“Apa?!!”
Suara pekikan bu Retno menggelegar memenuhi ruangan bersalin itu. Hingga bayi mungil dalam gendongan wanita itu terkejut dan bangun dari tidurnya lalu menangis.
Oeek! Oeek! Oeek!
Mengabaikan tangisan bayi mungil itu, Bu Retno sampai melotot tak percaya mendengar penuturan anaknya Abim, lalu untuk memastikannya sendiri. Wanita paruh baya itu menempatkan bayi Inara di box bayi dekat sang menantu, lalu mulai melucuti kain bedong yang membelit tubuh bayi mungil itu. Membuka tali popok yang menutupi jenis kelaminnya, dan setelah itu pandangan Bu Retno berubah nanar.
Bu Retno memandang Abim dan Inara bergantian, bahkan memberikan tatapan nyalang penuh kebencian ke arah sang menantu yang masih lemah tak berdaya. Inara hanya bisa menunduk, sedangkan Abim mencoba untuk menenangkan ibunya yang terlihat shock berat.
“Ibu, maafkan Abim,” ujar Abim meminta maaf kepada Bu Retno. Lalu Abim mendekat dan menyentuh pundak ibunya yang nampak bergetar.
“Ini bukan salahmu Abim, tapi salah Inara istrimu yang tidak becus ini!” tunjuk Bu Retno ke arah sang menantu yang masih terbaring lemah.
Bu Retno pun menepis kasar lengan sang putra, tanpa berkata lagi pun Bu Retno melenggang pergi meninggalkan Abim dan Inara yang mematung di tempat.
Selepas kepergian Bu Retno, Inara menangis sesegukkan. Karena suatu hal yang selama ini wanita itu takutkan pun benar-benar terjadi. Bu Retno sang mertua menolak kehadiran putrinya di dunia ini. Air mata Inara terus meleleh tanpa henti.
Melihat keadaan istrinya seperti itu membuat Abim merasa tidak tega hati. Di rengkuhnya tubuh lemah sang istri dan membiarkan wanita pujaan hatinya itu menangis dalam dekapannya. Abim mengelus lembut rambut belakang istrinya penuh kasih sayang. Abim ingin memberikan ketenangan kepada sang istri.
Apalagi istrinya sudah berjuang mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan buah hati tercinta mereka. Meski mereka tidak mampu memberikan keturunan berjenis kelamin laki-laki seperti yang ibunya harapkan selama ini. Namun bagi Abim, laki-laki atau perempuan itu sama saja. Sama-sama rezeki titipan dari Allah.
“Mas, maafkan Inara yang tidak becus memberikan keturunan laki-laki untuk ibu,” ujar Inara meminta maaf kepada sang suami.
“Ini semua bukan salahmu sayang, tapi sudah jadi kehendak sang Maha Kuasa. Laki-laki atau perempuan, bagi mas sama saja mas akan tetap menyayangi buah hati kita,” sahut Abim mencoba menenangkan kegundahan hati sang istri.
“Sekarang udah ya nangisnya, kasihan dede bayinya mau nen tuh,” ucap Abim lagi mengingatkan.
“Astagfirulloh, maafkan mama sayang. Karena sedih mama hampir melupakanmu,” seru Inara begitu sadar ia belum menyusui putri cantiknya.
Inara pun bangkit dari pembaringannya di bantu oleh Abim sang suami. Sebagai suami yang sigap, Abim pun mengambil bantal untuk menopang tubuh sang istri sekedar memberikan posisi yang nyaman untuk istrinya menyusui. Dan sebuah bantal agak tipis untuk alas putrinya saat hendak di susui.
“Mas Abim, putar balik gih!” seru Inara begitu sadar sang suami begitu memperhatikan gerak geriknya. Sampai wanita itu menjeda gerakan tangannya saat membuka kancing daster yang ia kenakan.
“Kenapa? Malu? Masa sama suami sendiri malu? Kan mas sudah tahu semuanya yang ada pada dirimu yank,” balas Abim mencoba menggoda sang istri agar istrinya itu tersenyum kembali.
“Iihh..tetap Inara malu mas!”
“Yaudah deh, sekarang buat incess papa dulu. Nanti gantian papa ya nak,” goda Abim lagi sambil menaik turunkan alis tebalnya.
“Mas lupa? Inara kan baru saja melahirkan jadi mas harus puasa dulu sampai sebulan atau dua bulanan kata bu bidan tadi,” tutur Inara begitu teringat pesan bu bidan yang merawatnya tadi.
“Apa?! Sebulan di tambah dua bulan mana tahan?!” pekik Abim dengan wajah konyolnya.
Inara pun sampai tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi sang suami yang nampak terlihat konyol itu.
*
*
Keesokkan paginya, Inara sudah di perbolehkan pulang ke rumah. Abim dengan sangat hati-hati menuntun tubuh sang istri sambil mengendong putri cantiknya. Abim pun memanggil bi Minah untuk membantunya membawakan barang-barang Inara.
“Bi Minah, tolong bawakan barang-barang Inara yang masih di mobil ya dan sekalian antarkan ke kamar kami,” perintah Abim kepada asisten rumah tangga di rumahnya itu.
“Baik, den Abim.”
Sementara itu Abim mendudukkan Inara sementara di ruang tamu, saat tiba-tiba sang ibu memanggilnya dan ingin mengajaknya bicara empat mata.
“Sayang, duduk di sini dulu ya. Mas mau nemuin ibu dulu sambil merayu. Siapa tahu ibu sudah tidak marah lagi sama kita,” ujar Abim ke Inara.
“Iya mas, semoga berhasil ya.”
Sampainya di depan Bu Retno, Abim langsung hujani kata-kata tak suka ibunya akan hadirnya bayi perempuan di keluarga mereka.
“Abim! Ibu sungguh kecewa dengan istri kamu! Kenapa harus melahirkan bayi perempuan kenapa tidak laki-laki saja?! Bayi peremuan itu hanya akan pembawa sial bagi keluarga kita!” ucap Bu Retno tanpa perasaan.
“Astagfirulloh ibu, ibu tidak boleh bilang seperti itu. Mau laki-laki atau perempuan itu adalah rezeki dari Allah. Ibu tau dari mana bayi perempuan itu akan membawa sial bagi keluarga kita bu?” tanya Abim dengan sabar.
Bagaimana pun watak sang ibu, Abim tetap menyayangi dan menghormati wanita yang sudah berjasa dalam hidupnya selama ini itu.
“Kamu tidak perlu tahu! Pokoknya ibu tidak suka dengan bayi perempuan itu! Jika sudah terlanjur begini, ibu akan mengajukan tuntutan ibu yang kedua kepadamu Abim. Apa kamu masih ingat?!”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Ma Em
Bu Retno itu kalu ngomong seperti dia bkn perempuan saja katanya ana perempuan pembawa sial berarti orang tua bu Retno waktu bu Retno lahir sial dong karena bu Retno kan perempuan lagian punya anak emang bisa kita yg atur cowo cewe nya dasar orang murtad.
2024-12-30
0
May Keisya
dikira bisa diibentuk sendiri kali ya tuh bayi😭... subhanallah astaghfirullah ibu ini perempuan berwujud iblis
2024-11-05
0
May Keisya
ibu mertua sedeng...anak itu kehendak Allah..ibu ga ngerasa kalo ibu perempuan
2024-11-05
0