Askara. Lagi-lagi dia adalah Askara yang kembali membuat mereka berdua saling menatap dengan debaran jantung yang masih sama, di tambah debaran jantung Zeva yang tadi hampir jatuh. Sorot mata Zeva dan Askara yang menatap sangat dalam.
Mata mereka berdua yang tidak bisa bohong yang seperti ingin bicara banyak. Namun entah apa yang membuat mereka tidak bisa bicara. Mungkin karena masih sama-sama baru bertemu.
"Hati-hati!" ucap Askara dengan suara berat yang membuyarkan lamunan Zeva. Zeva langsung menyinggirkan kedua tangan Askara dari bahunya.
"Maaf!" sahut Zeva salah tingkah dan terlihat sangat gugup.
"Permisi!" sahut Zeva menundukkan kepala yang tidak ingin bicara. Namun saat melewati Askara. Kelingking jari Askara dan Zeva bersentuhan seolah ada niat untuk menahan yang sempat membuat langkah Zeva terhenti dengan perasaan yang semakin bergejolak. Zeva memejamkan matanya dan kembali melanjutkan langkah kakinya.
"Zeva!" lirih Askara yang sudah tidak dapat di dengar Zeva yang langkah Zeva sudah sampai 1 meter. Askara berbalik badan melihat Zeva yang sudah semakin jauh. Askara mental dengan nanar dan juga kembali membalikkan tubuh dan langsung pergi.
Zeva yang patah pada langkahnya tiba-tiba kepala Zeva menoleh ke belakang dan melihat Askara yang berjalan.
"Apa yang kau harapkan Zeva!" batin Zeva kembali melanjutkan langkah kaki itu dengan rasa kecewa yang terlihat di wajah Zeva.
**********
Pagi ini Zeva kembali berhadapan dengan Polisi yang ingin meminta hasil otopsi.
"Nona Zeva anda terus saja menunda untuk memberikan hasil otopsi kepada kami. Jika seperti ini terus. Kami bisa mencurigai anda jika anda terlibat atas kematian dari Nona Imelda Carlonia," tuduh Firman.
"Kamu bilang apa?" sahut Zeva dengan wajah kagetnya.
"Kami mencurigai anda atas kematiannya," jawab Firman.
"Jangan sembarangan kamu menuduh. Rumah sakit punya prosedur sendiri atas hasil otopsi. Jika saya bilang belum, maka belum!" tegas Zeva.
"Nona Zeva tolong profesional sebagai seorang Dokter dan jangan mempersulit pekerjaan kami. Kami sudah menunggu begitu lama. Anda terus saja mengulur waktu," tegas Firman yang semakin marah dengan Zeva yang bertele-tele.
"Saya sudah profesional dan jika tim kalian tidak sabar menunggu hasil otopsi pasien, jangan membawa mayatnya ke rumah sakit kami," tegas Zeva yang lama-lama ikut kesal.
"Apa-apaan ini. Apa sekarang rumah sakit ini punya peraturan harus pilih-pilih mayat siapa yang akan dibawa. Anda mencerminkan diri anda bukan sebagai seorang Dokter!" tegas Firman.
"Kamu jangan mengajari saya. Saya Dokter di sini dan lebih tahu apa yang harus saya lakukan dibandingkan kamu. Kamu justru membuat kesulitan dalam pekerjaan saya. Setiap hari datang ke rumah sakit dan mengganggu saya dengan mempertanyakan hal yang sama. Kamu pikir saya tidak punya pekerjaan dan hanya mengurusi masalah kamu saja hah!" oceh Zeva dengan mulutnya yang terus merocos.
"Kenapa Nona marah. Atau jangan-jangan anda sudah menerima suap dalam atas kematian dari nona Imelda Carlonia!" tuduh Firman yang membuat Zeva kaget.
"Apa katamu?" sahut Zeva yang semakin emosi.
"Anda seakan sengaja mengundur untuk memberikan hasil otopsi. Saya wajar curiga jika anda bukan hanya terlibat atas kematiannya. Tetapi mungkin saja sudah menerima suap agar otopsi nya tidak di keluarkan," tuduh Firman.
"Jaga bicaramu!" sentak Zeva yang benar-benar tersinggung dengan suaranya yang keras.
"Dokter Zeva!" tiba-tiba ada suara yang menegur Zeva dan Zeva mengendalikan diri yang melihat ke arah suara tersebut ternyata Ardi dan Askara. Zeva menghela nafas mencoba untuk tenang. Ardi dan Askara menghampiri Zeva dan Firman.
"Ada apa ini?"
"Kenapa ribut-ribut seperti ini?" tanya Dokter Ardi.
"Polisi ini benar-benar sangat memaksa dan mendesak saya. Dia sangat mengganggu dan juga membuat saya tidak nyaman, memberikan tuduhan palsu kepada saya," sahut Zeva yang membela diri.
"Maaf Dokter, kedatangan saya kemari bukan untuk mengganggu pekerjaan dari staf rumah sakit di sini. Tetapi Saya hanya meminta hasil otopsi dari Nona Imelda Carlonia! kasus harus terus dilanjutkan dan Dokter Zeva yang bertele-tele membuat kami kesulitan untuk melanjutkan kasus ini," jawab Firman.
"Otopsi, Dokter Zeva apa kamu belum memberikan hasil otopsi pasien?" tanya Dokter Ardi yang seperti baru mengetahui hal itu.
Zeva kesulitan menelan salivanya dan seketika panik. Mata Askara turun pada bawah tangan Zeva yang saling memencet jarinya seperti menyembunyikan sesuatu. Eksperesi wajah Zeva memang langsung berubah.
"Jadi bukan karena peraturan rumah sakit ini yang membuat saya kesulitan untuk mengambil hasil otopsi itu," sahut Firman dengan mendengus menatap sinis Zeva.
"Ada apa ini Dokter Zeva, jawablah pertanyaan saya," ucap Dokter Ardi dan Zeva masih diam yang merasa di pojokkan sementara Firman juga terus memperhatikan gerak-gerik Zeva.
"Dokter Zeva kamu jangan menyalahgunakan kode etik Dokter. Jangan sampai saya mempertimbangkan masalah ini," ucap Dokter Ardi menekan suaranya yang terlihat sangat serius. Karena tidak mendapatkan jawaban dari Zeva.
"Bagaimana ini," batin Zeva.
"Berikan hasil otopsinya sekarang juga!" titah Dokter Ardi. Zeva semakin panik mendapatkan perintah itu.
"Ayo cepat ambil!" desak Dokter Ardi.
"Ini hanya salah paham," sahut Askara tiba-tiba.
"Hasil otopsi ada pada saya," sahut Askara.
"Seperti yang Dokter katakan sebelumnya kepada Dokter Zeva. Beliau harus memberikan hasil otopsi pertama kepada saya untuk saya periksa dulu," jelas Askara singkat.
"Maaf tuan Firman. Anda bisa kembali datang besok dan saya akan memberikan otopsinya. Setiap rumah sakit memang selalu memiliki peraturan yang berbeda. Jadi mohon untuk mengerti dan kerja samanya," ucap Askara dengan tenang.
"Baiklah jika seperti itu. Oke saya akan kembali untuk mengambil apa yang saya minta," sahut Firman santai.
"Saya permisi!" ucap Firman pamit.
Firman yang ingin pergi berdiri sebentar di depan Askara.
"Dia jauh lebih dewasa saat dulu dan sekarang terkesan anak-anak!" ucap Firman menyunggingkan senyumnya menepuk bahu Askara. Lalu Firman pergi begitu saja.
"Dokter Zeva saya sangat berharap kejadian ini tidak akan terulang lagi. Kamu sebagai seorang Dokter harus bisa memposisikan diri kamu berbicara dengan baik kepada orang lain. Bukan ramah kepada pasien saja. Jaga sikap kamu dan jangan mempermalukan diri kamu dengan kepribadian kamu yang salah," tegur Dokter Ardi dengan memberikan peringatan.
Zeva hanya menganggukkan kepala yang kembali menunduk. Dokter Ardi pun langsung pergi dan hanya meninggalkan Askara dan Zeva.
"Ikut denganku!" titah Askara yang terlebih dahulu pergi meninggalkan Zeva.
"Aku selamat. Tapi aku yakin tidak akan selamat dengannya. Pasti akan lebih parah lagi,"batin Zeva yang memegang dadanya yang berdebar kencang yang tampak takut.
***********
Zeva dan Askara sudah berada di ruangan pribadi Askara. Zeva berdiri di depan Askara yang bersandar pada pinggir meja dengan setengah duduk dengan kedua tangan Askara di lipat di dadanya dan menatap Zeva yang sejak tadi menundukkan kepala yang menghindari tatapan darinya.
"Kamu melakukan otopsi sendiri?" tanya Askara. Zeva mengangguk.
"Tanpa ada Suster dan Dokter pendamping?" tanya Askara lagi.
"Iya!" jawab Zeva dengan bibir bergetar.
"Lalu kamu melakukan otopsi?" tanya Askara lagi. Zeva mengangguk ragu.
"Jangan ngaco kamu Zeva. Mana ada Dokter melakukan pembedahan sendiri. Mau kamu Dokter paling hebat, hal itu juga tidak akan bisa terjadi!" tegas Askara menekan suaranya dan Zeva memejamkan mata yang terlihat pasrah.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments