Di tengah ruangan luas dan elegan, suara tegas seorang pria bergema.
"Tak kusangka kita bertemu lagi, Gadis Bercadar. Kau sungguh lancang telah mengusik ketenanganku. Tapi tidak masalah, karena kau yang memulai, maka akulah yang berhak mengakhiri."
Rangga menatap tajam ke arah Humaira. Nada suaranya terdengar tegas, nyaris seperti ancaman.
Beberapa karyawan yang hadir tampak bingung. Mereka terbiasa mendengar bahasa Inggris atau Arab dalam lingkungan kerja, namun kali ini, direktur utama mereka berbicara dalam bahasa Indonesia—dan kalimat itu jelas ditujukan kepada Humaira.
Sejenak suasana menjadi riuh. Para karyawan saling berbisik, mempertanyakan maksud dari ucapan sang bos. Namun, tak ingin menimbulkan kegaduhan lebih lanjut, Rangga segera melanjutkan sambutannya dalam bahasa Inggris.
Sementara itu, Humaira tetap tenang. Ia tidak merasa terganggu dengan ancaman tersirat itu. Baginya, pekerjaannya lebih penting daripada drama di kantor. Jika Rangga ingin memecatnya, maka ia akan menerimanya dengan ikhlas.
Karena dalam hidupnya, ia selalu percaya: Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Semua sudah diatur oleh Allah SWT.
- Waktu Istirahat
Jam makan siang tiba. Para karyawan berbondong-bondong keluar kantor, ada yang ke kafe, ada pula yang memilih kantin. Namun, Humaira lebih suka menikmati bekalnya sendiri di taman luar kantor.
Ia duduk di sebuah gazebo, menikmati makan siangnya dalam ketenangan. Namun, suara nyaring seorang anak kecil tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
"Mamiiiiii!"
Humaira menoleh. Dari kejauhan, seorang gadis kecil berlari ke arahnya dengan wajah ceria.
"Isabell," ucap Humaira lembut, tersenyum di balik cadarnya.
Tanpa ragu, Isabell melongok ke dalam kotak makan siang Humaira. "Mami lagi makan?" tanyanya penasaran.
Humaira mengangguk. "Isabell mau?"
"Mau, mau!" jawab Isabell dengan semangat.
Humaira menepuk lantai gazebo. "Sini duduk yang betul, Mami suapin, ya?"
Dengan penuh perhatian, Humaira menyuapi gadis kecil itu. Sesekali, Isabell melompat kegirangan setiap kali mendapat suapan.
"Eh, belepotan hihi," ucap Humaira terkekeh, mengusap lembut sudut bibir Isabell.
Selain membawa makanan, Humaira juga membawa buah-buahan yang telah dikupas dan dimasukkan ke dalam boks.
"Mbak, sini duduk. Kita makan buah sama-sama. Kebetulan saya bawa banyak," ucap Humaira kepada dua pengasuh Isabell.
Mereka pun duduk bersama, menikmati makanan sambil berbincang ringan.
Namun, kebersamaan itu tak berlangsung lama. Seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah tegas mendekati mereka.
"Nona Isabell, Daddy meminta Anda menemuinya sekarang."
Isabell mendongak, lalu tersenyum pada pria itu. "Oke, Om Ben!"
Namun sebelum pergi, Isabell menarik tangan Humaira. "Mami ikut, yuk?"
Humaira tersenyum lembut. "Tidak bisa, sayang. Mami harus kerja."
Ekspresi ceria Isabell seketika berubah murung. "Please, Mami?"
Melihat wajah memelas gadis kecil itu, Humaira hampir luluh. Namun, pengasuh Isabell, Mbak Ningsih, segera turun tangan.
"Sayang, kalau Mami ikut Isabell, nanti pekerjaannya tidak selesai dan bisa dimarahi bos. Isabell mau Mami Rara dimarahi?"
Isabell terdiam sejenak, lalu menghela napas kecil. "Oke, baiklah..."
Ben tersenyum, lalu menggendong Isabell. "Ayo, anak pintar."
Sebelum pergi, Mbak Ningsih mendekati Humaira. "Non Rara, boleh saya minta nomor teleponnya?"
"Tentu saja," jawab Humaira sambil menyerahkan ponselnya.
Setelah mendapat nomor yang diinginkan, Mbak Ningsih pun berlari menyusul Ben dan Isabell.
: Malam yang Tenang
Musim dingin telah tiba di Dubai. Udara sejuk menerpa kulit Humaira saat ia berjalan menuju apartemennya.
Setelah membersihkan diri, ia menyempatkan waktu untuk mengerjakan tugas kuliahnya dan mengirimkannya melalui email.
Di masa pandemi ini, kebanyakan perkuliahan dilakukan secara daring. Hanya sesekali ia perlu datang ke kampus untuk urusan penting.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar.
Drrrt... Drrrt...
Sebuah panggilan video masuk. Di layar, tertera nama Ummi & Abi.
Humaira segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Ummi, Abi!" sapanya dengan senyum hangat.
"Waalaikumsalam," jawab kedua orang tuanya serempak.
"Bagaimana kabarmu di sana, Nak?" tanya Ummi Pipit.
"Alhamdulillah, Rara baik-baik saja, Mi. Bagaimana Ummi dan Abi? Oh iya, bagaimana kabar pesantren?"
Abi Ali tersenyum. "Alhamdulillah, tahun ini banyak pendaftar baru dari luar kota."
"Wah, Alhamdulillah! Berarti pesantren kita makin ramai!" ujar Humaira senang.
Percakapan mereka berlangsung cukup lama. Namun, karena hari semakin larut, kedua orang tua Humaira memutuskan untuk mengakhiri panggilan agar putri mereka bisa beristirahat.
Setelah menutup telepon, Humaira meregangkan tubuhnya, siap untuk tidur. Namun, sebelum sempat merebahkan diri, ponselnya kembali berdering.
Drrrt... Drrrt...
Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar.
"Nomor baru? Siapa, ya?" batinnya.
Biasanya, Humaira enggan mengangkat telepon dari nomor asing. Jika memang penting, pasti akan ada panggilan ulang.
Dan benar saja—ponselnya berdering lagi.
Akhirnya, ia mengangkatnya.
"Assalamualaikum," ucapnya datar.
Di seberang sana, suara ceria seorang anak langsung terdengar.
"Mamiiiiii!"
Humaira tersentak. "Isabell?"
"Mamiii, kenapa tadi tidak angkat teleponnya?" suara Isabell terdengar sedikit kesal.
Humaira tersenyum kecil. "Maaf sayang, tadi Mami di kamar mandi, jadi tidak dengar."
"Oh, oke... Mamiii, Isabel rindu Mami!" ujar gadis kecil itu dengan penuh semangat.
"Benarkah?" tanya Humaira lembut.
"Eum! Boleh Isabel menemui Mami lagi besok di kantor?" pinta Isabell.
Humaira tersenyum. "Baiklah, tapi hanya saat makan siang, ya?"
"Horeee! Besok ketemu Mamiii!" seru Isabell kegirangan.
Humaira tertawa kecil. Percakapan malam itu menutup harinya dengan kebahagiaan sederhana.dan Humaira menikmati malam ini.
Esok Hari – Kantor
Suasana kantor kembali seperti biasa. Para karyawan sibuk dengan tugas mereka, sementara Humaira fokus menyelesaikan pekerjaannya. Namun, pikirannya masih melayang pada percakapannya dengan Isabell semalam. Gadis kecil itu semakin dekat dengannya, dan entah kenapa, Humaira merasa hangat setiap kali mendengar suara cerianya.
Saat jam makan siang tiba, Humaira kembali ke taman seperti kemarin. Ia membuka bekalnya dan mulai makan dengan tenang. Namun, kali ini ia tidak sendirian.
“Mamiii!”
Seperti yang sudah diduga, Isabell datang berlari ke arahnya, kali ini tanpa pengasuhnya. Humaira tersenyum dan merentangkan tangannya, membiarkan Isabell melompat ke pangkuannya.
“Aduh, anak pintar ini makin hari makin lengket sama Mami, ya?” goda Humaira sambil mengusap kepala Isabell.
Isabell terkikik. “Mami suka, kan?”
“Tentu saja.”
Saat itu, seseorang berdiri di dekat mereka. Sosok tinggi dengan sorot mata tajam yang langsung membuat suasana terasa dingin.
Rangga.
Ia berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menatap interaksi mereka dengan ekspresi sulit ditebak.
"Isabell," panggilnya tenang.
Isabell menoleh dan tersenyum cerah. "Daddy!"
Tanpa melepaskan pelukannya dari Humaira, Isabell menengadah, menatap sang ayah dengan mata berbinar.
"Daddy, lihat! Mami suapin Isabell makan," katanya bangga, seolah ingin pamer.
Mata Rangga sedikit menyipit. "Mami?"
Isabell mengangguk mantap. "Iya, Mami Rara!"
Humaira menghela napas dalam hati. Ia bisa merasakan tatapan tajam Rangga yang seperti menembus cadarnya.
“Kau mengizinkan ini?” suara Rangga terdengar rendah, nyaris berbisik, namun tegas.
Humaira menatap balik, tetap tenang. "Isabell yang memanggilku begitu, bukan aku yang memintanya."
"Dan kau tidak menghentikannya?"
Humaira diam sejenak sebelum menjawab. "Anak kecil butuh kasih sayang. Jika Isabell nyaman, mengapa harus dihentikan?"
Rangga tidak langsung menjawab. Ada sorot aneh di matanya, seperti sedang menimbang sesuatu.
Isabell, yang tidak menyadari ketegangan di antara mereka, justru semakin mendekap Humaira. "Mami baik, Daddy. Aku suka Mami!"
Rangga akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya, lalu menghela napas. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menatap Humaira dalam-dalam sebelum berbalik pergi.
Namun, sebelum ia benar-benar pergi, terdengar suaranya yang dalam dan berat.
“Kita akan bicara nanti, Gadis Bercadar.”
Humaira hanya tersenyum samar, sementara Isabell kembali fokus menikmati makan siangnya.
Ia tahu, ini bukan akhir—justru awal dari sesuatu yang lebih besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments