Bunda 02

Anisa duduk di salah satu kursi kafe miliknya, raut wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam. Pelayan-pelayan di kafe itu sibuk mempersiapkan segala sesuatu dan membersihkan tempat sebelum para pelanggan mulai berdatangan. Tak lama kemudian, Mira, sahabat Anisa, datang menghampirinya.

Anisa sendiri yang meminta Mira untuk bertemu dengannya di kafe pagi itu. Begitu melihat wajah Anisa, Mira segera menyadari bahwa mata Anisa memerah, tanda baru saja menangis.

"Mira, aku harus cerita sesuatu ke kamu," ucap Anisa dengan suara parau. Mira duduk di seberang Anisa, menunjukkan rasa empati dan siap mendengarkan.

"Apa yang terjadi, Anisa?" tanya Mira dengan perasaan khawatir. Anisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kisahnya.

"Haris dan aku ... kami memutuskan untuk bercerai," ungkap Anisa dengan suara bergetar. Mira terkejut mendengar pengakuan sahabatnya itu.

"Oh, Anisa ... aku tidak menyangka. Apa yang terjadi? Apakah ada masalah yang tidak bisa kalian selesaikan bersama?" tanya Mira dengan nada suara yang lembut. Anisa menggelengkan kepalanya perlahan, matanya berlinang air mata.

"Bukan begitu, Mira. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Dia memilih untuk berpisah dan semalam dia pulang ke rumah setelah tiga hari bekerja di luar kota. Kamu tahu, di dalam hubungan itu pasti ada titik jenuh, mungkin Mas Haris sudah jenuh dengan hubungan kami ini," jelas Anisa, mencoba menahan tangis. Mira meraih tangan Anisa, mencoba memberikan dukungan.

"Anisa, jika itu keputusan terbaik untukmu dan Haris, aku akan selalu mendukungmu. Tapi, Anisa bagaimana dengan anak-anak kalian? Mereka masih kecil dan masih butuh sosok seorang Ayah," ujar Mira dengan tulus. Anisa tersenyum tipis, mengapresiasi kehadiran Mira di saat-saat sulit seperti ini. Meskipun hatinya hancur, Anisa tahu bahwa dia masih memiliki sahabat yang bisa diandalkan.

"Aku dan Mas Haris berjanji untuk merahasiakan ini semua dari anak-anak sampai mereka semuanya bisa mengerti dengan keadaan kami orang tuanya. Lagian, aku tak bisa menahan Mas Haris di sisi ku, Mira. Kamu tahu kan?"tak terasa air mata Anisa kembali menetes.

"Apa Haris tahu kamu mengidap penyakit kanker paru-paru?"tanya Mira, dengan raut wajah yang semakin cemas memikirkan kondisi sahabatnya itu.

"Tidak,"Anisa tersenyum kecut.

"Selama ini aku tak pernah memberitahunya tentang kesehatanku. Setiap kali Mas Haris merokok aku selalu berjauhan jika di rumah dan aku juga sering menjaga jarak darinya. Sehingga, Mas Haris tak pernah berpikir jika aku mengidap penyakit yang mematikan itu, Mira."Anisa tertunduk dengan tangan yang terkepal. Wanita itu kembali menangis, sehingga membuat Mira berdiri dari tempat duduknya dan berdiri di samping tempat duduk Anisa.

"Sabar, An ... aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku akan selalu ada untuk mu meskipun cinta mu telah meninggalkan mu,"ujar Mira yang kini memeluk Anisa, wanita itu memeluk pinggang Mira sembari menangis dengan suara yang benar-benar sulit untuk dijelaskan. Anisa benar-benar begitu merasakan sakit atas keputusan yang Haris ambil semalam. Di saat, dirinya membutuhkan dukungan dari suaminya, justru Haris lah orang yang membuatnya semakin menyerah untuk bertahan hidup.

Jam 10 pagi, Anisa pergi menjemput Salsa dan kini Anisa sudah berdiri di depan sekolah TK Salsa, putrinya yang masih berusia 6 tahun dan lulus tahun ini. Meski batuknya semakin parah, Anisa menahan rasa sakit yang terasa di dadanya sambil tersenyum pada Salsa yang berlari ke arahnya. Anisa tak ingin menunjukkan kelemahan di depan anaknya.

 "Bun, hari ini aku membuat lukisan baru untuk Bunda!" cerita Salsa antusias saat masuk ke mobil. Anisa mengelus kepala Salsa dan memuji hasil karya putrinya itu dengan tulus. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju sekolah Alvin, anak laki-laki Anisa yang berusia 10 tahun. Jam menunjukkan pukul 12 siang, tepat waktu untuk menjemput Alvin.

Anisa memarkirkan mobilnya dan melambaikan tangan pada Alvin yang sedang berbicara dengan teman-temannya. Alvin tersenyum lebar dan berlari menuju mobil.

Kembali ke rumah, Anisa menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Meski sesekali terbatuk dan merasa lemas, Anisa tidak pernah mengeluh. Dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, meskipun kanker paru-paru yang dideritanya kian menggerogoti tubuhnya.

Sore hari, Anisa duduk di teras sambil memandangi anak-anaknya yang sedang bermain di halaman. Sejenak, Anisa merasa putus asa dan kehilangan semangat hidup. Namun, ketika melihat wajah bahagia anak-anaknya, Anisa menemukan alasan untuk terus bertahan. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berjuang demi anak-anak yang sangat dia cintai. Anisa tak dapat menahan tangis ketika melihat tawa canda mereka. Terlebih anaknya yang paling kecil, Rayhan. Bocah itu masih sangat membutuhkan sosok ibu dalam hidupnya. Anisa menyeka air mata ketika melihat sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Seperti yang dijanjikan Haris, tadi pagi. Pria itu pulang lagi sore itu untuk menjenguk anak-anaknya. Tetapi, kali ini Haris membawakan banyak mainan untuk mereka bertiga.

"Maaf, aku datang tak mengabarinya,"ucap Haris, masih berbicara begitu sopan pada Anisa. Wanita ini hanya mengangguk. Haris masih bisa bersikap seperti biasa kepada Anisa, berbicara lembut dan bersikap sopan di depan anak-anak mereka. Sehingga, ketiga anak mereka tak pernah tahu jika orang tua mereka telah bercerai. Demi kebahagian anak-anaknya, Anisa dapat menahan segala rasa sakit saat melihat wajah pria yang mencampakkannya pada malam itu, tanpa memberi alasan yang pasti. Anisa masih menerima kehadiran Haris di dalam rumahnya, semua itu demi anak-anak yang sangat Anisa sayangi.

Seperti biasa, Anisa menyiapkan makan malam untuk keluarganya. Seolah-olah Anisa menunjukkan pada anak-anaknya jika hubungan orang tua mereka masih sama seperti dulu lagi.

"Besok adalah hari weekend. Ayo, Pa kita pergi ke Ancol,"saran Alvin, anak yang paling tua.

"Maaf, Sayang. Besok papa ada janji sama teman. Bagaimana kalau Minggu berikutnya?"tanya Haris, meskipun nampak raut wajah Alvin yang penuh kekecewaan. Alvin tetap menyetujui saran Haris.

"Besok pergi sama Bunda saja ya,"sambung Anisa, tak ingin membuat anak-anaknya bersedih dan kecewa.

"Hore...."teriak Alvin dengan antusias begitu juga dengan Salsa yang nampak senang. Rayhan bocah tiga tahun yang nggak ngerti apa-apa juga ikut tertawa bahagia di meja makan.

"Terima kasih, Anisa. Kamu selalu menjadi Ibu yang baik untuk anak-anak,"ucap Haris, Anisa hanya membalas dengan anggukan dan senyuman kecut.

'Apa aku tak pernah menjadi istri yang baik untuk mu Mas? Sehingga kamu dengan tega membuang ku begini?'batin Anisa masih menatap Haris dengan senyuman kecut di wajahnya.

Malam itu Haris memutuskan untuk menginap dan tidur bersama dengan Alvin anak tertua mereka. Demi menutupi kebohongan yang sedang Haris dan Anisa sembunyikan dari anak-anaknya. Haris terpaksa menuruti semua keinginan Alvin termasuk tidur bersama dengannya pada malam itu.

Meskipun sakit hati, setidaknya Haris masih bisa menjaga perasaan anak-anaknya sehingga membuat Anisa sedikit merasa lega.

Terpopuler

Comments

kaylla salsabella

kaylla salsabella

kira " ada apa dengan Haris

2024-04-02

0

Anita yoongia

Anita yoongia

double up thor

2024-04-01

0

Sari Nande16

Sari Nande16

pasti Mira ni da kaitanya dengan Haris , maaf Thor q soudzon 🤧🤧

2024-04-01

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!