Hari ini tepat hari kelima Jingga melaksanakan ospek. Hari keempat Jerry di Kalimantan, serta hari di mana ia harus memberikan tanda tangan hukumannya kepada Jean.
"Akhirnya ospek yang melelahkan ini berakhir," seru Rea dengan girang.
Jingga hanya tersenyum tipis menanggapinya. Matanya menatap telapak tangan kanannya yang terbalut perban. Ketika Rea bertanya, ia hanya menjawab jika ia tergores pisau saat memasak.
Betisnya juga masih terasa perih, semalam ada satu pecahan cangkir yang menancap dan meninggalkan luka cukup dalam.
"Itu Kak Jean! Ayo kita berikan tanda tangan tak berguna itu padanya," pekik Reana.
Jingga mendongak dan benar saja, Jean baru saja ikut bergabung dengan teman-temannya yang sedang duduk di kantin.
"Ayo!" ajak Rea sembari mengambil buku notes yang berisi tanda tangan semua senior jurusan DKV.
Jika bukan karena Rea yang memiliki kepribadian berani dan mudah bergaul, mungkin Jingga tidak akan bisa menyelesaikan hukumannya dengan cepat.
Hanya tanda tangan Jean yang belum menghiasi buku notes mereka. Mereka akan memintanya langsung saat mengumpulkan nanti.
"Permisi, Kak!" sapa Rea kepada Jean yang sedang bercanda dengan temannya.
Jingga tidak berniat untuk menyapa, dia sibuk membuka tasnya untuk mengambil notes miliknya.
Jean menghentikan candaannya dan fokus ke arah Rea dan juga Jingga. Jean menatap keduanya dengan tatapan yang berbeda.
"Hanya tinggal Kakak satu-satunya senior yang belum tanda tangan, tolong tanda tangan dulu ya, Kak!" ucap Rea dengan sopan. Tangannya mengulurkan notes miliknya kepada seniornya itu.
Jean tersenyum tipis dan mengambil notes itu, matanya sedikit melirik Jingga yang terlihat membolak-balikkan notes miliknya.
"Hukumanmu sudah selesai. Lain kali dengarkan senior yang sedang berbicara di depan," kata Jean. Pemuda itu mengambil tanda pengenal milik Rea yang berada di dalam tasnya dan memberikannya kepada gadis itu.
"Terima kasih, Kak!" jawab Rea dengan riang. Gadis itu menyikut Jingga karena sedari tadi hanya diam.
Jingga menatap Jean dengan datar. "Langsung katakan saja hukuman apa yang akan Anda berikan, karena Saya gagal memenuhi hukuman sebelumnya," ucapnya dalam satu tarikan napas.
Jiwa dan raganya sudah lelah.
"Apa maksudmu?" bisik Rea. "Kita memiliki jumlah tanda tangan yang sama, hanya tinggal satu lagi sepertiku. Gagal dari mana?" lanjutnya.
Jingga memperlihatkan notesnya kepada Jean. "Aku tidak tau bagaimana semua lembar yang berisi tanda tangan bisa robek seperti ini. Aku akan menjalankan apapun hukuman yang akan Anda berikan," jelasnya dengan wajah datar.
Wajah yang biasanya di hiasi dengan berbagai ekspresi itu, kini hanya berisi ekspresi dingin. Matanya hanya memancarkan tatapan datar.
Prok! Prok! Prok!
Jean bertepuk tangan dengan keras, orang-orang yang berada di kantin langsung memusatkan perhatian padanya.
"Aku menyukai keberanianmu wahai juniorku." Kalimat sederhana, tetapi terdengar begitu menusuk.
"Sepertinya kau memang sangat suka di hukum, ya? Temanmu berhasil menyelesaikan hukumannya tetapi kau? Katakan saja kau tidak mampu untuk melakukannya, hingga kau merobek bukumu sendiri," ucap Jean.
Jingga menatap Jean tanpa rasa takut. "Tidak perlu basa-basi. Langsung saja berikan hukuman yang akan saya berikan. Saya akan melakukannya," balasnya.
Para mahasiswa yang ada di sana saling berbisik satu sama lain, mereka menerka-nerka hukuman apa yang akan Jean berikan.
"Apapun itu?" tanya Jean dengan senyum miring.
"Ya."
"Aku ingin kau-----"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pulang dari kampus, Jingga langsung menuju panti asuhan tempatnya dulu. Butuh waktu 3 jam dengan menaiki bus agar sampai di sana.
Dia sudah mengabari Jerry jika ia akan berkunjung dan menginap di sana. Besok sudah memasuki weekend yang mana kuliah libur.
"Kak Jingga!" teriak seorang anak kecil ketika melihat Jingga memasuki gerbang panti.
Ekspresi datar yang terpasang selama satu hari ini luntur begitu saja, berganti dengan senyum manis yang terpatri dengan indah menghiasi wajah Jingga.
Gadis kecil itu berlari mendekati Jingga. "Aca merindukan Kakak! Kenapa Kakak tidak pernah berkunjung kemari?" tanyanya.
Jingga membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Maaf ya, Kakak sibuk beberapa hari ini," jawabnya.
Aca dulunya adalah bayi yang di tinggalkan begitu saja di depan gerbang panti asuhan. Bayi dengan bercak darah yang masih menghiasi wajah serta tubuhnya, hanya dengan di balut kain selendang dan di letakkan di dalam kardus.
Kini Aca sudah berusia 8 tahun, Jingga menjadi saksi bagaimana gadis kecil ini tumbuh. Tak heran jika Aca terlihat menempel padanya.
"Apa Kakak bahagia tinggal dengan Ayah Kakak?" tanya Aca. "Jika Kakak bahagia, Aca juga ingin memiliki orang tua," lanjut gadis kecil itu dengan lirih.
Jingga terdiam mendengar pernyataan Aca. Jawaban apa yang harus ia berikan?
"Apa Ibu ada di dalam?" tanya Jingga mengalihkan pembicaraan. Dia melepaskan pelukannya dan menatap dalam Aca.
Dia seperti sedang melihat dirinya saat seumuran Aca. Umur di mana dia merasa iri kepada teman-temannya yang di adopsi dan mendapatkan keluarga baru.
"Ada! Ayo, Aca akan mengantar Kakak," jawab gadis kecil itu dengan semangat.
Jingga menggandeng tangan kecil Aca dan berjalan bersama ke dalam untuk menemui Ibu panti.
Malam dengan cepat menyapa, Jingga duduk sendiri di gazebo yang ada di halaman samping area panti. Kedua tangannya menumpu di belakang tubuhnya, matanya menatap bulan yang bersinar dengan terang.
Hampir 2 minggu ia tinggal bersama Ayah dan saudara tirinya, tetapi ternyata tempat ternyamannya tetap saja di rumah pertamanya ini.
"Kenapa melamun di sini?"
Ibu panti yang bernama Ratna itu baru saja datang dan ikut duduk di samping Jingga.
"Jingga suka di sini, Bu," jawab gadis itu di iringi senyum manis.
Ibu Ratna membenarkan posisi duduknya dan mengelus lengan Jingga. "Apa kau bahagia bisa tinggal bersama Ayah dan saudaramu?"
Seperti yang di tanyakan Aca tadi sore, pertanyaan yang sulit untuk ia jawab.
"Apa anak-anak sudah tidur?" Jingga balik bertanya.
Ibu Ratna mengangguk sebagai jawaban. "Saat Ayahmu datang kemari dan mengatakan bahwa ia Ayah kandungmu, Ibu hampir tidak percaya. Dia menceritakan bagaimana dirimu bisa hadir dan berakhir di bawa Ibumu ke sini. Setelah itu akhirnya Ibu percaya dan melepaskanmu untuk tinggal bersamanya."
Jingga menghela napas pelan, "Jadi Ibu tau bagaimana aku bisa hadir di antara mereka? Jadi memang benar jika aku adalah anak hasil perselingkuhan? Anak yang tidak di inginkan?" tanya Jingga dengan runtut.
Dadanya kembali terasa sesak kala mengingat semua penghinaan yang ia terima dari ketiga saudaranya.
"Caranya memang sedikit berbeda, tapi yakinlah bahwa kau terlahir karena kehendak Tuhan."
Jingga menatap Ibunya dengan mata memerah. "Untuk terakhir kalinya, apakah Jingga boleh bertanya?" ucapnya.
Tangan Ibu Ratna terulur untuk mengelus wajah Jingga. "Tanyakan apapun yang bisa membuatmu lega," balasnya.
"Apakah benar-benar tidak ada petunjuk apapun siapa Ibu kandung Jingga?"
Ibu Ratna tersenyum tipis, "Sekarang kau sudah tumbuh dewasa, sudah waktunya," gumamnya.
Wanita berusia 65 tahun itu mengeluarkan sebuah kertas yang terlipat rapi dari dalam saku kemeja yang ia pakai. "Maaf jika Ibu menyembunyikannya darimu selama ini," ucapnya sembari menyerahkan kertas tersebut kepada Jingga.
"Itu adalah sepucuk surat yang Ibumu tinggalkan di antara baju-bajumu. Mungkin dari surat itu kau bisa mengurangi rasa penasaranmu."
Jingga menerima surat itu dengan tangan gemetar, "Bacalah perlahan dan pahami kenapa Ibumu sampai meninggalkanmu di depan panti asuhan."
Setelah itu, Ibu panti berdiri dan meninggalkan Jingga sendiri untuk membaca surat yang selama ini ia simpan. Bukan karena egois, ia hanya memenuhi perintah yang mana surat tersebut harus di berikan saat Jingga sudah dewasa.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments