Chapter 4 - Keputusan

Alana merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari menatap langit-langit kamar. Sebelah tangannya diletakkan di perut. Berpikir. 

Alana sudah tahu kalau dia benar-benar hamil. Ada bayi di dalam perutnya. Bayi yang tidak pernah diharapkan ada di dunia ini saat ini. Alana menghela napas berat. Alana harus bagaimana dengan bayi itu?

Apa Alana harus bunuh diri? Alana akan malu sekali jika orang lain tahu bahwa dirinya hamil. Siswa berprestasi kebanggaan sekolah yang dulu selalu mendapatkan juara di setiap perlombaan dan mendapatkan rangking satu angkatan, hamil di luar nikah. Itu berita yang buruk sekali. Tapi masalahnya, Alana takut. Dia belum mau mati sekarang. Banyak impian yang belum Alana capai, salah satunya kuliah di SNU.

Apa Alana harus menggugurkan bayi itu? Tapi Alana takut. Alana takut untuk melakukan itu. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada dirinya? Lagipula, aborsi pasti sakit kan? Lalu bayinya, bayi itu tidak salah apapun meskipun dia memang tidak diharapkan ada di dunia ini. Kasihan jika Alana harus membunuh bayi itu.

Atau apakah Alana harus mempertahankan bayi itu? Tapi Alana lebih takut untuk memberitahu kedua orang tuanya. Orang tua Alana pasti akan sangat marah, kecewa, dan sedih. Alana tidak sanggup untuk melihat itu. Alana juga takut menghadapi berita yang nanti tersebar jika orang-orang tahu Alana hamil. Alana malu. Alana tidak sanggup menghadapinya. Lagipula, bagaimana Alana mempertahankan bayi itu? Bagaimana caranya?

Ponsel Alana yang ada di samping tubuhnya berbunyi pelan memecah pemikiran Alana. Alana segera meraihnya. Ada panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Alana memutuskan untuk mengangkatnya.

“A-Alana?”

“Iya, ini siapa?”

“Ini gue, Na. Rayyan.”

Satu kata yang membuat jantung Alana berdetak kencang. Alana langsung bangun dari tempat tidur tanpa mengatakan apapun. Tubuh Alana gemetar ketakutan. Kejadian itu tanpa diizinkan terlintas lagi di benaknya. Kejadian itu memang sudah berlalu, tapi rasa takut yang Alana rasakan saat itu, masih terasa sampai saat ini.

“Gue mau ketemu sama lo, Na.”

Alana masih dalam posisi membatu sempurna. Alana belum sempat memikirkan bagaimana cara menghadapi laki-laki yang telah menodainya. Alana belum siap untuk melihat wajah laki-laki itu.

“Na?”

“I-iya.”

“Bisa ketemu? Ada yang harus kita bahas, kan?”

Alana tanpa sadar mengangguk walau dia tahu Rayyan tidak dapat melihatnya.

“Gue share lokasinya.”

Sambungan telepon itu terputus. 

Alana segera mengambil air minum yang ada di kamar dan meminumnya hingga habis. Alana mengatur napasnya yang memburu. Jantungnya berdetak begitu cepat. Dia memegangi sisi meja untuk menjaga keseimbangan.

Alana ketakutan setengah mati. Badannya masih gemetaran. Tanpa diinginkan kilasan kejadian itu terlihat dalam memorinya. Berputar berulang kali membuat Alana lemas ketakutan. Air mata Alana menangis tanpa sanggup dia cegah. Alana bersimpuh di samping meja belajarnya.

Sepuluh menit kemudian, Alana baru dapat mengendalikan tubuhnya. Setelah merasa baik-baik saja, Alana segera mengganti baju dan bersiap untuk pergi ke tempat yang disebutkan Rayyan, yaitu sebuah danau yang terletak cukup jauh dari rumahnya.

...***...

“Yang, kamu kenapa sih?” tanya Vanya pada Rayyan

Rayyan hanya diam setelah kembali dari toilet untuk menelpon Alana. Bahkan sebelum ke toilet, setelah mengobrol dengan Dinar, Vanya dapat merasakan bahwa pikiran Rayyan tidak ada bersamanya. Rayyan hanya melamun.

“Gak papa.”

Vanya tentu saja tidak percaya. “Kamu bohong, Yang. Sejak ngobrol sama Dinar, kamu jadi melamun terus. Kamu mikirin apa? Dinar ngomong apa ke kamu?”

“Bukan masalah penting kok, yang.”

“Bukan masalah penting, tapi kamu-nya kepikiran gini.” Vanya memegang tangan Rayyan yang ada di atas meja. “Ada apa? Ada masalah?”

Rayyan mengangguk pelan. “Dikit. Yang, aku pergi dulu gak papa, ya. Aku mau selesain masalahku dulu.”

“Masalah apa sih, Yang?”

“Gak papa, gak penting kok. Cuma harus diberesin aja. Gak papa ya kamu pulang sendiri?”

Vanya merenggut. “Masa aku ditinggalin sih. Harus banget sekarang?”

“Iya, Yang. Gak papa ya?”

Vanya menghela napas kasar, masih dengan wajah yang masam. “Ya udah deh, gak papa.”

“Maaf ya.”

Vanya tidak menjawab ucapan Rayyan. Dia hanya menunduk sambil mengaduk-aduk es krim miliknya tanpa minat. 

“Hati-hati pulangnya, aku pergi dulu.” Rayyan mengusap pelan puncak kepala Vanya. “I love you.”

Ucapan Rayyan tidak dijawab oleh Vanya yang masih merajuk. Tapi Rayyan tidak ada waktu untuk memikirkan Vanya. Dia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Alana. Jadi Rayyan tetap pergi tanpa mengindahkan wajah masam Vanya. 

Vanya berdecak sebal saat Rayyan pergi tanpa sekalipun menoleh padanya.

“Malah pergi beneran! Nyebelin banget sih gue ditinggal sendirian di sini!”

...***...

Alana sampai di tempat yang Rayyan katakan pada sore hari. Seharusnya matahari masih bersinar terang, tapi karena kondisi cuaca yang saat itu sedang mendung, awan-awan hitam menggumpal di langit, langit pun menjadi gelap. Meskipun masih sore hari, tapi suasananya seperti menjelang malam. Beberapa kali gemuruh juga terdengar memekakkan telinga.

Karena hal itu juga, suasana danau tempat Alana berada cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang lalu lalang melintas. Itu juga jaraknya jauh dari tempat Alana duduk. Alana duduk di sebuah kursi panjang di tepi danau, tepatnya di sudut danau yang jarang dilewati orang karena tidak ada spot menarik di sana.

Alana memang sengaja memilih tempat yang sepi untuk membahas hal itu dengan Rayyan karena Alana tidak ingin ada yang mendengar percakapan mereka. Alana malu. 

Alana menatap lurus ke depan pada air danau yang terlihat begitu tenang. Badan Alana memang ada di sana, tapi tidak dengan pikiran Alana. Pikiran Alana berkelana entah ke mana, memikirkan segala hal buruk yang mungkin akan terjadi kepadanya, memikirkan situasi masa dengan yang akan terjadi padanya. 

“Alana?”

Alana menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Rayyan sudah berdiri di samping kursi panjang.

Jantung Alana berdetak kencang melihat Rayyan. Alana tanpa sadar mencengkeram kursi taman yang sedang dia duduki.

Kilasan malam itu, tanpa diizinkan kembali melintas di otaknya dan membuat jantungnya berdetak semakin kencang. Hanya dengan mendengar suaranya dalam telepon, Alana sudah ketakutan. Apalagi melihat Rayyan yang sekarang berdiri tepat dihadapannya. Alana ingin pergi saja dari tempat itu, tapi dia tidak bisa melakukan itu.

Mau tidak mau, siap tidak siap, Alana harus membicarakan bayi itu dengan Rayyan. 

Alana hanya bisa mengalihkan pandangan ke depan sambil menenangkan dirinya. Menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Berulang kali dia melakukan hal itu hingga ketakutannya mulai mereda.

Di sisi lain, Rayyan duduk di ujung kursi taman panjang, membentuk jarak setidaknya sekitar dua orang di antara mereka. Dia dapat melihat Alana yang mencengkeram kuat kursi panjang. Rayyan menghela napas pelan.

Tapi dia tidak sempat memikirkan Alana, situasi Rayyan tidak lebih baik. Dia kebingungan. Rayyan tidak tahu harus berbuat apa untuk ini. Jujur saja, Rayyan masih tidak tahu apa yang harus dia lakukan. 

Selama beberapa saat, tidak ada suara di antara mereka. Hening. Baik Alana maupun Rayyan sibuk dengan pemikiran masing-masing sambil mencoba menenangkan diri. 

“Na, maaf,” ucap Rayyan membuka pembicaraan.

Alana tidak merespon ucapan Rayyan. Dia masih tetap menatap air danau. Air danau itu tenang, tapi ada banyak ikan-ikan yang berlalu lalang di dalamnya. Sama halnya seperti Alana, dia bisa duduk dengan tenang, tapi jantungnya berdetak begitu kencang.

“Gue mau jujur-jujuran aja sama lo ya, Na,” ucap Rayyan lagi. Dia menoleh pada Alana yang masih diam menghadap ke depan tanpa bergerak sedikitpun.

“Malam itu-

Suara Rayyan tercekat. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk membuka pembicaraan sensitif ini. Alana juga memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam untuk mempersiapkan dirinya mendengar apapun ucapan Rayyan.

“Lo tau, Na. Malam itu… malam itu gue mabuk. Gue gak sadar sama apa yang gue lakuin.”

Mata Alana terpejam semakin kuat. Dadanya terasa sesak seperti terhimpit dua batu besar. Hanya dengan mendengar perkataan Rayyan tentang malam itu, hati Alana terasa sangat sakit. 

“Gue bahkan gak inget apa yang terjadi malam itu. Gue juga gak tau kalo gue ngelakuin itu ke lo. Pas gue bangun, gak ada siapapun.”

Alana masih dalam posisi membatu sempurna. Tangannya semakin keras mencengkeram  kursi panjang. Rasanya Alana tidak ingin mendengar apapun lagi. Dia tidak ingin membahas masalah ini, apalagi langsung dengan pelakunya. Tapi masalah ini harus dibicarakan. 

“Dan ya, gue ngelakuin itu tanpa ada rasa ke lo, Na.”

Sakit. Hati Alana terasa begitu sakit mendengar ucapan Rayyan. Iya, Alana tahu benar soal itu. Kejadian itu terjadi spontan begitu saja tanpa direncanakan dan tanpa ada niat. Tapi mendengar kata-kata itu keluar langsung langsung dari mulut Rayyan, hati Alana terasa begitu sakit. Alana merasa seperti menjadi perempuan murahan, dimana ada cowok yang bisa melakukan hal itu tanpa ada rasa ke Alana.

Itu sangat melukai harga diri Alana.

“Na, gue… gue gak siap buat jadi ayah.”

Cengkeraman tangan Alana ke kursi taman melemah. Tubuhnya juga itu melemah setelah mendengar kalimat itu. Rasanya seperti Alana kehilangan semua kekuatan dan tenaganya. 

Dengan gerakan perlahan, Alana menoleh pada Rayyan yang balik menatapnya.

“Gue gak siap, Na. Gue masih mau kuliah, Na. Gue masih pengen main-main sama temen-temen gue, gue masih pengen hidup bebas semau gue. Gue belum mau punya tanggungan. Lagian, gue punya pacar, Na.” Suara Rayyan melemah. “Gue sayang sama pacar gue, Na. Gue gak bisa tinggalin dia.”

Rayyan menghela napas pelan, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

“Gue gak mau hidup gue hancur karena bayi itu.”

Alana tidak bisa berkata apapun. Tenggorokannya tercekat. Dadanya terasa sakit dan sesak. Alana hanya mencoba untuk menahan air mata yang hendak keluar dari matanya. Hati Alana sakit, sakit sekali. Harga diri Alana sangat terluka dengan ucapan Rayyan.

Dan Alana juga tidak menyangka bahwa Rayyan ingin membunuh bayi itu. Entah kenapa, meskipun Alana tidak ingin ada bayi itu, tapi Alana merasa sakit. Alana seperti merasakan sakit yang dirasakan bayi itu.

“Gugurin kandungan lo ya, Na.”

...***...

Episodes
1 Chapter 1 - Malam Itu
2 Chapter 2 - Testpack
3 Chapter 3 - Rayyan
4 Chapter 4 - Keputusan
5 Chapter 5 - Pertengkaran
6 Chapter 6 - Memori Ingatan
7 Chapter 7 - Aborsi
8 Chapter 8 - Kesempatan Kedua
9 Chapter 9 - Alana atau Vanya
10 Chapter 10 - Kebenaran
11 Chapter 11 - Rumah Sakit
12 Chapter 12 - Kacang Polong
13 Chapter 13 - Pertimbangan
14 Chapter 14 - Tempat Pulang
15 Chapter 15 - Rumah Baru
16 Chapter 16 - Putus dan Terus
17 Chapter 17 - Latar Belakang
18 Chapter 18 - Hidup Baru
19 Chapter 19 - Malam Pertama
20 Chapter 20 - Jalan Berdua
21 Chapter 21 - Pacaran
22 Chapter 22 - Tinggal Berdua?
23 Chapter 23 - Hari Pertama
24 Chapter 24 - Rutinitas Semula
25 Chapter 25 - Hal Baru
26 Chapter 26 - Susu Ibu Hamil
27 Chapter 27 - Jejak Alana
28 Chapter 28 - Bubur Ayam
29 Chapter 29 - Pekerjaan Pertama
30 Chapter 30 - Sendirian
31 Chapter 31 - Alana Sakit
32 Chapter 32 - Ngambek
33 Chapter 33 - Martabak
34 Chapter 34 - Vanya Datang
35 Chapter 35 - Rayyan Sakit
36 Chapter 36 - Canggung
37 Chapter 37 - Riza Kecelakaan
38 Chapter 38 - Mencoba Pulang
39 Chapter 39 - Rayyan Tidak Pulang
40 Chapter 40 - Pertengkaran Hebat
41 Chapter 41 - Takut Dewasa
42 Chapter 42 - Menikah Itu Sulit
43 Chapter 43 - Baikan
44 Chapter 44 - Jalan Pilihan
45 Chapter 45 - Satu Ranjang
46 Chapter 46 - Bubur Kacang Ijo
47 Chapter 47 - Orang Tidak Dikenal
48 Chapter 48 - Minyak Kayu Putih
49 Chapter 49 - Makan Di Luar
50 Chapter 50 - New Alana
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Chapter 1 - Malam Itu
2
Chapter 2 - Testpack
3
Chapter 3 - Rayyan
4
Chapter 4 - Keputusan
5
Chapter 5 - Pertengkaran
6
Chapter 6 - Memori Ingatan
7
Chapter 7 - Aborsi
8
Chapter 8 - Kesempatan Kedua
9
Chapter 9 - Alana atau Vanya
10
Chapter 10 - Kebenaran
11
Chapter 11 - Rumah Sakit
12
Chapter 12 - Kacang Polong
13
Chapter 13 - Pertimbangan
14
Chapter 14 - Tempat Pulang
15
Chapter 15 - Rumah Baru
16
Chapter 16 - Putus dan Terus
17
Chapter 17 - Latar Belakang
18
Chapter 18 - Hidup Baru
19
Chapter 19 - Malam Pertama
20
Chapter 20 - Jalan Berdua
21
Chapter 21 - Pacaran
22
Chapter 22 - Tinggal Berdua?
23
Chapter 23 - Hari Pertama
24
Chapter 24 - Rutinitas Semula
25
Chapter 25 - Hal Baru
26
Chapter 26 - Susu Ibu Hamil
27
Chapter 27 - Jejak Alana
28
Chapter 28 - Bubur Ayam
29
Chapter 29 - Pekerjaan Pertama
30
Chapter 30 - Sendirian
31
Chapter 31 - Alana Sakit
32
Chapter 32 - Ngambek
33
Chapter 33 - Martabak
34
Chapter 34 - Vanya Datang
35
Chapter 35 - Rayyan Sakit
36
Chapter 36 - Canggung
37
Chapter 37 - Riza Kecelakaan
38
Chapter 38 - Mencoba Pulang
39
Chapter 39 - Rayyan Tidak Pulang
40
Chapter 40 - Pertengkaran Hebat
41
Chapter 41 - Takut Dewasa
42
Chapter 42 - Menikah Itu Sulit
43
Chapter 43 - Baikan
44
Chapter 44 - Jalan Pilihan
45
Chapter 45 - Satu Ranjang
46
Chapter 46 - Bubur Kacang Ijo
47
Chapter 47 - Orang Tidak Dikenal
48
Chapter 48 - Minyak Kayu Putih
49
Chapter 49 - Makan Di Luar
50
Chapter 50 - New Alana

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!