Hilman terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Komandan Polisi itu.
“Ayo cepat naik!” Ucap Seorang Polisi itu pada Hilman.
Dan segera Dia pun menurut kepadanya, tapi dalam pikirannya Hilman bertanya- tanya.
“Aku mau dibawa kemana? Apakah Komandan itu merencanakan sesuatu?” Begitu pikiran Hilman dibenaknya.
Dan tidak lama mereka pun meluncur dengan mobil tahanan meninggalkan Mirna dan orang- orangnya itu.
"Orang ini sudah bikin kita pusing, Komandan! Bila Aku lihat dari tampangnya tidak ada yang istimewa sedikit pun!” Ucap seorang Anak buahnya itu pada Komandan Willy.
"Coba pikir! Kenapa Harun terus mengejar dan memburunya jika Anak ini tidak ada apa- apanya!” Jawab Kompol Willy pada Anak buahnya itu menjelaskan.
Lantas Anak buahnya itu mengangguk pada Kompol Willy mengerti.
Mereka melihat Hilman sebagai pelarian malang yang diburu Harun, sehingga wajah tampannya tertutup masalah yang kini sedang mengejar- ngejarnya itu.
"Ini tujuan kita kemana, Komandan?” tanya Anak buahnya itu bingung.
“Seperti Perjalanan yang dulu, kita ke bukit Larangan!” Ucap Kompol Willy memberi tahu.
Kini Hilman tidak diam, Dia bicara karena merasa penasaran akan tujuannya itu.
“Kenapa kita harus kesana lagi, nanti jika Harun datang lagi gimana?” Tanya Hilman penasaran.
Mendengar Hikman bertanya, Perwira Polisi itu pun tertawa senang.
“Hahahaha…! Pokoknya Kamu ikuti saja, cerewet!” Jawab Kompol Willy padanya.
Hilman merasa tidak enak mendengar Komandan Polisi itu bicara padanya.
Terlihat Hilman langsung diam, pikirannya membayangkan Sinta dan Bayu serta Bibi Luna yang jauh dari dirinya itu.
“Aku memikirkan mereka berdua serta Bibi Luna yang terpisah denganku itu, sungguh mereka menderita lantaran Aku!” ucapnya dalam hati.
Membayangkan kedua sahabatnya itu membuat tanpa sadar Hilman menangis pilu.
“Jika boleh Aku ingin bertemu dengan kedua sahabatku dan Bibi Luna yang terpisah denganku, Apakah boleh tujuan kita kesana, Komandan?” Tanya Hilman pada Kompol Willy berharap padanya.
Mendengar permintaan Hilman dengan tulus dari hati sanubarinya itu, Kompol Willy pun seakan ikut bersedih karenanya, tapi dia sadar harus menutupi kesedihannya pada Hilman itu.
"Sudahlah, Hilman! Jangan memaksakan diri. Kamu harus turuti perintahku ini, Mengerti!” Ucap Kompol Willy menjawabnya.
Hilman terdiam sambil memandang ke depan, Mungkin dia merasa sakit hatinya karena keinginannya itu, Namun dia segera memahami keadaannya itu.
Meski begitu, Hilman yakin bisa bertemu lagi dengan mereka semua.
"Sekarang Istirahatlah, perjalanan kita masih jauh sekitar tiga jam dari sini, tidurlah!" lanjut Kompol Willy menyuruhnya.
Mendengar jawaban perhatian dari Komandan Polisi itu, akhirnya Hilman pun menurut untuk beristirahat, tidur dalam perjalanannya.
“Baik! Aku segera tidur!” Jawab Hilman menurut padanya.
Melihat itu, jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Kompol Willy pun menangis sedih melihat Hilman terlunta- lunta dalam hidupnya itu.
“Sungguh malang nasibnya, untuk tenang saja dia tidak bisa kelihatannya!” Ucap Kompol Willy dalam hati.
Hilman sangat tersentuh mendengar apa yang dikatakan oleh Komandan Polisi itu. Meskipun hanya kata-kata, namun sudah cukup untuk membuatnya terharu.
“Sekarang baru mulai terasa, ternyata Komandan Polisi itu memperhatikan dengan sayangnya padaku, itu sungguh bisa Aku rasakan, walaupun dia berusaha untuk menutupinya!” Ucap Hilman pada dirinya sendiri sambil merebahkan tubuhnya itu.
Namun penderitaannya terasa ingin muntah dalam pelariannya itu. Kini hari- harinya dipenuhi oleh rasa ketakutan, sehingga masalah mengejarnya tanpa kenal ampun.
"Aku harus luput dari kejaran Si Brengsek Harun itu, Aku harus mencari mereka yang terpisah denganku karena masalahku ini!” Begitu pikiran Hilman sebelum tertidur.
Tanpa menunggu lama, akhirnya mata Hilman pun terpejam, dan dia pun tertidur.
Setelah Hilman tertidur, semua yang berada dalam mobil ikut merasakan kelengangan dalam perjalanan itu, karena semua seakan sudah merasakan kelelahan yang amat sangat di tubuhnya itu.
********
Di lain Suasana.
Wanto menghampiri Anak buahnya itu dengan tatapan mata yang sangat tajam. Dia pun kemudian menarik nafas panjang seraya berkata pada mereka.
"Sudah pokoknya kamu turuti saja rencana Kita ini. Jangan pikirkan Harun yang akan marah pada kita, semoga saja rencana kita ini berhasil!" Ucap Wanto meyakinkan.
Mendengar ucapan Wanto yang terus memaksa untuk membuat Harun mengerti, mereka pun seakan ikut merasa khawatir.
“Bagaimana jika rencana Kita ini gagal, tuan?” Tanya Anak buahnya itu padanya.
"Sudahlah, Jangan membuat khawatir! Kita hanya berusaha semampu kita, jika Hilman pun kita tahan, resikonya lebih besar lagi, kita akan dihadapkan dengan Boss besar Tuan Ambarita, jika Dia tahu hancurlah kita!” Ucap Wanto padanya.
Setelah mengatakan itu Wanto langsung berlari pergi ke ruangannya. Sesampai di dalam ruangannya, dia tidak bisa menahan rasa kantuknya itu, dan tidak lama dia pun tertidur dalam posisi duduknya itu.
***
“Bangun!...Bangun! Sudah sampai ke tujuan. Cepat turun dari mobil ini!” Ucap seorang Polisi itu membangunkan Wanto.
Dengan merasa Kaget, Hilman pun lantas turun sambil mengucek- ngucek kedua matanya itu, dan dia pun berdiri terpaku melihat mobil yang membawanya langsung pergi meninggalkannya dan tanpa sempat untuk menahannya.
“Kenapa Aku ditinggalkan begitu saja? Dan mereka melaju begitu saja di hadapanku!” Ucap Hilman dalam hati dengan merasa kebingungan.
Hilman lantas berjalan dengan gontai dengan wajah lesunya. Pikirannya terus berputar tentang nasibnya sekarang.
“Tidak ada tujuan lain selain Villa kecil itu, dan terlihat Komandan Polisi itu secara tidak langsung menyuruhku kesaba, Biar Aku kesana saja!” Begitu dalam benak Hilman.
Hilman memutar otak bagaimana jika dia nanti bertemu Barun lagi.
“Bagaimana jika Si Brengsek Harun itu datang lagi kesana mencariku? Bisa berabe lagi jadinya!” Kekhawatiran Hilman dalam pikirannya itu.
Dia terus berjalan menyusuri dan mendaki bukit menuju Villa kecil bukit Larangan matanya tak henti terus menatap jalan dan yang curam menuju Villa itu.
Tiba- tiba ditengah perjalanannya Hilman teringat kedua Sahabatnya dan Bibi Luna.
"Ke mana aku harus mencari Sinta dan Bayu serta Bibi Luna itu? Aku ingin bertemu dengan mereka itu!" Ucap Hilman pada dirinya itu.
Hilman terus berpikir sambil berjalan. Karena saking kerasnya berpikir tentang bagaimana dia akan memenuhi perkataannya, kakinya pun melangkah tanpa henti untuk menuju Villa kecilnya itu.
Namun kemudian terbesit sebuah pikiran untuk kembali mencari mereka, seperti permintaan pada Komandan Polisi itu. Dengan kembali bersamanya, tentu saja keinginan itu yang menjadi masalah.
“Apakah Aku harus putar arah untuk mencari mereka? Tapi tempat dimana mereka berpisah dengan Aku dulu itu sangat jauh, dengan apa Aku kesananya?” tanya keraguan Hilman dalam hatinya itu.
Tapi Hilman pun menyadarinya, dengan semangat terus berjalan kaki menuju ke Villa kecilnya yang cukup jauh itu.
Setelah hampir dua jam berjalan kaki akhirnya dia pun tiba juga di atas bukit Larangan itu.
“Tidak terasa hanya beberapa langkah lagi Aku tiba juga di puncak bukit Sembrani itu!” ucap Kiyoshi di hatinya.
Namun saat dia hendak melangkah untuk selangkah lagi ke puncaknya, tiba-tiba saja Hilman merasa kaget. Matanya terbelalak melihat hamparan hitam bekas terbakar di depan matanya itu, Dia terperangah mulutnya tidak bisa bicara apa- apa, dia hanya bisa menatap kehancuran Villa kecilnya itu dengan penuh kesedihan.
“Siapa? Siapa yang telah berbuat setega ini? Dengan membakar Villa kecilku yang penuh kenangan ini!” Teriak Hilman dengan kerasnya yang membahana di seantero bukit itu saking sedihnya yang mendalam.
Selain itu, dendam di dalam hatinya pun semakin keras terasa. Sakit hati yang sudah terkubur di dalam hatinya kembali mencuat.
"Kenapa membakar Villa kecilku itu? Ini pasti ulah dari Si Brengsek Harun dan para begundalnya itu. Akan Kucari dan ku habisi mereka nanti!" ucap Hilman dengan amarahnya.
Oleh karena Villanya sudah habis terbakar, Himan pun bersimpuh sendirian meratapi akan nasibnya itu sambil menangis tersedu- sedu.
“Kenapa penderitaan ini datang silih berganti menghajarku, Apa salah dan dosa- dosaku ini? sehingga orang- orang yang dekat denganku ikut merasakan kepedihan ini!” Gumam Hilman dalam benaknya.
Karena merasa sudah tidak ada siapa- siapa lagi, Hilman pun berniat untuk pergi dari tempat itu, Namun saat dia baru berjalan beberapa langkah, terdengar Paman Hartono memanggilnya.
“Hilman!...Hilman! Ini Paman Hartono Ucap Paman Kevin dengan kerasnya memanggil
Paman Hartono tidak sengaja melihat Hilman menangis yang terdengar langsung ke telinganya, Kemudian dia langsung keluar dari kamar rahasia dibawah tanah itu.
Hilman terkejut dengan panggilan Paman Hartono, lalu dia berpaling dan segera berlari ke arahnya sambil merangkul dengan rasa sakit di hatinya.
"Paman Hartono, kenapa Villa ini terbakar, Siapa yang tega melakukannya?” Ucap Hilman pada Paman Hartono dengan rasa sedih dalam hatinya sambil menangis pilu.
Lantas Paman Hartono menatap Hilman dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dengan nada sedih Paman Hartono pun menjawabnya.
“Maafkan Paman, Hulman! Paman tidak dapat menghalangi dan menjaga Villa ini dari kekejaman Harun Si keparat itu, sungguh Paman merasa bersalah atas terbakarnya Villa Ibumu ini!” Jawab Paman Hartono dengan sedihnya menjelaskan.
Kemudian Paman Hartono menoleh ke arah Villa kecil yang hangus terbakar itu dan mengembalikan lagi pandangannya kepada Hilman, kemudian terlihat bekas luka lebam di wajahnya.
“Kenapa dengan wajahmu itu? Banyak luka lebam akibat pukulan, Siapa yang berani melakukannya, Hilman” Tanya Paman Hartono ingin tahu.
Dengan pandangan dendam di hatinya, lantas Hilman pun menjawabnya.
“Ini kelakukan Mirna Istri dari Bastian Si Brengsek itu!” Jawab Hilman dengan emosinya bicara.
Paman Hartono menggeleng- gelengkan kepalanya pada Hilman karena merasa kasihan.
Jauh di dalam pikirannya, Paman Hartono mengira kalau Hilman masih dalam genggaman Harun dan Orang- Orangnya. Melihatnya tentu saja dia menjadi sangat senang.
"Sungguh senang sekali bisa kembali melihatmu lagi, bagaimana ceritanya Kamu bisa lepas dari Orang- Orangnya Harun itu Hilman?” Tanya Paman Hartono dengan ingin tahu padanya.
Mendengar pertanyaan Paman Hartono padanya itu, Hilman menggeleng- gelengkan kepalanya dengan rasa penasaran dan tidak mengerti di dalam pikirannya, kemudian pun lantas menjawab pada Pamannya itu.
"Sungguh Hilman pun bingung dibuatnya, Paman! Tiba- tiba saja Komandan Polisi itu datang lantas membebaskan Aku dari tangan mereka itu, dan yang lebih tidak mengerti lagi ternyata Komandan Polisi itu adalah Paman dari Istrinya Harun, Mirna!!” Jawab Hilman pada Paman Hartono dengan menjelaskan padanya.
Paman Hartono mengerutkan keningnya, seakan penasaran dari jawaban Hilman itu.
“Sudah Aku duga pasti dia yang membebaskanmu itu, tapi sejak kapan dia menjadi Paman dari Istrinya Harun itu? Ini sungguh membuat Paman tidak mengerti!” Ucap Paman Hartono lagi padanya.
Mendengar jawaban Paman Hartono dengan menyembunyikan sesuatu di dalam dirinya itu, lantas Bibi Luna pun tersenyum pada Paman Hartono seolah memakluminya.
"Ada apa sebenarnya, Paman? tolong ceritakan pada Hilman dengan jujur! Agar Dia bisa mengerti!" Ucap Hilman pada Paman dengan rasa ingin tahunya itu.
Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, Paman Hartono pun lantas menjawabnya.
"Tidak ada apa-apa, Hilman Itu hanya pikiranmu saja." Jawab Paman Hartono sambil tersenyum.
Hilman lantas menatap dalam-dalam kedua mata itu. Sambil bicara padanya.
Baiklah kalau begitu. Jika ada masalah apapun, tolong beritahu aku, Paman!" Ucap Hilman pada Pamannya itu.
Paman Hartono termenung sejenak. Pikirannya bertarung antara memberitahu sebenarnya atau tidak pada dirinya itu, ragu.
“Tapi sebaiknya Aku tidak mengatakannya, biar saja dia tetap pada rasa penasarannya itu!” Ucapnya dalam hati.
Akhirnya Paman Hartono memutuskan untuk tidak memberitahu. Sebab, jika Hilman tahu ditakutkan rasa penasarannya semakin besar dan membuatnya semakin menderita lagi karenanya.
“Bagaimana kabar yang lainnya, Paman?" Tanya Hilman dengan menunduk sedih.
"Kabarnya Anak buah dari Komandan Polisi itu sedang sedang bergerak kesana untuk mencari tahu keadaan mereka, Hilman!" Jawab Paman Hartono dengan resahnya bicara.
Dengan perasaan sedih dan tak enak, lantas Hilman pun bertanya lagi.
"Lalu Paman tinggal di Villa terbakar ini, tidurnya dimana?” Tanya Hilman merasa bingung.
Dengan sangat ringan, Paman Hartono menjawab padanya.
"Semua dari Villa ini hangus terbakar, kecuali ruang rahasia dibawah tanah itu, dan Paman tinggal dan tidur disana, Ayo kita kesana, Hilman!” Ucap Paman Hartono sambil menarik tangan Hilman.
Akhirnya mereka berdua masuk ke ruang rahasia dibawah tanah itu untuk beristirahat dan bercengkrama seputar dendam dan masalahnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments