Ch 15

Monica menyandarkan punggungnya pada kursi rotan, mengamati tamu-tamu yang berkerumun di ruang tamu yang elegan. Kaus kaki putih meliputi lantai marmer, sementara aroma mawar segar menguar di udara.

“Monica, kamu sudah menemukan calon menantu yang tepat?” tanya salah satu ibu sosialita dengan nada menggoda, sambil mengatur gaya rambutnya.

Ia menggeleng. “Belum. Tapi Jacob mengatakan di sedangdekat dengan seseorang.”

“Seorang gadis biasa atau seorang putri?” tanya Clara, sahabat dekat Monica, sambil menyusun gelas-gelas kristal.

“Gadis biasa,” jawab Monica, menatap sahabatnya itu.

Clara mengangkat alis, terkejut. “Benarkah? Apa dia tahu dia bakal menjadi target perhatian semua sosialita di kota ini?”

“Seharusnya dia paham. Jacob bilang dia masih mengejar dan menunggu jawaban nya" Clara menyenderkan tubuhnya, kini tampak lebih serius. “Jadi, kamu mempercayakan hati Jacob pada gadis ini? Kenapa tidak memilih seseorang dari kalangan kita"

Monica mengedarkan pandangannya ke ruang tamu yang dipenuhi perempuan-perempuan berkelas, semua memamerkan perhiasan dan senyum cerdas.

“Dia butuh seseorang yang mampu melihatnya lebih dari sekadar harta dan status,” Monica menjawab, suaranya tenang, meski batinnya berdesir penuh kekhawatiran.

“Bagaimana kalau si gadis itu hanya tertarik pada kekayaan Jacob? Kita tahu betapa rentannya dia,” Clara menekankan, duduk lebih dekat, seolah menyematkan setiap kata yang diucapkannya.

“Entahlah aku tak bisa menduganya, aku akan mengetahuinya saat bertemu dengan gadis itu.” Monica menatap kumpulan ibu-ibu yang tertawa di sudut ruangan.

“Selama ini, berapa banyak calon menantu yang sudah kau kenalkan pada Jacob?” tanya Clara, matanya menyelidik. “Ada yang menarik perhatian ny?”

“Tak ada satu pun yang dapat menarik perhatian putraku itu,” guman Monica.

“Kalau begitu, mungkin ini saatnya kita mengatur pertemuan,” Clara bersikeras, jari telunjuknya menuding ke arah meja penuh camilan. “Kita bisa memperkenalkan gadis itu ke lingkaran kita. Rangkaiannya harus sempurna. Wajib membuat kesan.”

Monica tersenyum tipis, menyentuh gelas berisi jus markisa di hadapannya. “Jika dia tertarik pada Jacob, dia pasti ingin mengenal dunia kita. Tapi aku tidak ingin terlalu memaksanya. Kita semua tahu bagaimana tekanan dari lingkungan bisa mempengaruhi keputusan seseorang.”

Clara menarik napas, tampak mempertimbangkan kata-kata Monica. “Tentu saja, kita sudah lihat banyak yang hancur karena ketidakmampuan menghadapi ekspektasi.”

“Ya, namun semua orang berhak mendapatkan kesempatan” Monica menjawab, memandang Clara.

“Kesempatan yang bisa menghancurkan hidup seseorang,” Clara menggeleng, suaranya lebih rendah. “Kamu harus melindungi Jacob.”

“Terlalu banyak perlindungan bisa jadi belenggu.” Monica mengusap gelasnya. “Aku ingin dia menemukan kebahagiaan dengan cara yang dia pilih.”

“Jadi, apa rencananya? Apakah kamu akan menelepon gadis itu?” Clara bertanya, sambil menatapkan wajahnya.

“Aku sudah pernah mendengar suaranya. Dari yang aku dengar sepertinya dia sangat pemalu,” jawab Monica, berusaha tenang. “Ada banyak hal yang perlu dipahami tentang seseorang sebelum menjadikannya bagian dari hidup kita.”

Monica tersenyum, namun di dalamnya terjebak keraguan. Dia tahu betul betapa sulitnya mencari cinta sejati di lingkungan yang menghakimi.

“Hanya cinta yang kuat yang bisa bertahan di dunia kita,” lanjutnya, lisannya menyentuh bibir gelas. “Apa pun yang terjadi, aku akan ada untuknya.”

Clara menyudahi percakapan itu, membiarkan keheningan menyelubungi mereka. Suara tawa tamu lain terdengar serentak, mengisi celah dalam percakapan.

Salah satu ibu sosialita, dengan gaun berkilau, mendekat. “Moni, Clara! Tengah membahas apa?” Ia tersenyum lebar, membuka topik dengan keceriaan yang agak berlebihan.

Monica mengangguk sedikit. “Hanya berbincang ringan tentang calon Jacob.”

“Ah, apa dia anak seorang pengusaha?” Ibu itu menautkan jari-jarinya.

"Entah lah aku belum tahu pasti" Monica menggeleng, menyesap jus markisa sebelum melanjutkan.

“Dia bukan dari kalangan kita. Mungkin itu yang membuat Jacob tertarik,” tambah Monica, mengamati ruang tamu yang penuh dengan tatapan penasaran.

“Ah, cinta yang tulus memang jarang ditemukan di antara mereka yang sehaluan,” si ibu sosialita mengangkat bahu.

“Kadang, justru keunikan yang membuat seseorang lebih menarik,” Monica menanggapi, matanya meneliti ekspresi ibunya tersebut.

“Betul,” Clara menyela.

“Jadi, kalian setuju kalau cinta itu tidak terikat pada status sosial?” tanya ibu sosialita, menatap mereka penuh harap.

“Jelas,” jawab Monica, segera menyadari keheningan di antara mereka.

“Yang penting, hati mereka saling terhubung,” Clara menambahkan, dengan nada lebih bersemangat.

“Namun kau pasti tau baawa reputasi kita di pertaruhkan” kata ibu sosialita itu, memerhatikan wajah Monica dan Clara.

Monica menatap wanita itu, lalu mengangguk pelan. “Reputasi memang penting, tapi terkadang kita harus berani mengambil risiko untuk sesuatu yang mungkin lebih berharga.”

“Jadi, apa kamu akan memperkenalkannya di acara gala mendatang?” tanya ibu sosialita, memiringkan kepala.

“Bisa jadi,” Monica menjawab.

“Kalau dia bisa menandingi keanggunan kita, mungkin dia akan diterima,” ujar ibu sosialita itu, memainkan perhiasannya dengan penuh percaya diri.

“Keanggunan bisa muncul dari hati yang tulus,” Monica mengoreksi, matanya bersinar.

“Begitu?” Ibu sosialita itu mendekat, mempertajam tatapannya. “ “Keanggunan sejati berakar dari kepercayaan diri dan ketulusan,” jawab Monica, menegaskan pandangannya.

“Jika dia bisa menunjukkan keduanya, maka dia akan mendapatkan tempat di sini,” ibu sosialita itu menimpali, menyandarkan tangannya di meja.

“Dan jika tidak?” tanya Clara , menggenggam gelasnya erat.

Ibu sosialita itu tersenyum sinis. “Nah, kita tahu betapa cepatnya air mata bisa mengalir di tengah suasana ini"

Monica tak menanggapi ucapan ibu sosialita tersebut, dia sudah cukup malas melayani ucapannya.

Kehangatan perbincangan terasa mulai pudar. Monica memberi isyarat kepada Clara dengan tatapan penuh arti. Saat suasana sosialisasi memanas, ia ingin menjauh dari ulasan yang tidak membangun.

“Clara, yuk kita lihat koleksi perhiasan terbaru,” Monica mengalihkan perhatian, berdiri dan melangkah ke arah meja kosong di sudut ruangan.

Clara mengikuti,menyusul dengan langkah ringan. Mereka berdua mengandalkan pembicaraan yang lebih akrab dan jauh dari tatapan kritis sosialita lainnya.

Di meja tersebut, perhiasan-perhiasan berkilau dipamerkan dalam kotak-kotak cantik. Kilau permata memantulkan cahaya dari lampu kristal yang menggantung megah di atas.

“Lihat ini,” ucap Clara sambil mengambil kalung berliontin besar. “Ini luar biasa! Tapi harganya pasti selangit,” dia mengagumi setiap detil perhiasan itu, matanya berbinar.

Monica hanya tersenyum, menyentuh kalung masing-masing sambil membayangkan betapa beratnya tanggung jawab terhadap pandangan yang dilemparkan padanya.

“Kalung ini mungkin lebih cocok untuk acara gala kita,” ujar Clara, menggenggam kalung itu seolah mengalaminya dalam momen glamour.

“Orang tidak akan melihat siapa kita sebenarnya, hanya apa yang kita kenakan,” jawab Monica, suaranya tenang, namun ada nada ironi di dalamnya.

"Yeah, kadang itu menyebalkan. Seakan tidak ada orang yang berusaha mengenal satu sama lain," Clara merespons, lalu ia mengembalikan kalung itu ke tempatnya.

Monica mengangguk, menyentuh tumpukan bros yang berserakan di meja. Setiap bros menceritakan kisah semunya, kisah keberhasilan, ambisi, dan penyangkalan yang dihadapi tiap pemiliknya.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Huang shen yu

Huang shen yu

terima kasih mampir di novelku yang lain ya kak

2024-08-21

0

nangimatul masruroh000

nangimatul masruroh000

ceritanya menarik kak, lanjutkan 💪💪

2024-08-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!