“Halo, anaknya Papa udah bangun,” sapa Fadli, Papa Alana saat melihat Alana berjalan menuju meja makan.
Alana mengulas senyum.
“Morning, Pa, Ma.”
Alana mencium pipi orang tuanya bergantian, lantas bergabung di meja makan untuk sarapan bersama.
“Morning, sayang.”
“Kata Mama, kamu sakit sayang. Iya?”
“Papa sih sibuk banget kerja sampai anaknya sakit gak tahu padahal serumah,” ucap Alana.
“Emang dasar Papa kamu, Na, Na,” sahut Dewi.
“Maaf, Sayang. Papa kemarin ada meeting penting dari Jerman buat proyek baru Papa.”
“Papa mah tiap hari juga ada meeting penting terus,” ucap Alana ngambek.
“Ya gimana lagi, sayang. Papa kan harus kerja buat kamu buat Mama. Lagian tuh proyek ini penting banget buat perusahaan, kalo proyek ini berhasil, papa-
“Udah deh, Pa. Gak usah mulai bahas pekerjaan di meja makan,” sela Dewi.
Alana tertawa pelan.
“Permisi. Ini telur dadarnya, Ibu.”
Mbak Wati, asisten rumah tangga, datang dengan membawa sepiring telur dadar permintaan Dewi.
“Iya, makasih, Mbak,” jawab Dewi.
“Saya permisi dulu.”
Mbak Wati pergi meninggalkan ruang makan setelah memberikan sepiring telur dadar itu.
Kebahagiaan terlihat di wajah Dewi, sedangkan Alana menatap telur itu tidak suka. Alana suka telur, tapi entah kenapa sekarang rasanya, Alana enek mencium bau telur dadar yang baru matang itu. Baunya terlalu menyengat.
“Mama pengen banget makan telur dadar, makanya tadi minta Mba Wati buat bikinin,” ucap Dewi.
Alana menutup mulutnya. Dia ingin muntah, tidak tahan dengan bau telur itu.
“Pa, Ma, Alana ke atas dulu ya, perut Lana gak enak.”
“Ya ampun, sayang, masih sakit? Ya udah kamu keatas aja istirahat. Nanti makanannya diantar sama Mbak Wati aja.”
“Iya, Sayang kamu istirahat aja.”
Alana segera pergi meninggalkan ruang makan. Berlarian menaiki tangga menuju kamar, lalu langsung masuk kamar mandi. Alana memuntahkan isi perutnya.
Alana bersandar di dinding kamar mandi, menghela napas berat. Alana memejamkan mata dan memegang perut ratanya. Menghela napas berat berkali-kali. Mencoba menepis pikiran negatif yang berlalu lalang di kepalanya.
“Alana, Papa masuk yaa.”
Terdengar suara Fadli dari dalam kamar Alana. Alana segera membersihkan wajah dan mulutnya kemudian keluar. Dilihatnya Fadli sedang meletakan nampan makanan di atas meja.
“Kamu kenapa, Sayang?”
Alana menggeleng pelan. Dia mengikuti Fadli duduk di atas kasur. Fadli mengusap lembut kepala Alana.
“Kasian banget, sampai sakit. Kecapekan ya kamu.”
Alana mengangguk seadanya.
“Gak usah belajar dulu, kamu istirahat aja, main-main.”
Alana mengangguk lagi.
“Anak kesayangan, Papa.”
“Pa, Alana mau nanya dong. Dulu pas mama hamil Lana, mama gimana?”
“Kok nanya gitu?”
Alana menggeleng pelan. “Gak papa sih, Pa. Kemarin Alana lihat-lihat album foto pas Alana kecil, terus lihat foto mama pas lagi hamil juga. Alana… penasaran aja,” ucap Alana bohong.
“Kirain kenapa tanya gitu. Mm… mama pas hamil Lana dulu… ngerepotin banget.” Papa berbisik dan tertawa pelan.
“Pas hamil Lana, wah tiap pagi berbulan-bulan mama muntah-muntah terus. Mana banyak banget maunya, gak tau bawaan kamu apa maunya mama. Ohiya, mama dulu juga benci banget sama bau yang menyengat. Papa aja pernah diusir dari kamar karena kata mama, Papa bau. Apalagi sama telur, benci banget Mama kamu sama yang namanya telur. Katanya bikin enek baunya. Muntah-muntah terus setiap ada telur.”
Alana tersenyum hambar. Itu yang sedang Alana rasakan saat ini. Jantung Alana berdetak kencang.
Fadli masih bercerita banyak tentang Dewi saat mengandung Alana, tapi Alana sudah tidak memperhatikan. Pikiran Alana kacau. Alana takut. Bagaimana kalau Alana benar-benar hamil? Apa yang harus Alana lakukan? Bahkan Alana pun tidak dapat memikirkan solusi untuk itu.
“Lana,” panggil Fadli yang membuat Alana tersadar dari lamunannya. “Tadi minta Papa cerita, Papa cerita, kamu malah gak dengerin.”
“Maaf, Pa,” ucap Alana pelan. “Alana agak pusing.”
Fadli menghela nafas pelan. “Ya sudah, sekarang kamu makan aja, minum obat, terus istirahat, yaa.”
Alana mengangguk.
“Papa ke kantor dulu.”
Alana mengangguk lagi.
...***...
Hingga siang hari, Alana tidak kemana-mana. Dia benar-benar hanya mengurung diri di kamar sambil over thinking seharian. Jadi, menjelang sore hari, Alana berinisiatif untuk jogging. Di dekat rumah Alana ada sebuah taman yang ada jogging track. Biasanya di pagi dan sore hari banyak orang-orang yang jogging di tempat itu. Salah satunya Alana.
Meskipun Alana suka menghabiskan waktu dengan belajar, biasanya seminggu sekali dia menyempatkan diri untuk jogging di taman itu.
Alana melakukan pemanasan ringan ketika sampai di taman. Setelah dirasa cukup, Alana mulai berlari dengan kecepatan konstan menyusuri jogging track sambil mendengarkan musik melalui earphone yang ada di telinganya. Alana memang suka mendengarkan musik dimanapun dia berada.
Dengan berlari sambil mendengarkan musik, Alana bisa melupakan bebannya sejenak. Alana bisa merilekskan badannya setelah seharian sumpek dengan berbagai pikiran negatifnya.
Setelah beberapa menit, Alana berhenti. Dia duduk lesehan di pinggir jalan setapak yang ada di taman tersebut. Alana mengatur nafasnya sambil meluruskan kaki. Seperti dugaannya, tempat itu cukup ramai. Banyak orang yang duduk-duduk melakukan aktivitasnya masing-masing, mengobrol, berolahraga, belajar, ada juga yang bermain disana.
Matahari semakin turun memancarkan semburat jingga di langit barat. Langit jingga itu bersinar melewati pepohonan di taman, menyentuh kulit Alana. Meskipun indah melihat langit sore yang cerah itu, Alana harus segera pulang. Alana tidak boleh pulang malam. Itu larangan bagi Alana. Karena itu, saat ada acara ulang tahun temannya satu bulan yang lalu, Dinar sampai diwawancara oleh kedua orang tuanya.
Alana bangun dari tempatnya. Dia berjalan santai menuju ke rumahnya. Tidak perlu menggunakan kendaraan, rumah Alana hanya beberapa ratus meter dari taman. Saat berjalan pulang, Alana melewati minimarket. Dia memutuskan untuk masuk dan membeli minuman.
Alana mengambil minuman strawberry dan beberapa camilan. Saat hendak menuju kasir, sambil melihat-lihat, Alana melihat ada testpack di salah satu rak dekat kasir. Alana menghentikan langkahnya. Jantungnya berdetak kencang. Alana ingin membeli itu untuk memastikan keadaanya, tapi Alana takut. Dia juga malu jika ada yang melihatnya mengambil testpack itu.
Setelah beberapa menit menimbang sambil beberapa kali memutari minimarket, Alana memutuskan untuk membeli test pack itu. Alana memastikan dulu lorong rak itu tidak ada orang sebelum mengambilnya. Dengan cepat, tanpa perlu memilih, kemudian menuju ke kasir.
Alana memberikan barang belanjaannya termasuk testpack itu ke kasir. Dia menunggu kasir menghitung jumlah belanjaannya dengan jantung berdetak kencang. Alana gugup.
Seperti dugaannya, saat kasir perempuan itu melihat testpack diantara barang belanjaan Alana, kasir perempuan itu menatap Alana. Alana yang panik ditatap seperti itu, refleks mengambil ponsel.
“Halo, Ma. Iya, Lana udah beli testpack titipan, Mama. Mama ih yang bener aja, nitipin testpack ke Lana,” ucap Alana bohong.
Alana tersenyum pada mbak-mbak kasir itu. Mbak-mbak kasir itu balik tersenyum pada Alana.
Alana menurunkan ponselnya dengan jantung berdetak kencang, untung saja Alana kepikiran untuk itu. Alana menerima barang belanjaannya kemudian keluar. Saat hendak pulang, Alana mencari testpack itu dari dalam plastik kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket yang dipakainya.
...***...
“Assalamu’alaikum.”
Alana melangkah memasuki rumah. Di ruang tamu ternyata sudah ada Dinar yang menunggunya sambil mengobrol dengan Dewi.
“Wa’alaikumsalam.”
“Akhirnya yang ditunggu-tunggu balik juga,” celetuk Dinar.
“Ngapain lo kesini?”
“Ya elah gitu amat sama temen sendiri.”
Alana terkekeh pelan. Dia mencium tangan Dewi.
“Mama masuk ke dalam dulu ya, kalian bisa ngobrol.”
“Iya, Ma.” “Iya, tante.”
Dewi masuk ke dalam rumah meninggalkan mereka berdua.
“Rajin amat sih lo, jogging segala,” komentar Dinar.
“Biar sehat. Ke kamar gue aja yuk! Gue mau bersih-bersih. Nih, gue juga ada bawa makanan.”
Alana mengangkat plastik belanjaannya yang disambut gembira oleh Dinar. Mereka berdua berjalan memasuki kamar Alana. Dinar langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur, sementara Alana melepaskan jaketnya dan bersih-bersih.
“Asik!! Makan-makan!” celetuk Dinar sambil membongkar plastik jajan Alana. Jajanan Alana tumpah di atas kasur.
“Makan gih sampe muntah!”
Dinar tertawa pelan.
“Gue mandi dulu ya bentar.”
“Yoi!”
Dinar membuka plastik jajan dan mulai memakannya. Sementara Alana sudah masuk ke kamar mandi. Selama beberapa menit, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing, Alana mandi dan Dinar bermain ponsel sambil makan jajan.
Dinar mengalihkan pandangannya saat mendengar dering ponsel. Awalnya Dinar mengabaikannya, tapi bunyi dering ponsel itu tidak kunjung berhenti dan membuat Dinar muak.
“Na! HP lo bunyi! Berisik banget! Ngapain sih lo pasang alarm jam segini?!!” teriak Dinar.
“Matiin aja, Din! HPnya di saku jaket!” balas Alana yang dengan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di dalam kamar mandi.
Beberapa saat setelah mengatakan itu, Alana menyadari ucapannya. Alana segera mematikan hair dryer itu dan membuka pintu kamar mandi. Tepat seperti dugaannya, saat pintu kamar mandi terbuka, Alana dapat melihat Dinar yang sedang memegang testpack miliknya.
“Na,” panggil Dinar pelan sambil menatap Alana penuh pertanyaan.
Sesaat kemudian, Dinar tertawa. “Nyokap lo hamil, Na?”
“Akhirnya! Seorang Alana punya adik juga! Gak jadi anak tunggal kaya raya yang banjir warisan orang tua!” seru Dinar asik sendiri.
Tapi Alana masih diam. Dia membeku tidak dapat mengucapkan apapun. Hal itu membuat Dinar bertanya-tanya.
“Ini punya nyokap lo, kan, Na?” tanya Dinar hati-hati.
Sebagai jawabannya, Alana justru menangis. Tubuhnya luruh terjatuh ke lantai. Dinar yang panik segera menghampiri Alana dan memeluknya.
“Na, Na, lo kenapa nangis?” tanya Dinar dengan suara panik.
Alana tidak bisa berkata apapun, dia hanya bisa memeluk Dinar erat-erat.
“Na, lo jangan bikin gue takut gini dong.”
Alana membenamkan kepalanya di bahu Dinar, menangis terisak. Sementara Dinar hanya bisa mengusap punggung Alana untuk menenangkannya walau dia sendiri juga panik.
“Gue… gue dilecehin, Din,” ucap Alana pelan dengan suara bergetar.
“Na?”
Dinar melepaskan pelukannya. Dia memegang kedua lengan Alana dan menatap lekat matanya yang berlinang air mata.
“Na? Lo?”
Dinar kembali tertawa. “Bercandaan lo gak lucu, Na! Lo ngeprank, kan? Sekarang tanggal berapa sih? Ultah gue kah? Apa April mop? Gak mempan Na, bercandaan lo gini.”
Alana masih terisak dalam tangisnya.
“Na! Lo bercanda, kan?!” teriak Dinar.
Untung saja rumah Alana luas, jadi kemungkinan besar tidak ada yang mendengar suara teriakan Dinar.
Alana menggeleng lemah.
Dinar menghembuskan napas berat. Dia mengalihkan pandangannya dari Alana. Tidak tidak habis pikir dengan apa yang baru saja dia dengar. Alana tidak seperti itu. Dia gadis baik-baik yang selalu dijaga oleh kedua orang tuanya.
“Gue takut, Din,” ucap Alana pelan.
Dinar menoleh pada Alana. Dengan rambut yang masih berantakan dan setengah kering serta air mata yang mengaliri pipinya, Alana terlihat sangat berantakan. Dinar prihatin dengan kondisinya.
Dinar kembali memeluk Alana erat. Mengusap lembut punggung Alana untuk menenangkannya. Dinar kehabisan kata-kata.
“Siapa yang ngelecehin lo, Na?”
Alana diam sebentar, menimbang untuk mengatakannya. Lalu dengan suara bergetar, Alana menyebutkan satu nama.
“Rayyan.”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
mayang sari
duuh si rayyan😔
2024-10-04
1