Bekerja tanpa semangat tanpa tujuan. Elin sering kali kedapatan melamun hari ini di tempatnya bekerja. Di usia 23 tahun Elin masih belum terlalu tua untuk menikah. Namun, pendidikannya yang hanya sebatas SMA saja membuatnya berkecil hati untuk masa depannya kelak. Bahkan tentang jodohnya nanti ia terus berpikir bagaimana bisa memiliki pria yang mecintainya dengan latar belakang Elin yang kurang beruntung.
"Din, target kamu menikah di umur berapa?" Tiba-tiba Elin melayangkan pertanyaan random.
Teman kerjanya itu menatap Elin heran. "Apaan sih target-target? Menikah itu mana bisa di target, Lin. Yah tergantung yang di atas ngasihnya di umurku berapa. Yang penting bukan asal milih." jawab Dinda seraya terkekeh.
"Tapi usia kita ini sudah mendekati wanita tua loh. Sudah kepala dua. Beberapa tahun lagi kepala tiga. Dengan kerjaan kita yang begini-begini terus tiap hari memangnya ada jodoh yang bakalan datang?" tanya Elin lagi.
Sering kali hidupnya di bandingnya dengan sang kakak membuat Elin semakin hilang rasa percaya dirinya. Merasa dirinya sangat rendah di bandingkan wanita di luaran sana. Dinda sempat menggeleng tak percaya dengan ucapan sang teman.
"Coba sekarang aku tanya. Kamu yang katanya punya kakak desainer luar negeri sudah nikah dan dapat jodoh yang tepat belum?" Elin menggelengkan kepalanya cepat sebagai jawaban belum.
"Nah itu berarti jodoh bukan di ukur dari karir kita kan datangnya? Sudah deh santai saja. Jodoh tidak akan tertukar kok. Tempat kerja kita ini sudah paling tepat, Lin. Yang datang rata-rata pria dan mapan semua. Pasti ketemu kok kalau waktunya sudah tepat."
Elin dan Dinda hari ini akhirnya menyelesaikan pekerjaan di waktu hampir malam. Kali ini mereka pulang lebih awal karena sudah mencapai target penjualan. Keduanya berpisah di gedung parkiran. Elin segera memacu kendaraan roda empatnya menuju tempat penjual martabak kesukaan sang ibu. Meski hidup tercukupi dengan ayah yang bekerja menjadi kepala rumah tangga, sang ibu tetaplah wanita yang sejak dulu Elin kenal sederhana. Wajahnya tersenyum bahagia tiap kali mengingat wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya hingga kini.
"Na na na na na...si anak kecil pulang bekerja...ingin membahagiakan ibunya." Elin mulai bernyanyi asal sembari senyum-senyum. Hidupnya memang sehampa itu hanya tidur kerja tidur kerja. Tak ada kegiatan lainnya seperti berlibur bersama teman atau pun berbelanja.
Memiliki teman kerja seperti Dinda juga sangat monoton. Hanya bekerja sebab Dinda merupakan tulang punggung keluarganya. Tak ada waktu bermain dan menghabiskan gaji. Sampai Elin tak sadar jika di depan lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. Suara mobil menabrak begitu keras hingga tubuhnya pun ikut terdorong maju ke depan.
"Hah? Suara apa itu?" tanyanya membulatkan mata syok. Elin benar-benar gugup melihat sosok yang mengetuk pintu mobilnya.
"Nona, bukalah pintunya. Anda menabrak mobil di depan." Elin gelagapan sembari tangannya menurunkan kaca mobil tanpa berniat membuka pintu mobil.
Meminta maaf mungkin ia pikir akan selesai. Bagaimana bisa jika tidak selesai, mobil di depan sana adalah mobil sedan mewah tentu ganti rugi adalah bunuh diri tercepat bagi Elin.
"Pak, saya minta maaf. Saya benar-benar tidak melihat lampu merah tadi. Maafkan saya, Pak." Kedua tangan ia tangkup penuh permohonan. Namun, yang Elin lihat pria tua itu hanya menggelengkan kepala.
"Nona, masalahnya itu bukan milik saya. Anda harus berurusan dengan pemiliknya langsung. Saya tidak berani mengurus hal ini." Elin menatap ke depan dimana mobil masih tetap menyala. Ada bayangan sosok pemilik mobil itu.
Setuju, ia pun turun dan ingin meminta maaf pada pemilik mobil mewah itu. Sempat Elin melirik mobil di sampingnya ketika berjalan. Matanya semakin melebar kala melihat kerusakan yang cukup besar. Body belakang mobil itu melengkung ke dalam dengan banyak goresan akibat ulah Elin sendiri.
"Mampus aku. Apa yang harus aku jual buat ganti ruginya?" gumam Elin.
"Ada apa?" Elin tergugu menatap pria yang menurunkan kaca mobil di depannya. Bunga-bunga di kedua bola mata itu seketika ingin berputar menari dengan kelopak yang mekar nan indah.
Bukannya berucap, Elin justru tersenyum.
"Apa hobimu terus melamun seperti ini?" Danil. Yah pria itu adalah Danil dengan kebiasaannya bertemu Elin adalah melambaikan tangan di depan mata gadis itu.
Di samping Danil ada anak kecil dan wanita yang pernah Elin lihat. Itulah yang membuat Elin sadar dari lamunannya. Ia pun ingin mengutarakan permintaan maaf berharap tidak membayar sepeser pun atas kerusakan yang ia perbuat.
"Tuan, maafkan saya. Saya akan..." Elin tak melanjutkan ucapannya karena wanita di samping Danil menyela dengan sinis.
"Maaf, Tuan Danil. Saya mendapat kabar untuk beberapa kandidat pengasuh Tuan Aditya. Mereka mengajukan penawaran untuk gajinya..." Wanita itu pun juga tidak melanjutkan ucapan ketika Danil memotongnya.
"Katakan pada mereka untuk mengajukan nominal berapa pun asal mampu membuat anakku nyaman."
Glek!! Elin tertegun mendengar tawaran yang sangat menggiurkan itu.
"Saya mau, Tuan." ujar Elin cepat tanpa memikirkan apa pun. Hanya panggilan Tuan dari wanita di samping Danil membuat nyali Elin kembali berkobar.
Oke, satu masalah akhirnya terpecahkan. Elin tahu mereka bukanlah ada hubungan apa-apa. Tidak ada salahnya kan mencoba lagi cara ini?
"Iya, saya berjanji akan menjaga anak anda sebaik mungkin. Dan Anda bisa memotong kerugian mobil ini dari gaji saya, Tuan. Saya harap anda mau menerima saya. Saya akan tulus dan hati-hati menjaganya, Tuan. Saya mohon..." Elin menangkup kedua tangannya. Pikirannya adalah bisa hidup di luar rumah sembari fokus bekerja. Mungkin sesekali bisa meminta izin mengunjungi sang ibu, pikir Elin.
Danil yang semula menatap Elin penuh selidik akhirnya menghela napas. "Baiklah, besok datanglah ke rumah untuk di latih. Saya akan menunggu sebelum jam pergi bekerja." Kaca mobil naik dan menutup pemandangan indah itu.
Elin terdiam mematung seperginya Danil dari sana. Sampai terdengar suara klakson mobil yang meminta Elin segera mengemudikan mobilnya yang juga rusak di bagian depan barulah ia bergegas pergi. Tujuan awal ia tidak lupa, tetap membelikan martabak untuk sang ibu. Tetapi saat menunggu pesanan Elin terus melamun. Ada perasaan senang ada juga perasaan takut karena akan bekerja dengan orang yang baru ia kenal.
***
Celana jeans di bawah lutut, sepatu kets putih, serta baju kaos yang berwarna pink. Tak lupa rambut di ikat rapi.
"Astaga, kau ingin piknik ke kebun binatang mana?"
"Kok piknik, Tuan? Kebun binatang? Saya kan mau kerja, Tuan." jawab Elin saat pagi-pagi sekali datang dengan penampilan terbaiknya.
Danil sampai geleng kepala melihatnya. "Sha, berikan dia pada kepala pelayan. Suruh memakai seragam." ujar Danil melewati Elin menuju meja makan.
"Selamat pagi, anak Ayah." Hangat ia mencium kening putra kecilnya dan mengusap kepalanya. Elin melihat itu semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments