Bab5

Di tengah ruangan luas dan elegan, suara tegas seorang pria bergema.

"Tak kusangka kita bertemu lagi, Gadis Bercadar. Kau sungguh lancang telah mengusik ketenanganku. Tapi tidak masalah, karena kau yang memulai, maka akulah yang berhak mengakhiri."

Rangga menatap tajam ke arah Humaira. Nada suaranya terdengar tegas, nyaris seperti ancaman.

Beberapa karyawan yang hadir tampak bingung. Mereka terbiasa mendengar bahasa Inggris atau Arab dalam lingkungan kerja, namun kali ini, direktur utama mereka berbicara dalam bahasa Indonesia—dan kalimat itu jelas ditujukan kepada Humaira.

Sejenak suasana menjadi riuh. Para karyawan saling berbisik, mempertanyakan maksud dari ucapan sang bos. Namun, tak ingin menimbulkan kegaduhan lebih lanjut, Rangga segera melanjutkan sambutannya dalam bahasa Inggris.

Sementara itu, Humaira tetap tenang. Ia tidak merasa terganggu dengan ancaman tersirat itu. Baginya, pekerjaannya lebih penting daripada drama di kantor. Jika Rangga ingin memecatnya, maka ia akan menerimanya dengan ikhlas.

Karena dalam hidupnya, ia selalu percaya: Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Semua sudah diatur oleh Allah SWT.

- Waktu Istirahat

Jam makan siang tiba. Para karyawan berbondong-bondong keluar kantor, ada yang ke kafe, ada pula yang memilih kantin. Namun, Humaira lebih suka menikmati bekalnya sendiri di taman luar kantor.

Ia duduk di sebuah gazebo, menikmati makan siangnya dalam ketenangan. Namun, suara nyaring seorang anak kecil tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Mamiiiiii!"

Humaira menoleh. Dari kejauhan, seorang gadis kecil berlari ke arahnya dengan wajah ceria.

"Isabell," ucap Humaira lembut, tersenyum di balik cadarnya.

Tanpa ragu, Isabell melongok ke dalam kotak makan siang Humaira. "Mami lagi makan?" tanyanya penasaran.

Humaira mengangguk. "Isabell mau?"

"Mau, mau!" jawab Isabell dengan semangat.

Humaira menepuk lantai gazebo. "Sini duduk yang betul, Mami suapin, ya?"

Dengan penuh perhatian, Humaira menyuapi gadis kecil itu. Sesekali, Isabell melompat kegirangan setiap kali mendapat suapan.

"Eh, belepotan hihi," ucap Humaira terkekeh, mengusap lembut sudut bibir Isabell.

Selain membawa makanan, Humaira juga membawa buah-buahan yang telah dikupas dan dimasukkan ke dalam boks.

"Mbak, sini duduk. Kita makan buah sama-sama. Kebetulan saya bawa banyak," ucap Humaira kepada dua pengasuh Isabell.

Mereka pun duduk bersama, menikmati makanan sambil berbincang ringan.

Namun, kebersamaan itu tak berlangsung lama. Seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah tegas mendekati mereka.

"Nona Isabell, Daddy meminta Anda menemuinya sekarang."

Isabell mendongak, lalu tersenyum pada pria itu. "Oke, Om Ben!"

Namun sebelum pergi, Isabell menarik tangan Humaira. "Mami ikut, yuk?"

Humaira tersenyum lembut. "Tidak bisa, sayang. Mami harus kerja."

Ekspresi ceria Isabell seketika berubah murung. "Please, Mami?"

Melihat wajah memelas gadis kecil itu, Humaira hampir luluh. Namun, pengasuh Isabell, Mbak Ningsih, segera turun tangan.

"Sayang, kalau Mami ikut Isabell, nanti pekerjaannya tidak selesai dan bisa dimarahi bos. Isabell mau Mami Rara dimarahi?"

Isabell terdiam sejenak, lalu menghela napas kecil. "Oke, baiklah..."

Ben tersenyum, lalu menggendong Isabell. "Ayo, anak pintar."

Sebelum pergi, Mbak Ningsih mendekati Humaira. "Non Rara, boleh saya minta nomor teleponnya?"

"Tentu saja," jawab Humaira sambil menyerahkan ponselnya.

Setelah mendapat nomor yang diinginkan, Mbak Ningsih pun berlari menyusul Ben dan Isabell.

 

: Malam yang Tenang

Musim dingin telah tiba di Dubai. Udara sejuk menerpa kulit Humaira saat ia berjalan menuju apartemennya.

Setelah membersihkan diri, ia menyempatkan waktu untuk mengerjakan tugas kuliahnya dan mengirimkannya melalui email.

Di masa pandemi ini, kebanyakan perkuliahan dilakukan secara daring. Hanya sesekali ia perlu datang ke kampus untuk urusan penting.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar.

Drrrt... Drrrt...

Sebuah panggilan video masuk. Di layar, tertera nama Ummi & Abi.

Humaira segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Ummi, Abi!" sapanya dengan senyum hangat.

"Waalaikumsalam," jawab kedua orang tuanya serempak.

"Bagaimana kabarmu di sana, Nak?" tanya Ummi Pipit.

"Alhamdulillah, Rara baik-baik saja, Mi. Bagaimana Ummi dan Abi? Oh iya, bagaimana kabar pesantren?"

Abi Ali tersenyum. "Alhamdulillah, tahun ini banyak pendaftar baru dari luar kota."

"Wah, Alhamdulillah! Berarti pesantren kita makin ramai!" ujar Humaira senang.

Percakapan mereka berlangsung cukup lama. Namun, karena hari semakin larut, kedua orang tua Humaira memutuskan untuk mengakhiri panggilan agar putri mereka bisa beristirahat.

Setelah menutup telepon, Humaira meregangkan tubuhnya, siap untuk tidur. Namun, sebelum sempat merebahkan diri, ponselnya kembali berdering.

Drrrt... Drrrt...

Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar.

"Nomor baru? Siapa, ya?" batinnya.

Biasanya, Humaira enggan mengangkat telepon dari nomor asing. Jika memang penting, pasti akan ada panggilan ulang.

Dan benar saja—ponselnya berdering lagi.

Akhirnya, ia mengangkatnya.

"Assalamualaikum," ucapnya datar.

Di seberang sana, suara ceria seorang anak langsung terdengar.

"Mamiiiiii!"

Humaira tersentak. "Isabell?"

"Mamiii, kenapa tadi tidak angkat teleponnya?" suara Isabell terdengar sedikit kesal.

Humaira tersenyum kecil. "Maaf sayang, tadi Mami di kamar mandi, jadi tidak dengar."

"Oh, oke... Mamiii, Isabel rindu Mami!" ujar gadis kecil itu dengan penuh semangat.

"Benarkah?" tanya Humaira lembut.

"Eum! Boleh Isabel menemui Mami lagi besok di kantor?" pinta Isabell.

Humaira tersenyum. "Baiklah, tapi hanya saat makan siang, ya?"

"Horeee! Besok ketemu Mamiii!" seru Isabell kegirangan.

Humaira tertawa kecil. Percakapan malam itu menutup harinya dengan kebahagiaan sederhana.dan Humaira menikmati malam ini.

Esok Hari – Kantor

Suasana kantor kembali seperti biasa. Para karyawan sibuk dengan tugas mereka, sementara Humaira fokus menyelesaikan pekerjaannya. Namun, pikirannya masih melayang pada percakapannya dengan Isabell semalam. Gadis kecil itu semakin dekat dengannya, dan entah kenapa, Humaira merasa hangat setiap kali mendengar suara cerianya.

Saat jam makan siang tiba, Humaira kembali ke taman seperti kemarin. Ia membuka bekalnya dan mulai makan dengan tenang. Namun, kali ini ia tidak sendirian.

“Mamiii!”

Seperti yang sudah diduga, Isabell datang berlari ke arahnya, kali ini tanpa pengasuhnya. Humaira tersenyum dan merentangkan tangannya, membiarkan Isabell melompat ke pangkuannya.

“Aduh, anak pintar ini makin hari makin lengket sama Mami, ya?” goda Humaira sambil mengusap kepala Isabell.

Isabell terkikik. “Mami suka, kan?”

“Tentu saja.”

Saat itu, seseorang berdiri di dekat mereka. Sosok tinggi dengan sorot mata tajam yang langsung membuat suasana terasa dingin.

Rangga.

Ia berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menatap interaksi mereka dengan ekspresi sulit ditebak.

"Isabell," panggilnya tenang.

Isabell menoleh dan tersenyum cerah. "Daddy!"

Tanpa melepaskan pelukannya dari Humaira, Isabell menengadah, menatap sang ayah dengan mata berbinar.

"Daddy, lihat! Mami suapin Isabell makan," katanya bangga, seolah ingin pamer.

Mata Rangga sedikit menyipit. "Mami?"

Isabell mengangguk mantap. "Iya, Mami Rara!"

Humaira menghela napas dalam hati. Ia bisa merasakan tatapan tajam Rangga yang seperti menembus cadarnya.

“Kau mengizinkan ini?” suara Rangga terdengar rendah, nyaris berbisik, namun tegas.

Humaira menatap balik, tetap tenang. "Isabell yang memanggilku begitu, bukan aku yang memintanya."

"Dan kau tidak menghentikannya?"

Humaira diam sejenak sebelum menjawab. "Anak kecil butuh kasih sayang. Jika Isabell nyaman, mengapa harus dihentikan?"

Rangga tidak langsung menjawab. Ada sorot aneh di matanya, seperti sedang menimbang sesuatu.

Isabell, yang tidak menyadari ketegangan di antara mereka, justru semakin mendekap Humaira. "Mami baik, Daddy. Aku suka Mami!"

Rangga akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya, lalu menghela napas. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menatap Humaira dalam-dalam sebelum berbalik pergi.

Namun, sebelum ia benar-benar pergi, terdengar suaranya yang dalam dan berat.

“Kita akan bicara nanti, Gadis Bercadar.”

Humaira hanya tersenyum samar, sementara Isabell kembali fokus menikmati makan siangnya.

Ia tahu, ini bukan akhir—justru awal dari sesuatu yang lebih besar.

Episodes
1 Bab1
2 Bab2
3 Bab3
4 Bab4
5 Bab5
6 Bab6
7 Bab7
8 Bab8
9 Bab9
10 Bab10
11 Bab11
12 Bab12
13 Bab13
14 Bab14
15 Bab15
16 Bab16
17 Bab17
18 Bab18
19 Bab19
20 Bab20
21 Bab21
22 Bab22
23 bab23
24 bab24
25 Bab zyn
26 Bab26
27 Bab27
28 Bab28
29 Bab29
30 Bab30
31 Bab31
32 Bab32
33 Bab33
34 Bab34
35 Bab35
36 Bab36
37 Bab37
38 Bab38
39 Bab39
40 bab40
41 Bab41
42 Bab42
43 Bab43
44 Bab44
45 Bab45
46 Bab46
47 Bab47
48 Bab48
49 Bab49
50 Bab50
51 Bab51
52 Bab52
53 Bab53
54 Bab54
55 Bab55
56 Bab56
57 Bab57
58 Bab58
59 Bab59
60 Bab60
61 Bab61
62 Bab62
63 Bab63
64 Bab64
65 Bab65
66 Bab66
67 Bab67
68 Bab68
69 Bab69
70 Bab70
71 Bab71
72 Bab72
73 Bab73
74 Bab74
75 Bab75
76 Bab76
77 Bab77
78 Bab78
79 Bab79
80 Bab80
81 Bab81
82 Bab82
83 Bab83
84 Bab84
85 Bab85
86 Bab86
87 Bab87
88 Bab88
89 Bab89
90 Bab90
91 Bab91
92 Bab92
93 Bab93
94 Bab94
95 Bab95
96 Bab96
97 Bab 97
98 Bab98
99 bab99
100 Bab100
101 Bab101
102 Bab102
103 103
104 104
105 Bab105
106 akhir
107 bab107
108 Bab 108
109 109
110 110
111 Bab111
112 Bab112
113 113
114 114
115 115
116 116
117 Bab117
118 118 Konformasi Amara dan Reza
119 Bab119 Pertarungan dalam bayangan
120 120 Kembali ke Indonesia
121 Bab121
122 Bab122
123 Bab 123
124 Bab124
125 Bab125
126 Bab126
127 Bab127
128 Bab128 Masa lalu yang Kembali
129 Bab129 Amara
130 Bab130
131 Bab131
132 Bab132
133 Bab133 Rangga dan Niko
134 Bab134
135 Bab135
Episodes

Updated 135 Episodes

1
Bab1
2
Bab2
3
Bab3
4
Bab4
5
Bab5
6
Bab6
7
Bab7
8
Bab8
9
Bab9
10
Bab10
11
Bab11
12
Bab12
13
Bab13
14
Bab14
15
Bab15
16
Bab16
17
Bab17
18
Bab18
19
Bab19
20
Bab20
21
Bab21
22
Bab22
23
bab23
24
bab24
25
Bab zyn
26
Bab26
27
Bab27
28
Bab28
29
Bab29
30
Bab30
31
Bab31
32
Bab32
33
Bab33
34
Bab34
35
Bab35
36
Bab36
37
Bab37
38
Bab38
39
Bab39
40
bab40
41
Bab41
42
Bab42
43
Bab43
44
Bab44
45
Bab45
46
Bab46
47
Bab47
48
Bab48
49
Bab49
50
Bab50
51
Bab51
52
Bab52
53
Bab53
54
Bab54
55
Bab55
56
Bab56
57
Bab57
58
Bab58
59
Bab59
60
Bab60
61
Bab61
62
Bab62
63
Bab63
64
Bab64
65
Bab65
66
Bab66
67
Bab67
68
Bab68
69
Bab69
70
Bab70
71
Bab71
72
Bab72
73
Bab73
74
Bab74
75
Bab75
76
Bab76
77
Bab77
78
Bab78
79
Bab79
80
Bab80
81
Bab81
82
Bab82
83
Bab83
84
Bab84
85
Bab85
86
Bab86
87
Bab87
88
Bab88
89
Bab89
90
Bab90
91
Bab91
92
Bab92
93
Bab93
94
Bab94
95
Bab95
96
Bab96
97
Bab 97
98
Bab98
99
bab99
100
Bab100
101
Bab101
102
Bab102
103
103
104
104
105
Bab105
106
akhir
107
bab107
108
Bab 108
109
109
110
110
111
Bab111
112
Bab112
113
113
114
114
115
115
116
116
117
Bab117
118
118 Konformasi Amara dan Reza
119
Bab119 Pertarungan dalam bayangan
120
120 Kembali ke Indonesia
121
Bab121
122
Bab122
123
Bab 123
124
Bab124
125
Bab125
126
Bab126
127
Bab127
128
Bab128 Masa lalu yang Kembali
129
Bab129 Amara
130
Bab130
131
Bab131
132
Bab132
133
Bab133 Rangga dan Niko
134
Bab134
135
Bab135

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!