Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 02.45 AM. Jingga terusik dari tidurnya kala merasakan sesuatu yang keras memenuhi pusat tubuhnya.
Setelah berhasil mengumpulkan nyawanya, Jingga melotot kaget saat menyadari jika Jean masih mengeluar-masukkan miliknya dengan tempo lambat.
"Berhenti, Je! BERHENTI!!" Jingga memberontak, suara jahanam keluar dari bibirnya yang sudah bengkak karena ulah Jean.
"JEAN!!" teriaknya.
Tapi apa? Jleb!!
Jean justru memasukkan miliknya lebih dalam dengan sekali hentak. "Gue lagi enak! Nikmatin aja!" jawab pemuda itu.
"Ini salah, Je!" lirih Jingga. Tubuhnya kembali terhentak-hentak, Jean menyetubuhinya dengan kasar. Kepalanya beberapa kali terantuk kepala ranjang.
"Sakit! Berhenti, brengsek!" Jingga menjerit dengan air mata yang mengalir deras membasahi kedua pipinya.
Plak!!
"DIEM!!" bentak Jean dan menampar Jingga dengan keras. "Jangan lupain tugas lo sebagai jalang!"
Jingga sudah di setubuhi oleh Jean kurang lebih 5 jam lamanya, dia bahkan sampai pingsan karenanya. Tetapi Jean masih belum mengakhiri kelakuan bejatnya.
Jingga menggigit bibirnya karena tidak ingin mengeluarkan suara desahan. Suara yang akan membuat Jean semakin menggila. Tangannya mencoba mendorong Jean yang bergerak brutal di atasnya.
"AKHHH!" teriak gadis itu. Pada akhirnya, desahan kesakitan keluar begitu saja dari bibir Jingga.
"Desah yang kenceng! Nanti gue bayar lebih!" ucap Jean tanpa menghentikan kegiatannya.
Jingga menggeleng keras ketika merasakan milik Jean membesar di dalam tubuhnya. "Di luar! Keluarin di luar, Je!!" pinta gadis itu dengan tatapan memohon.
Hangat! Pada akhirnya Jean tetap mengeluarkannya di dalam. Entah sudah berapa kali dan berapa banyak Jean menyemburkan benihnya di dalam rahim Jingga.
Matahari sudah menampakkan sinarnya. Jean sudah pergi satu jam yang lalu. Sedangkan Jingga masih telentang di atas ranjang, tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Selimut tebalnya di biarkan jatuh di lantai.
Tatapan matanya mengarah ke langit-langit kamar, air matanya sudah berhenti mengalir. Tubuhnya terasa begitu sakit, bahkan untuk berganti posisi pun ia tidak mampu.
"Aku bukan jalang."
"Ibu bukan jalang."
"Aku dan Ibu bukan jalang."
"Kami bukan jalang! Kami adalah korban pelecehan!"
Gadis berusia 22 tahun itu terus menggumamkan kata-kata itu. Setelah menggunakan tubuhnya secara kasar, Jean melemparkan beberapa lembar uang kepadanya. Seolah dia adalah jalang murahan.
Jingga menutup kedua matanya, hatinya terasa begitu nyeri. Apakah takdirnya akan sama seperti ibunya? Di lecehkan oleh keturunan Januarta?
Leher, dada, dan selangkangan penuh dengan bercak merah yang ditinggalkan oleh Jean. Bau pandan menguar memenuhi kamarnya.
"Aku mencintaimu."
Jingga samar-samar mendengar kalimat tersebut keluar dari bibir Jean sebelum laki-laki itu memasukinya semalam. Dia masih tidak habis pikir apa yang ada di otak laki-laki itu.
Tubuhnya sudah rusak, begitupun dengan jiwanya.
Mengumpulkan semua tenaga yang tersisa, Jingga mendudukkan tubuhnya. Pusat tubuhnya terasa begitu kebas dan nyeri.
Dengan menahan rasa sakit, Jingga turun dari atas kasur dan berjalan tertatih menuju kamar mandi. Dinding kamar ia jadikan tumpuan tubuhnya agar ambruk. Sisa-sisa sari pati Jean menetes di atas lantai.
Setelah bersusah payah, Jingga akhirnya sudah masuk kamar mandi. Dia menyalakan showe dan langsung berdiri di bawahnya, rasa dingin langsung menjalar di seluruh tubuhnya.
"ARRGGHHHHH."
Jingga berteriak dan menggosok kulitnya dengan kasar. Berharap bekas sentuhan Jean menghilang saat itu juga.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat datang ke rumah ini, Jingga hanya membawa satu tas ransel yang berisi 4 pasang pakaiannya. Sekarang dia sudah memiliki lebih dari 50 potong pakaian. Setiap bulan, Jerry memang selalu membelikannya beberapa potong baju baru.
Meskipun tubuhnya masih terasa nyeri, Jingga tetap memaksakan diri untuk memilih baju yang akan dia bawa bersamanya. Dia sudah meminta tolong Bibi Lia untuk mencarikan kardus untuk wadah bukunya.
Kamarnya sudah bersih seperti semula. Dia membersihkannya sendiri, Jingga merasa begitu malu jika harus meminta tolong kepada pelayan.
Drrt! Drrt! Drrt!
Ponsel yang belum ia sentuh sejak semalam berdering. Jingga mengambil ponselnya yang berada di meja belajar.
Matanya sedikit berbinar ketika melihat siapa yang menghubunginya. "Halo, Paman?" ucapnya setelah menggeser tombol hijau.
"Hari ini Jingga tidak berangkat kuliah," ucapnya lagi.
"Tentu. Baiklah, sampai jumpa nanti, Paman Yuda."
Paman yang menghubunginya tak lain merupakan Yuda. Pria itu memintanya bertemu di kafe tempat pertama kali mereka bertemu.
Jingga menggeser kardus berisi bukunya ke sudut kamar, ia akan melanjutkannya nanti malam. Dia harus bersiap untuk bertemu dengan Paman Yuda.
30 menit kemudian, Jingga sudah sampai di kafe tempat mereka membuat janji. Kebetulan Paman Yuda sudah datang terlebih dahulu.
"Selamat pagi, Paman," sapa Jingga saat sudah sampai di depan Yuda.
"Pagi, Jingga," balas Yuda di iringi senyum manis.
Menit demi menit berlalu, Jingga dan Yuda masih berbincang dengan ceria. "Ibu kamu dulu kuliah jurusan hukum loh."
Mata Jingga berbinar mendengarnya, "Ibu pasti wanita yang cerdas," balasnya. Tangannya mengaduk minuman yang ia pesan.
Yuda mengangguk menanggapi ucapan Jingga. "Paman sangat bangga padanya," gumam pria itu.
"Paman berbicara apa?" tanya Jingga saat ia tidak mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Yuda.
Yuda menggeleng, "Kamu sangat cantik seperti Ibumu," jawabnya.
Jingga tersenyum malu, "Ibu lebih cantik," ujarnya.
"Apakah Ibu juga berpacaran saat kuliah?" tanya Jingga dengan penasaran. "Kata Paman, Ibu salah satu primadona kampus, pasti banyak yang suka kepada Ibu," lanjutnya.
Yuda menatap Jingga beberapa saat sebelum mengangguk. "Hanya ada satu pria yang Paman tau menjadi kekasih Ibumu semasa kuliah dulu," jelas pria itu.
"Apakah Paman mengenalnya?" tanya Jingga dengan mata yang berbinar.
Yuda kembali mengangguk. "Paman mengenalnya, tetapi sudah lama sekali Paman tidak tau keberadaannya," jawabnya dengan penuh sesal.
"Ah! Sayang sekali," kata Jingga dengan bibir melengkung ke bawah.
Yuda tersenyum tipis menanggapi, " Sekarang usiamu 22 tahun, ya?" tanya pria itu dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.
Jingga mengangguk, percakapan mereka masih terus berlanjut hingga makan siang. Jingga bahkan melupakan rasa sakitnya karena terus menerus tertawa dengan candaan dari Yuda.
"Sepertinya kita harus menyudahi petemuan ini, Paman masih ada pekerjaan," ucap Yuda dengan sendu.
"Tidak apa-apa, Paman. Jingga sangat senang bisa berbincang dengan Paman," balas Jingga.
Setelah dengan sedikit paksaan, akhirnya pertemuan hari ini berakhir dengan Yuda yang mengantarkan Jingga pulang.
Saat mobil sudah sampai rumah Jerry, saat itu juga si pemilik rumah baru saja pulang. Pria itu melihat Jingga yang keluar dari mobil yang tampak asing di matanya.
Jerry turun dari mobilnya dan menghampiri putrinya. "Jingga?" panggilnya.
"Ayah?" balas Jingga setelah melihat siapa yang memanggil namanya.
Orang yang mengantarkan Jingga masih berada di dalam mobil, Jerry penasaran akan orang tersebut.
"Kamu di antar siapa?" tanyanya dengan mata memicing.
Jingga terdiam, pintu mobil bagian pengemudi terbuka. Posisi orang itu membelakangi Jerry sehingga Jerry menatap orang itu dengan tajam.
Yuda berbalik dan menatap Jerry dengan senyuman. "Hai Jerry. Lama tidak bertemu," ucap pria itu.
Jerry mematung di tempat ketika mengenal siapa orang yang sudah mengantar anaknya. "Yuda?"
"Senang bertemu kembali denganmu, Jerry Januarta," ujar Yuda diiringi senyum miring.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments