Bab 2

~Selamat makan siang, Mas.

Tring! Bunyi pesan terkirim. Gue menatap sendu layar hp gue. Gue baca chat yang gue kirim ke Mas Amar satu persatu. Gila, ya! Sudah lama banget ternyata.

Gue ingat, Nika ngasih nomornya Mas Amar waktu dia masih belum hamil Shahidah. Sekarang, Shahidahnya saja sudah hampir mau tiga tahun umurnya. Dan selama itu juga chat gue tak ada yang pernah dibalas sama Mas Amar. Hem.

Gak apa-apa, coy. Gue akan tetap sabar menanti. Dan yang paling gue harapkan, kesabaran gue akan berbuah manis nantinya. Kalau bisa, manisnya manis banget kayak pakai sari gula.

Jujur saja ya, waktu gue pernah ditugaskan di Bandung yang kala itu Pemimpin perusahaannya adalah Mas Amar. Benar-benar ya, Mas Amar itu kalau makin dipandang-pandang, makin kelihatan tampan. Walaupun dia orangnya pendiam dan jarang ngomong, tapi kharismanya itu loh, ngena beut di hati gue. Auwooo. Gue gak pernah sesuka ini sama seorang pria. Suwer, deh!

Gue jadi yakin, kalau Mas Amar itu pasti juga jarang ngomong dalam hati. Lah, ngomong sama orang saja dia jarang, apalagi ngomong dalam hati. Wkwk.

Siang ini, gue baru saja kelar makan siang di kantin yang ada di kantor. Kalau yang dulunya gue selalu makan dan minum berdua sama Nika, sekarang gue lakuin sendiri. Nika sudah gak diizinkan kerja lagi sama Tuan Arsenio. Hampa bener hidup gue makinan.

Untung terkadang Adul masih mau nemenin gue. Itu pun cuma sesekali doang.

Tapi gue harus tetap semangat. Gue harus tetap kerja, walaupun kehampaan begitu melanda hati gue. Kalian tahu kan masih ada Jabrig yang butuh biaya sekolah. Lepas tamat sekolah nanti, sudah tugas gue membantu Bapak dan Emak untuk biayain dia kuliah.

Setelah hari sudah semakin sore, kerjaan gue akhirnya kelar juga. Gue dengan jurus kilat membereskan semua barang-barang gue ke dalam tas.

Seperti biasa, pergi dan pulang kantor, gue selalu setia naik angkot. Gak tahu, deh, entah kenapa gue lebih nyaman naik angkot daripada naik motor trail kesayangan gue. Apa kata makhluk-makhluk di kantor kalau gue ke kantor naik trail? Yang ada jadi bahan gosipan.

Tahulah, hampir delapan puluh persen manusia di kantor ini tukang ghibah alias gosip semua. Hal apa yang gak digosipin sama mereka. Hampir semua digosipin.

Tapi kayaknya gue memang agak lain. Di mana-mana cewek sukanya matic, gue malah milih motor trail. Hemm.

Ciiiit. Bunyi rem mobil terdengar di depan gue yang lagi nunggu di halte. Gue mengernyit kenapa ada mobil berhenti di depan gue? Eh, tunggu dulu! Bukannya ini mobil Adul?

Ya salam! Adul saja sudah punya mobil. Sedang gue masih baru punya motor. Itu pun gue belinya sudah hampir mau meninggoy ngumpulin duitnya. Dah gitu, si Jabrig pula yang sering makein motor gue. 'Kan bangsyat!

Dan benar, Pemirsah. Adul turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang. Gue langsung heran, dong.

"Adul? Lo mau ngapain?"

"Ayo naik, Ren! Kasihan gue lihat lo!"

Gue menaikkan alis gue sebelah. "Ngapain lo kasihan pula sama gue?"

Adul celingak-celinguk. "Gue dari tadi lihat gak ada angkot yang mau naikkan elo jadi penumpangnya!"

Muncung gue langsung maju ke depan. "Kurang ajar lo kalau ngomong, ya? Dari tadi memang gak ada angkot yang lewat ya, bego! Bukan berarti gue kayak yang lo bilang itu!"

Adul cekikikan. "Ya ampun, Ren! Marah-marah terus! Mau datang bulan lo!"

Gue mencebik dan membuang muka.

"Ayo naik, Ren! Udah mau maghrib, nih!" bujuk Adul lagi.

Gue mendongak menatap langit yang sudah mulai berubah warna jadi jingga. Gue menghela nafas dan tersenyum sendu. Ya Allah, indah banget senja di sore ini. Andaikan bisa melihat senja ini berdua dengan Mas Amar. Omaygyut. Pasti rasanya indah gimanaaa gitu yaaaa.

Adul mulai cekikikan lagi. Langsung gue kasih pelototan mata. Uuuhh.

"Ayo, Ren! Nanti kita singgah makan sate, yok?"

Mata Gue lansgung berbinar. Pas banget perut gue sudah mulai kukuyuyuk di dalam.

"Oke, deh, Dul!"

Selama perjalanan, gue cuma menatap ke luar jendela. Bodoh amat lah sama si Adul yang kagak ada gue ajakin ngobrol. Karena pikiran gue lagi menerawang jauh sekarang.

Gue baru ini ngerasain naik mobil, duduknya di depan. Biasanya juga gue selalu di belakang duduknya. Pun karena naik mobilnya Azka. Yang paling joss ya gue naik mobil angkot, yang kalau duduk itu harus sempit-sempitan sama penumpang lain.

Gue memejamkan mata, menghayalkan kalau gue sedang berdua sama Mas Amar di mobil ini. Doi tiba-tiba saja memegang dan menggenggam tangan gue pakai tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sibuk menyetir. Sesekali doi menatap gue dan tersenyum dengan manisnya. Haaaah indahnya. Tanpa sadar gue sudah senyum-senyum sendiri.

...***...

Gue menatap dengan mulut ngiler sama dua piring sate yang di hadapan gue. Gak muluk-muluk, gue langsung pesan dua porsi sate sama si Adul. Mampos deh situ. Bodoh amat gue sama si Adul. Lagi pula duit dia kan lebih banyak dari gue. Gak ada salahnya minta porsi lebih sama Sahabat sendiri.

"Ren?"

Gue menoleh. "Apa?"

"Lo apa mulai sinting, ya?"

Gue yang lagi mulai hendak menggigit daging sate, langsung menghabiskan satu tusuk sate itu tanpa dikunyah.

"Apa lo bilang?"

Adul ketawa. "Gue perhatikan, lo agak mulai sinting, Ren. Lo kenapa, sih? Tadi pas di mobil, gue lihat lo senyum-senyum sendiri. Kalau pas lagi sendirian, lo melamun gak jelas. Apa perlu kita periksa kondisi kejiwaan lo?"

Gue menghela nafas. Bukannya karena denger ucapan si Adul, tapi gue merasa sate-sate itu agak nyangkut di kerongkongan gue. Gue ambil dulu air putih dan menenggaknya sampai habis. Setelah itu gue menoleh dengan tatapan malas.

"Dul, lo mau gue buat KO?"

Adul bergidik. "Iiihh gak lah, Ren! Gue tuh nanya gitu sama lo, karena khawatir tahu! Lo 'kan sahabat gue! harus gue perhatikan, dong! Nika yang udah kawin aja gue perhatiin, apalagi lo!"

Haaaaah, gue menghela nafas lagi. Gue seharusnya sadar kalau Adul ini peka terhadap gue maupun Nika.

"Dul, lo pernah gak suka sama cewek?"

Entah ada angin apa, gue malah nanya gitu sama Adul. Yang notabene pernah patah hati dan agak sedikit berubah mirip perempuan karena hal itu. Tapi syukurnya, Adul sudah berubah sepenuhnya menjadi seorang pria sekarang.

Adul menghentikan makannya, gue lihat dia menghela nafas sembari meletakkan piring sate itu ke atas meja. Kemudian dia menoleh dan menatap gue dengan sendu.

Baru gue sadari kalau Adul ini ternyata tampan juga, ges. Ke mana aja gue selama ini, ya? Kenapa gue baru sadarnya sekarang?

"Lo kan tahu masa lalu gue, Ren. Kenapa lo tanya lagi?"

Gue beralih menatap ke arah depan. "Dul, menurut lo, gue ini cantik gak 'sih?"

Gue bisa merasa kalau Adul mulai tampak mengkhawatirkan gue.

"Ren, kenapa?" ucap Adul lembut.

"Sebenarnya gue suka sama seorang cowok, Dul."

Adul tampak tersenyum. "Wah, beneran, Ren? Gue kira lo gak suka sama cowok!"

Gubrak! Ucapan Adul seakan-akan menembus sampai ke jantung gue. Kayaknya gue pernah juga di judge kayak gini. Astaga! Jahanam betul! Beuuuuh.

....***....

Terpopuler

Comments

SK

SK

akhirnya setelah sekian kalender, akhirnya lanjut cerita yg baca awalnya sudah seru.
lanjutkan Thor!💪

2025-03-20

1

Indah MB

Indah MB

adul sama pak Juki kayaknya cocok nih hahaha

2025-04-14

1

Indah Nurhasanah

Indah Nurhasanah

wkwkkw kok ga pernh kepikiran gini yaa

2025-05-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!