Bab 2

Bel istirahat Sekolah Dasar Negeri Tanjung Krama berdering nyaring, bagai aba-aba yang melepaskan kawanan kupu-kupu dari kepompongnya. Para murid berhamburan keluar kelas, riuh rendah menuju gerbang sekolah, tempat para pedagang jajanan telah setia menanti. Aneka godaan kuliner tersaji: cimol kenyal, gorengan renyah, telur gulung gurih, hingga segarnya es cendol yang menggugah selera.

Dengan mata berbinar, para murid mengerubungi para penjual, berebut jajanan favorit masing-masing. Sambil mengunyah dengan lahap, jari-jari lincah mereka menari di atas layar ponsel, sementara sebagian lainnya duduk berkelompok di bangku-bangku panjang yang teduh di bawah naungan pohon beringin raksasa. Pihak sekolah sengaja menyediakan fasilitas itu agar para siswa tak perlu mencari perlindungan dari terik matahari di luar lingkungan sekolah.

Namun, di tengah keriuhan itu, seorang gadis kecil hanya mampu menelan ludah pahit. Matanya nanar memperhatikan teman-temannya yang asyik menikmati jajanan dan larut dalam dunia maya ponsel mereka.

Rasa iri menyeruak di hatinya yang polos. Akan tetapi, meski masih belia, ia begitu memahami keterbatasan ekonomi keluarganya.

Wajah lugu itu menoleh ke kiri dan ke kanan di depan gerbang sekolah, menanti sosok ibunya yang sesekali membawakan sisa kue jualan dari rumah. Namun, ia sadar betul bahwa ibunya tak pernah menjanjikan kedatangan itu. Kata-kata lembut sang ibu selalu terngiang di telinganya, "Bila ibu ada sisa jualan kue, Ibu akan membawanya untukmu. Tapi ibu tidak janji ya, Nduk..."

Setiap hari, harapan kecil itu tumbuh di hati gadis itu, menanti ibunya datang membawa sedikit kebahagiaan berupa sebungkus kue. Namun, penantian hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah sekian lama menunggu dengan sabar, akhirnya ia menyerah. Hari itu, ibunya tak kunjung tiba. Waktu istirahat pun hampir usai. Dengan langkah gontai dan wajah murung, gadis cilik itu berbalik badan, hendak kembali ke kelas.

Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, suara lembut seorang pria menghentikan langkahnya. Tukang cendol yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya memanggilnya.

"Dek... kamu nunggu siapa, Dek? Abang lihat dari tadi mondar-mandir saja. Apa kamu tidak mau jajan, Dek?"

Gadis itu menoleh ke arah penjual es cendol. Tiba-tiba, tenggorokannya terasa tercekat melihat bulir-bulir cendol yang menetes di dalam toples kaca sang penjual. Rasa haus akibat perjalanan jauh dari rumah ke sekolah semakin terasa menyiksa.

"Hmmm... aku menunggu ibuku, Bang. Tapi ia tidak datang. Dan aku tidak punya uang untuk jajan, Bang..." jawabnya lirih.

"Oh, begitu ya... sudah, kemarilah. Abang buatkan satu gelas untukmu," ujar penjual cendol itu dengan nada ramah.

Gadis cilik itu terkejut. Bukankah baru saja ia mengatakan tidak punya uang? Mengapa ia tetap ditawari cendol?

"Jangan, Bang. Aku tidak bisa bayar nanti..." tolaknya halus.

"Tidak apa-apa, Dek. Adek tidak perlu membayar, ya. Jadi, ini abang buat gratis untuk adek. Nah, kemarilah. Duduk di samping abang," bujuk penjual itu.

"Beneran, Bang, ini gratis?" tanyanya dengan mata membulat tak percaya.

"Iya... nah, ini sudah jadi. Duduk sini buruan. Nanti waktu istirahat habis lho..."

Gadis cilik itu teringat akan waktu yang semakin menipis. Akhirnya, ia menuruti ajakan penjual cendol untuk duduk di sampingnya. Dalam benaknya, ia bergumam betapa baiknya penjual es cendol ini. Selama ia bersekolah di sini, belum pernah ada satu pun pedagang yang menawarkan jajanan secara cuma-cuma.

"Baiklah, Bang. Terima kasih..." ucapnya tulus.

Sambil duduk, ia menikmati es cendol itu dengan penuh rasa syukur. Betapa nikmat dan segarnya terasa di tenggorokannya yang kering. Dahaganya hilang seketika.

"Adek kelas berapa?" tanya penjual cendol itu memulai percakapan.

"Kelas enam, Bang..." jawab gadis cilik itu sambil terus menikmati kesegarannya.

"Oh, pantas. Tubuhmu bongsor ya? Seperti sudah kelas tiga SMP saja," celetuk abang penjual.

Gadis itu tersenyum mendengar pujian itu.

"Hehehe. Iya, Bang. Di kampungku, tetangga juga bilang begitu," sahutnya malu-malu.

"Wah, ternyata kamu periang ya. Nama adek siapa?" tanya abang itu lagi.

"Namaku Lastri, Bang. Teman-teman kelasku kadang memanggil Tri saja," jawabnya.

"Oh... Lastri... nama yang cantik..." puji penjual cendol.

"Hehehe, iya, Bang, terima kasih. Oh ya, aku baru lihat abang lho di sini. Abang baru ya berjualan di sini?" tanya Lastri penasaran.

"Betul, Dek... abang baru dua hari berjualan di sini," jawabnya ramah.

Saat mereka asyik berbincang, bel sekolah kembali berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Murid-murid mulai berlarian masuk kembali ke kelas masing-masing. Lastri pun telah menghabiskan segelas es cendol gratisnya.

"Abang, terima kasih ya cendolnya. Abang baik deh sama aku..." ucap Lastri tulus.

Penjual cendol itu tersenyum hangat.

"Iya, Dek. Abang cuma tidak tega saja kalau lihat anak sekolah yang tidak punya uang jajan. Nah... besok kalau Adek mau lagi, langsung ke sini saja ya. Jangan sungkan-sungkan sama abang..."

Karena sudah terburu-buru, Lastri hanya bisa tersenyum lebar sambil bergegas menuju kelasnya, meninggalkan kesan mendalam tentang kebaikan hati seorang penjual es cendol di benaknya.

Terpopuler

Comments

Sia A

Sia A

Kasihan... Pasti dia merasa sangat kecewa/Cry/

2025-05-16

2

kasihan dia orang tidak mampu....

2024-09-19

0

SD boleh bawa hp juga bang .

2024-09-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!