"Pagi, Sya."
Raya menyapa dengan raut wajah bahagia. Sudah terlalu banyak waktu yang mereka lewati bersama, dan itu membuat Tasya hapal tentang bagaimana sikap Raya saat mendapatkan kebahagiaan. Contohnya seperti sekarang. Dia berjalan di sisi, dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya.
"Lo nggak kesambet kan, Ray?" selidiknya sambil menatap Raya serius.
"Ya nggaklah. Lagian setan mana yang berani nempelin gue? Hahaha." Raya menjawab santai. Tawanya begitu renyah, dan itu membuat Tasya semakin penasaran.
"Terus Lo kenapa? Lo kalo kayak gini pasti lagi seneng. Kenapa, sih? Bagi tau gue, dong." Tasya merengek. Dia sudah penasaran setengah mati dengan apa yang dirasakan oleh sahabatnya sekarang.
"Lo mau tahu aja, apa mau tahu gejrot? Hahaha." Raya sengaja meledek Tasya.
Tentu saja hal itu membuat Tasya langsung merengut.
"Gue serius, Ray. Gue penasaran banget tentang apa yang ngebuat mood Lo sebaik ini." Tasya mempertegas.
Dia memang tidak sedang main-main. Rasa penasarannya berada di puncak. Tidak biasanya Raya sebahagia hari ini.
"Gue dijodohin." Raya mengucapkan dua kalimat itu dengan setengah berbisik tepat di telinga sang sahabat.
"Hah? Dijodohin?!" ucap Tasya setengah berteriak. Hal itu tentu menarik perhatian dari para mahasiswa lain yang juga tengah berjalan di koridor tempat mereka berada.
"Sst! Lo kenapa teriak-teriak, sih. Gue kan udah bisik-bisik tadi," omel Raya kesal.
"Ya maaf. Abisnya gue kaget banget. Tiba-tiba aja Lo dijodohin, terus kelihatan seneng banget. Padahal kemarin Lo sibuk nyuruh gue nyari kontak pak Bagas. Jadi akhirnya Lo nyerah ngejar dia, dan milih cowok yang dijodohin sama Lo?" Tasya kembali menyelidik. Kali ini gadis itu mengecilkan suaranya. Dia tidak ingin orang lain mendengar percakapan mereka.
"Gue nggak mungkin mundur, Sya. Kan gue udah bilang, kalo gue udah pasti bakalan dapetin itu dosen ganteng."
"Lah, terus? Lo udah dijodohin, masih mau ngejar pak Bagas? Wah, gila Lo! Jangan gitu dong, Ray. Kasian tau pak Bagasnya," protes Tasya tidak setuju.
Tiba-tiba saja Raya menggetok kepala Tasya lumayan kencang.
"Makanya, dengerin dulu penjelasan gue, Dodol! Gue itu dijodohin sama pak Bagas. Jadi otomatis gue udah dapetin dia, dong? Yaaah, walaupun pak Bagasnya masih cuek sama gue, tapi gue yakin, kok. Pada akhirnya, dia pasti jatuh cinta klepek-klepek sama gue," ucap Raya penuh percaya diri.
"Serius?" tanya Tasya dengan ekspresi terkejut.
"Serius lah. Masa gue bohongin Lo. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa, ya. Soalnya pak Bagas larang gue buat ngasih tau siapapun soal perjodohan kami."
"Kenapa? Alasannya apa?"
"Ya gue nggak tau pasti kenapanya. Mungkin dia masih belum siap buat menerima kenyataan kalo kita udah dijodohin. Cuma itu syaratnya, dan gue nggak masalah. Asal gue sama dia bisa bersatu."
"Oke, Lo tenang aja. Gue nggak akan bilang ke siapapun soal ini. Betewe, selamat ya. Akhirnya Lo udah mau sold out aja. Mana dapet dosen ganteng lagi," ucap Tasya sambil memeluk Raya.
"Makasih ya, Sya. Gue doain Lo juga cepat dapet jodoh, biar bisa nikah muda kayak gue."
"Emangnya Lo mau langsung nikah sama pak Bagas?"
"Ya iyalah. Ngapain lama-lama. Kalo cepet nikah, artinya gue bisa cepet luluhin dia."
"Iya juga, sih."
Mereka berdua sudah masuk ke dalam kelas. Dosen yang akan mengajar mereka belum masuk, dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Raya untuk mengirimkan pesan pada Bagas. Tentu saja gadis itu tidak akan membiarkan calon suaminya tenang sebentar saja.
"Selamat pagi, Ayang. Sudah sampai kampus belum?"
Raya mengirim pesan itu. Dia yakin Bagas sudah berada di ruangannya. Mengingat dia tadi melihat mobil lelaki itu sudah terparkir di area parkir khusus dosen.
"Raya, jaga sikap kamu. Kita memang sudah dijodohkan, tetapi itu bukan berarti kamu bisa bebas mengirim pesan tidak penting pada saya!"
Ternyata Bagas masih sama seperti biasa. Jutek, dan tidak suka dengan pesan yang dikirimkan oleh Raya. Sayangnya, itu tidak menyurutkan semangat sang gadis untuk menunjukkan eksistensinya. Dia akan terus mengganggu Bagas, sampai dia bisa mendapatkan hati lelaki incarannya itu.
"Padahal saya mengirim pesan ke Bapak karena ada hal penting yang mau saya tanyakan loh, Pak. Masa baru nyapa selamat pagi aja sudah dijutekin. Saya sedih, nih."
Raya mulai membuat drama.
"Penting? Benar-benar penting? Apa? Cepat tanyakan. Saya tidak punya banyak waktu."
Raya langsung mengirimkan foto dirinya full body. Menampilkan outfit yang dipakainya hari ini. Sebuah kaos V neck, dan skirt berwarna hitam sebagai bawahannya. Tidak lupa dia juga berpose seimut mungkin.
"Bagaimana penampilan saya hari ini? Bapak suka? Bajunya cocok buat saya kan, Pak? Apa menurut Bapak saya cantik memakai pakaian seperti ini?"
Raya tidak sabar untuk menunggu jawaban Bagas. Dia mengharapkan pujian dari lelaki yang telah dijodohkan dengannya itu. Tujuannya memakai pakaian seperti sekarang memang hanya untuk menarik perhatian Bagas, bukan yang lain.
"Seperti ini yang kamu bilang penting? Kamu benar-benar membuang waktu saya, Raya!"
Bukan sebuah pujian yang Raya dapatkan. Nyatanya Bagas justru semakin marah setelah melihat pesan darinya.
"Penting, Pak. Sangat penting. Pak Bagas calon suami saya, jadi saya perlu pendapat bapak tentang pakaian yang saya pakai. Jadi bagaimana menurut bapak?"
Raya tidak pernah lelah memancing emosi Bagas. Dia tidak peduli bagaimana reaksi lelaki itu. Dia tetap pada tujuannya. Mendapatkan pujian dari Bagas.
"Baju kamu terlalu terbuka."
Jawaban itu membuat Raya tersenyum. Dia menyimpulkan jawaban Bagas sebagai reaksi kecemburuan. Padahal Bagas mengatakan itu berdasarkan fakta. Mengingat dia belum memiliki perasaan apapun terhadap Raya.
"Cie, Pak Bagas cemburu, ya? Tenang, Pak. Saya berdandan, dan berpakaian secantik ini hanya untuk bapak, kok."
"Saya tidak peduli. Berhenti melakukan apapun untuk saya. Urus saja diri kamu sendiri."
"Pak, jangan jutek-jutek. Kasihan saya jadi semakin jatuh cinta sama bapak."
"Jangan chat saya lagi. Saya ada kelas sekarang."
Sementara itu, di ruangannya, Bagas sebenarnya belum ke kelas. Dia masih duduk di kursinya. Dia tampak menatap layar ponselnya dengan frustrasi. Setelah perjodohan semalam, Raya semakin berani. Bahkan sampai mengirimkan foto dengan pose seperti itu. Belum lagi, tubuhnya bereaksi. Padahal selama ini dia tidak pernah terpancing.
"Bagas! Kamu sudah gila? Hanya foto, Bagas. Hanya foto! Lemah sekali kamu. Begitu saja sudah membuatmu mengeras," omelnya dalam hati.
"Ada apa, Gas? Kamu kelihatan kacau. Mau kopi? Kebetulan saya mau ke pantry. Biar saya buatkan sekalian," tawar Rahman yang kebetulan lewat di hadapan Bagas, dan menyadari ekspresi lelaki itu.
"Ah, nggak usah, Mas. Saya mau ngulang pelajaran sebentar, setelah ini mau langsung ke kelas. Takutnya nanti mubazir."
"Oh, ya sudah. Kalau begitu saya buat sendiri saja."
"Iya, Mas. Silakan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments