" Dek! " sapaan lembut dari pintu depan membuat seorang anak perempuan enam tahun mengangkat kepalanya dari pasir yang dibuatnya menjadi bangunan kecil. Matanya yang dihiasi bulu lentik membelalak indah.
" Wah, ayam goreng! " dengan gerakan tangkas dia mengibaskan tangan ke baju, membuang pasir yang menghuni sela jemarinya lalu berlari menuju pintu.
" Ayo, cuci tangan dulu! " Arya duduk diatas lantai dapur sambil meletakkan dua potong sayap ayam goreng ke dalam dua piring plastik. Mengisi piring dengan nasi dari dalam periuk kecil yang dia turunkan dari atas dapur.
" Abang udah ada duit? Udah bisa beli ayam? " gadis kecil itu berceloteh riang. Arya tersenyum sambil mengangguk.
" Ya, dek! Mulai sekarang abang ada kerjaan. Jadi setiap hari kamu harus ikut abang berangkat. Karena tempatnya agak jauh dari sini. " anak lelaki sebelas tahun itu menatap adiknya lembut.
Diza mengangguk mantap. Tak ada yang dia patuhi selain kakaknya. Apa yang dikatakan Arya dia yakin pasti terbaik untuknya. Pemahaman itu sudah tertanam sejak lama dibenaknya.
Selesai makan tangan mungil Diza terampil membereskan dua piring miliknya dan Arya untuk dicuci. Tak ada cerita manja untuk mereka. Sudah sejak lama nikmat bermain dunia anak-anak itu tercerabut. Walau tidak pernah membuat dirinya mencari uang namun Diza sadar diri agar tidak merepotkan kakaknya yang bekerja keras menghidupi mereka.
Malam menjelang. Arya yang selesai mengimami sholat isya mengajak adiknya membuka buku. Melanjutkan kegiatan belajar. Setengah delapan malam Arya memadamkan pelita yang menerangi rumah tua itu dan tidur di sebelah adiknya. Untuk kembali bangun menjelang subuh.
Alarm otomatis itu sudah tertanam sejak dia masih tinggal di panti asuhan di kota. Bedanya sekarang dia bangun dalam keadaan tenang karena tak akan ada yang menunggunya di muka pintu dengan wajah bengis. Menyiapkan kaleng dan berganti baju untuk pergi mengemis di perempatan.
Arya menggoyang tubuh adiknya yang masih bergelung. Bangun berdua dan pergi mandi di sebuah kolam di belakang rumah. Arya mengajak adiknya sholat subuh sebelum berkemas untuk berangkat menuju tempat yang dia katakan semalam.
Tak ada protes apa pun dari Diza. Mengikuti Arya adalah jalan keselamatan yang dia tahu dalam hatinya. Seperti pelarian yang mereka lakukan setahun lalu. Tangan kecil itu tak tahu apa yang terjadi. Tapi genggaman erat dan tatapan cemas dari mata kakaknya membuat denting waspada itu tumbuh sebagai naluri perlindungan diri.
Diza pontang-panting mengiringi langkah cepat Arya menyusuri jalan gelap menjauhi bangunan besar di belakang mereka. Bertemu seorang lelaki dewasa dengan tampang sangar yang hanya melirik mereka dengan acuh. Tanpa bicara membawa mereka berdua menaiki mobil dan meninggalkan jalan tanpa henti kendaraan itu menjauhi keramaian kota.
Mata lentik itu memperhatikan jalan yang mereka lewati. Keluar dari jalan setapak yang menjadi akses dari rumah tua di belakang mereka, keduanya kembali menyusuri jalan raya yang masih begitu lengang.
Hari masih remang-remang, namun penglihatan mereka yang sudah terbiasa dalam gelap tidak kesulitan melewati jalan setapak sebelumnya. Rumah-rumah, bangunan kantor, berdiri megah di kiri kanan jalan.
Keringat mulai menetes di dahinya. Namun Diza tidak mengeluh. Kaki kecilnya sudah terbiasa berjalan kaki cukup jauh.
Seperti saat dulu mengikuti seorang gadis tanggung menyusuri jalanan membawa kaleng di tangan.
Ingatan itu timbul tenggelam dalam kepalanya. Diza memperhatikan rumah yang akan mereka masuki. Arya membuka pagarnya lebar. Kembali menggandeng tangan itu untuk melintasi halaman dan membuka pintu gudang di samping bangunan rumah.
Arya mengeluarkan peralatan untuk membersihkan rumput yang memang tinggi di depan rumah. Diza membantu menggotong cangkul yang ditinggal Arya karena tangannya tak cukup besar membawa sabit, parang juga serokan sampah.
" Terima kasih, dek! Sekarang kamu duduk saja di sana. Abang kerja dulu " Arya menunjuk bangku taman dari semen di samping kiri rumah. Diza mengeluarkan buku dari kantong kresek. Belajar membaca.
Nyaris dua minggu kesibukan harian itu mereka lakoni. Pergi saat masih gelap, pulang ketika sore. Saat pagi mulai menyapa, seorang wanita dengan wajah keibuan akan mendekati mereka membawa sarapan. Bercakap-cakap sebentar dengan Arya kemudian pergi.
Datang lagi jika hari siang. Membawa dua nasi bungkus dan menemani mereka makan sebentar lalu pulang. Hari itu sebuah mobil sudah terparkir di depan teras saat mereka tiba.
Seorang lelaki berumur enam puluhan duduk di kursi di depan rumah. Menatap keduanya dengan takjub. Memanggil istrinya dan mereka berbincang serius. Diza tidak berani mendekat. Dia hanya duduk di kursi taman sejak pertama kali datang. Memperhatikan Arya bekerja atau duduk membaca. Sesekali iseng membantu kakaknya.
Pekerjaan Arya memangkas rumput sudah selesai sejak seminggu lalu. Namun dia ternyata diserahi tugas menanami halaman depan rumah dengan bunga dan apotek hidup di belakang.
Siang hari mereka dipanggil naik ke dalam rumah. Diza yang sudah mencuci tangan dan kaki bersama Arya di keran depan duduk di kursi makan. Seorang wanita paruh baya sibuk bolak-balik membawa mangkuk dan piring berisi lauk keatas meja makan.
Sambil menikmati makan siang itu mereka berbincang ringan. " Kalian setiap hari pulang pergi jalan kaki kesini? " wanita yang mengenalkan diri sebagai Masayu itu menatap keduanya bergantian. Arya mengangguk.
" Saya tak mungkin meninggalkan Diza di rumah seharian, nek! " jawab Arya sopan.
" Di mana orang tua kalian? " Dirga, suaminya bertanya dalam suara berat namun hangat. Diza menatap kakaknya lamat-lamat.
" Kami diantar ke panti asuhan saat umur Diza dua tahun lebih. Ibu sudah pergi setengah tahun sebelumnya. " Arya meraih gelas di depannya. Mengingat masa lalu selalu membuatnya tercekik.
" Pergi itu kemana? " Masayu menahan mulutnya agar tidak mengucap minggat atau meninggal. Dia tahu keduanya mulai merasa tertekan.
" Keluar negeri. Bekerja " lirih Arya. Dia tak akan mengatakan bahwa ibunya dipaksa berangkat oleh ayahnya sebagai pekerja di negeri tirai bambu.
" Ayahmu? " Dirga menghela napas panjang. Diza menunduk. Dia tidak sedih kehilangan orang tua. Dia tidak tahu mengapa hatinya kebas jika mengingat keduanya. Namun Diza tidak bisa jika melihat mata Arya berkabut luka. Hatinya ikut berdenyut sakit.
" Ayah yang mengantar kami ke panti bersama teman wanitanya. " Arya tersenyum canggung. Ingatan itu selalu melumat hatinya. Arya menerima jika dia tidak diinginkan. Namun Diza, adiknya masih begitu kecil jika dipaksa meninggalkan rumah.
Namun naluri melindungi itu tak bisa dibantah. Arya lebih khawatir Diza ditangan keluarga ayahnya daripada di panti bersamanya. Arya bisa menjaga adiknya seperti permintaan terakhir ibunya.
Selaras dengan permintaan istri kedua ayahnya yang tak ingin ada Diza diantara mereka, Arya merengkuh tubuh kecil adiknya untuk masuk ke panti bersama. Di sanalah mereka tinggal hingga teror itu membuat Arya mengambil langkah nekat. Kabur dari panti membawa adiknya.
Masayu mengerjapkan mata tuanya. Dia mengangguk menatap suaminya yang sejak tadi melihat kearahnya dengan tatapan dalam. " Nanti sore, kakek akan ikut Arya pulang ke rumah. Kemasi barang-barang kalian di sana. Mulai besok, kita akan tinggal bersama! " suara lembut Masayu yang tegas membuat kedua anak itu menoleh kaget.
" Siapa mereka, yah? " seorang lelaki tiga puluhan berdiri dari balik jendela dapur. Menatap tajam Arya yang sedang menanam jahe di sudut pekarangan halaman belakang.
" Yatim piatu yang ayah temukan di ujung jalan " sahut Dirga sambil membalik majalah di tangannya. Anak lelakinya yang mengenakan setelan jas itu menoleh heran.
" Mereka tinggal di sini, lho, mas Ben! " wanita dengan riasan flawless itu menarik kursi makan. Melirik sekilas kakak lelakinya yang ikut duduk.
" Ayah mengajak mereka tinggal karena kasihan. Masih kecil harus mencari makan sendiri. Mereka bisa bekerja membantu ayah. Menemani kami. Adiknya ayah sekolahkan. " Dirga meletakkan majalah keatas meja.
" Bikin masalah ngga, yah, ntar? Masa' mereka ngga punya orang tua? Sanak keluarga lain? " Beno menatap tajam kearah jendela. Wajahnya terlihat risau.
" Mereka anak-anak baik, Ben! Ayah bisa menilainya " Dirga menoleh. Arya mencangkul menambah tanah dalam polibeg di dekat toren. Mengisinya hingga penuh dan menambah butiran pupuk di bagian tengah.
" Kok, ayah ngga nanyain pendapatku dan Beyna dulu? " Beno menatap protes ayahnya yang hanya tertawa pelan.
" Ayah hanya tinggal berdua dengan ibu kalian. Membawa mereka bersama tidak akan membuat kami miskin. Kehadiran mereka terus terang membawa warna baru dalam hidup kami yang sunyi. Ibu kalian terlihat lebih bersemangat menjalani hari-harinya " Dirga tersenyum.
Matanya mencari sosok istrinya di dapur. Namun wanita lembut itu entah berada di mana sekarang. " Ibu lagi ke warung " Beyna yang melihat ayahnya mencari keberadaan ibunya menyela.
" Mereka sudah lama tinggal di sini, yah? " Beno sekali lagi mendesah. Entah mengapa dia merasa kehadiran Arya dan adiknya seperti sesuatu yang menghalangi kegembiraannya berkunjung kemari.
" Hampir empat bulan. Kalian tak perlu khawatir. Arya tinggal disini tidak gratis. Walau ayah menolak memperkerjakannya, namun dia juga menolak ketulusan ayah merawat mereka. " Dirga mengusap wajah.
" Hh, baguslah jika dia tau diri! " gerutu Beyna dengan sinis. Wanita itu tak bisa menutupi keengganannya menerima dua beradik itu di rumah orang tuanya.
" Ayah bilang tidak gratis. Bagaimana dengan sekolah adiknya? " Beno menatap sang ayah menuntut penjelasan.
Dirga menarik napas panjang. Dia sejak lama merasa kedua anaknya berubah. Mereka kehilangan simpati pada orang-orang di sekeliling mereka sejak tinggal di ibu kota. Kehidupan hedonis di sana, juga toleransi yang rendah membuat keduanya tumbuh jadi makhluk apatis dengan sekitar.
Itu sebabnya dia kembali mengajak istrinya menetap di pinggiran kota ini. Kehidupan lama mereka membuat hari tuanya terasa lebih tenang. Kota yang jadi tempatnya terakhir mengabdi sebagai seorang aparatur negara.
Dirga diam-diam juga berharap, jika kedua anaknya sering berkunjung dia bisa kembali menanamkan kebaikan bagi hati mereka. Setidaknya, Beno dan Beyna bisa bersyukur memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding saat mereka masih di kota lama ini.
" Karena mereka tinggal bersama ayah jadi ayah menanggung biaya sekolah Diza. Tidak menghabiskan gaji pensiunan ayah tiap bulan, kok! " Dirga mengulum bibirnya pelan.
" Dia tidak sekolah? " Beno menoleh kearah Arya yang masih betah dengan pekerjaannya. Dirga menggeleng.
" Dia menolak sekolah lagi. Hanya ayah masukkan paket saja. Anaknya pintar. Dia hanya sekali duduk membaca ilmu terserap diotaknya. " Dirga meraih gelas kopinya yang tinggal separuh.
" Baru SD, yah. Emang dia tak ingin melanjutkan setelahnya? " Beyna menyela. " Mengapa jadi ayah yang harus mengurusnya? Benar yang mas Ben bilang, emang kemana keluarganya yang lain? " wanita muda itu terlihat gundah.
" Dengar, Beyna! Ayah tidak meminta uang pada kalian tentang urusan kedua anak itu! Jadi berhentilah cerewet! " Dirga menatap tajam kedua anaknya yang saling melempar pandang.
" Ada apa, sih? " tiba-tiba Masayu datang mendekat. Dia bisa merasakan aura panas di meja makan.
" Mereka menanyakan Arya dan adiknya " sahut Dirga datar. Wajahnya tampak muram. Perlahan dia bangkit meninggalkan meja makan.
" Mengapa dengan mereka? " Masayu memeriksa sajian diatas meja.
" Kita cuma keberatan dengan keberadaan mereka di rumah ini, bu! " Beno menoleh ibunya yang menghela napas panjang.
" Tak ada yang minta pendapat kalian! " cetus Masayu sambil tersenyum kecil. Beyna mengusap wajah kasar.
" Bukannya mereka hanya merepotkan, bu? Pagi-pagi ibu bangun nyiapin sarapan untuk mereka. Sibuk memasak setiap hari. Mencuci pakaian. Ibu sama ayah kami izinkan kembali kesini biar bisa istirahat diusia senja kalian! Bukannya sibuk mengurusi mereka yang entah siapa! " Beyna gusar.
Masayu tergelak. Membuat Beno dan adiknya terdiam heran. " Kalian tak akan percaya jika tidak melihat sendiri. Mereka anak-anak mandiri, Bey! Bahkan Diza bisa mencuci baju, lho! Siapa yang ngajarin? Kakaknya. Diza dididik disiplin sejak dini. Kalian pikir mereka merepotkan? " Masayu kembali tertawa.
" Keduanya bangun setiap menjelang subuh. Sendiri. Arya mengerjakan pekerjaan rumah setelah selesai sholat. Diza mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan ibu. Mandi, memakai baju, berkemas ke sekolah.
Arya yang menyiapkan sarapan untuk adiknya. Dia bisa memasak. " Masayu menunjuk terong balado di dalam mangkuk. " Enak 'kan? Tadi Beno bilang kayak masakan chef " Masayu tersenyum melihat Beno terpana.
" Arya dan adiknya adalah teman bagi kami. Mereka tidak mengganggu siapa pun di rumah ini. Jadi ibu harap kalian bisa bersikap baik pada keduanya! " Masayu meremas lembut tangan Beyna.
" Terserahlah! " Beyna mendengus. Terus terang dia muak mendengar penjelasan ayah ibunya tentang Arya dan adiknya itu. Namun dia tahu, percuma mempengaruhi pikiran kedua orang tuanya jika mereka telah sepakat tentang sesuatu. Takkan bisa dibantah.
" Oh, ya, kalian mengapa datang hanya berdua? Pasangan, anak-anak kalian pada kemana? " Masayu menatap anaknya bergantian.
" Ben hanya menemani Beyna kemari, bu! Makanya kami ngga sempat belanja beli oleh-oleh. Beyna langsung pesan tiket pesawat begitu Ben bilang bisa pulang " pria itu membuka dua kancing kemejanya. Dia merasa gerah.
Beyna beranjak ke kamar karena mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Arya yang sudah menyelesaikan pekerjaannya masuk dari pintu belakang. Mengangguk sopan saat Beno menatapnya.
" Bagaimana ceritanya ibu mengenal mereka? " Beno yang masih penasaran kembali bertanya. Setelah memastikan Arya masuk ke kamarnya di ruang tengah.
" Rumput di halaman sudah tinggi banget waktu itu. Tapi ayah ngga sempat mau mangkas karena kami berangkat melihat anak Bey yang masuk rumah sakit kemarin. Mau nyuruh orang juga belum ketemu siapa.
" Tiba-tiba sore sebelum kami berangkat seorang anak datang menawarkan tenaganya. Dia bilang butuh pekerjaan. Jadi ayah terima aja. Mengawasinya lewat bulek Nur yang di depan itu. Pekerjaannya rapi. Anaknya jujur.
" Dua minggu berlalu, dari laporan Nur kami mengawasi sendiri keseharian mereka. Malam itu ayah melakukan pembicaraan panjang membahas keduanya. Kami memang jatuh hati pada mereka. Jadi, ibu setuju saat ayah bilang mau mengajak mereka tinggal bersama " Masayu mengulas senyum tipis.
Beno menghembuskan napas kasar. Dia dan adiknya buru-buru kesini juga karena mendengar laporan Nur yang mengatakan ayah ibunya mengangkat dua orang anak. Namun melihat kedua orang tuanya yang ngotot menceritakan semua hal baik tentang kedua anak itu, Beno tak yakin opininya dan Beyna bakal didengar.
Memandang punggung Diza yang melangkah riang memasuki gerbang sekolah membuat Arya tersenyum. Dia tahu semua tak akan sia-sia. Tubuhnya boleh kecil dengan usia yang juga masih belia. Namun otaknya cerdas.
Pengalaman hidup yang keras membuatnya paham bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Dia harus berjuang agar terus hidup. Menjaga Diza dan membuatnya sekolah.
Sejak memutuskan kabur dari panti itu Arya sudah menyusun rencana bagaimana cara dia bertahan. Semudah yang dia bayangkan? Tentu saja tidak!
Seorang preman yang mengantar mereka keluar dari kota besar membawa mobil itu jauh melintasi daerah-daerah yang belum pernah didatangi Arya. Pun dia memang sengaja ingin pergi sejauh mungkin. Agar tak ada yang menemukannya dan Diza lagi. Baik keluarga ayahnya pun orang-orang di panti.
Arya tidak berhenti walau mobil itu sudah mengantarnya sangat jauh. Dia kembali membawa Diza naik bis hingga berganti dua terminal. Mencari rumah kosong yang bisa ditinggali. Berganti beberapa kali hingga dia bekerja sebagai tukang sapu di sebuah pasar.
Setahun berlalu, dan Arya ingat adiknya harus sekolah. Dia memutuskan mencari pekerjaan lain untuk menambah uang agar bisa membeli peralatan sekolah Diza.
Saat menyapu pelataran pasar tradisional itu seorang wanita mengatakan tetangganya mencari pekerja lepas untuk membersihkan halaman. Arya berangkat menemui lelaki yang adalah pak Dirga.
Karena begitu terburu-buru ingin pergi saat mendengar cucunya kecelakaan, lelaki tua itu tidak mensyaratkan apa pun atas pekerjaannya. Dia hanya mengatakan akan kembali dua minggu lagi.
Tugas tambahan di bagian belakang membuat orang tua itu tertarik mengenalnya. Entahlah, atau kasihan karena melihatnya selalu membawa Diza bersama. Dan tawaran tak terduga itu tiba.
Arya jelas tak menolak begitu ditawari tinggal bersama. Dia bisa tenang bekerja saat meninggalkan adiknya sekolah. Uang yang terkumpul sedikit itu berguna ketika dia membelikan Diza buku. Walau hanya memakai baju lungsuran dari anak bulek Nur.
Kaki Arya menapaki aspal yang masih lengang dari kendaraan. Sekali lagi menoleh gedung sekolah di belakangnya. Arya tak menyesal menolak tawaran sekolah dari pak Dirga. Umurnya sudah terlalu tua untuk melanjutkan sekolah formal.
Mengikuti paket lebih baik baginya.
Arya bisa sekalian bekerja. Menjadi tukang kebun di rumah lelaki itu juga pilihan terbaik. Sesekali pak Dirga mengizinkannya membantu di toko kelontong milik pak Yunus.
Arya mempercepat jalannya. Hari ini sudah berjanji mengantar anak tertua pak Dirga ke pasar. Walau dia bisa merasakan penolakan dari Beno dan adiknya namun Arya acuh. Selama pak Dirga dan istrinya tidak mengusir dia dan Diza, Arya memantapkan hati bertahan di rumah itu.
Toh, dia tidak merasa merugikan kedua pasangan tua di sana. Mereka melakukan hubungan yang saling menguntungkan. Arya masih memegang prinsip kehidupan yang lurus menjaga sikapnya. Jujur dan bisa dipercaya.
Beno hanya memandanginya saat dia tiba di halaman. Arya gegas menaiki mobil yang sudah menyala dan duduk di kursi belakang. Beyna mendadak ingin ikut. Wanita itu melambaikan tangannya pada Masayu yang berdiri di teras depan.
" Kita ke swalayan yang dekat perempatan itu saja, mas! Males banget masuk ke pasar itu " Beyna melongokkan kepala melihat suasana diluar mobil.
Beno tidak menjawab. " Apa pasarnya masih becek jalannya, Arya? " Lelaki dengan kaos Polo hitam itu menoleh sekilas.
" Ngga, om! Udah di pasang paving block hingga ke ujung. Bangunannya juga tingkat dua. Ngga ada lagi yang memenuhi lorong. Mobil dan motor bisa parkir dengan leluasa " tutur Arya sopan.
Beno melirik adiknya. " Ngga pingin liat dulu? " cetusnya datar. Beyna menarik napas panjang. " Terserah, deh! " sahutnya malas.
Mobil melaju di aspal yang mulus dan cukup lebar. Pembangunan memang sudah memasuki daerah itu sejak lima tahun terakhir.
" Om tidak pernah ke pasar? " Arya tiba-tiba ingin tahu. Beno tertawa masam.
" Dulu iya! Kami tinggal di sini hingga sekolah lanjutan pertama. Ayah pindah lagi kesini dua tahun lalu. Kami juga jarang berkunjung lama. Paling menginap semalam " jelas Beno.
" Dulu pasarnya kumuh. Ngga percaya aja kamu bilang kayak tadi " sela Beyna tanpa menoleh.
Mobil memasuki jalan sebelah kiri yang menuju pasar induk. Beyna cukup terkesima karena suasana pasar benar-benar berbeda. Mereka berbelanja dengan cepat. Lalu kembali menuju jalan raya, mengarah ke bandara.
Seorang wanita dengan tiga anak tanggung berdiri di kursi tunggu yang menghadap ke jalan. " Lama banget, mas! " wanita dengan terusan selutut itu menarik koper dan memberikannya pada Beno.
" Kami ke pasar dulu. Ibu nitip belanja " sahut Beno sambil menerima koper dan memberikannya pada Arya yang ikut turun begitu mobil berhenti tadi. Cekatan Arya menaikkan koper dan dua tas ke dalam bagasi.
Istri Beno, Kartika menoleh sejenak ke belakang sebelum naik di kursi tengah.
Arya yang sudah di suruh pindah ke belakang mengangguk hormat. Anak tertua Beno, remaja lima belas tahun dengan penampilan anak kota asyik dengan gadget di tangan. Tak sekali pun mengalihkan tatapannya dari benda segi empat itu.
Anak keduanya berusia sembilan tahun, perempuan yang cukup ceriwis. Sepanjang perjalanan terus berceloteh riang. Dan anak Beyna, remaja perempuan empat belas tahun yang tampak ramah. Berbanding terbalik dengan ibunya yang terlihat ketus.
Mobil kembali menuju rumah. Dirga dan istrinya, ditemani Diza berdiri di teras rumah. Wajah mereka terlihat cerah. Menyambut cucu-cucunya penuh sayang, Masayu membawa mereka masuk ke rumah.
" Siapa dia, nek? " Witri, anak kedua Beno menatap Diza penuh selidik.
" Cucu nenek juga. Ayo, salaman! " Masayu menarik tangan Diza mendekat. Witri mencebik. Dan tanpa dosa berlalu meninggalkan ruang tengah memasuki kamar.
Tak lama teriakannya membahana di tengah rumah. Kedua orang tua dan neneknya terburu-buru memasuki kamar. " Dia tidur di sini? " Witri menunjuk Diza yang berdiri di sebelah Masayu.
" Kalian 'kan sama-sama anak perempuan, Wit! Ngga papa, dong, kalo satu kamar. Kamu juga di sini cuma liburan, lho. Besok lusa juga pulang 'kan? " Masayu berbicara dengan lembut.
Dia tahu cucu perempuannya yang satu ini sangat cerewet. Dan tidak suka berbagi. " Diza bisa tidur di bawah nanti " sahut gadis kecil yang membalas tatapan sinis Witri padanya.
" Siapa yang minta pendapatmu! " bentak Witri sadis. Diza diam.
" Ck, udah, deh Wit! Kamu tiduran aja di sini! Ngga capek apa baru tiba udah marah-marah begitu? " Cindy, anak tunggal Beyna yang sedang duduk diatas ranjang bersuara.
" Iya, sayang! Sudah kamu rehat dulu, gih! " Kartika, istri Beno menepuk punggung anaknya pelan.
" Ngga mau sebelum dia pindah dari sini! " Witri menepis tangan ibunya.
" Kamar udah penuh, Wit! Kamar depan 'kan diisi orangtuamu? Atau kamu sama tante Bey aja dulu malam ini? " Masayu terlihat gemas.
" Nggak-ma-u! Ini kamarku, nek! Setiap liburan aku tidur di sini. Dia siapa, sih bisa-bisanya tinggal di rumah ini? " Witri melotot.
" Witri! " Masayu menyergah. Dia menoleh Diza yang menunduk di dekatnya. Perlahan gadis kecil itu beranjak keluar kamar.
" Jangan keterlaluan begitu, Witri! " Masayu menatap gusar cucunya yang tampak tidak takut menantang matanya.
" Witri benar, bu! Mereka siapa ayah dan ibu hingga dibela-belain di kasi kamar begitu? Kalo mau kasi tumpangan dibikinin aja di dekat gudang itu, lho! Kan bisa di sekat biar jadi kamar satu lagi! " Kartika terlihat kesal.
Dan pembicaraan malam itu membuat keputusan baru untuk Arya dan adiknya. Mereka harus mengungsi sementara ke rumah bulek Nur di depan. Atau Witri mengancam pindah ke hotel. Kartika jelas berang jika anaknya harus tidur di hotel.
Bukan soal uang. Dia bisa menyewa kamar di sepanjang lorong jika mau. Kartika tidak terima jika kedua mertuanya memilih mempertahankan Diza. Arya membawa adiknya ke rumah depan.
" Keterlaluan banget anak-anak pak Dirga itu! " Nur mengomel nyaris setengah jam di ruang tengah. Suaminya hanya menghela napas panjang.
" Bukannya kamu kemarin yang ngasi tau mereka tentang keberadaan Arya dan adiknya? " Lelaki yang masih mengenakan koko itu menatap datar.
" Iya! Ngga sengaja. Kan mereka nanya apa bu Masayu sering melamun di kursi taman. Ibu keceplosan bilang pak Dirga dan istrinya tidak kesepian lagi sejak ada Arya dan Diza di rumahnya. " Nur memajukan bibirnya gemas.
" Ibu ngga ada pikiran mereka segera turun ke sini begitu mendengar kabar itu. Aneh banget kalo ngerasa Arya dan adiknya jadi saingankan? Bocah-bocah itu udah cukup seneng dikasi tempat tinggal, lho! " Nur meremas kedua tangannya. Hatinya masih panas.
" Saingan apa? " suaminya menoleh heran.
" Takut bagi warisanlah! Karena Arya dan Diza masuk di kartu keluarga ayah mereka, dipikirnya tanah juga kebun yang baru di beli pak Dirga itu mau dibagi juga kalo ayahnya meninggal " Nur mencebik kesal.
" Pikiranmu itu, lho! Jaga! " suaminya mendesah.
" Ck, kayak ngga tau aja lagaknya anak-anak pak Dirga, pak e! Sombong! " Nur beranjak menuju kamarnya. Sebelumnya dia mengintip keadaan Diza di kamar anak perempuannya. Gadis kecil itu sudah tidur nyenyak. Nur tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!