Semenjak pertemuan gue dengan si Inul beberapa hari lalu, membuat Bapak jadi sering godain gue. Kata Bapak, dia itu sebulan sekali pulang ke daerah D. Sekitar 30 menit dari terminal. Kata Bapak juga, dia kerja di perusahaan yang ada di Bandung. Perusahaan besar. Dia juga umurnya lebih tua setahun dari gue.
"Cakep juga tuh Anak ya, Ren?"
"Hem."
Sengaja gue jawabnya selalu singkat kalau Bapak bahas tentang si Inul lagi. Jujur saja ya, coy. Si Inul memang ganteng, tapi mohon maaf, hati gue gak tertarik tuh.
~Ren, gue lagi ada di kafe dekat sama kantor. Datang, ya?
Gue mengernyit pas baca chat dari Nika. Tumben bener nih Anak ngajakin gue ketemuan. Biasanya juga dia yang paling payah. Hem, ada apakah gerangan?
Posisi gue saat ini ada di kantor, Pemirsah. Dan waktunya jam pulang kantor juga. Ya sudah, gue bisa mampir dong pastinya.
Gak perlu pakai kendaraan untuk sampai ke kafe itu, cuma perlu menyeberang jalan saja. Gue bisa lihat Nika sudah melambaikan tangannya sama gue.
"Sendirian aja, Ka? Tumben?"
Nika tersenyum jahil dan mengangguk. Kalian know lah, kalau Nika ini kadang agak laen tingkahnya. Sama kayak si Adul. Sama juga kayak gue, wkwk. Di antara kami berempat, yang tingkahnya normal cuma Azka kayaknya.
"Eh, tapi ini kan udah sore. Kenapa orang bunting kayak lo masih keluyuran? Apa Tuan Arsenio gak marah peliharaannya keluyuran begini?" tanya gue sambil mendudukkan bokong gue ke kursi.
Nika mencebik. "Monyong! Gak apa-apa kali, Ren. Lagi pula, gue gak sendirian. Gue juga punya kejutan buat lo, Ren!"
Gue mengerutkan alis. Sepanjang perjalanan persahabatan gue dan Nika, gak pernah sekalipun dia kasih kejutan buat gue. Hemm. Jadi penasaran. Apa kejutannya berhubungan sama ultah gue? Omaygyut! Ultah gue aja gue lupa! Hemm, auwooo. Apa jangan-jangan ucapan Emak gue jadi kenyataan? Tidaaak! Gue gak mau jadi pikun!
"Kejutan? Kejutan apa, Ka? Apa gue lagi ultah, ya?"
Nika manggut-manggut, dari tampangnya dia kayak tengah memikirkan sesuatu.
Gue yang gak sabar, langsung menggoyang-goyangkan lengannya.
"Ka! Tuh, kan! Gini nih kalau orang bunting keluyuran pas sore-sore!"
Nika tertawa cekikikan. Tuh, kan! Gue jadi merinding, Zainab!
"Ultah lo kan 2 minggu lagi, Ren! Atau kita adain aja bertepatan sama ultah lo?"
Gue geleng-geleng gak ngerti. "Please, deh, Ka! Lo ngomongin apa sih dari tadi? Pusing kepala Miss universe ini!"
"Ren, kalau lo mau tahu apa alasan gue bilang gitu, coba deh lo lihat pemandangan indah itu dulu?"
Gue mengernyit. Pemandangan indah? Pemandangan indah apa?
Dengan kesal Nika memegang kepala gue dengan kedua tangannya dia mengarahkannya ke samping kiri.
"Tuh! Indah, kan?"
Gue terperangah. Mata gue melebar, lobang hidung gue kembang kempis dan jantung gue debarannya menuju tidak normal. Kenapa gue bisa kayak gitu? Karena di sana ada Mas Amar, coyyy!
Orang yang sudah buat gue jatuh hati. Orang yang gak mau balas chat gue selama dua tahun lebih ini (hiks). Dan orang yang paling gue kangenin selama ini. Asdfghjkl. Gue gak bisa berkata-kata lagi.
Mata gue berembun dan memanas. Betul kata si Nika. pemandangan ini begitu indah.
Di kafe ini terdapat taman bunga. Dan gue lihat Mas Amar di sana lagi gendong si bocah, alias Shahidah melihat bunga-bunga.
Entah kenapa, Mas Amar terlihat lebih ganteng aselole dari yang terakhir kali gue lihat.
"Cieeee, yang terharu. Acepiwiiit."
Gue terkekeh dan menepuk pelan lengan si Bumil ini. Setelah itu gue menepuk-nepuk pipi gue yang terasa panas.
"Mas Amar kok bisa ada di sini, Ka?"
"Sengaja. Dia datang untuk lo, Ren!"
Gue geleng-geleng gak percaya. "Ah, mana mungkin, Ka. Ada-ada aja lo! Eh, tapi kenapa lo nyuruh gue ketemu Mas Amar di jam orang pulang kantor, sih?"
Nika memonyongkan bibirnya. "Eh, memangnya kenapa? Dia juga baru sampai tadi. Sekitar jam 4 tadi dia baru aja sampai di bandara. Ya udah, gue ajak sekalian ke sini."
Gue manggut-manggut. "Oohh, begincu, ya? Tapi gue malu, Ka. Penampilan gue kalau pulang kerja kan burik dan kayak gembelehe. Malu banget gue!"
Haaaah, Nika! Nika! Minimal bikin pertemuan gue sama Mas Amar berkesan, kek. Diadain pas hari libur gitu. Kan dari malam gue sudah persiapan mandi kembang tujuh rupa. Dan paginya, gue akan pakai parfum lima botol. Ah elah, Nika.
"Mas, Mas Amar!"
Tiba-tiba si Monyong ini manggil Mas Amar tanpa aba-aba. Duh, mampyus! Gue harus apa? Beneran, deh! Gue malu dengan penampilan gue yang begini.
Bisa gue rasakan kalau langkah Mas Amar mendekat. Jantung gue sudah bertalu-talu ingin lompat keluar dari tulang rusuk.
Mas Amar mendekat dan menurunkan Shahidah yang sudah sibuk mandangin gue.
"Anteee," kata si Bocah sama gue. Dia menampilkan senyumnya yang bikin gue gemas.
"Iya, Sayang?" kata gue sambil mengusap lembut pipinya. Setelah itu Shahidah lari dan minta pangku sama Mamanya.
Gue memberanikan diri mendongak dan menatap ke arah Mas Amar yang sedang tersenyum itu. Dia bukan tersenyum sama gue, tapi tersenyum entah sambil menatap Nika entah Shahidah.
Gue mengerjapkan mata. Entah kenapa melihat itu, ada sesuatu yang hinggap di hati gue. Tapi secepat mungkin gue tepis.
"Mas Amar, ini Reni. Jangan dianggurin!" cicit Nika.
Mas Amar kemudian melirik gue dan tersenyum simpul. Pipi gue langsung memerah kayak kenak bogem.
Mas Amar duduk di hadapan gue. Bisa gue lihat kalau dia sering melirik ke arah Nika dan Shahidah. Gue langsung berpikir positif, Mas Amar pasti gemas sama Shahidah, makanya sering melirik bocah itu.
Tiba-tiba Nika bangkit dari duduknya. "Mas, Nika ke sana dulu, ya? Kalian ngobrol dulu aja." Nika mengerling nakal sama gue.
"Jangan lama-lama ya, Dek?" ucap Mas Amar penuh dengan kelembutan.
"Iya, Mas." Nika segera menarik Shahidah untuk mengikuti langkahnya.
Jujurly, berdua gini dengan Mas Amar bikin gue diserang grogi parah. Tangan gue gemetaran, kayak orang yang gak makan-makan selama seminggu.
Sekali lagi, gue memberanikan diri untuk menatap wajah Mas Amar. Gue tatap dia yang malah memperhatikan Nika dan Shahidah dari jauh.
Gak bisa gue pungkiri, kalau Mas Amar memang ganteng beut. Wajahnya bersih bercahaya, rahangnya kokoh dan tegas, bibirnya merah jambu, alisnya tebal, hidungnya mancung, matanya hitam, tapi sorot matanya begitu tajam dan langsung bisa menembus jantung dan hati.
Gue menunduk lagi. Gue memilin kedua tangan gue yang ada di atas paha. Ini gak bisa dibiarin, kan? Harus ada yang memulai, kan? Masa iya diam-diaman begini terus?
Gue menaikkan kepala gue. Astaga dragon, bibir gue bergetar, coy!
"Mmm, Mas Amar, apa kabar?"
Ciaaaaat! Akhirnya kata-kata sapaan keluar juga dari lambe gue.
Mas Amar menoleh dan tersenyum kecil. "Alhamdulillah baik, Dek."
Duh! Gila! Gue dipanggil Adek, Pemirsah. Mana manis banget lagi pas ngucapinnya ke gue.
Gue mengulum senyum. Gue kira akan ada obrolan selanjutnya, tapi ternyata nihil. Karena tiba-tiba Shahidah menghampiri Mas Amar dan merengek minta pulang.
Setelah mobil mereka berlalu dari hadapan gue, gue cuma bisa menghela nafas. Gue bisa lihat betapa Mas Amar begitu menyayangi Shahidah. Hemm, lelaki idaman. Mungkin dia akan lebih sayang sama anak kami nanti. Ceileeeh, Anak?
Gue terlalu jauh gak sih berharapnya? Wkwk. Its oke! Berharap terlalu jauh juga gak ada salahnya.
Eh, kenapa gue gak numpang pulang sekalian ya sama mereka? Alemong!
...***...
Assalamu’alaikum pembaca aku. Semoga kalian suka ya sama cerita ini. Dukung aku terus dengan cara subscribe, vote, like dan komen ya? Aku pada kalian. Sarang heo love muah muah.🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
rhani bhelLo💕
Ya Allah sumpah ngakak bgd baca si reni 🤣🤣🤣 tp suka sama ceritanya
jujurly q baru pertama kali baca karya ka dydzu itu kisahnya si Halim sama si medina,jadi ga tau kisah si reni sama danika
tp nanti q mampir k danika sekalian nunggu updatean si reni
semangat terus ka dydzu 💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻
lanjut y ka 🤭
2025-03-23
1
Rini Antika
Inul darah tinggi kali ya, aku baru denger ada cowok namanya Inul 😁
2025-04-24
1
Indah MB
asli aku malah kasihan sama Reni ... gimana ya pas tau klo amar sukanya sama Nika
2025-04-17
1