PEPET TERUS!

Bagas tengah membaca buku tebal di meja belajar yang disediakan di kamarnya. Tentu saja dia tengah mempersiapkan materi yang akan disampaikannya besok.

Menjadi seorang dosen memang sudah menjadi cita-cita Bagas sejak kecil. Kebetulan ayahnya pemilik kampus, jadi beliau mendukung keinginan putranya. Walaupun ibunya lebih menginginkan Bagas untuk menjadi pengusaha.

Suara ketukan pintu kamarnya membuat perhatian Bagas teralih. Dengan segera dia menutup buku yang tengah dibacanya setelah memasang pembatas. Lelaki tampan itu juga membuka kacamata yang dipakainya, dan meletakkannya ke atas meja.

"Siapa?" tanyanya dengan nada lembut.

"Ini ayah, Nak. Boleh masuk?" tanya seorang lelaki yang mengaku ayah Bagas itu dari luar sana.

"Masuk saja, Ayah. Pintunya tidak Bagas kunci." Lelaki itu menyahut lagi.

Pintu terbuka, seorang lelaki berusia lima puluhan berjalan masuk ke dalam kamar Bagas.

"Kamu sedang apa, Nak?" tanyanya kemudian.

"Menyiapkan materi untuk besok, Ayah. Silakan duduk."

Bagas memberikan kursi yang tadi dipakainya untuk duduk supaya ayahnya bisa duduk di sana, sementara dirinya memilih duduk di pinggiran ranjang yang letaknya berdekatan dengan kursi itu.

"Ayah senang melihat semangat kamu untuk mengajar. Bagaimana hari pertamamu ngajar, Nak? Seru?"

Bagas mengingat apa yang terjadi tadi pagi. Dia sebenarnya tidak ada masalah selama proses belajar-mengajar, tetapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya, Raya. Gadis itu sudah membuatnya kesal di hari pertama mereka bertemu. Belum lagi soal teror yang diberikan olehnya.

"Seru, Ayah. Bagas senang bisa mengajar di kampus Ayah. Kendalanya ya ... cuma digodain sama para mahasiswi saja. Itu bukan hal yang berarti."

"Ayah sudah bisa menebak. Bagaimana tidak digodain, putra kesayangan ayah ini memang tampan," puji lelaki paruh baya itu sambil menepuk-nepuk lengan Bagas.

"Di mata Ayah, Bagas memang selalu tampan. Padahal Ayah jauh lebih tampan," ucap Bagas balik memuji.

"Ketampanan kamu memang menurun dari ayahmu ini, haha. Ah, ayah hampir lupa. Sebenarnya ayah menemui kamu bukan untuk membahas ketampanan, tetapi ... ayah ingin kamu segera menikah, Nak."

Bagas tahu pernyataan ini pasti akan disampaikan oleh ayahnya. Apalagi usianya tahun ini sudah menginjak dua puluh delapan tahun. Belum terlalu tua sebenarnya, tetapi sudah pasti orang tuanya yang sudah berusia senja menginginkan dirinya memiliki pendamping.

Masalahnya, Bagas tidak memiliki pandangan dengan siapa dia akan menikah. Jangankan untuk menikah, pacar saja Bagas tidak punya. Bukan karena tidak laku, tetapi memang belum ada yang menarik perhatian lelaki itu. Rata-rata mereka mendekati Bagas karena visual, dan berasal darimana dirinya.

"Ayah, kenapa tiba-tiba? Bagas belum punya pacar, bagaimana bisa menikah sekarang?" Lelaki itu menanggapi ayahnya dengan sopan. Bagas memang sangat menghormati kedua orang tuanya. Walaupun dia menentang sesuatu, caranya tetap dengan cara yang baik.

"Ayah justru tidak setuju kalau kamu pacaran. Pacaran itu hanya mengundang maksiat, Nak. Apalagi ayahmu ini sudah tua, belum tahu akan sampai kapan hidup di dunia. Ayah tidak mau kamu menambah berat timbangan dosa ayah dengan pacaran."

"Lalu maksud dari pembicaraan Ayah, apa?"

"Ayah, dan sahabat ayah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan putrinya. Ayah harap kamu mau menerima perjodohan ini dengan lapang dada, Nak."

Bagas menghela napas lumayan panjang. Bagas sebenarnya tidak terlalu setuju dengan perjodohan, tetapi melihat ayahnya yang sudah semakin tua, rasanya Bagas tidak tega untuk menolak.

"Kalau itu mau Ayah, Bagas terima. Silakan Ayah atur saja pertemuan kami."

Bagas bisa melihat pancaran sinar kebahagiaan dari mata sang ayah. Dia sangat lega karena bisa membuat ayahnya sebahagia sekarang. Walaupun itu berarti, dirinya harus mengubur keinginan mencari pasangan hidup sendiri.

***

"Selamat pagi, Pak Dosen Ganteng. Saya tadi buatin sarapan buat bapak. dimakan ya, Pak." Raya menyodorkan sebuah kotak makan ke arah Bagas yang baru saja turun dari mobilnya.

"Saya sudah sarapan. Lain kali, kamu tidak perlu repot-repot membawakan saya makanan. Satu lagi, saya sudah dijodohkan oleh keluarga saya. Jadi saya harap kamu jangan menganggu saya lagi." Bagas menegaskan.

Dia memang sangat risih dengan kehadiran Raya. Sejak pertemuan pertama, tingkah gadis itu sudah cukup membuatnya pusing. Bagas tidak suka dengan gadis yang menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan, apalagi terlalu agresif seperti Raya.

"Pokoknya saya mau Pak Bagas terima makanan dari saya. Kalau bapak tidak mau menerima, saya akan mengumumkan ke semua mahasiswa di kampus ini kalau bapak pacar saya. Soal perjodohan, saya tidak peduli. Selama Pak Bagas belum menikah, saya akan terus mendekati bapak."

Raya mengatakan itu dengan setengah berbisik. Mendengar ancaman Raya, Bagas terpaksa menerima kotak makanan yang dibawa oleh gadis itu. Dia berencana akan memberikan makanan itu kepada siapa saja.

"Kamu memang gadis keras kepala, Raya. Apa memang begini sikap kamu kepada setiap dosen baru di kampus ini?"

"Maksud Pak Bagas apa? Bapak pikir saya semurahan itu? Saya juga pilih-pilih kalau mau menggoda, Pak. Kebetulan, bapak yang pertama saya goda di kampus ini. Seharusnya Pak Bagas merasa beruntung," ucap Raya dengan penuh percaya diri.

"Saya pikir, kamu memang sudah tidak waras. Makanan kamu sudah saya terima, sekarang minggir. Saya mau ke ruangan saya. Ada materi yang harus saya siapkan."

Raya tersenyum puas. Dia akhirnya memilih minggir untuk memberi jalan pada Bagas. Membiarkan lelaki itu melangkah pergi dari hadapannya. Sepanjang langkah sang dosen, Raya terus menatapnya penuh rasa kagum.

"Lo emang paling pas buat dijadiin calon suami, Bagas. Mungkin sekarang Lo belum sadar pesona seorang Raya. Lihat aja nanti, gue pastiin Lo bakalan bertekuk lutut di hadapan gue," ucap Raya dengan senyum tersungging.

"Raya!"

Suara Tasya memecah perhatian Raya. Gadis itu segera menoleh ke arah sumber suara. Sang sahabat tampak berlari kecil ke arahnya.

"Tumben banget Lo berangkat pagi. Oh, gue tau sekarang, Lo pasti abis godain pak Bagas, ya?" tebak Tasya yang memang pas.

"Ya menurut Lo aja. Ngapain gue repot-repot berangkat pagi kalau bukan mau godain pangeran gue? Pokoknya, gue bakalan dapetin dia. Nggak papa sekarang dia nolak gue mati-matian. Gue yakin, ada saatnya pak Bagas bakalan mohon-mohon sama gue buat nggak ditinggalin."

Raya tertawa kecil setelah mengatakan itu.

"Gila, pede banget, Lo! Tapi ... gue kagum sama Lo, Ray. Ini pertama kalinya Lo nunjukin gimana tingkah Lo kalo lagi ngebucinin seseorang. Walaupun gue yakin, pak Bagas pasti rasanya mau muntah dipepetin terus sama Lo. Apalagi dia orangnya kalem begitu."

"Emang. Dia sampe alesan udah dijodohin buat bikin gue nyerah. Selama dia belum nikah, gue mah gak bakalan mundur. Pepet terus, sampe dapet."

"Gue suka semangat Lo, Ray. Udah yuk, ke kelas. Bentar lagi dosen idaman Lo masuk."

"Ayo cuss! Gue udah nggak sabar buat dia salting di kelas."

"Jangan gitu, di kelas yang serius lah. Mau Lo dikasih nilai E?"

"Dia nggak bakalan kasih gue nilai serendah itu, Sya."

"Nggak yakin sih gue!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!