Dua

"Eh, Pa. Papa sudah kenal dengan dia?" tanya Medina, sengaja mengalihkan perhatian sang papa.

Benar saja, Papa Mirza pun melupakan pertanyaannya. Laki-laki paruh baya itu mengangguk lalu tersenyum hangat menyapa Hamam. Sementara pemuda yang masih berdiri di samping Medina itu, membalas dengan senyuman ramahnya yang jarang sekali dia tampilkan.

Ya, putra bungsu Kyai Umar itu memang jarang sekali tersenyum. Jika kali ini Hamam tersenyum, itu karena ada tamu sang abah yang harus dia hormati. Dan sepertinya, Medina beruntung karena dapat melihat senyuman Hamam yang menawan.

Pembawaan pemuda itu juga begitu tenang, sama sekali tak terlihat grogi meski di sampingnya ada seorang gadis cantik. Hamam memang terkenal dingin pada wanita, terutama pada santri putri. Karena itulah, tidak ada satu pun dari santri sang abah yang berani mendekati. Baru kali ini dan dia adalah santri baru, yang tahu-tahu menyeret Hamam, dan mengakui pemuda itu sebagai kekasih.

"Memangnya, dia ini siapa, Pa? Kenapa Papa memanggilnya gus?"

"Makanya, kalau diajak silaturrahim ke tempat saudara itu jangan ngeles melulu seperti bajai, Dik," sahut salah seorang abang Medina yang ikut menyambangi gadis itu ke pesantren.

"Siapa yang ngeles, sih, Bang? Dina enggak ikut 'kan emang karena ada keperluan sama temen-temen."

"Sama temen 'kan udah biasa, Dik. Sementara silaturahim ke rumah saudara jauh 'kan jarang-jarang. Abang ingetin, ya, Dik, silaturahim itu sangat penting, dan dianjurkan karena dapat merekatkan ...."

"Bersosialisasi dengan temen-temen juga penting, Bang, dan dianjurkan pula," sahut Medina, sebelum sang abang menyelesaikan perkataannya.

Ya, Medina memang jarang mau ikut jika diajak berkunjung ke kediaman Kyai Umar yang merupakan kerabat jauhnya. Kalau pun gadis cantik itu bersedia, Medina pasti sibuk dengan dunianya sendiri, ngobrol bersama teman-teman di dunia maya. Hingga gadis itu kurang mengenal satu per satu anggota keluarga kyai, tempat Medina nyantri sekarang ini.

"Tapi silaturrahim ke tempat saudara lebih penting, Dik, dari pada pacaran yang berkedok sosialisasimu itu!"

"Ish! bukan pacaran, Abang! Beneran sosialisasi, kok."

"Masak?"

"Sudah Bang Aksa. Kalian berdua ini, kalau bertemu pasti berdebat. Tidak ada yang mau mengalah."

Sang papa segera menengahi karena jika tidak, perdebatan tidak penting antara abang dan adik yang usianya hanya terpaut dua tahun itu, akan terus berlanjut. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Sang abang akan terus menanggapi setiap perkataan sang adik, hingga Medina kesal dibuatnya.

"Kami 'kan cuma becanda, Pap. Iya, enggak, Dik?" Aksa menatap sang adik bungsu seraya memainkan kedua alisnya dan jangan lupakan senyum tengilnya yang mengisyaratkan jika perdebatan mereka berdua, belum usai hanya sampai disitu saja.

"Tahu, tuh, Papa. Gitu aja dianggap serius," timpal Medina seraya melirik tajam pada sang abang. Lalu, Medina buru-buru menatap sang papa dengan senyum innocent yang mampu membuat papa tampan itu ikut tersenyum kemudian.

"Bercandanya enggak lucu, Nak. Kalian ini sudah besar, sudah menuju dewasa. Malu, ah, sama Pakdhe dan Budhe Nyai. Malu juga 'kan sama Gus Hamam." Dengan suaranya yang lembut, sang mama menasehati

"Tidak apa-apa, Dik Lila. Namanya juga anak remaja." Bu nyai yang masih terlihat cantik meski sudah memiliki beberapa cucu itu, ikut membuka suara.

"Mari, Nak Dina, silakan duduk." Nyai Aida lalu mempersilakan Medina untuk ikut duduk bersama di sofa.

"Ayo, Gus, ajak adiknya masuk, dan duduk di sini!."

Mendengar perintah Nyai Aida pada Hamam, Medina lalu menatap pemuda itu. "Jadi beneran, Kang Hamam ini putranya Pakdhe Yai? Kenapa enggak bilang-bilang, sih?"

"Kamunya 'kan enggak nanya, Dik," jawab Hamam dengan begitu santai.

"Tapi, kenapa Kang Hamam sering berada di kamar pengurus pondok putra?"

Hamam memang lebih suka tidur di pesantren bersama para santri putra jika sedang liburan, dari pada tidur di kediaman orang tuanya. Dari dulu, pemuda itu juga selalu menghindar jika ada teman-teman abahnya yang ingin mengenal putra-putri Kyai Umar. Dia lebih suka membaur dengan para santri dan lebih senang jika dikenal sebagai santri ketimbang gus.

"Wah ... jadi, adikku ini ternyata sudah lama, ya, ngepoin dan ngincer gebetannya."

"Eh, enggak gitu juga, Bang!" elak Medina. "Siapa juga yang ngepoin dan ngincer dia!"

"Beneran enggak mau, nih, sama Kak Hamam yang tampan rupawan?" Aksa masih saja meledek adiknya. "Tapi tadi kamu bilang, kalau kalian ...."

"Dina khilaf, Bang!" potong gadis itu dengan cepat.

Terdengar deheman dari Kyai Umar yang kemudian menghentikan perdebatan kecil kakak dan adik perempuannya itu.

"Maaf, Pakdhe Yai. Dina enggak bermaksud ...."

"Tidak apa-apa, Nak Dina. Ayo, kalian masuklah! Tapi, lepaskan dulu tangan Gus Hamam." Kyai Umar tersenyum seraya geleng-geleng kepala.

Dina yang baru menyadari jika dia masih memegang lengan Hamam, buru-buru melepaskan jerat tangannya dari sana. "Jangan kegeeran, ya, Kang! Dina tadi reflek aja gandeng lengan Kang Hamam!"

Pemuda itu hanya menanggapi dengan mengedikkan bahunya, seolah apa yang dilakukan Medina terhadap dirinya barusan, tak berarti apa-apa. Hal itu justru membuat Medina bertanya-tanya karena selama ini, belum ada seorang pemuda pun yang begitu cuek terhadap dirinya. Dan Hamam adalah pemuda pertama yang nyuekin si cantik Medina.

'Hi ... tampan-tampan, tapi ternyata belok!' Medina bergidik ngeri sendiri, setelah mengambil kesimpulan jika Hamam bukanlah laki-laki tulen.

Gadis cantik itu lalu mendudukkan diri di samping sang mama, setelah menyalami kedua orang tuanya. Hamam pun ikut menyalami Papa Mirza dan sang istri. Pemuda itu kemudian duduk di samping Aksa. Cara duduk Hamam yang kebetulan nempel pada Aksa, semakin menguatkan dugaan Medina jika putra bungsu Kyai Umar itu memang menyimpang.

"Bang Aksa! Ssst!" Medina berbisik, memanggil sang abang. Akan tetapi, bisikan Medina di ruangan yang tak terlalu luas tersebut berhasil mengundang perhatian orang-orang meski hanya sebentar karena selanjutnya para orang tua itu kembali melanjutkan obrolan.

"Ada apa?" tanya Aksa, tanpa bersuara. Hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak dan dapat terbaca oleh Medina yang memang menatap abangnya itu.

"Jangan deket-deket sama Kang Hamam!"

"Memangnya kenapa, Dik?" Aksa lalu menoleh ke arah Hamam. Sementara pemuda yang dilihat, nampak cuek saja, dan tidak memperhatikan kakak beradik tersebut.

"Kang Hamam sepertinya belok, deh, Bang."

"Maksud kamu?"

"Pokoknya Bang Aksa jangan dekat-dekat sama dia!"

"Dina."

"Gus Hamam."

Panggilan Papa Mirza yang berbarengan dengan Kyai Umar, berhasil mengalihkan perhatian Medina. Begitu pula dengan Hamam yang kemudian menatap sang abah.

"Iya, Pap."

"Nggih, Abah."

Keduanya pun menjawab panggilan orang tua masing-masing, serempak.

"Nak, Dina. Seperti yang kamu katakan tadi jika kamu dan Gus Hamam sudah saling cocok dan berencana untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, maka papa dan Pakdhe Yai selaku orang tua sepakat untuk memberikan restu pada kalian berdua."

"Restu? Maksud Papa?"

"Iya, restu. Kalian saling suka, kan?"

"Tidak, Pap!"

"Iya, Om," jawab Hamam dengan tegas yang berlawanan dengan jawaban Medina.

Hal itu membuat para orang tua menjadi bingung lalu menatap keduanya, menuntut jawab.

"Kang! Kita 'kan belum saling kenal? Bagaimana mungkin bisa suka? Lagian, kenapa Kang Hamam main jawab iya aja?" Medina pun melancarkan protesnya.

"Bukannya, Dik Dina tadi menyuruhku untuk diam dan mengiyakan saja, ya?"

"Memang iya, sih. Tapi, siapa juga yang mau sama pemuda belok seperti Kang Hamam?"

"Belok? Belok bagaimana maksud Nak Dina?" tanya Nyai Aida, tak mengerti.

Sementara kedua orang tua Medina, seketika menatap Kyai Umar, dan sang istri dengan tatapan tak enak hati. "Maafkan Dina, Kak Umar. Kak Aida. Dia itu anaknya memang ceplas-ceplos seperti itu."

Kyai Umar tersenyum. "InsyaAllah, Gus Hamam adalah laki-laki tulen, Nak Dina."

"Tapi, Pakdhe ...."

"Dik Dina butuh bukti valid mungkin, Pakdhe," sahut Aksa.

"Kalau begitu, nikahkan saja mereka berdua, Pap, Pakdhe. Agar adikku yang cantik itu bisa membuktikan sendiri, apakah Kak Hamam ini laki-laki tulen atau belok seperti yang dia pikirkan."

"Hah, apa? Nikah?"

bersambung ...

🌹🌹🌹

Kuucapkan terima kasih buat kalian semua yang sudah hadir di mari 🥰🙏

Jangan lupa kasih ulasan bintang lima, yah 👇 biar aku makin semangat 😍 mode malaknya, tetep 🤭

Terpopuler

Comments

Okto Mulya D.

Okto Mulya D.

Ada² aja Dina, anak Kyai masak belok..

2024-10-15

1

Cah Dangsambuh

Cah Dangsambuh

ya allah itu mulut dina pedes bet ya mosok di depan orang tuanya berani ngatain sang gus belok,,,🤣🤣🤣dasar koplak

2024-07-12

1

Dwika Wahyu

Dwika Wahyu

baru mampir kak nyimak dulu

2024-05-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!