"A-apa? Tiga ratus juta? Yang bener saja, Mbak? Cuman parfum loh. Kalau segitu sih biar lima tahun bekerja aku belum tentu bisa beli." celetuk gadis yang tak lain adalah Elin.
Sesuai dengan rencananya jika hari ini ia akan pergi membeli parfum sama seperti milik Danil. Sayang, uang sisa ia memberikan sang ibu sangat tidak ternilai di mata parfum kesayangannya itu. Niat hati ingin membeli dua, yang satu ia akan pakai dan satunya akan ia berikan pada Danil sebagai ganti karena telah memberikan dirinya parfum yang sangat wangi.
"Iya, Kak. Harganya memang sangat mahal dan tidak di jual sembarangan. Kita harus memesan dengan ahli parfumnya dulu untuk bisa menjualnya." terang penjual di toko parfum itu.
Elin pun putus asa, ia memilih keluar dan menuju toko tempatnya bekerja yang kebetulan satu gedung dengan penjual parfum itu. Benar dugaan Elin jika mengingat aroma yang sangat enak dan tahan lama tentu saja parfum itu tidak akan di jual murah.
"Apa ini pertanda jika aku memang tidak ada harapan dengan pria itu, Tuhan? Padahal dia adalah cinta pertamaku." Lagi Elin mendrama dalam hati.
Setengah hari ia uring-uringan memikirkan harapannya yang pupus, namun saat pandangannya beralih menatap ke depan secercah harapan kembali muncul. Semua alat golf yang ia jual tampak buram tergantikan dengan pemandangan wajah tampan yang sangat ia rindukan. Wajah yang satu minggu membuat Elin benar-benar hampir gila rasanya.
"Parfumku..." lirih Elin bergumam. Lambaian di depannya kembali tak membuatnya sadar.
"Hai...halo..." Begitu suara pria itu menyapanya masih melambaikan tangannya tepat di wajah Elin.
"Ah i-iya. Maaf, Tuan. Anda mencari sesuatu?" tanya Elin mode sadar.
Tak sadar matanya melihat sosok anak kecil yang menggandeng tangan Danil. Pupus harapannya. Benar kata sang kakak, jika Danil adalah pria yang sudah memiliki keluarga. Elin tersenyum hambar melihat anak kecil yang juga menatapnya.
"Aku ingin membeli alat yang seperti minggu lalu. Sepertinya aku lihat dari tadi sudah tidak ada di pajang." tutur Danil fokus memperhatikan sekitar. Pikirannya sempat menangkap aroma parfum yang menyeruak dari gadis di depannya. Sempat Danil tersenyum kecil melihat Elin.
Sangat mudah menangkap gelagat gadis polos di depannya ini. Bahkan Elin saja menyebut dirinya parfumnya. Itu artinya Elin menyimpan rasa pada Danil. Namun, Danil tak mau mengambil pusing. Saat ini ia hanya ingin fokus pada sang anak.
Di waktu yang bertepatan otak kosong Elin tiba-tiba terisi. Wajahnya tersenyum kecil seolah menemukan jalan yang terang. "Oh kebetulan di sini stoknya sedang kosong, Tuan. Jika anda berkenan bisa kami mengantarkannya ke tempat yang anda inginkan."
"Hahaha untung pas lagi jam istirahat. Jadi aku jaga sendirian. Pantang menyerah, Lin. Sikat selagi masih belum ada bukti jelas. Kali itu anak tetangganya kan?" Elin bergumam dalam hati penuh rencana.
Danil yang tidak suka membuang-buang waktu, menyerahkan kartu nama dimana tertulis alamat kantornya. Melihat itu Elin tak puas.
"Tuan, apakah tidak sebaiknya alamat rumah saja? Saya takut jika mengantarnya di saat jam pulang kerja." Alasan Elin masuk akal. Danil segera memberikan alamat rumahnya. Setelah itu ia pergi dengan menggendong sang anak.
Di sini Elin berloncat kesenangan. Akhirnya Tuhan masih bermurah hati memberinya jalan. Setidaknya Elin harus membuktikan dulu status Danil baru akan berusaha mengejar pria tampan itu.
***
"Bos Bos, saya ijin dulu yah? Ada pelanggan yang minta di antarkan alat golfnya." Elin beralasan pada sang atasan dengan memberikan bukti pembelian dari Danil.
Sore menjelang malam tepatnya saat waktu hampir jam makan malam, Elin bergegas menuju ke rumah Danil dengan kendaraan pribadinya. Ia tidak ingin di ganggu oleh siapa pun. Entah pesona apa yang Danil tunjukkan hingga membuat Elin bersikeras mengejarnya.
Sang bos hanya bisa menggelengkan kepala melihat keanehan Elin satu minggu belakangan ini. Biasanya menyentuh barang di gudang saja ia sangat enggan. Hari ini bahkan Elin mengambil dan mengantarnya sendiri.
Kilat petir yang mulai terlihat bersahutan di langit malam itu tak menyurutkan semangat Elin. Ia fokus menyetir hingga beberapa saat mobilnya pun tiba di depan pagar rumah yang begitu luas. Mulutnya ternganga kian lebar. Sampai tidak sadar jika di sampingnya security menunggunya memberi penjelasan.
Usai dengan urusan pihak keamanan, Elin turun dari mobil. Saat itu di rumah Danil sudah turun hujan begitu derasnya. Elin penuh semangat menurunkan alat golf pesanan Danil. Saat langkahnya sampai di depan pintu ketika pelayan menyambutnya, Elin terdiam mematung.
"Makan yang banyak yah, Adit. Biar cepat besar dan bantu Ayah di kantor." Suara lembut wanita berambut sebahu. Tubuh yang tinggi langsing dan kulit putih mulus. Elin kehilangan semangat untuk kedua kalinya dalam satu hari.
Tubuh yang setengah basah tak ia perdulikan. "Permisi, Tuan. Ini barang pesanan anda. Saya permisi dulu." Elin tak lagi ramah seperti tadi.
Hanya menunduk memutar tubuhnya meninggalkan rumah megah itu. Danil acuh sebab Elin bukanlah orang yang ia kenal. Danil, aditya dan satu wanita cantik itu melanjutkan makan malam mereka. Tanpa tahu jika Elin saat ini melajukan mobil dengan begitu cepat.
"Hehehe kenapa aku sebodoh ini sih? Benar kata Ayah. Sekarang aku baru sadar jika aku ini memang orang yang sangat bodoh. Patah hati apa ini? Kenal namanya saja belum sudah jatuh cinta. Elin bodoh. Elin bodoh! Ada apa denganku?" umpatnya berteriak memukul setir mobil.
Di rumah ia pun tidak menyapa keluarga yang sedang makan malam. Lagi-lagi tanpa menunggu dirinya pulang atau menanyakan Elin sudah makan atau belum.
"Dasar anak bodoh. Masih juga basah padahal sudah memakai mobil. Apa yang ada di otakmu itu, Elin." cemooh dari sang ayah tak Elin hiraukan.
Ia berjalan melangkah menuju kamarnya dan melewati kamar sang kakak. Kening Elin mengerut heran, nampaknya ia melupakan sesuatu.
"Tadi Kak Viera nggak ada di meja makan yah? Lalu apa ini? Kakak menangis?" gumam Elin yang lupa dengan masalahnya.
Pintu kamar yang tidak tertutup rapat perlahan ia dorong dan benar sang kakak saat ini duduk menangis di pinggir kasur.
"Cih aku pikir orang sesukses Kak Viera tidak tahu apa itu menangis?" Sempat-sempatnya Elin mencela saudaranya.
Detik berikutnya ia pun mendekat dan memeluk sang kakak. Viera yang biasa lemah lembut tiba-tiba berubah. Tangannya yang menutup wajah cantiknya itu seketika mendorong tubuh Elin.
"Keluar, Lin! Keluar!"
Elin yang baru menahan tubuhnya agar tidak terhempas ke depan televisi tersentak kaget. Reflek ia memegang dadanya yang berdetak kencang. Mata Viera terlihat sangat sembab. Matanya menatap begitu tajam pada Elin.
"Kakak..." lirih Elin takut-takut menyebutnya.
"Keluar aku bilang!" teriak Viera lagi. Tangan panjangnya nan lentik menunjuk ke arah pintu.
Elin tak lagi bertekad di kamar itu. Ia keluar dan menuju kamarnya. Sungguh rasanya bingung dengan perubahan sikap sang kakak. Tidak pernah sekali pun Viera kasar padanya. Tanpa sadar Elin menjatuhkan air mata.
"Ya Tuhan hari naas apa sih ini? Kenapa aku sial berturut-turut sih?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments