Bab 3

Memandang punggung Diza yang melangkah riang memasuki gerbang sekolah membuat Arya tersenyum. Dia tahu semua tak akan sia-sia. Tubuhnya boleh kecil dengan usia yang juga masih belia. Namun otaknya cerdas.

Pengalaman hidup yang keras membuatnya paham bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Dia harus berjuang agar terus hidup. Menjaga Diza dan membuatnya sekolah.

Sejak memutuskan kabur dari panti itu Arya sudah menyusun rencana bagaimana cara dia bertahan. Semudah yang dia bayangkan? Tentu saja tidak!

Seorang preman yang mengantar mereka keluar dari kota besar membawa mobil itu jauh melintasi daerah-daerah yang belum pernah didatangi Arya. Pun dia memang sengaja ingin pergi sejauh mungkin. Agar tak ada yang menemukannya dan Diza lagi. Baik keluarga ayahnya pun orang-orang di panti.

Arya tidak berhenti walau mobil itu sudah mengantarnya sangat jauh. Dia kembali membawa Diza naik bis hingga berganti dua terminal. Mencari rumah kosong yang bisa ditinggali. Berganti beberapa kali hingga dia bekerja sebagai tukang sapu di sebuah pasar.

Setahun berlalu, dan Arya ingat adiknya harus sekolah. Dia memutuskan mencari pekerjaan lain untuk menambah uang agar bisa membeli peralatan sekolah Diza.

Saat menyapu pelataran pasar tradisional itu seorang wanita mengatakan tetangganya mencari pekerja lepas untuk membersihkan halaman. Arya berangkat menemui lelaki yang adalah pak Dirga.

Karena begitu terburu-buru ingin pergi saat mendengar cucunya kecelakaan, lelaki tua itu tidak mensyaratkan apa pun atas pekerjaannya. Dia hanya mengatakan akan kembali dua minggu lagi.

Tugas tambahan di bagian belakang membuat orang tua itu tertarik mengenalnya. Entahlah, atau kasihan karena melihatnya selalu membawa Diza bersama. Dan tawaran tak terduga itu tiba.

Arya jelas tak menolak begitu ditawari tinggal bersama. Dia bisa tenang bekerja saat meninggalkan adiknya sekolah. Uang yang terkumpul sedikit itu berguna ketika dia membelikan Diza buku. Walau hanya memakai baju lungsuran dari anak bulek Nur.

Kaki Arya menapaki aspal yang masih lengang dari kendaraan. Sekali lagi menoleh gedung sekolah di belakangnya. Arya tak menyesal menolak tawaran sekolah dari pak Dirga. Umurnya sudah terlalu tua untuk melanjutkan sekolah formal.

Mengikuti paket lebih baik baginya.

Arya bisa sekalian bekerja. Menjadi tukang kebun di rumah lelaki itu juga pilihan terbaik. Sesekali pak Dirga mengizinkannya membantu di toko kelontong milik pak Yunus.

Arya mempercepat jalannya. Hari ini sudah berjanji mengantar anak tertua pak Dirga ke pasar. Walau dia bisa merasakan penolakan dari Beno dan adiknya namun Arya acuh. Selama pak Dirga dan istrinya tidak mengusir dia dan Diza, Arya memantapkan hati bertahan di rumah itu.

Toh, dia tidak merasa merugikan kedua pasangan tua di sana. Mereka melakukan hubungan yang saling menguntungkan. Arya masih memegang prinsip kehidupan yang lurus menjaga sikapnya. Jujur dan bisa dipercaya.

Beno hanya memandanginya saat dia tiba di halaman. Arya gegas menaiki mobil yang sudah menyala dan duduk di kursi belakang. Beyna mendadak ingin ikut. Wanita itu melambaikan tangannya pada Masayu yang berdiri di teras depan.

" Kita ke swalayan yang dekat perempatan itu saja, mas! Males banget masuk ke pasar itu " Beyna melongokkan kepala melihat suasana diluar mobil.

Beno tidak menjawab. " Apa pasarnya masih becek jalannya, Arya? " Lelaki dengan kaos Polo hitam itu menoleh sekilas.

" Ngga, om! Udah di pasang paving block hingga ke ujung. Bangunannya juga tingkat dua. Ngga ada lagi yang memenuhi lorong. Mobil dan motor bisa parkir dengan leluasa " tutur Arya sopan.

Beno melirik adiknya. " Ngga pingin liat dulu? " cetusnya datar. Beyna menarik napas panjang. " Terserah, deh! " sahutnya malas.

Mobil melaju di aspal yang mulus dan cukup lebar. Pembangunan memang sudah memasuki daerah itu sejak lima tahun terakhir.

" Om tidak pernah ke pasar? " Arya tiba-tiba ingin tahu. Beno tertawa masam.

" Dulu iya! Kami tinggal di sini hingga sekolah lanjutan pertama. Ayah pindah lagi kesini dua tahun lalu. Kami juga jarang berkunjung lama. Paling menginap semalam " jelas Beno.

" Dulu pasarnya kumuh. Ngga percaya aja kamu bilang kayak tadi " sela Beyna tanpa menoleh.

Mobil memasuki jalan sebelah kiri yang menuju pasar induk. Beyna cukup terkesima karena suasana pasar benar-benar berbeda. Mereka berbelanja dengan cepat. Lalu kembali menuju jalan raya, mengarah ke bandara.

Seorang wanita dengan tiga anak tanggung berdiri di kursi tunggu yang menghadap ke jalan. " Lama banget, mas! " wanita dengan terusan selutut itu menarik koper dan memberikannya pada Beno.

" Kami ke pasar dulu. Ibu nitip belanja " sahut Beno sambil menerima koper dan memberikannya pada Arya yang ikut turun begitu mobil berhenti tadi. Cekatan Arya menaikkan koper dan dua tas ke dalam bagasi.

Istri Beno, Kartika menoleh sejenak ke belakang sebelum naik di kursi tengah.

Arya yang sudah di suruh pindah ke belakang mengangguk hormat. Anak tertua Beno, remaja lima belas tahun dengan penampilan anak kota asyik dengan gadget di tangan. Tak sekali pun mengalihkan tatapannya dari benda segi empat itu.

Anak keduanya berusia sembilan tahun, perempuan yang cukup ceriwis. Sepanjang perjalanan terus berceloteh riang. Dan anak Beyna, remaja perempuan empat belas tahun yang tampak ramah. Berbanding terbalik dengan ibunya yang terlihat ketus.

Mobil kembali menuju rumah. Dirga dan istrinya, ditemani Diza berdiri di teras rumah. Wajah mereka terlihat cerah. Menyambut cucu-cucunya penuh sayang, Masayu membawa mereka masuk ke rumah.

" Siapa dia, nek? " Witri, anak kedua Beno menatap Diza penuh selidik.

" Cucu nenek juga. Ayo, salaman! " Masayu menarik tangan Diza mendekat. Witri mencebik. Dan tanpa dosa berlalu meninggalkan ruang tengah memasuki kamar.

Tak lama teriakannya membahana di tengah rumah. Kedua orang tua dan neneknya terburu-buru memasuki kamar. " Dia tidur di sini? " Witri menunjuk Diza yang berdiri di sebelah Masayu.

" Kalian 'kan sama-sama anak perempuan, Wit! Ngga papa, dong, kalo satu kamar. Kamu juga di sini cuma liburan, lho. Besok lusa juga pulang 'kan? " Masayu berbicara dengan lembut.

Dia tahu cucu perempuannya yang satu ini sangat cerewet. Dan tidak suka berbagi. " Diza bisa tidur di bawah nanti " sahut gadis kecil yang membalas tatapan sinis Witri padanya.

" Siapa yang minta pendapatmu! " bentak Witri sadis. Diza diam.

" Ck, udah, deh Wit! Kamu tiduran aja di sini! Ngga capek apa baru tiba udah marah-marah begitu? " Cindy, anak tunggal Beyna yang sedang duduk diatas ranjang bersuara.

" Iya, sayang! Sudah kamu rehat dulu, gih! " Kartika, istri Beno menepuk punggung anaknya pelan.

" Ngga mau sebelum dia pindah dari sini! " Witri menepis tangan ibunya.

" Kamar udah penuh, Wit! Kamar depan 'kan diisi orangtuamu? Atau kamu sama tante Bey aja dulu malam ini? " Masayu terlihat gemas.

" Nggak-ma-u! Ini kamarku, nek! Setiap liburan aku tidur di sini. Dia siapa, sih bisa-bisanya tinggal di rumah ini? " Witri melotot.

" Witri! " Masayu menyergah. Dia menoleh Diza yang menunduk di dekatnya. Perlahan gadis kecil itu beranjak keluar kamar.

" Jangan keterlaluan begitu, Witri! " Masayu menatap gusar cucunya yang tampak tidak takut menantang matanya.

" Witri benar, bu! Mereka siapa ayah dan ibu hingga dibela-belain di kasi kamar begitu? Kalo mau kasi tumpangan dibikinin aja di dekat gudang itu, lho! Kan bisa di sekat biar jadi kamar satu lagi! " Kartika terlihat kesal.

Dan pembicaraan malam itu membuat keputusan baru untuk Arya dan adiknya. Mereka harus mengungsi sementara ke rumah bulek Nur di depan. Atau Witri mengancam pindah ke hotel. Kartika jelas berang jika anaknya harus tidur di hotel.

Bukan soal uang. Dia bisa menyewa kamar di sepanjang lorong jika mau. Kartika tidak terima jika kedua mertuanya memilih mempertahankan Diza. Arya membawa adiknya ke rumah depan.

" Keterlaluan banget anak-anak pak Dirga itu! " Nur mengomel nyaris setengah jam di ruang tengah. Suaminya hanya menghela napas panjang.

" Bukannya kamu kemarin yang ngasi tau mereka tentang keberadaan Arya dan adiknya? " Lelaki yang masih mengenakan koko itu menatap datar.

" Iya! Ngga sengaja. Kan mereka nanya apa bu Masayu sering melamun di kursi taman. Ibu keceplosan bilang pak Dirga dan istrinya tidak kesepian lagi sejak ada Arya dan Diza di rumahnya. " Nur memajukan bibirnya gemas.

" Ibu ngga ada pikiran mereka segera turun ke sini begitu mendengar kabar itu. Aneh banget kalo ngerasa Arya dan adiknya jadi saingankan? Bocah-bocah itu udah cukup seneng dikasi tempat tinggal, lho! " Nur meremas kedua tangannya. Hatinya masih panas.

" Saingan apa? " suaminya menoleh heran.

" Takut bagi warisanlah! Karena Arya dan Diza masuk di kartu keluarga ayah mereka, dipikirnya tanah juga kebun yang baru di beli pak Dirga itu mau dibagi juga kalo ayahnya meninggal " Nur mencebik kesal.

" Pikiranmu itu, lho! Jaga! " suaminya mendesah.

" Ck, kayak ngga tau aja lagaknya anak-anak pak Dirga, pak e! Sombong! " Nur beranjak menuju kamarnya. Sebelumnya dia mengintip keadaan Diza di kamar anak perempuannya. Gadis kecil itu sudah tidur nyenyak. Nur tersenyum.

Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39
40 Bab 40
41 Bab 41
42 Bab 42
43 Bab 43
44 Bab 44
45 Bab 45
46 Bab 46
47 Bab 47
48 Bab 48
49 Bab 49
50 Bab 50
51 Bab 51
52 Bab 52
53 Bab 53
54 Bab 54
55 Bab 55
56 Bab 56
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
93 Bab 93
94 Bab 94
95 Bab 95
96 Bab 96
97 Bab 97
98 Bab 98
99 Bab 99
100 Bab 100
101 Bab 101
102 Bab 102
103 Bab 103
104 Bab 104
105 Bab 105
106 Bab 106
107 Bab 107
108 Bab 108
109 Bab 109
110 Bab 110
111 Bab 111
112 Bab 112
113 Bab 113
114 Bab 114
115 Bab 115
116 Bab 116
117 Bab 117
118 Bab 118
119 Bab 119
120 Bab 120
121 Bab 121
122 Bab 122
123 Bab 123
124 Bab 124
125 Bab 125
126 Bab 126
127 Bab 127
128 Bab 128
Episodes

Updated 128 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39
40
Bab 40
41
Bab 41
42
Bab 42
43
Bab 43
44
Bab 44
45
Bab 45
46
Bab 46
47
Bab 47
48
Bab 48
49
Bab 49
50
Bab 50
51
Bab 51
52
Bab 52
53
Bab 53
54
Bab 54
55
Bab 55
56
Bab 56
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92
93
Bab 93
94
Bab 94
95
Bab 95
96
Bab 96
97
Bab 97
98
Bab 98
99
Bab 99
100
Bab 100
101
Bab 101
102
Bab 102
103
Bab 103
104
Bab 104
105
Bab 105
106
Bab 106
107
Bab 107
108
Bab 108
109
Bab 109
110
Bab 110
111
Bab 111
112
Bab 112
113
Bab 113
114
Bab 114
115
Bab 115
116
Bab 116
117
Bab 117
118
Bab 118
119
Bab 119
120
Bab 120
121
Bab 121
122
Bab 122
123
Bab 123
124
Bab 124
125
Bab 125
126
Bab 126
127
Bab 127
128
Bab 128

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!