Kisahmu Belum Usai
"Sudah jangan sarapan banyak-banyak. Untuk apa kau memakan buah itu? Berikan untuk Kakakmu!" Suara hardik itu sukses mengangkat kedua pundak gadis cantik yang kini ikut duduk di kursi meja makan.
Sejuknya udara pagi dan heningnya suasana di perumahan itu rasanya hancur seketika karena suara yang selalu bernada tinggi pada gadis cantik bertubuh mungil. Dia adalah Elin Xin. Putri kedua dari pasangan Damian dan Zahra. Matanya sudah nampak berkaca-kaca. Entahlah mengapa sebegitu mudahnya matanya menjatuhkan air mata setiap kali mendengar kata keras dari sang ayah.
"Kenapa, Ayah? Buahnya masih banyak kok. Lagi pula Viera juga sudah makan cukup buah." sahut Zahra. Sembari tangannya mengusap punggung tangan sang putri.
Dalam diamnya Damian, Zahra menatap dalam sang suami. Lagi-lagi hal yang sangat ia benci dari sang suami terus berkelanjutan. Sikap arogan Damian tak pernah bisa berkurang sedikit pun. Namun, rasa cinta Zahra pada sang suami tak mampu membuat wanita itu meninggalkan Damian. Hanya berdiri di samping dan kuat melihat sikap arogan suaminya. Selama itu bukanlah perselingkuhan, begitu prinsip Zahra. Meski tidak bagi sebagian orang.
"Biarkan Viera yang memakan semuanya dengan puas. Dia harus bekerja keras sepanjang hari. Jangan sampai tubuhnya sakit karena kurang gizi. Dan Elin, bergegaslah bekerja. Ayah sudah benar-benar pusing melihatmu. Sepanjang hari harus mendengar hinaan teman-teman sekantor karena melihatmu bekerja hanya sebagai penjual di toko orang. Tidak bisakah kau mencontoh Kakakmu itu? Lihat, dia sudah terkenal di televisi. Dari dulu kau selalu saja jadi anak bodoh. Sebaiknya kau segera menikah saja dan jangan pernah lagi muncul di toko itu, Elin."
Elin menunduk menangis sembari menahan suaranya. Dadanya terasa begitu sangat sesak. Seandainya Elin bisa memilihi, ingin sekali ia terlahir menjadi gadis yang cerdas dan sukses. Namun, setiap kali mengingat hal itu, Elin rasanya ingin menghancurkan isi di kepalanya yang terasa kosong itu. Entah mengapa pikirannya benar-benar sulit jika di hadapkan dengan pelajaran sejak kecil.
"Kenapa sih kepalaku ini kosong? Kenapa aku terlahir jadi gadis bodoh? Kenapa aku tidak cerdas seperti Kak Viera, Tuhan?" batin Elin.
Tak perduli kiri dan kanan tangan Viera bersama ibunya mengusap punggung Elin, gadis kosong itu bergegas mendorong kursi dan pergi dari rumah. Ia melajukan mobil kecil miliknya menuju toko tempatnya bekerja.
"Kenapa aku tidak sekalian saja bodoh menyetir mobil? Biar sekalian aku di gelar gadis yang benar-benar bodoh hanya tahu bernapas saja." Sepanjang jalan Elin menangis sembari terus mengumpat kebodohannya.
Mood paginya sudah hancur karena ucapan sang ayah yang bukan pertama kali ia dengar. Tak perduli bagaimana sang kakak juga begitu baik padanya, Elin hanya terus mengumpat perbedaannya dengan Viera.
***
"Hello..." Sapaan dari pelanggan.
Tak ada respon.
"Hai..." Sekali lagi dengan tangan yang melambai tepat di depan wajah sang penjual.
Kebetulan saat ini masih sangat pagi, belum waktunya toko di buka, namun karena mood Elin sangat buruk membuatnya tak tahu harus melakukan apa selain membuka tempat kerjanya. Duduk berjaga di depan meja dengan pandangan nanar penuh rasa kecewa.
"Cih sejak kapan wajah Ayah jahatku berubah jadi sangat tampan? Kalau tampannya seperti ini mungkin aku tidak akan pernah sedih jika ayah menghinaku." Elin terkekeh geli menutup matanya. Merasa dirinya sedang berhalusinasi.
"Kalau tidak niat berjualan kenapa harus membuka toko sepagi ini?"
Deg. Mata Elin membulat mendengar suara tegas di depannya. Cepat ia membuka tangan dan melihat di depannya benar-benar ada seorang pria. Halusinasinya ternyata sungguhan. Seorang pria tampan dengan tubuh tinggi tegap. Benar, toko golf yang ada di mall tempat Elin bekerja sering mendapat pembeli orang-orang tampan dan kaya. Namun, kali ini sangat-sangat tampan bagi Elin.
"Gadis kosong ini kenapa ingin sekali di panggil istriku olehnya? Huh apa karena aku sudah lelah sekali jadi orang tak di anggap? Mungkin nikah dengannya aku bisa di anggap oleh Ayah? Astaga apa yang di pikiranku ini? Memangnya aku modal tubuh saja? Tubuhku saja rasanya tidak pantas untuk jadi modal pria ini. Eliiiin ada apa dengan pikiranku? Kenapa menjadi kotor sekali sih?" rutukan-rutukan kecil itu tanpa sadar Elin suarakan hingga sampai di telinga pria tampan itu.
Mendengarnya ia hanya terkekeh lucu. Bukannya marah, Danil merasa Elin begitu lucu di matanya. Hanya sebatas lucu tidak lebih.
"Apa aku setampan itu yah?" Lagi Danil bersuara namun menggoda.
Elin tergagap. Ia beranjak dari kursi dan berputar hendak melayani Danil. "Tuan, maafkan saya. Anda membutuhkan apa yah?" tanya Elin berusaha fokus dengan kerjaannya.
Danil yang sibuk melihat-lihat, justru tak memperhatikan jika wanita di sampingnya kini memejamkan mata menikmati aroma parfum Danil. Benar-benar harum yang membuatnya candu.
"Hemmmm..." endusan Elin tanpa sadar.
"Yang itu dan itu." tunjuk Danil.
"Oh...baik, Tuan." Elin sigap mengambil yang Danil tunjuk.
Selesai membayar, Danil pun menerima barang dari Elin. Sebelah tangannya juga ikut menjulur ke arah Elin memberikan sesuatu.
"Ambillah." ujar Danil dan pergi.
Elin terdiam. Di tangannya ada parfum yang barusan ia hirup begitu dalam. Rupanya Danil sangat peka jika Elin menyukai aroma parfumnya. Botol itu terus di hirup sampai Elin memeluknya erat.
Sedangkan Danil yang pergi dari mall itu menerima telepon dari seseorang.
"Tuan, saya menemukan letak tempat tinggal Tuan muda, Tuan. Dia tinggal di salah satu panti asuhan di Kota B." Betapa terkejutnya Danil mendengar anaknya yang lama ia cari kini sudah di temukan namun bukan di tempat yang layak menurutnya.
"Bagaimana mungkin anakku bisa di taruh di tempat seperti itu? Segera amankan putraku!" pintah Danil sarkas.
Matanya memerah penuh amarah. Tangannya terlihat mengepal, bahkan barang yang barusan ia beli dengan harga fantastis ia buang begitu saja di parkiran mobil. Anaknya jauh lebih berharga saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments