Bab 3 - Kita Selesai?

Hari berikutnya, aku menyelinap ke kelas Kak Akesh. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak aku masih menjadi mahasiswa baru atau maba. Kami mengetahui jadwal masing-masing. Kami memang sebegitu dekatnya. Sayang hanya adik kakak. Tapi sekarang sejak mengambil langkah pertama itu, aku tak bisa berhenti lagi.

Tujuanku untuk saat ini masih sama: membayang-bayangi Kak Akesh. Hanya saja, aku tak duduk di sebelahnya seperti biasa. Aku duduk di bangku paling belakang, di pojok sebelah kanan. Dari sini, aku bisa melihat setiap gerak-gerik pacar orang ini.

“Lo beneran lagi marahan ya sama Nala?” Kak Ical mencondongkan kepalanya ke arah Kak Akesh, berbisik.

Orang yang diajak bicara hanya diam kemudian melirik ke arahku. Tatapan kami bertemu. Datar. Tak ada senyuman. Kemudian ia membuang muka lagi.

“Ssssttt! Dengerin dosen lagi jelasin,” Kak Bina menimpali.

Akhirnya dua bujang ini fokus kepada dosen. Sementara aku menyelesaikan sketsa wajah Kak Akesh. Hal yang sering kulakukan sejak duduk di bangku sekolah. Saat pusing dengan materi yang disampaikan pengajar, aku lebih memilih menggambar.

Menggambar hanya sekadar hobi bagiku. Aku tak berniat menekuninya lebih lanjut. Hanya sebatas senang melakukannya. Apalagi saat Kak Akesh memuji karyaku. Barangkali itu hanya pujian untuk menyemangatiku atau basa-basi belaka. Tetapi, ini perkara siapa yang mengucapkan, bukan apa yang diucapkan.

Sembilan puluh menit berlalu dan kelas dibubarkan. Aku juga bergegas keluar setelah menaruh secarik kertas sketsa muka Kak Akesh di mejanya. Setidaknya, biarkan gambarku berada di sisimu. Kau tak akan setega itu membuang gambarku, kan?

Misi hari ini selesai. Untuk membunuh waktu, aku akan melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan atau nyaris tak pernah. Aku berdiri di tempat parkir, kemudian mengamati fakultasku yang cukup luas. Hingga mataku melihat tulisan besar di salah satu gedung: Perpustakaan. Haruskah aku pergi ke perpustakaan? Aku pernah masuk ke sana sekali, seminggu setelah menjadi maba.

Perpustakaan ternyata ruangan yang cukup sunyi, hanya ada beberapa mahasiswa tua yang sedang mengerjakan skripsi. Sisanya mengobrol pelan bersama teman-teman, ada juga yang membaca koran. Kemudian … aku melihat seorang pria tertidur.

Ah, aku tahu siap dia. Senior sekaligus ketua BEM fakultasku, Ilmu Budaya. Gayanya mengingatkanku kepada tokoh Dilan. Bedanya, ia memakai sandal gunung dan rambutnya panjang sebahu. Namanya Marvin. Tiba-tiba aku tergelitik untuk menggambarnya yang sedang pulas. Sungguh mahasiswa yang nyentrik.

Aku menggambarnya tak sedetail milik Kak Akesh. Ya, tapi ini sudah cukup menunjukkan bahwa itu wajahnya. Kalau kuamati, wajahnya putih dan hidungnya mancung. Bibirnya agak tebal, ada tahi lalat kecil di sudut kirinya. Tiga puluh menit cukup untuk menyelesaikan sketsa sederhana ini. Setelah memberikan tanda tangan: N.A.S, aku meletakkan kertas itu di dekatnya dengan hati-hati.

Saatnya pulang ke asrama karena hari ini sebenarnya aku libur: tidak ada kelas. Sampai di kamar, aku merebahkan tubuhku di kasur. Ruang kamarku cukup sederhana. Hanya ada satu kasur dengan sprai polkadot abu-abu di pojok, satu meja belajar beserta kursi, lemari baju, dapur mini, dan kamar mandi.

Buku-buku di meja belajarku hanya tiga buah, itu pun buku materi kuliah. Sisanya adalah alat menggambar. Dulu saat main ke kamarku, Kak Akesh pernah bertanya kenapa aku tak masuk jurusan seni saja. Sungguh retoris, tapi tentu saja aku harus memberikan jawaban basi-basi untuknya.

“Melukis memang menyemangati hidupku Kak, tapi itu saja tidak cukup,” jawabku waktu itu. Entah, Kak Akesh hanya tertawa menanggapi ucapanku lalu mengusak rambutku. Padahal aku sudah mempersiapkan jawaban selanjutnya. Sayangnya itu tidak pernah terungkap.

Kelamaan melamun, tiba-tiba area intimku kembali terasa nyeri meski tak separah beberapa hari lalu. Sebenarnya

aku takut terjadi apa-apa, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku takut memeriksanya dengan test pack. Apalagi pergi ke rumah sakit.

Aku tahu Kak Akesh bukanlah seorang pemain yang tidur dengan banyak wanita. Namun akibat berita buruk yang kubaca kemarin, pikiranku menjadi ke mana-mana. Apalagi si tamu bulanan belum juga datang. Jika kuingat kembali, sudah tiga hari lewat dari tanggal biasanya.

Dalam kondisi seperti ini, aku sulit mengontrol diri. Rasanya ingin sekali aku mengirim pesan ke orang itu. Tetapi apakah aku harus seagresif ini? Ah, persetan! Sejak saat itu, aku memang ditakdirkan untuk terus maju pantang mundur!

***

Nala memberiku secarik kertas. Meski bukan anak seni, aku bisa tahu kalau gambarnya semakin bagus. Setiap sketsa sederhana miliknya yang hanya dilukis dengan pensil ini memiliki nyawa tersendiri. Entah bagaimana ia selalu merasa bahwa gambar-gambarnya biasa-biasa saja. Sungguh gadis yang konyol.

Aku ingat dulu pernah bilang padanya jika suatu saat ia ingin menjadi pelukis, aku akan mendukungnya. Tak masalah meski ia kini mengambil jurusan Sastra Indonesia. Toh kini banyak orang yang bekerja di luar bidang jurusan yang ia ambil sewaktu kuliah.

Sebenarnya apapun yang mau ia lakukan, aku akan tetap mendukungnya.

“Kalau ada masalah mending cepetan lo urus deh, daripada suasana jadi enggak enak gini.” Itu Bina yang berbicara, Si Monster Es.

“Kali ini gue setuju sama Bina. Nala kan bagian dari geng kita. Enggak ada dia juga jadi kurang asik. Tuh anak jadi silent reader mulu di grup.”

Beruntung mereka tak menanyakan alasan mengapa kami bertengkar. Aku tak biasa berbohong, tapi enggan bercerita kepada mereka. Ini aib, kalau bisa, jangan sampai ada yang tahu. Apalagi kekasihku Rachel yang cemburuan itu. Bisa-bisa jadi tambah runyam.

Ting! Ada chat masuk. Ternyata dari Nala.

Kak, bagian tubuhku yang itu sakit sampai sekarang. Aku bingung harus gimana. Mau ke dokter tapi nggak ngerti kudu gimana. Takut juga. Kakak bisa bantu aku? Sekalian kita periksa bareng. Aku takut kenapa-kenapa.

Keningku mengkerut. Sejujurnya sedikit tersinggung dengan kalimat terakhir meski itu ditulis sehalus mungkin. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku yakin seratus persen diriku sehat jadi tidak akan menyebabkannya sakit.

Namun jika memang dia sakit karena hal lain, aku tak bisa mengabaikannya. Setidaknya sampai dia kembali baik-baik saja. Tapi apakah setelahnya kami harus menjauh?

Tanpa disadari, aku mendengus kesal. Tangan kananku menggaruk-garuk kepala bagian belakang yang tak gatal.

“Ada apa, Kesh? Ada masalah?” Ical bertanya. Keningnya berkerut.

“Enggak ada apa-apa. Kalian makan berdua aja dulu. Gue mau nemuin Nala.”

“Oke. Kelas sore masuk nggak? Apa mau titip tanda tangan?” Bina menimpali.

“Iya, atur aja deh. Kayaknya gue bolos ntar.”

***

Akhirnya pesan itu terkirim. Frustrasi, kulempar hapeku ke samping dan menutup mata. Aku tak berharap banyak. Pesan itu kemungkinan besar tak akan dibalas. Tapi sialnya aku masih berharap. Nala bodoh!

Jangan lupa pada pengetahuan umum pertama bahwa terkadang hal yang paling tidak kita ekspektasikan, dengan gampangnya dapat teraih. Hapeku pun berbunyi. Seseorang mengirimiku pesan: ayo ketemu.

Kegirangan, aku melompat-lompat di atas kasur kemudian tersadar dan menuju lemari. Mengabaikan rasa nyeri itu. Seperti biasa, setiap akan bertemu, aku bingung memilih baju. Padahal jelas kami tidak dalam janji berkencan.

Tak lama kemudian, pintu kamarku diketuk. Aku mengusap cologne ke leher agar lebih segar. Kemudian berjalan untuk membuka pintu. Jantungku berdegub lebih kencang. Senang tapi juga takut. Tidak, aku sangat takut. Tanganku bahkan gemetaran saat memegang gagang pintu.

“Ayo kita periksa ke dokter. Gue bakal tanggung jawab sampai lo baik-baik aja,” ucapnya datar.

“Setelah itu?” Aku menelan ludah.

“Kita udah nggak bisa kaya dulu lagi,” tegasnya. Sepertinya dia ingin berterus terang sejak awal.

“Maksud Kakak selesai?”

“Kalau itu yang terbaik …,” ia mengembuskan napas agak panjang.

Sial! Air mataku menitik. Jangan lupa pada pengetahuan umum kedua bahwa ekspektasi bisa membunuhmu perlahan. Harapan yang tidak sejalan dengan ekspektasi hanya akan menimbulkan masalah.

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

aku mampir Thor ...

2024-05-16

1

piyo lika pelicia

piyo lika pelicia

Gabungin aja ya dek paragraf nya yang menurut kakak seperti terpisah biar lebih enak di baca ☺️

2024-05-11

1

piyo lika pelicia

piyo lika pelicia

Setiap sketsa

2024-05-11

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 - Minimal, Kau Harus Tahu Perasaanku
2 Bab 2 - Aku akan Jadi Bayanganmu
3 Bab 3 - Kita Selesai?
4 Bab 4 - Apa Aku Ngobrol dengan Orang Sakit Jiwa?
5 Bab 5 - Sketsa Pembawa Sial
6 Bab 6 - Ingin Pergi tapi Ada Sesuatu yang Menahan
7 Bab 7 - Kesempatan Khusus
8 Bab 8 - Perasaan Gatal yang Tak Bisa Digaruk
9 Bab 9 - Awal yang Indah
10 Bab 10 – Nalaya dan Agas
11 Bab 11 - Putri Palsu
12 Bab 12 - Elang yang Mengincar Mangsanya
13 Bab 13 - Pertemuan Tak Terduga
14 Bab 14 - Haruskah menjadi Antagonis?
15 Bab 15 - Kucing dan Anjing
16 Bab 16 - Apa yang Sedang Terjadi?
17 Bab 17 - Cemburu
18 Bab 18 - Sebuah Asap Mulai Muncul
19 Bab 19 - Menghadapi Dua Orang Sulit
20 Bab 20 – Kecanduan Racun
21 Bab 21 – Mengubah Penampilan
22 Bab 22 – Bersikap Biasa Saja
23 Bab 23 – Pria yang Menunggu Kekasihnya
24 Bab 24 – Ingin Berlari
25 Bab 25 - Malam yang Memanjang
26 Bab 26 – Diselingkuhi Dua Kali
27 Bab 27 – Belanja Berdua
28 Bab 28 - Ditinggal Sendirian
29 Bab 29 – Hidup dalam Manipulasi
30 Bab 30 – Semuanya sedang Berjuang
31 Bab 31 – Menantang Lawan
32 Bab 32 – Tak Bisa Lari
33 Bab 33 – Tarik Menarik
34 Bab 34 – Melanggar Janji
35 Bab 35 – Kembali ke Apartemen
36 Bab 36 – Kabar Baru
37 Bab 37 – Menanti Penjelasan
38 Bab 38 – Berkembang Bersama
39 Bab 39 - Batasan
40 Bab 40 - Putus dan Tersambung
41 Bab 41 - Bimbang
42 Bab 42 - Kembali
43 Bab 43 – Berjumpa Lagi
44 Bab 44 – Hukuman
45 Bab 45 –Begitulah Cinta
46 Bab 46 – Saatnya Bersantai, Seharusnya
47 Bab 47 - Tangis
48 Bab 48 - Kata yang Sulit
49 Bab 49 – Senyum Tersembunyi
50 Bab 50 – Semua Berjalan Lancar
51 Bab 51 – Liburan!
52 Bab 52 - Kuku Serigala
53 Bab 53 – Memori Masa Kecil (1)
54 Bab 54 – Bertemu Mama
55 Bab 55 – Pertemuan Keluarga
56 Bab 56 – Sebuah Perintah
57 Bab 57 – Ayah
58 Bab 58 – Menepi
59 Bab 59 - Ayah dan Anak
60 Bab 60 - Sebuah Rencana Bersama
61 Bab 61 - Liburan Keluarga
62 Bab 62 - Bunga Melati
63 Bab 63 - Obrolan Antarpria
64 Bab 64 - Seorang Ayah
65 Bab 65 - Antara Anak dan Pasangan
66 Bab 66 - Kata yang Terlambat
67 Bab 67 - Kembali ke Kampus
68 Bab 68 - Menjemput Saingan Kecil
69 Bab 69 - Pengganggu
70 Bab 70 - Sisa Kasih Sayang
71 Bab 71 - Sebuah Tawaran
72 Bab 72 - Arti Sahabat
73 Bab 73 - Kisah yang Rumit
74 Bab 74 - Dua Sejoli
75 Bab 75 - Jalan
76 Bab 76 - Perasaan Tidak Enak
77 Bab 77 - Komunikasi
78 Bab 78 - Mencari Inspirasi
79 Bab 79 - Air Hujan
80 Bab 80 - Lukisan Pertama
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bab 1 - Minimal, Kau Harus Tahu Perasaanku
2
Bab 2 - Aku akan Jadi Bayanganmu
3
Bab 3 - Kita Selesai?
4
Bab 4 - Apa Aku Ngobrol dengan Orang Sakit Jiwa?
5
Bab 5 - Sketsa Pembawa Sial
6
Bab 6 - Ingin Pergi tapi Ada Sesuatu yang Menahan
7
Bab 7 - Kesempatan Khusus
8
Bab 8 - Perasaan Gatal yang Tak Bisa Digaruk
9
Bab 9 - Awal yang Indah
10
Bab 10 – Nalaya dan Agas
11
Bab 11 - Putri Palsu
12
Bab 12 - Elang yang Mengincar Mangsanya
13
Bab 13 - Pertemuan Tak Terduga
14
Bab 14 - Haruskah menjadi Antagonis?
15
Bab 15 - Kucing dan Anjing
16
Bab 16 - Apa yang Sedang Terjadi?
17
Bab 17 - Cemburu
18
Bab 18 - Sebuah Asap Mulai Muncul
19
Bab 19 - Menghadapi Dua Orang Sulit
20
Bab 20 – Kecanduan Racun
21
Bab 21 – Mengubah Penampilan
22
Bab 22 – Bersikap Biasa Saja
23
Bab 23 – Pria yang Menunggu Kekasihnya
24
Bab 24 – Ingin Berlari
25
Bab 25 - Malam yang Memanjang
26
Bab 26 – Diselingkuhi Dua Kali
27
Bab 27 – Belanja Berdua
28
Bab 28 - Ditinggal Sendirian
29
Bab 29 – Hidup dalam Manipulasi
30
Bab 30 – Semuanya sedang Berjuang
31
Bab 31 – Menantang Lawan
32
Bab 32 – Tak Bisa Lari
33
Bab 33 – Tarik Menarik
34
Bab 34 – Melanggar Janji
35
Bab 35 – Kembali ke Apartemen
36
Bab 36 – Kabar Baru
37
Bab 37 – Menanti Penjelasan
38
Bab 38 – Berkembang Bersama
39
Bab 39 - Batasan
40
Bab 40 - Putus dan Tersambung
41
Bab 41 - Bimbang
42
Bab 42 - Kembali
43
Bab 43 – Berjumpa Lagi
44
Bab 44 – Hukuman
45
Bab 45 –Begitulah Cinta
46
Bab 46 – Saatnya Bersantai, Seharusnya
47
Bab 47 - Tangis
48
Bab 48 - Kata yang Sulit
49
Bab 49 – Senyum Tersembunyi
50
Bab 50 – Semua Berjalan Lancar
51
Bab 51 – Liburan!
52
Bab 52 - Kuku Serigala
53
Bab 53 – Memori Masa Kecil (1)
54
Bab 54 – Bertemu Mama
55
Bab 55 – Pertemuan Keluarga
56
Bab 56 – Sebuah Perintah
57
Bab 57 – Ayah
58
Bab 58 – Menepi
59
Bab 59 - Ayah dan Anak
60
Bab 60 - Sebuah Rencana Bersama
61
Bab 61 - Liburan Keluarga
62
Bab 62 - Bunga Melati
63
Bab 63 - Obrolan Antarpria
64
Bab 64 - Seorang Ayah
65
Bab 65 - Antara Anak dan Pasangan
66
Bab 66 - Kata yang Terlambat
67
Bab 67 - Kembali ke Kampus
68
Bab 68 - Menjemput Saingan Kecil
69
Bab 69 - Pengganggu
70
Bab 70 - Sisa Kasih Sayang
71
Bab 71 - Sebuah Tawaran
72
Bab 72 - Arti Sahabat
73
Bab 73 - Kisah yang Rumit
74
Bab 74 - Dua Sejoli
75
Bab 75 - Jalan
76
Bab 76 - Perasaan Tidak Enak
77
Bab 77 - Komunikasi
78
Bab 78 - Mencari Inspirasi
79
Bab 79 - Air Hujan
80
Bab 80 - Lukisan Pertama

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!