Notifikasi pesan berbunyi ketika baru saja aku ketiduran setelah membereskan ruangan siang ini.
Dengan mata yang malas terbuka menahan beratnya kantuk, aku membaca pesan.
"Selamat! Anda diterima di perusahaan Multi Talent. Selamat bergabung, Dilara Febriana."
Aku langsung melotot dan bangkit duduk, berkali-kali mengucek mata, isi pesan tetap menampilkan hal yang sama.
Aku diterima bekerja? Oh, kirain apa. Aku pun kembali merebahkan tubuh, lalu memejamkan mata.
Beberapa detik kemudian, Mataku terbuka lebar, saat menyadari dari mana pemberitahuan pesan itu. Sontak aku melompat dari atas kasur lepek.
Aaaa! Aku bahagia sekali, dan terus berteriak-teriak meluapkan rasa bahagia dan lompat ke sana ke mari sambil memukuli pantat panci bolong yang gosong waktu lalu menggunakan cukil.
Gedoran di pintu menghentikan gerakan tubuhku, aku menoleh ke arah pintu masuk satu-satunya.
"Apa yang kau lakukan, berisik sekali kau ini!" Begitu membuka pintu, suara cempreng langsung memekakan telinga membuatku terkejut. "Seperti orang gila saja kelakuanmu, selalu berisik!" Perempuan gimbal dengan rambut digulung roll berkacak pinggang, matanya menatap tajam. Ia memang tinggal di bawah tempatku, di lantai satu.
"Maaf Bu Jiad." Aku menyatukan tangan dan menekurkan pandangan.
"Gila kau, ya." Perempuan itu terus merutuk sambil menuruni tangga, begitu hampir sampai di tangga terakhir, ia terjatuh, aku langsung tertawa.
"Ketawa kau, ya!" Ia menunjuk. Aku pun membekap mulut dan masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu.
Tak berselang lama, ponsel di atas lemari plastik box berdering, bergegas aku meraihnya.
"Assalamualaikum, Mak," sapaku.
"Bagaimana kabarmu, Nak? Apakah sudah dapat pekerjaan."
"Alhamdulillah, Mak. Aku sudah dapat pekerjaan." Aku tersenyum lebar.
"Syukurlah, Nak. sudah berapa bulan kamu menganggur di sana akhirnya Allah beri kemudahan. Adik-adikmu yang masih kecil mau masuk sekolah tidak ada biaya, Nak. Dan yang lainnya belum bayar tagihan sekolah."
Mendengar perkataan Ibu hatiku sakit. Ibuku hanya seorang buruh tani, sedangkan ayahku telah lama meninggal.
"Iya, Mak. Saya minta doanya, semoga nanti gajinya besar agar bisa menutupi hutang dan memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah."
"Tidak bisakah minta uangnya sekarang, Nak? Adik-adikmu membutuhkan uang untuk beli seragam."
Aku tertegun sejenak.
"Saya usahakan, Mak."
Selesai menelepon, aku menaruh ponsel dengan badan yang lesu. Tubuhku luruh ke lantai, depan meja kecil yang usang, aku duduk memeluk diri sendiri, sambil memikirkan cara untuk mendapatkan uang secepatnya.
***
Depan cermin besar yang kusam, aku berdiri, mengenakan pakaian terbaik dengan warna biru muda dan warna kerudung yang senada.
Aku berjalan kaki sambil menghirup udara pagi yang masih segar. Terlihat para pedagang kaki lima menggelar dagangannya di tepi jalan. Aku menghampiri salah satu dari mereka.
Di bangku tukang bubur, aku duduk, menunggu pesanan datang.
Setelah sekian menit menunggu, karena pesanan tak datang juga, aku bangkit berdiri.
"Punya saya mana, Pak?" Aku menghampiri si pedagang.
"Sabar, Neng. Yang pesan banyak." Pedagang itu menyahut acuh. Banyak sekali orang-orang yang antri kulihat. Aku pun keluar dari dalam tenda tersebut dengan perasaan dongkol.
Bagaimana kalau saya, telat, ya ampun! Ngapain lagi aku barusan ngelamun lama di tukang bubur! Aku melangkah setengah berlari, mengejar waktu.
Bis melaju pelan meninggalkan halte. Aku berlari mengejarnya sambil terus berteriak, "Tunggu! Tunggu!"
Aku nekad menghalangi bis dengan merentangkan tangan. Langsung terpejam kala kendaraan itu berusaha berhenti.
"Cari mati kau, ya!" Kondektur memakiku, tetapi tetap membukakan pintu untukku. Bergegas aku masuk dan melihat kursi penumpang telah penuh. akhirnya, tiada cara lain, selain berdiri berpegangan pada gantungan.
***
Turun dari bis, aku berlari-lari menembus kerumunan orang, jarak gedung perusahaan masih lumayan jauh.
Berjalan cukup lama, akhirnya aku berhasil tiba di depan gedung perusahaan dengan tubuh banjir keringat, mereka yang pertama kali melihatku, tampak memicingkan mata, seolah jijik.
Aku membenarkan letak jilbabku, merasa paling jelek dan culun di antara mereka yang berlalu-lalang keluar masuk pintu perusahaan. Para wanita itu, tubuhnya langsing dan wajahnya cantik.
Bergegas aku melangkah berusaha mengabaikan mereka, begitu melihat penampilan sendiri di cermin tiang yang kulewati, sontak aku merasa minder, penampilanku dengan mereka, sangat jauh berbeda.
Wajah kusam dan pakaian yang terlihat lusuh.
"Pak ... kalau menuju ke ruangan ini, lewat mana, ya?" Aku bertanya kepada satpam, sambil memperlihatkan kertas.
"Itu lantai empat, Bu."
Bu? O my got, apakah wajahku setua itu. Padahal umurku baru menginjak 19 tahun.
"Terima kasih, Pak!" Aku mengucapkan sukur kepada lelaki itu dengan hati yang kesal. Bagaimana mungkin dia memanggilku, dengan sebutan 'Ibu' apakah matanya rabun?
Sampai dalam lift, aku duduk di sudut ruangan, selonjoran kaki, merasa capek. Dan menguap berulang kali.
Pintu lift terbuka, seorang pria berpakaian formal masuk membawa tas, aku langsung bangkit berdiri dan merapikan penampilan depan tembok yang seperti cermin. Kami berdiri, berdampingan.
Tak sengaja melihat wajah pria yang berdiri bersisian denganku dari pantulan tembok di sampingku, mataku langsung membulat, aku menoleh kepadanya, untuk memastikan wajahnya, dia pun menoleh kepadaku.
"Kau?" Kami berkata bersama. Ia langsung memalingkan wajahnya.
Mengingat bagaimana aku menderita setelah ditelantarkan olehnya di jalan, naiklah emosiku.
"Kau pikir saya hewan apa ya? Kau tahu setelah aku, kau turunkan di jalan, aku berjalan kaki terlunta-lunta dan tak tahu jalan pulang!" Aku berteriak histeris. Dan ia langsung membekap mulutku.
"Kenapa kau berteriak seperti orang gila, huh?" Ia berkata pelan. Aku menginjak kakinya, reflek tangannya terlepas.
"Saya tak terima kau membuat saya menderita waktu itu, saya merasa rugi!"
"Bodoh amat! Kau sendiri yang mau-maunya digandeng lelaki asing, apakah kau semurahan itu." Ia menyahut datar.
Amarahku meluap melihat sikap acuhnya setelah berbuat hal buruk kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku meraih kepalanya dan menjambak rambutnya dengan membabi-buta. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuhku, akan tetapi aku langsung menaikan kakiku di pinggangnya dan semakin kuat menjambak rambutnya.
"Lepaskan!" Lelaki itu berteriak, mendorong tubuhku sekuat tenaga. Aku terjengkang dan terjatuh dengan posisi pria itu menindih tubuhku. Tepat ketika lift lantai lima terbuka.
Beberapa perempuan dan lelaki berdiri depan pintu lift, melihat apa yang kami lakukan, mereka menutup mulutnya sendiri. Sontak Aku mendorong tubuh lelaki tanpa empati itu.
Lelaki tu berdiri dan keluar dari dalam lift sambil membenarkan dasinya, seorang perempuan tampak berusaha menyamai langkahnya dan terus berteriak. Sepertinya aku kenal wajah perempuan itu.
"Kamu kesini, mau melacur atau bekerja, sih?" Salah satu dari perempuan itu bertanya, aku pun keluar dari dalam lift menundukkan kepala, merasa malu.
***
"Melihat keahlianmu dalam menggambar, kami menempatkanmu dalam bagian pembuatan grafik drawing. Untuk pertama kalinya, silakan perkenalkan dirimu kepada pimpinan perusahaan ini." Lelaki tua berbicara kepadaku.
"Di mana? Saya harus menemuinya, Pak."
"Dua ruangan dari sini, ada pintu bertuliskan Presdir, biasanya beliau jarang hadir di tempat ini. Semoga saja, sekarang, beliau hadir."
Aku pun melangkah ke luar ruangan, dan sampai depan pintu Presdir, aku mengetuk pintu pelan. Pintu terbuka sendiri, aku mengucapkan salam dan memasukinya.
"Kamu lagi?" Aku terkejut melihat wajah pria yang duduk di balik meja kerja. Ia pun sama terkejutnya saat melihatku.
"Mau apa kau kesini?" Ia mengernyitkan dahi sehingga alisnya bertaut.
"Sa-a-ya disuruh Admin kantor untuk menemui Anda, memperlihatkan ini." Dari tempatku berdiri, Aku memperlihatkan kertas hasil coretan tanganku dengan perasaan gugup. Bayangan akan dipecat dalam otakku terus terlintas.
"Bawa kesini, sejauh mana kemampuan perempuan sombong seperti kamu itu." Ia tersenyum tipis. Nyaliku langsung menciut. Pria itu bangkit dari kursinya dan berdiri depan meja sambil memasukkan dua tangannya ke dalam saku celananya.
Aku mulai melangkah ragu dengan jantung yang semakin berdebar kencang, baru beberapa langkah, aku tersandung oleh kaki sendiri dan tubuhku oleng langsung jatuh dengan posisi tengkurap, tepat wajahku menimpa sepasang sepatunya.
"Selain sombong, rupanya kamu juga ceroboh, ya."
Aku mendongak, dan melihatnya menundukkan kepala menatap prihatin kepadaku. Bukan prihatin, melainkan meremehkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
yethiasetyavati
kok aku ngakak terus pas baca dari part awal 😂
2021-09-21
0
Kanjeng Netizzen
Astaga gw bayanginya ketawa 😂😂😂😂
2021-09-17
0
Siska
ngakak² ada yaa orang bgtu. .g ngebosenin ini novel. .
2021-08-29
0