Dilara mengerjap saat silau menerpa matanya yang baru terbuka. Ia menghalangi silau itu dengan lengan kemudian bangkit duduk.
Menyadari dirinya berada di ruangan asing, Dilara terkejut langsung turun dari ranjang berniat kabur, masih teringat akan para lelaki yang memukulinya semalam, mungkin saja dia masih disekap.
"Kamu sudah bangun?" tanya suara maskulin. Dilara menoleh dan merasa heran sekaligus bingung.
"Said? K-a-mu bagian dari penjahat itu?" Dilara memasang ancang-ancang lari.
Said menaruh gelas ke atas meja. "Bukan saya yang menolongmu, saya ingin tahu, kenapa sampai kamu terluka begitu?"
Air mata bergulir di pipi Dilara, ketakutan masih terasa nyata di dadanya. Ia terduduk kembali ke kasur.
"Bagaimana?" Said mendekat.
"Para penjahat itu, suruhan Falisa, ia mengancamku dengan kekerasan fisik karena salah paham." Dilara menunduk.
Rahang Said mengeras, perempuan bernama Falisa itu sudah tidak asing mencelakai para gadis yang mendekati Daniel.
"Kamu dekati Bos?" Said menebak.
Dilara menggeleng.
"Lalu? Bagaimana bisa Falisa begitu?"
"Daniel pura-pura menjadikan aku pacarnya demi untuk menghindari Falisa."
"Kurang ajar Daniel, dia tidak tau bagaimana berbahayanya Falisa, kenapa kamu mau-mau saja dijadikan pacar boongan?"
"Saya tidak mau, dia selalu pura-pura baik pas ada Falisa setelah Falisa pergi, dia langsung kembali ke sikap asalnya, sombong."
Said menghela napas. "Baiklah, saya akan selesaikan kasus ini. Falisa memang sudah keterlaluan."
Dilara menundukkan pandangan, ia merasa sangat trauma dengan peristiwa semalam.
"Kalau kamu tidak enak badan tidak usah masuk kantor dulu saja. Kamu bisa tinggal di rumah saya, sampai saya kembali dari kantor."
Dilara mengangguk, ia memang sedang tidak baik-baik saja, bahkan tak merasa aman jika saat ini kembali ke kontrakan.
Said keluar kamar meninggalkannya dan tak lama berselang, pria itu kembali dengan setelan kantor.
"Saya sudah masak, makanlah dan jangan lupa istirahat." Said berpesan.
"Baik, terima kasih." Dilara tersenyum tipis."
"Kalau begitu, saya berangkat kerja dulu, ya. Jaga diri baik-baik." Said menyodorkan tangan hendak mengelus kepala Dilara dan gadis itu reflek menghindar.
"Ya, hati-hati di jalan," ucap Dilara.
Lelaki itu pun melangkah keluar kamar, Dilara memerhatikan punggungnya, merasa heran, kenapa pria itu begitu baik terhadapnya.
Seperginya Said, Dilara keluar kamar pergi ke dapur dan membuka tudung saji, matanya langsung melotot melihat hidangan pagi yang menerbitkan air liur.
Dilara langsung menyantapnya tergesa dan berhenti kala teringat wajah ibu serta adik-adiknya yang makan seadanya di kampung. Selera makan gadis itu langsung menguap.
Ia pun kembali ke kamar dan tiduran di ranjang.
Lama tertidur seperti itu, Dilara terbangun dan mendapati harum masakan kembali tercium. Bergegas gadis itu ke luar kamar untuk memastikan.
Di dapur, terlihat seorang perempuan sedang memasak.
"K-k-a-amu, siapa?" Dilara khawatir perempuan itu istrinya Said dan dirinya akan dijuluki pelakor oleh orang-orang.
"Selamat siang Nona, baru pertama kalinya Tuan Said membawa pacarnya ke rumah." Perempuan itu tersenyum.
Mendengar ucapan perempuan muda itu, Dilara menggaruk kepala yang tak gatal.
"Saya pembantu di sini Nona. Pulang pergi, karena Tuan tak suka orang lain berada di rumahnya."
"Oh ... begitu, syukurlah." Dilara merasa lega, ia mengira Said sudah beristri. Ia pun menghampiri pembantu itu dan berdiri di sampingnya. Tumis daging dengan campuran kentang tercium sangat harum, bentuknya pun menimbulkan selera. Dilara jadi lapar.
"Yok makan Nona, itu sudah siap di meja makan lebih enak, kalau yang ini buat makan malam."
Dilara memutar kaki dan menghampiri meja makan, benar saja hidangan yang lebih menggiurkan lidah tersaji di meja. Ia teringat kembali akan keluarganya di kampung.
"Kenapa gak dimakan? Keliatan gak enak, ya?" Melihat Dilara yang hanya berdiri memandangi menu, perempuan itu pun bertanya.
"Saya teringat keluarga saya di kampung, mereka makannya gak seenak ini." Dilara nyengir.
"Oalah, saya juga pernah begitu waktu pertama kali ngumbara ke kota." Pembantu itu menepuk pelan pundak Dilara.
"Terus?"
"Saat saya makan, saya juga berdoa pada Allah, agar memberikan rezeki yang sama pada keluarga di kampung. Eh, benar saja, keluarga di kampung makan enak juga setalah saya kirim gaji pertama."
Wajah Dilara cerah, ia merasa menemukan ide yang bagus dari pembantu tersebut. Ia pun duduk di kursi, membaca doa dan mulai memakan hidangan itu dengan perasaan tenang.
***
Melihat bayangan Falisa di balik sebuah pintu, bergegas Said menghampiri perempuan itu langsung menghardik tubuhnya dan membawa ke lorong yang sepi.
Falisa menatap tajam mata Said berusaha melepaskan pergelangan tangannya.
"Sekali lagi kamu sentuh Dilara, habis riwayatmu!" Said mengeratkan giginya.
"Siapa Dilara?" Falisa balik bertanya.
"Perempuan yang kamu ancam malam kemarin."
Falisa terkekeh. "Oh rupanya ia perempuan murahan yang berpindah dari pelukan satu ke pelukan lainnya."
Said langsung menekan leher Falisa, sampai perempuan itu kesusahan bernapas.
"Ini sebuah ancaman, kamu sekali lagi menyentuh dia, habis riwayat perusahaan-perusahaan gelap ayahmu, dan aku akan pastikan penyebabnya adalah putrinya sendiri."
Said melepaskan tangannya dari gaun Falisa kemudian melangkah lebar ke luar lorong.
Masih dalam keadaan shock, sambil memegang lehernya sendiri, Falisa melirik lelaki tegap itu yang menghilang di balik pintu lift.
"Kurang ajar!" Falisa menghentakkan kakinya berulangkali merasa geram.
Sesampainya di basemen, Said memacu motor sportnya menuju rumah tak sabar ingin segera bertemu dengan Dilara.
Tiba di rumah ia langsung memasuki ruangan tergesa, mencari-cari sosok Dilara ke setiap kamar dan ruangan.
Justru pembantunya yang malah terlihat menjemur pakaian.
"Kemana Dilara Mbak Rum?" tanya Said khawatir.
"Oh ... Dilara toh namanya, nama yang bagus." Rumina tersenyum. "Tadi pamit pulang, Den."
Said menghela napas, merasa kehilangan. Bahkan ia tak tahu alamat tinggal Dilara.
Ia melangkah menuju sofa dan duduk malas di sana. Paper bag ia taruh asal di lantai. Padahal ia membawakan sesuatu untuk gadis itu.
Rumina datang membawa teh hangat untuknya. "Cemberut amat, Den, kan nanti juga ketemu lagi di tempat kerja."
Said langsung menegakkan punggung, ucapan Rumina ada benarnya. Wajahnya pun kembali cerah.
"Sudah masak, Mbak?"
Rumina mengulum senyum melihat perubahan drastis wajah tuannya. "Sudah dong, Den."
Said pun menikmati makanannya sambil melamun. Tak sabar bertemu Dilara esok harinya.
Dari tempat duduknya, Rumina tersenyum geli melihat tuannya makan sambil senyum-senyum sendiri.
***
Said menanti kedatangan Dilara dengan jantung berdegup kencang, ia terus mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.
Begitu tertangkap raut wajah Dilara memasuki ruangan di antara karyawan lain, Said langsung pura-pura sibuk dengan komputernya. Hembusan kerudung Dilara yang lewat dapat dirasakannya. Bahkan saat gadis itu duduk di belakangnya.
Arsi dan Dilara terdengar berbincang-bincang. Said membalikkan badan dan berdeham, barulah Dilara berhenti mengobrol.
"Said, ya Allah, terima kasih, ya." Dilara tersenyum sambil membenarkan letak kerudungnya. "Maaf kemarin tak pamitan setelah menginap."
"Astaga! Kalian menginap berdua?" Arsi menatap bergantian Said dan Dilara.
Dengan polosnya, Dilara mengangguk.
"Ternyata kamu tidak sepolos yang aku bayangkan, ya." Arsi menyipit.
Said menahan senyum, senang dengan dugaan Arsi tentang dirinya dan Dilara.
"Memangnya ada yang salah?" Dilara balik bertanya.
"Enggak sih kalau suka sama suka." Arsi menimpali.
"Saya dan Said sama-sama sepakat kok." Dilara masih menyahuti.
Arsi geleng-geleng kepala dan kembali pada layar komputernya, sebab alarm jam kerja telah berbunyi.
Said menghampiri meja Dilara, dan menaruh tulisan di sampingnya.
"Ada barang yang ketinggalan di rumahku. Nanti ambil, ya." Begitu isi tulisan tersebut. Dilara menepuk jidat, sangat pusing gadis itu mencari-cari ponselnya ternyata tertinggal di rumah Said. Ia sempat menyangka ponselnya tertinggal pas insiden malam itu dan ia telah mengikhlaskan.
Rupanya ponsel itu masih rizkinya. Dilara tersenyum lega, ia tak perlu menabung untuk mendapatkan ponsel yang baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
yethiasetyavati
said anak orang kaya juga dan bukan orang sembarangan buktikan dia ancem falisa
2021-09-21
0
Aan Rasyha Rasyha
kayanya said ada hati sama dilara
2021-06-22
5
Santi Sofianti
lanjut
2021-06-17
2