Hari berikutnya, aku menyelinap ke kelas Kak Akesh. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak aku masih menjadi mahasiswa baru atau maba. Kami mengetahui jadwal masing-masing. Kami memang sebegitu dekatnya. Sayang hanya adik kakak. Tapi sekarang sejak mengambil langkah pertama itu, aku tak bisa berhenti lagi.
Tujuanku untuk saat ini masih sama: membayang-bayangi Kak Akesh. Hanya saja, aku tak duduk di sebelahnya seperti biasa. Aku duduk di bangku paling belakang, di pojok sebelah kanan. Dari sini, aku bisa melihat setiap gerak-gerik pacar orang ini.
“Lo beneran lagi marahan ya sama Nala?” Kak Ical mencondongkan kepalanya ke arah Kak Akesh, berbisik.
Orang yang diajak bicara hanya diam kemudian melirik ke arahku. Tatapan kami bertemu. Datar. Tak ada senyuman. Kemudian ia membuang muka lagi.
“Ssssttt! Dengerin dosen lagi jelasin,” Kak Bina menimpali.
Akhirnya dua bujang ini fokus kepada dosen. Sementara aku menyelesaikan sketsa wajah Kak Akesh. Hal yang sering kulakukan sejak duduk di bangku sekolah. Saat pusing dengan materi yang disampaikan pengajar, aku lebih memilih menggambar.
Menggambar hanya sekadar hobi bagiku. Aku tak berniat menekuninya lebih lanjut. Hanya sebatas senang melakukannya. Apalagi saat Kak Akesh memuji karyaku. Barangkali itu hanya pujian untuk menyemangatiku atau basa-basi belaka. Tetapi, ini perkara siapa yang mengucapkan, bukan apa yang diucapkan.
Sembilan puluh menit berlalu dan kelas dibubarkan. Aku juga bergegas keluar setelah menaruh secarik kertas sketsa muka Kak Akesh di mejanya. Setidaknya, biarkan gambarku berada di sisimu. Kau tak akan setega itu membuang gambarku, kan?
Misi hari ini selesai. Untuk membunuh waktu, aku akan melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan atau nyaris tak pernah. Aku berdiri di tempat parkir, kemudian mengamati fakultasku yang cukup luas. Hingga mataku melihat tulisan besar di salah satu gedung: Perpustakaan. Haruskah aku pergi ke perpustakaan? Aku pernah masuk ke sana sekali, seminggu setelah menjadi maba.
Perpustakaan ternyata ruangan yang cukup sunyi, hanya ada beberapa mahasiswa tua yang sedang mengerjakan skripsi. Sisanya mengobrol pelan bersama teman-teman, ada juga yang membaca koran. Kemudian … aku melihat seorang pria tertidur.
Ah, aku tahu siap dia. Senior sekaligus ketua BEM fakultasku, Ilmu Budaya. Gayanya mengingatkanku kepada tokoh Dilan. Bedanya, ia memakai sandal gunung dan rambutnya panjang sebahu. Namanya Marvin. Tiba-tiba aku tergelitik untuk menggambarnya yang sedang pulas. Sungguh mahasiswa yang nyentrik.
Aku menggambarnya tak sedetail milik Kak Akesh. Ya, tapi ini sudah cukup menunjukkan bahwa itu wajahnya. Kalau kuamati, wajahnya putih dan hidungnya mancung. Bibirnya agak tebal, ada tahi lalat kecil di sudut kirinya. Tiga puluh menit cukup untuk menyelesaikan sketsa sederhana ini. Setelah memberikan tanda tangan: N.A.S, aku meletakkan kertas itu di dekatnya dengan hati-hati.
Saatnya pulang ke asrama karena hari ini sebenarnya aku libur: tidak ada kelas. Sampai di kamar, aku merebahkan tubuhku di kasur. Ruang kamarku cukup sederhana. Hanya ada satu kasur dengan sprai polkadot abu-abu di pojok, satu meja belajar beserta kursi, lemari baju, dapur mini, dan kamar mandi.
Buku-buku di meja belajarku hanya tiga buah, itu pun buku materi kuliah. Sisanya adalah alat menggambar. Dulu saat main ke kamarku, Kak Akesh pernah bertanya kenapa aku tak masuk jurusan seni saja. Sungguh retoris, tapi tentu saja aku harus memberikan jawaban basi-basi untuknya.
“Melukis memang menyemangati hidupku Kak, tapi itu saja tidak cukup,” jawabku waktu itu. Entah, Kak Akesh hanya tertawa menanggapi ucapanku lalu mengusak rambutku. Padahal aku sudah mempersiapkan jawaban selanjutnya. Sayangnya itu tidak pernah terungkap.
Kelamaan melamun, tiba-tiba area intimku kembali terasa nyeri meski tak separah beberapa hari lalu. Sebenarnya
aku takut terjadi apa-apa, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku takut memeriksanya dengan test pack. Apalagi pergi ke rumah sakit.
Aku tahu Kak Akesh bukanlah seorang pemain yang tidur dengan banyak wanita. Namun akibat berita buruk yang kubaca kemarin, pikiranku menjadi ke mana-mana. Apalagi si tamu bulanan belum juga datang. Jika kuingat kembali, sudah tiga hari lewat dari tanggal biasanya.
Dalam kondisi seperti ini, aku sulit mengontrol diri. Rasanya ingin sekali aku mengirim pesan ke orang itu. Tetapi apakah aku harus seagresif ini? Ah, persetan! Sejak saat itu, aku memang ditakdirkan untuk terus maju pantang mundur!
***
Nala memberiku secarik kertas. Meski bukan anak seni, aku bisa tahu kalau gambarnya semakin bagus. Setiap sketsa sederhana miliknya yang hanya dilukis dengan pensil ini memiliki nyawa tersendiri. Entah bagaimana ia selalu merasa bahwa gambar-gambarnya biasa-biasa saja. Sungguh gadis yang konyol.
Aku ingat dulu pernah bilang padanya jika suatu saat ia ingin menjadi pelukis, aku akan mendukungnya. Tak masalah meski ia kini mengambil jurusan Sastra Indonesia. Toh kini banyak orang yang bekerja di luar bidang jurusan yang ia ambil sewaktu kuliah.
Sebenarnya apapun yang mau ia lakukan, aku akan tetap mendukungnya.
“Kalau ada masalah mending cepetan lo urus deh, daripada suasana jadi enggak enak gini.” Itu Bina yang berbicara, Si Monster Es.
“Kali ini gue setuju sama Bina. Nala kan bagian dari geng kita. Enggak ada dia juga jadi kurang asik. Tuh anak jadi silent reader mulu di grup.”
Beruntung mereka tak menanyakan alasan mengapa kami bertengkar. Aku tak biasa berbohong, tapi enggan bercerita kepada mereka. Ini aib, kalau bisa, jangan sampai ada yang tahu. Apalagi kekasihku Rachel yang cemburuan itu. Bisa-bisa jadi tambah runyam.
Ting! Ada chat masuk. Ternyata dari Nala.
Kak, bagian tubuhku yang itu sakit sampai sekarang. Aku bingung harus gimana. Mau ke dokter tapi nggak ngerti kudu gimana. Takut juga. Kakak bisa bantu aku? Sekalian kita periksa bareng. Aku takut kenapa-kenapa.
Keningku mengkerut. Sejujurnya sedikit tersinggung dengan kalimat terakhir meski itu ditulis sehalus mungkin. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku yakin seratus persen diriku sehat jadi tidak akan menyebabkannya sakit.
Namun jika memang dia sakit karena hal lain, aku tak bisa mengabaikannya. Setidaknya sampai dia kembali baik-baik saja. Tapi apakah setelahnya kami harus menjauh?
Tanpa disadari, aku mendengus kesal. Tangan kananku menggaruk-garuk kepala bagian belakang yang tak gatal.
“Ada apa, Kesh? Ada masalah?” Ical bertanya. Keningnya berkerut.
“Enggak ada apa-apa. Kalian makan berdua aja dulu. Gue mau nemuin Nala.”
“Oke. Kelas sore masuk nggak? Apa mau titip tanda tangan?” Bina menimpali.
“Iya, atur aja deh. Kayaknya gue bolos ntar.”
***
Akhirnya pesan itu terkirim. Frustrasi, kulempar hapeku ke samping dan menutup mata. Aku tak berharap banyak. Pesan itu kemungkinan besar tak akan dibalas. Tapi sialnya aku masih berharap. Nala bodoh!
Jangan lupa pada pengetahuan umum pertama bahwa terkadang hal yang paling tidak kita ekspektasikan, dengan gampangnya dapat teraih. Hapeku pun berbunyi. Seseorang mengirimiku pesan: ayo ketemu.
Kegirangan, aku melompat-lompat di atas kasur kemudian tersadar dan menuju lemari. Mengabaikan rasa nyeri itu. Seperti biasa, setiap akan bertemu, aku bingung memilih baju. Padahal jelas kami tidak dalam janji berkencan.
Tak lama kemudian, pintu kamarku diketuk. Aku mengusap cologne ke leher agar lebih segar. Kemudian berjalan untuk membuka pintu. Jantungku berdegub lebih kencang. Senang tapi juga takut. Tidak, aku sangat takut. Tanganku bahkan gemetaran saat memegang gagang pintu.
“Ayo kita periksa ke dokter. Gue bakal tanggung jawab sampai lo baik-baik aja,” ucapnya datar.
“Setelah itu?” Aku menelan ludah.
“Kita udah nggak bisa kaya dulu lagi,” tegasnya. Sepertinya dia ingin berterus terang sejak awal.
“Maksud Kakak selesai?”
“Kalau itu yang terbaik …,” ia mengembuskan napas agak panjang.
Sial! Air mataku menitik. Jangan lupa pada pengetahuan umum kedua bahwa ekspektasi bisa membunuhmu perlahan. Harapan yang tidak sejalan dengan ekspektasi hanya akan menimbulkan masalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Bilqies
aku mampir Thor ...
2024-05-16
1
piyo lika pelicia
Gabungin aja ya dek paragraf nya yang menurut kakak seperti terpisah biar lebih enak di baca ☺️
2024-05-11
1
piyo lika pelicia
Setiap sketsa
2024-05-11
1