Sembilan

"Apa perlu aku mengulang jawaban yang pernah aku sampaikan kala itu, Dik?" jawab Hamam, berbisik pelan.

"Yang mana?"

"Aku hanya menuruti apa maumu waktu itu, Dik. Kamu menyuruhku untuk mengiyakan saja apa pun itu, 'kan? Apa aku salah?"

Medina mengerucutkan bibir, mendengar jawaban dari Hamam yang disampaikan dengan begitu tenang. Pemuda itu bahkan berbicara sambil tersenyum, tanpa dosa. Padahal yang diharapkan Medina, adalah jawaban yang dapat membuat hatinya berbunga-bunga karena merasa dicinta.

"Hanya itu?" cecar Medina, juga dengan bisikan.

"Iya, kenapa?"

"Kalau begitu, permintaanku saat itu aku batalkan!" bisik Medina dengan kesal.

Tentu saja Medina merasa kesal karena pemuda yang akan meminangnya itu seolah mempermainkan perasaan dan menganggap dirinya tidak penting.

"Tidak bisa, Dik!"

"Kenapa?"

"Aku sudah telanjur menyetujuinya dan bersedia menikahimu di hadapan kedua orang tua kita."

"Orang tua kita juga pasti ngerti, kok, kalau semua itu hanya kekhilafan semata, dan mereka pasti enggak masalah jika dibatalkan!" balas Medina yang semakin kesal karena dia merasa Hamam sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya. Pemuda itu ternyata mau menikahinya hanya karena kepatuhan terhadap orang tua semata.

"Coba aja tanya sama orang tuamu, Dik. Kalau bisa dibatalkan, ya, enggak apa-apa."

"Beneran?" Medina menatap Hamam dengan tatapan menantang dan pemuda itu mengangguk pasti.

'Ish, nih cowok benar-benar nyebelin, deh! Enggak bisa apa, buat orang senang dikit aja? Dasar, gunung es! Enggak ada manis-manisnya! Masak, sih, aku harus nikah sama dia! Bisa cepat tua aku kalau nikah sama orang yang serius seperti Kang Hamam!' Medina menggerutu di dalam hatinya.

Suara dehaman Kyai Umar, mengurai lamunan Medina. "Sudah, belum diskusinya, Nak Dina?"

"Su-sudah, Pakde?"

"Lalu, bagaimana? Sudah mantap 'kan, hatinya?"

"Pasti sudah, dong, Kak Umar," sahut Om Iqbal, sebelum sempat Medina memberikan jawaban. Padahal, gadis itu akan menjawab tidak.

"Si Dina kayaknya juga sudah enggak sabar, tuh, ingin cepat-cepat dihalalin. Benar begitu 'kan, Din?" lanjut Om Iqbal sembari terkekeh pelan, menggoda sang keponakan.

"Aksa setuju sama Om Bal." Aksa menyahut. Lagi-lagi sebelum Dina membuka suara, hendak menyampaikan penolakannya.

"Eyang kakung juga pasti sangat setuju, Dik. Benar begitu 'kan, Kung?" Aksa lalu menatap sang eyang yang sedari tadi mengamati Dina dan Hamam, dari tempatnya duduk.

Medina cemberut. Gadis cantik itu tak lagi dapat berkutik. Satu papanya saja jika sudah mengambil keputusan, dia tidak dapat menolak. Apalagi jika sang eyang dan opanya ikut bersuara, sudah dapat dipastikan jika Medina harus menuruti keinginan mereka.

Benar saja, sebelum sang eyang kakung berbicara, opanya sudah mendahului mengeluarkan suara bahwa Medina memang harus menerima Hamam. Menurut pendapat opanya itu, Hamam adalah pemuda yang paling tepat untuk Medina.

"Kamu mau cari yang seperti apa lagi, Dina? Nak Hamam itu, sudah sangat cocok dengan kamu. Memangnya, kamu mau sama pemuda yang seperti kedua abangmu itu? Yang enggak ketulungan absurdnya?" tanya sang opa, membuat Aksa dan Akmal--sang abang sulung yang tingkahnya tak jauh beda dengan papanya kala masih muda--menatap protes pada Opa Devan.

Bukan hanya kedua pemuda itu, tapi Papa Mirza juga ikutan menatap protes pada sang papa mertua. Tentu saja Papa Mirza protes karena secara tidak langsung, sang papa mertua telah menyindirnya.

"Kenapa Papa bicara seperti itu? Meskipun slengekan, kedua cucu papa itu pemuda yang baik dan bertanggungjawab, Pa."

"Benar, tuh, apa kata Papa, Opa!" Aksa buru-buru menimpali. "Baik, bertanggungjawab, suka menolong, tidak sombong ...."

"Sudah-sudah! Jangan diladeni perkataan opa kalian itu! Asal kalian tahu, opa kalian sewaktu masih muda sama absurdnya dengan kalian."

"Sialan lu, Rey. Pakai buka kartu di hadapan cucu!"

Laki-laki berusia senja yang semakin terlihat berwibawa itu, hanya mengedikan bahu tak lagi menanggapi protes dari sang besan. Eyang Rehan lalu kembali fokus menatap cucunya.

"Atau barangkali, kamu butuh waktu untuk berbicara berdua dengan Nak Hamam, Sayang?"

"Memangnya boleh, Eyang?"

"Tentu saja boleh, Sayang," jawabnya penuh pengertian.

"Bukankah begitu, Nak Umar?" Eyang Rehan lalu menatap Kyai Umar dan kyai kharismatik itu mengangguk, setuju.

"Yang penting ada yang mendampingi kalian," lanjut eyang kakungnya Medina.

"Aksa saja Eyang." Penuh semangat, Aksa menawarkan diri.

Medina menyambut baik tawaran sang eyang karena memang dia merasa perlu berbicara lebih serius dengan Hamam. Gadis itu lalu menghambur ke dalam pelukan sang eyang.

"Makasih, Eyang. Memang hanya Eyang yang paling mengerti Dina."

Setelah puas memeluk eyang kakungnya yang selalu menjadi rebutan antara Medina dengan para sepupu, gadis itu lalu beranjak menuju taman samping. Menyusul Hamam yang sudah terlebih dahulu berada di sana, bersama Aksa.

"Apa yang akan kamu bicarakan, Dik?" tanya Hamam tanpa basa-basi, yang lagi-lagi membuat Medina menjadi keki.

Bersambung ...

🌹🌹🌹

Mau bicara apa lagi, Din? Mau ngajakin main petak umpet, ya? 😅😅

Kakak... yg udah save nmr WA-ku, ping aku, yah 🙏

Gegara hp kemarin eror, jadi gak bisa double up. InsyaAllah malam ini aku usahakan double. Nantikan, ya...

Terpopuler

Comments

zian al abasy

zian al abasy

hmmm gus hanam gk peka sii mknya madina ksel trus..gombalin donk dik dina ny biar terbang ky kupu" gus jngan datar"gtu lh cewe kn maunya d rayu d romantisin d sanjung"gitu loh gus

2024-05-10

1

Mulaini

Mulaini

Medina ada² aja memangnya belum puas berbicara sama gus Hamam atau kamu pingin dekat terus sama gus Hamam?

2024-04-27

0

secret

secret

wahh jd kangen era rehan-nabila😁😁
skg dah jadi eyang ajaa

2024-04-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!