Selesai konsultasi dengan dosennya, Rara memilih untuk langsung merevisi tugas akhirnya. Menunda hanya akan memperburuk keadaan—bukan hanya tugasnya yang tak selesai, tetapi ia juga bisa melupakan arahan dosennya.
Hari itu, ia memutuskan untuk bekerja di taman kota. Udara sejuk dan suasana tenang selalu membantunya berpikir lebih jernih. Duduk di bangku panjang, ia membuka laptop, lalu mulai mengetik. Sesekali, jemarinya berhenti, mengalihkan perhatian ke buku harian tempatnya mencurahkan pikiran.
Hanya satu langkah lagi sebelum kebebasan. Kuliahnya sudah selesai, dan tugas akhir adalah penghalang terakhir sebelum ia bisa pulang dan mengabdikan ilmunya di tanah air.
Suasana taman lebih lengang dari biasanya. Tak banyak pengunjung, hanya beberapa orang yang duduk menikmati sore.
Tiba-tiba...
"Mamiii!"
Suara nyaring seorang anak kecil menggema.
Gubrak!
Rara terperanjat ketika tubuh mungil menabraknya. Dadanya sedikit terdorong ke belakang, tapi untungnya laptop di pangkuannya selamat.
Ia menatap anak kecil itu dengan kening berkerut. Wajahnya tampak familiar.
"Isabell?" gumamnya, terkejut. Ia mengenali gadis kecil itu dari pertemuan singkat di bandara semalam.
Mata Isabell berbinar ketika namanya disebut. "Mamiii!" panggilnya lagi, kali ini dengan senyum penuh harap.
Rara mengernyit. "Mami?"
Seorang wanita—mungkin pengasuhnya—bergegas menghampiri. "Isabell! Jangan panggil Kakak seperti itu. Nanti Kakak marah!" ujarnya sambil mencoba menarik tangan Isabell dari Rara.
Namun, Isabell justru semakin erat menggenggam lengan Rara. "Tapi dia seperti Mommy..." bisiknya pelan.
Rara terdiam. Ada kesedihan di sorot mata gadis kecil itu.
"Maaf, Nona," ujar pengasuh lain dengan sopan. "Isabell memang begitu. Dia hanya..."
Isabell menundukkan kepala. Suaranya kecil, hampir tak terdengar. "Mommy sudah di surga."
Rara tercekat.
"Apa orang yang sudah di surga bisa marah?" tanya Isabell lirih.
Rara menelan ludah. Hatinya mencelos.
"Isabell ingin Mommy marah..." lanjutnya, suaranya mulai bergetar. "Karena kalau Mommy marah, itu berarti Mommy masih ada di sini, sama Isabell..."
Gadis kecil itu menangis tersedu-sedu.
Rara merasakan sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Isabell tidak asal memanggilnya ‘Mami’. Ia hanya... rindu.
Perlahan, Rara menangkup wajah mungil itu, lalu menariknya ke dalam pelukan.
"Kakak..." gumam Isabell dengan suara bergetar. "Kakak marah kalau aku memanggil Kakak ‘Mami’?"
Rara tersenyum tipis, meski air mata menggenang di matanya. "Tidak, sayang."
Mata Isabell berbinar. "Benarkah? Jadi... aku boleh menyebut Kakak ‘Mami’? Karena Mommy Abel sudah tidak ada?"
Rara mengangguk. "Tentu saja."
"Horee!" Isabell melompat turun dari pangkuan Rara dan mulai berlari mengitari bangku taman. "Aku punya Mami! Aku punya Mami lagi!"
Rara menatapnya, matanya mulai memanas. Tanpa sadar, air mata jatuh membasahi pipinya.
Seorang pengasuh mendekat dan tersenyum. "Terima kasih, Nona. Sejak ibunya meninggal, Isabell sering murung dan sulit diatur. Tapi sejak bertemu Nona, dia kembali ceria."
Rara menghela napas panjang. "Kasihan sekali... Masih kecil, tapi sudah kehilangan seorang ibu."
Mbak Ningsih, salah satu pengasuh, duduk di sampingnya. "Benar, Nona. Karena itu, ia sangat dekat dengan ayahnya. Bahkan lebih suka ikut ke luar negeri bersamanya daripada tinggal di rumah."
Dari kejauhan, Isabell berlari ke arah mereka. "Mamiii!" teriaknya ceria, melambaikan tangan.
Rara tersenyum dan membalas lambaian itu.
Mbak Ningsih menatapnya penuh haru. "Sejak bertemu Nona, Isabell selalu berharap bisa bertemu lagi. Terima kasih... karena sudah mengembalikan kebahagiaannya."
Rara menyeka sudut matanya. "Saya juga senang, Mbak. Saya berharap suatu hari nanti Isabell bisa mendapatkan ibu baru yang menyayanginya dengan tulus."
"Aamiin..."
Di bawah langit senja yang perlahan meredup, kebahagiaan kecil itu kembali hadir dalam hidup seorang gadis kecil bernama Isabell.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments