Ch 13

Bianca berdiri di depan pintu ruangan Jacob, memperhatikan sekeliling dia mengetuk pintu, suara ringannya teredam oleh kedap suara ruangan.

“Masuk,” suara merdu Jacob menggema dari dalam.

Bianca membuka pintu, berusaha menstabilkan napas.

“Selamat sore tuan.”

Jacob mengangkat pandangannya dari layar komputer, menyunggingkan senyum. “Ya Bianca ada apa.”

Dia mengacak-acak berkas di mejanya, memindahkan dokumen ke satu sisi. Sifatnya mengingatkan pada badai yang tenang sebelum gemuruh.

“Sudah waktunya pulang tuan,” Bianca mengingatkan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski degupan jantungnya memecah kesunyian.

Jacob mengangguk, lalu menatap jam dinding. “Kamu mencatat waktu dengan baik.”

“Saya hanya memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.” Dia tersenyum, berupaya menyembunyikan ketegangan.

Ia berjalan mendekat ke meja, memungut beberapa dokumen dan menggenggamnya dalam satu tangan.

“Bianca, ada yang perlu kita bicarakan,” katanya sambil menatap lekat pada berkas yang baru saja digenggamnya.

“Ya, apa itu tuan?"

Dia menarik napas dalam-dalam. “Ini mengenai permintaan ku.”

Dia mendapati pernyataan ini meluncur begitu saja dari bibirnya, penuh ketegasan.

Jacob mengerutkan kening, sesaat terdiam, seolah mempertimbangkan kejujuran kalimatnya.

“Apa kah saya harus menjawabnya saat ini juga"

“Kalau kau sudah memiliki jawabannya, saya membutuhkan kepastian” Jacob menatap lurus Bianca

“Tapi saya masih memikirkannya tuan” Bianca memalingkan wajah, usaha kecil untuk menutup kepanikan yang mengeliat dalam pikiran.

Bianca mendapati hatinya bergetar. Meski dia tahu Jacob hanya membutuhkannya untuk menjadi kekasih palsunya.

Bianca berjalan menyusuri koridor, suara langkah kakinya bergema di langit-langit tinggi. Pikiran melayang pada pertanyaan yang baru saja Jacob tanyakan.

Walau pandangan kepada Jacob terfokus pada pekerjaan, ada sesuatu yang lebih di antara mereka.

Jacob merasakan sedikit getaran di hatinya jika saat bersama dengan Bianca dan hal itu membuat Jacob merasa kurang nyaman.

***

Bianca duduk di ujung tempat tidurnya, tangan terlipat di dada. Dia memikirkan permintaan Jacob yang terlintas dalam pikiran. Suara pria itu masih bergema di telinganya, tegas dan penuh keyakinan.

"Bianca, aku butuh kamu untuk menjadi kekasihku, setidaknya untuk sementara."

Bianca menggelengkan kepalanya, menepis bayangan Jacob dari pikirannya. Konsekuensi dari kebohongan itu berputar di benaknya seperti badai. Dia meraih ponselnya, menatap layar hitam dengan penuh keraguan, lalu meletakkannya kembali.

Jacob mengirim pesan.

"Bianca, ini penting."

Dia meringis. Penting baginya, tapi tidak baginya. Dia mengambil napas dalam-dalam, berusaha meredakan keraguan yang merayapi hatinya.

“Apa aku harus membantu tuan Jacob” Bianca melangkah ke arah jendela. Dingin kaca menyentuh telapak tangannya, menambah kesan berat di dadanya.

Dia memandang ke luar, melihat daun-da Di luar, hujan mulai turun, menutupi dunia dengan tirai abu-abu. Pikirannya berputar, dibandingkan dengan kerja kerasnya selama ini. Rasa moralnya bergesekan dengan keinginan untuk membantu Jacob.

"Jika bukan aku siapa lagi yang akan menolongnya dengan phobia yang di alami oleh tuan" gumamnya.

Ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, balasan Jacob "Bianca, aku tahu ini sulit. Tapi kamu satu-satunya yang bisa aku percayai."

Dia meremas ponselnya, merasakan konflik itu bergerak di dalam dadanya. Sinar bulan menyinari wajahnya, memantulkan keraguan dalam mata Bianca.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” gumamnya, menatap bayangan dirinya di jendela.

Dia tidak butuh lama merenung sebelum mengingat ekspresi Jacob saat mengajukan permintaan itu. Raut wajahnya tegang, seolah dunia tergantung pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Dia teringat jelas saat Jacob memperhatikannya, sorot matanya penuh harap namun berbagi ketakutan yang dalam.

"Kamu tahu kan Bi hanya kamu yang bisa membantuku karna penyakit ku ini"

Bianca mendengus pelan, kembali mengingat bagaimana dia merasa terjebak dalam jaring keinginan dan tanggung jawab.

Memori itu mengembalikan suasana di mana mereka berdiri berhadapan di ruang kerja.

Ruang yang dipenuhi buku dan dokumen tertumpuk itu terasa semakin kecil saat Jacob menjelaskan rencananya.

"Kita hanya perlu terlihat seperti sepasang kekasih di depan mommy," kata Jacob.

Bianca mengernyit, mencermati raut wajah serius Jacob. "Apa tuan yakin nyonya akan percaya?"

Bianca terus berperang dengan pikirannya mengenai keputusan ini. Dia mengambil langkah mundur, kepalanya berdenyut memikirkan jawabnya apa yang akan dia berikan pada Jacob.

Bianca memutuskan akan tidur di perlu mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Bianca menepuk-nepuk bantalnya, mencoba menemukan posisi nyaman di atas ranjang. Namun, bayangan Jacob dan permintaannya terus mengganggu. Dia memejamkan matanya, berusaha mematikan semua suara dari luar. Namun, wajah Jacob terus mengisi benaknya, sorot mata cemasnya terbayang jelas dalam kelam malam.

Bianca bangkit dari tempat tidurnya, mengguncang kepala seolah mencoba mengusir pikiran yang menggerogoti. Dia melangkah menuju cermin kecil di sudut ruangan, membingkai wajahnya dalam cahaya remang-remang.

“Ceritakan padaku, Bianca, siapa kamu sebenarnya?” dia bercermin sambil bergumam. Tanpa menunggu jawaban, dia mengamati detail wajahnya. Mata cokelat yang mendalam, bibir tipis yang biasanya ceria kini melengkung ke bawah, dan garis rahang yang mengeras, menunjukkan ketegangan yang tak terelakkan.

Dia menghabiskan lebih banyak waktu menatap bayangannya, seolah menunggu seseorang mengubah jawaban dari dalam dirinya.

“Jadi, kamu akan jadi pacar pura-pura?” tanyanya pada cermin, suara itu hanya menggema di antara dinding kamar yang sunyi.

Hening menyelimuti ruangan. Dia menunggu jawaban yang tak pernah datang.

"Apakah ini yang terbaik?" ujarnya, mengerutkan kening pada refleksinya seakan cermin bisa menjawab pertanyaannya.

Dia memandangi cermin dengan penuh harap, seolah jawaban akan muncul dari dalam bayangannya. Hujan di luar semakin keras, seolah menambah deru tekanan di dalam rumah. Setiap tetes yang jatuh memberi irama gelisah pada pikirannya.

Dia mengambil napas dalam, menyentuh rambutnya yang terurai. "Kalau aku menjadi pacar di depan orangtuanya, apa yang akan terjadi pada kita setelahnya?"

Suara batinnya kembali bergaung, menggulung setiap kemungkinan yang bisa muncul dari kebohongan ini.

Dengan berusaha mencari jawaban, Bianca berjalan kembali ke tempat tidur. Dia meraih bantal dan memeluknya erat, seolah bantal itu bisa menyerap semua ketidakpastian di benaknya.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!