20 – Kecanduan Racun
21 Bab 21 – Mengubah Penampilan
22 Bab 22 – Bersikap Biasa Saja
23 Bab 23 – Pria yang Menunggu Kekasihnya
24 Bab 24 – Ingin Berlari
25 Bab 25 - Malam yang Memanjang
26 Bab 26 – Diselingkuhi Dua Kali
27 Bab 27 – Belanja Berdua
28 Bab 28 - Ditinggal Sendirian
29 Bab 29 – Hidup dalam Manipulasi
30 Bab 30 – Semuanya sedang Berjuang
31 Bab 31 – Menantang Lawan
32 Bab 32 – Tak Bisa Lari
33 Bab 33 – Tarik Menarik
34 Bab 34 – Melanggar Janji
35 Bab 35 – Kembali ke Apartemen
36 Bab 36 – Kabar Baru
37 Bab 37 – Menanti Penjelasan
38 Bab 38 – Berkembang Bersama
39 Bab 39 - Batasan
40 Bab 40 - Putus dan Tersambung
41 Bab 41 - Bimbang
42 Bab 42 - Kembali
43 Bab 43 – Berjumpa Lagi
44 Bab 44 – Hukuman
45 Bab 45 –Begitulah Cinta
46 Bab 46 – Saatnya Bersantai, Seharusnya
47 Bab 47 - Tangis
48 Bab 48 - Kata yang Sulit
49 Bab 49 – Senyum Tersembunyi
50 Bab 50 – Semua Berjalan Lancar
51 Bab 51 – Liburan!
52 Bab 52 - Kuku Serigala
53 Bab 53 – Memori Masa Kecil (1)
54 Bab 54 – Bertemu Mama
55 Bab 55 – Pertemuan Keluarga
56 Bab 56 – Sebuah Perintah
57 Bab 57 – Ayah
58 Bab 58 – Menepi
59 Bab 59 - Ayah dan Anak
60 Bab 60 - Sebuah Rencana Bersama
61 Bab 61 - Liburan Keluarga
62 Bab 62 - Bunga Melati
63 Bab 63 - Obrolan Antarpria
64 Bab 64 - Seorang Ayah
65 Bab 65 - Antara Anak dan Pasangan
66 Bab 66 - Kata yang Terlambat
67 Bab 67 - Kembali ke Kampus
68 Bab 68 - Menjemput Saingan Kecil
69 Bab 69 - Pengganggu
70 Bab 70 - Sisa Kasih Sayang
71 Bab 71 - Sebuah Tawaran
72 Bab 72 - Arti Sahabat
73 Bab 73 - Kisah yang Rumit
74 Bab 74 - Dua Sejoli
75 Bab 75 - Jalan
76 Bab 76 - Perasaan Tidak Enak
77 Bab 77 - Komunikasi
78 Bab 78 - Mencari Inspirasi
79 Bab 79 - Air Hujan
80 Bab 80 - Lukisan Pertama
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bab 1 - Minimal, Kau Harus Tahu Perasaanku
2
Bab 2 - Aku akan Jadi Bayanganmu
3
Bab 3 - Kita Selesai?
4
Bab 4 - Apa Aku Ngobrol dengan Orang Sakit Jiwa?
5
Bab 5 - Sketsa Pembawa Sial
6
Bab 6 - Ingin Pergi tapi Ada Sesuatu yang Menahan
7
Bab 7 - Kesempatan Khusus
8
Bab 8 - Perasaan Gatal yang Tak Bisa Digaruk
9
Bab 9 - Awal yang Indah
10
Bab 10 – Nalaya dan Agas
11
Bab 11 - Putri Palsu
12
Bab 12 - Elang yang Mengincar Mangsanya
13
Bab 13 - Pertemuan Tak Terduga
14
Bab 14 - Haruskah menjadi Antagonis?
15
Bab 15 - Kucing dan Anjing
16
Bab 16 - Apa yang Sedang Terjadi?
17
Bab 17 - Cemburu
18
Bab 18 - Sebuah Asap Mulai Muncul
19
Bab 19 - Menghadapi Dua Orang Sulit
20
Bab 20 – Kecanduan Racun
21
Bab 21 – Mengubah Penampilan
22
Bab 22 – Bersikap Biasa Saja
23
Bab 23 – Pria yang Menunggu Kekasihnya
24
Bab 24 – Ingin Berlari
25
Bab 25 - Malam yang Memanjang
26
Bab 26 – Diselingkuhi Dua Kali
27
Bab 27 – Belanja Berdua
28
Bab 28 - Ditinggal Sendirian
29
Bab 29 – Hidup dalam Manipulasi
30
Bab 30 – Semuanya sedang Berjuang
31
Bab 31 – Menantang Lawan
32
Bab 32 – Tak Bisa Lari
33
Bab 33 – Tarik Menarik
34
Bab 34 – Melanggar Janji
35
Bab 35 – Kembali ke Apartemen
36
Bab 36 – Kabar Baru
37
Bab 37 – Menanti Penjelasan
38
Bab 38 – Berkembang Bersama
39
Bab 39 - Batasan
40
Bab 40 - Putus dan Tersambung
41
Bab 41 - Bimbang
42
Bab 42 - Kembali
43
Bab 43 – Berjumpa Lagi
44
Bab 44 – Hukuman
45
Bab 45 –Begitulah Cinta
46
Bab 46 – Saatnya Bersantai, Seharusnya
47
Bab 47 - Tangis
48
Bab 48 - Kata yang Sulit
49
Bab 49 – Senyum Tersembunyi
50
Bab 50 – Semua Berjalan Lancar
51
Bab 51 – Liburan!
52
Bab 52 - Kuku Serigala
53
Bab 53 – Memori Masa Kecil (1)
54
Bab 54 – Bertemu Mama
55
Bab 55 – Pertemuan Keluarga
56
Bab 56 – Sebuah Perintah
57
Bab 57 – Ayah
58
Bab 58 – Menepi
59
Bab 59 - Ayah dan Anak
60
Bab 60 - Sebuah Rencana Bersama
61
Bab 61 - Liburan Keluarga
62
Bab 62 - Bunga Melati
63
Bab 63 - Obrolan Antarpria
64
Bab 64 - Seorang Ayah
65
Bab 65 - Antara Anak dan Pasangan
66
Bab 66 - Kata yang Terlambat
67
Bab 67 - Kembali ke Kampus
68
Bab 68 - Menjemput Saingan Kecil
69
Bab 69 - Pengganggu
70
Bab 70 - Sisa Kasih Sayang
71
Bab 71 - Sebuah Tawaran
72
Bab 72 - Arti Sahabat
73
Bab 73 - Kisah yang Rumit
74
Bab 74 - Dua Sejoli
75
Bab 75 - Jalan
76
Bab 76 - Perasaan Tidak Enak
77
Bab 77 - Komunikasi
78
Bab 78 - Mencari Inspirasi
79
Bab 79 - Air Hujan
80
Bab 80 - Lukisan Pertama

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!