“Gugurin kandungan lo ya, Na.”
Rayyan menatap lekat mata Alana. Mengatakan hal itu dengan yakin dan mantap.
Alana tersenyum sinis. Dia mengalihkan pandangan ke depan. Air matanya meluncur begitu saja tanpa sanggup lagi dia tahan. Alana memegang perut datarnya, merasakan sakit yang tidak pernah Alana rasakan.
“Gampang banget lo ngomong gitu,” ucap Alana dengan suara tercekat.
“Ini demi kebaikan kita berdua. Kita masih terlalu muda buat jadi orang tua.”
“Anak ini gak akan ada kalo bukan gara-gara lo," lanjut Alana dengan suara tercekat.
Rasa sakit itu menjalar di tubuh Alana, membuat tenggorokannya tercekat. Alana menarik napas panjang. Rasanya seperti dia tidak bisa lagi bernapas.
Rayyan menoleh pada perut Alana. Alana masih memegangi perut, meremas baju yang dikenakannya.
“Iya gue tau. Makanya gue minta maaf sama lo.”
Alana mengalihkan pandangan, menarik napas dalam-dalam, sebelum kembali menoleh pada Rayyan.
“Gugurin ya, Na," pinta Rayyan lain.
"Enteng banget lo ngomong gitu. Dimana hati nurani lo? Lo tega?"
“Itu yang terbaik buat kita berdua. Gue gak mau hancurin hidup gue cuma buat anak itu. Lo juga. Lojuga pasti gak mau hancurin hidup lo cuma buat anak itu, kan? Lo masih mau kuliah kan, Na? Lo baru lulus loh, Na. Lo juga pasti masih pengen main, ngejar cita-cita lo? Lo pasti masih pengen bebas kan, Na?!”
Alana berdiri di hadapan Rayyan. Matanya memerah, berlinang air mata, tapi Alana menatap Rayyan tajam dan penuh kebencian.
“Iya! Gue pengen semua itu! Gue masih pengen kuliah! Gue udah diterima di kampus impian gue! Gue masih pengen belajar banyak hal! Ngelakuin banyak hal! Dan semuanya berantakan gara-gara lo! Hidup gue hancur gara-gara lo!”
Napas Alana memburu. Tangannya terkepal kuat hingga dia dapat merasakan kuku-kukunya menancap di telapak tangan. Air matanya meluncur.
Rayyan ikut berdiri di hadapan Alana.
“Ya udah. Makanya, Na. Lo gugurin aja anak itu. Anak itu cuma jadi batu sandungan buat kita.”
“Gampang banget lo ngomong!" seru Alana marah. "Egois banget lo! Iya! Lo enak! Lo cuma ngelakuin itu abis itu udah! Selesai! Gue! Gue yang kehilangan kehormatan gue! Gue yang harus hamil anak lo! Gue juga yang harus ngerasain sakit ngegugurin anak ini! Gue yang ngerasain!”
Alana menepuk dadanya berkali-kali sembari mengatakan kalimat itu. Tapi gerakan itu tidak dapat mengurangi rasa sesak di dadanya. Rasanya seperti dada Alana dihimpit dua batu besar.
Alana menunduk, mengepalkan tangannya erat-erat.
“Kenapa harus gue?" ucapnya lirih.
Sesat kemudian, Alana mendongak menatap Rayyan tajam. "Kenapa harus gue yang ngerasain ini?! Kenapa harus gue yang lo lecehin?!”
Alana rasanya hancur. Hatinya hancur berkeping-keping. Harga dirinya sudah tidak ada lagi. Dadanya terasa sesak hingga Alana kesulitan bernapas.
“Ya itu salah lo juga!" seru Rayyan.
"Kenapa lo gak kunci kamar lo?! Kenapa lo nggak menghindar malam itu?! Kenapa lo biarin semuanya terjadi?!” s
“Lo yang masuk kamar gue!!!” teriak Alana frustasi.
Alana menatap sengit mata Rayyan penuh kebencian. Alana semakin terisak dalam tangisnya.
“Lo yang masuk kamar gue… lo yang ngelecehin gue….” isak Alana lirih.
“Menurut lo, gue bisa apa? Gue takut. Gue takut banget. Menurut lo, gue sehancur apa?” Alana menunduk dalam-dalam. “Gue juga nggak mau, tapi lo-
Rayyan menghela napas kasar. Dia mengacak rambutnya frustasi, kemudian menatap Alana yang masih menunduk dengan tajam.
“Sekarang mau lo apa?!”
Alana diam. Jujur saja Alana masih tidak tahu apa yang dia inginkan. Alana tidak tahu dia harus melakukan apa, hanya saja mendengar Rayyan ingin dia menggugurkan kandungannya membuat hati Alana sakit.
“Lo mau gue tanggung jawab? Nikahin lo?!” tanya Rayyan lagi dengan nada tinggi.
Alana hanya terisak dalam tangisnya.
“Enak banget ya! Enak banget, setelah waktu itu lo pergi gitu aja. Gak ngomong apa-apa. Gak kasih tau juga. Gue bingung! Tahu gak sih?! Gue bingung! Gue gak tahu gue abis ngelakuin apa ke siapa?! Gue gak tau apa yang terjadi! Gak ada yang bisa jelasin ke gue!”
“Gimana bisa gue tetap disana?! Gimana caranya gue bisa tetap disana?! Sedangkan disana gue ngelihat lo yang masih bisa tidur pulas setelah ngelecehin gue! Menurut lo gimana rasanya?!”
Rayyan mengacak rambutnya frustasi. Tangannya bergerak memukul udara di sekitar. Napasnya memburu. Otot-otot di wajahnya sampai terlihat. Rayyan marah, bingung, dan frustasi.
Sesaat kemudian, dia menoleh pada Alana.
“Sekarang gini aja, lo bisa buktiin gak kalo itu benar-benar anak gue? Bisa aja kan, anak itu bukan anak gue. Terus lo manfaatin kondisi gue yang lagi bingung tentang malam itu buat tanggung jawab atas anak lo itu!”
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Rayyan.
“Serendah itu gue di mata lo?” seru Alana dengan nada tertahan.
Alana menatap Rayyan tajam. Matanya yang berlinang air mata menatapnya marah.
“Gue gak akan hamil kalo bukan gara-gara lo!”
Alana berjalan cepat pergi meninggalkan tempat itu. Alana ingin menjauh sejauh mungkin dari Rayyan. Sudah cukup hatinya sakit mendengar perkataannya. Sudah cukup harga dirinya diinjak-injak oleh Rayyan. Alana tidak ingin mendengarkan apapun lagi dari mulut Rayyan.
Di belakang, Rayyan berteriak kesal sambil mengacak rambutnya frustasi dan memukuli udara di sekitarnya. Beberapa kali, umpatan terdengar dari mulut Rayyan.
Alana tidak peduli, dia sudah cukup sakit hati dengan perkataan Rayyan.
Beberapa puluh meter menjauh dari Rayyan. Tubuh Alana lemas. Alana seperti kehilangan seluruh kekuatannya. Dia memegang sebuah pohon untuk menjaga keseimbangan kemudian duduk di bawahnya sembari menangis sesenggukan.
Alana mengambil ponselnya dan menelpon Dinar.
“Din, bisa jemput gue gak?” tanya Alana pelan.
Dinar baru saja makan sesuap sendok saat Alana menelponnya dengan isakan tangis.
Dengan cepat, gadis itu mengambil mobil ayahnya untuk menjemput Alana. Dinar sebenarnya belum diperbolehkan membawa mobil sendiri. Kalau ayahnya tahu, dia pasti marah. Tapi untung saja ayah Dinar sedang tidak di rumah.
Dinar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk menemui Alana. Dari suaranya, Alana sepertinya sedang kacau. Jadi, Dinar khawatir dengan Alana.
Langit sudah sempurna gelap saat Dinar sampai di tempat yang Alana sebutkan. Dia segera turun dari mobil kemudian berlari mendekati Alana yang sedang menangis di bawah pohon dengan wajah yang berada dalam lipatan tangan.
“Na.” Dinar menyentuh bahu Alana pelan.
Alana mendongak. Melihat wajah Dinar di depannya, Alana langsung menghamburkan diri memeluk Dinar. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Na, tenang, Na.”
“Dia bajingan, Din. Dia bajingan,” isak Alana.
Dinar yang tidak tahu apa-apa hanya bisa mengusap lembut punggung Alana.
Setelah Alana puas menangis disana dan membuat baju Dinar basah akibat tangisannya, Dinar mengajak Alana untuk pulang. Tapi Alana menolak. Dia tidak ingin pulang. Alana tidak ingin bertemu kedua orang tuanya. Akhirnya selama perjalanan, Dinar menelpon Dewi untuk memintakan izin Alana untuk menginap di rumahnya. Dan sepanjang jalan pula, Dinar harus menjawab segala pertanyaan dari Dewi.
Dinar hampir saja marah pada Alana jika saja tidak kasihan melihat kondisi Alana yang masih sesenggukan menghadap ke luar dari jendela mobil. Tidak tidak mengatakan sepatah apapun, hanya suara sesenggukan yang terdengar.
“Awas aja lo, Ray,” desis Dinar pelan.
...***...
Rayyan masih terdiam di tepi danau 5 jam kemudian. Kepalanya terasa seperti ingin meledak memikirkan semua hal ini. Rayyan saja tidak ingat apa yang dia lakukan malam itu dan apakah malam itu benar-benar Alana. Tidak ada yang bisa memastikan hal itu untuknya. Tapi sekarang tiba-tiba dia tahu kalau Alana sedang mengandung anaknya setelah sebulan yang lalu menghilang begitu saja tanpa ada kabar sedikitpun.
Hal ini benar-benar membuat Rayyan frustasi.
Rayyan membuka ponsel saat mendengar ponselnya berdering pelan. Diangkatnya telepon dari Riza.
“Lo dimana, cok?!” teriak Riza dari ujung telepon.
“Kenapa?” Rayyan menjawab seadanya.
“Balapan woi!! Ini lo udah ditungguin sama anak-anak! Katanya mau, tapi gak dateng-dateng!!”
“Woi, Ray! Jadi gak lo?! Sini cepetan!!” sela Jeri dari ponsel Riza.
“Otw.”
Rayyan menutup ponselnya kemudian bangkit. Rayyan segera pergi dari tempat itu menuju tempat balapan liar dimana teman-temannya sudah menunggu. Rayyan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota Jakarta. Beberapa kali mendapatkan umpatan dari orang-orang yang terkejut dan tidak terima saat Rayyan melewatinya dengan ugal-ugalan dan kecepatan tinggi.
Rayyan tidak peduli. Dia ingin membiarkan angin malam menerpa tubuhnya, membawa terbang semua beban-beban berat yang ada pada dirinya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
mayang sari
seru ceritanya🙂😚
2024-10-04
1