Setelah tak sadarkan diri, Maritsa langsung dibawa ke rumah sakit. Tak ada yang menjaganya kala itu. Orang tua Zafran yang berhasil dihubungi Polisi pun langsung mengurus kepulangan jenazah setelah di autopsi.
Maritsa yang masih tertidur pulas di brangkar rumah sakit dengan kondisi lemah, infus pun harus dipasang di tangannya.
30 menit kemudian, tiba-tiba ada dua lelaki yang masuk kedalam ruangan dimana Maritsa dirawat. Mereka adalah Zacky dan Dion, asisten Zacky.
"Kasihan sekali.! Aku gak habis fikir kenapa Zafran berani menemui Fiona. Jelas-jelas istrinya sudah sesempurna ini dan sedang mengandung buah hatinya." Batin Zacky. Dia hanya diam mematung menyaksikan Maritsa yang tak sadarkan diri.
"Pak Zacky, ada yang bisa saya lakukan untuk anda saat ini?" Tanya Dion, asistennya itu dengan setengah menunduk.
"Cari info tentang mereka bertiga di masa lalu tanpa ada yang terlewat. Cepat dapatkan rekaman CCTV yang ada di kafe itu maupun di lokasi kejadian. Dan satu lagi, urus juga jangan sampai ada media satupun yang meliput berita ini." Jawab Zacky dengan datar.
"Baik Pak. Laksanakan."
Semenjak Maritsa datang ke lokasi kejadian, Zacky terus saja memperhatikan Maritsa, sunguh hatinya merasa tercubit ketika tau ada yang lebih terpuruk darinya.
Setelah puas memandangi Maritsa yang masih terlelap, Zacky langsung pergi membalikkan badan tanpa sepatah kata apapun. Di otaknya pun berkecamuk beberapa pertanyaan.
***
Sekitar 4 jam Maritsa tak sadarkan diri, dia kini mulai membuka matanya. Dia melihat atap ruangan dan mengedarkan pandangan di sekelilingnya yang serba putih. Tak ada satu orang pun disana.
Maritsa memang yatim piatu saat dia kuliah. Orang tuanya meninggal bergantian karena sakit. Yang dimilikinya sekarang hanya Bu Lek Hawa, adik dari ibunya. Hawa sendiri masih menjadi TKW di Singapura.
Maritsa membuka tas dan mengambil ponselnya. sayup-sayup matanya karena masih terasa pusing dan kondisinya yang masih lemah. Dia berusaha meraih benda pipih itu lalu menekan tombol telpon. Hatinya tidak baik-baik saja, air mata pun selalu lolos di pelupuk matanya karena bayang-bayang wajah Zafran dan Fiona masih terus berputar di ingatannya.
"Halo, Assalamualaikum Nduk.. Apa terjadi sesuatu padamu?? Perasaan tante mendadak tak enak. Dari tadi siang Bu Lek menelponmu Tapi tak ada jawaban." Suara Hawa terdengar dari sebrang sana.
"Bu Lek... aku..." Maritsa tangannya bergetar. lidahnya begitu keluh untuk menyampaikan kondisinya.
Hawa yang merasa ada keanehan pada ponakannya itu, seketika merubah panggilan telpon ke mode panggilan video.
"Nduk kamu dirumah sakit? Apa yang terjadi? Kandunganmu tak apa-apa kan?" Hawa khawatir lantaran dia melihat Maritsa tidur di brangkar rumah sakit dan ada infus disana.
"Maritsa gak apa-apa Bu Lek. tapi Zafran... Zafran kecelakaan. Dia... hiks hiks ..hiks.." Maritsa tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dadanya begitu sesak.
Seperti kena serangan dadakan, Hawa terkejut dan terus menenangkan ponakan kesayangannya itu. Hawa belum berani bertanya lebih jauh. Dia membiarkan Maritsa menangis agar hatinya merasa sedikit lega.
Setelah Maritsa sanggup bercerita, Hawa memberikan semangat dan saran untuk Maritsa.
"Oh ya Nduk, kontrak Bu Lek disini tinggal sebulan lagi. Bu Lek ingin pulang ke indonesia dan menemani kamu Nduk. Kehamilanmu sangat rentan, Bu Lek jadi khawatir. Bu Lek akan coba mengajukan kepulangan Bu Lek dalam minggu ini jika memungkinkan. Doakan ya Nduk, Bos nya Bu lek mengerti kondisi kamu dan mengijinkan Bu Lek pulang secepatnya."
Maritsa hanya menganggukkan kepalanya. Saat ini dia memang membutuhkan seseorang berada di sampingnya.
Setelah mengakhiri telpon itu, dia teringat lagi kejadian di puncak. Dia masih bertanya-tanya kenapa Zafran dan Fiona bisa berduaan disana. Kepala Maritsa semakin pusing. Hanya berdzikir yang bisa lakukan saat ini untuk menenangkan hatinya.
Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk ke kamar Maritsa untuk memeriksa kondisinya.
"Alhamdulillah Ibu sudah sadarkan diri. Saya yakin Ibu memang wanita yang kuat. Bu Maritsa ini ada vitamin untuk Ibu agar kondisi Ibu dan Janin Ibu semakin membaik. Nanti biar makan dan minum obatnya dibantu sama suster. Sementara hari ini Ibu tetep disini agar mendapatkan perawatan sampai Ibu benar-benar pulih. Saya harap Ibu ikhlas dan tidak terlalu over thinking demi janin yang ada dikandungan Ibu. Maaf bu, apa ada keluarga yang bisa dihubungi saat ini?"
"Terimakasih Dokter dan suster sudah merawat saya. Kebetulan saya tidak punya saudara disini Mertua saya juga pasti sibuk mengurus jenazah suami saya." Jawab Maritsa dengan sendu.
"Ya sudah tidak apa-apa Bu, biar nanti suster yang akan membantu Ibu jika membutuhkan sesuatu." Dokter pun pamit meninggalkan ruangan dengan sedikit menundukkan kepala.
Sedangkan suster langsung sigap membantu Maritsa makan dan menyiapkan obat.
"Terimakasih ya Sus. Suster sudah banyak membantu saya."
"Bu Maritsa, ini sudah menjadi tanggung jawab kami. Jika Ibu membutuhkan sesuatu tidak perlu sungkan memanggil kami. Sekarang ibu mau istirahat atau ke kamar kecil dahulu? biar saya antar."
"Kebetulan saya mau ke kamar kecil Sus, terimakasih."
Setelah semua rampung, Suster pamit untuk keluar ruangan. Maritsa yang merasa kesepian sendiri di kamar, dia mengelus perut buncitnya dan mengajak bicara calon bayi nya.
"Anak bunda yang pinter, baik-baik ya, kamu harus kuat. Jagoan Bunda harus tahan banting. Biar nanti kamu bisa jagain Bunda." Maritsa tersenyum getir mendengar kata-katanya sendiri.
Bayinya seketika bergerak seolah merespon apa yang diucapkan Maritsa membuat nya semakin terharu.
Beruntung hari sabtu Maritsa libur, besok juga masih aman jadi dia tidak bingung untuk ijin ke atasannya. Mungkin hari senin dia baru mengambil cuti libur karena harus mengurus pengajian dirumahnya.
***
Di Singapura..
"Tuan, saya mau ijin berpamitan minggu ini apakah bisa? Mohon maaf sebelumnya, saya ada keperluan yang benar-benar serius dan tidak bisa ditunda." Setelah menceritakan semua yang terjadi kepada Bos nya, Hawa berharap bisa pulang ke tanah air dengan cepat.
Beruntung Bosnya itu sangat baik hati. Dia langsung mengiyakan permintaan Hawa.
"Hawa, sebelum kamu kembali ke Indonesia, saya ingin menanyakan lagi soal tawaran saya tahun lalu. Apakah kamu masih mempertimbangkan tawaran saya untuk memperistri kamu? Saya tidak yakin bisa menjalani hidup sendiri disini."
Hawa terlihat gugup mendengar ucapan Garry meskipun berulang kali bosnya itu mengutarakan niatnya. Dia masih belum bisa menjawabnya sekarang.
"Entahlah Hawa, saya khawatir akan susah mencari pengganti sepertimu yang jujur dan sopan. Saya juga sudah mulai nyaman dengan keberadaanmu. Tapi saya juga tidak bisa egois, saya harus melepaskan kamu demi keponakanmu. Satu hal yang harus kamu ingat, jika kamu perlu bantuan apapun, kamu bisa langsung hubungi saya. Terimakasih banyak ya, saya sudah berhutang budi banyak sama kamu."
"Tidak Tuan, jangan bilang seperti itu, saya lah yang berhutang budi sama Tuan, karena Tuan selalu membantu saya. Saya bersyukur dipertemukan dengan orang sebaik Tuan. Tapi mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa menerima pinangan Tuan, saya benar-benar sadar diri Tuan. Sekali lagi saya mohon maaf."
Garry, Bos Hawa yang memang sudah duda setahun yang lalu. Dia ditinggal sang istri karena menderita kanker rahim yang dideritanya. Hawa bekerja sebagai perawat istri Garry dan membantu Gerry di kehidupan sehari-hari selama tiga tahun ini. Hawa orangnya jujur, cantik, telaten dan sabar, jadi Garry sangat menyukainya. Tapi sayangnya, tawaran Garry tidak pernah diterima Hawa.
Kini Garry membantu Hawa untuk memesankan tiket pesawat agar Hawa segera kembali ke Indonesia. Tidak lupa juga dia mentransfer sejumlah uang sebagai tanda terimakasih.
***
Hari ini Maritsa pulang ke rumah dengan taksi online. Berkat dokter dan suster yang merawatnya, dia bisa kembali pulang. Di rumah tiara masih sepi karena tidak ada seorang pun yang tau kejadian itu.
Insiden itu seperi lenyap seketika bahkan tidak ada satu media pun yang meliput.
"Mungkin saja keluarga Fiona sudah menutup rapat kejadian itu. Keluarga mereka sangat berpengaruh. Pasti mereka juga tak ingin aib ini jadi konsumsi publik." Maritsa bergumam pelan. Dia bersyukur atas apa yang dilakukan keluarga Fiona, semoga aib ini akan tertutup rapat selamanya.
Maritsa ingin sekali pergi ke rumah mertuanya dan ke pemakaman suaminya. Tapi tenaganya benar-benar terkuras habis dan dia harus beristirahat.
Dia segera ijin ke Bosnya lewat telpon untuk mengambil cuti 5 hari dan mengabarkan kalau suaminya sudah meninggal. Dia juga mengabarkan kondisinya di grup kantor, sontak semua rekan kerja nya sangat terkejut mendengan kabar itu karena memang tidak ada satu pun berita yang berseliweran di media.
***
Keesokan harinya, Hawa datang. Tiara langsung memeluk erat Bu Lek nya itu dan menangis sejadi-jadinya. Dia tumpahkan seluruh air matanya agar hatinya lega. Hawa yang enggan bertanya satu kata pun hanya bisa mengusap lembut punggung ponakan satu-satunya itu.
Setelah dirasa Maritsa sudah tenang, Hawa memberikannya air putih.
"Maaf ya Bu Lek, hausnya aku yang menyuguhkan minuman ke Bu Lek. ini malah kebalik." Maritsa Tersenyum getir menatap Hawa.
"Sudahlah Nduk, tidak apa-apa. Yang penting kamu lega. Ingat pesan Bu Lek. sedih boleh, tapi kamu harus tetap ikhlas. Ada janin yang harus kamu jaga, jadi kamu harus kuat." Ucap Hawa sambil mengusap air mata Maritsa.
Dia berjanji akan menjaga Maritsa di sisa hidupnya. Ini saatnya dia membalas budi kebaikan kakaknya yang dulu merawat Hawa sampai besar. Bahkan Hawa berhutang budi kepada mendiang orang tua Maritsa karena sudah menolongnya dari mantan suaminya yang ingin menganiayanya.
Mereka mengobrol dan bertukar cerita untuk melepas kangen setelah 8 tahun tidak bertemu hingga keduanya terlelap dalam mimpi karena kelelahan.
Keesokan harinya, Maritsa dan Hawa menuju rumah mertua dan pemakaman Zafran.
"Assalamualaikum Ma, maafkan Maritsa baru bisa kesini sekarang." Dia menangis dan memeluk Mona, mertuanya.
"Tidak apa-apa nak, Mama mengerti. Mama juga minta maaf sama atas apa yang Zafran lakukan. Mama sungguh malu sama kamu Nak. Mama minta maaf juga karena tidak bisa menjaga kamu di rumah sakit. Mama sibuk mengurus jenazah Zafran. Tamu di rumah juga semakin banyak yang berdatangan, tidak mungkin Mama meninggalkan mereka. Ya sudah ayo masuk dulu Nak. Mari Jeng Hawa silahkan duduk."
Ketika masuk kerumah Zafran sorot mata Zetta, kakak ipar Maritsa menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Terlihat dia sangat membenci Maritsa. Tapi dia tidak mau berfikiran terlalu jauh. Dia langsung duduk dan ikut menerima tamu disana.
Setelah terlihat tamu sudah mulai sepi, Maritsa masuk ke kamar milik Zafran. Sedangkan Mona dan Hawa masih berkutat di dapur.
Maritsa membaringkan tubuhnya di kasur yang empuk itu, kasur yang sudah lama tidak dihuni karena Zafran sudah berpindah ke rumah barunya dengan Maritsa. Diraihnya foto Zafran semasa muda yang dipajang di atas nakas. Dipandanginya lekat-lekat foto mendiang suaminya itu. Seketika air matanya langsung menetes.
"Sayang, aku tau kamu berbuat salah. Bahkan sampai saat ini aku tidak tahu kejadian yang sebenarnya seperti apa. Tapi aku yakin itu semua bukan sepenuhnya salah kamu. Biarkan rasa sakit ini aku pendam sendiri. Semoga kamu bahagia di surga. Mungkin ini memang takdir kamu dan Fiona yang sudah digariskan Tuhan untuk bersama. Aku akan menjaga jagoan kecil kita sepenuh hati." Maritsa benar-benar ikhlas demi kewarasannya walau pun itu sulit.
Namun beberapa saat, pintu kamar Zafran dibuka seseorang. Maritsa langsung menoleh dan mengusap air matanya dengan cepat.
Zetta, kakak Zafran itu langsung masuk dan segera menutup kembali pintu kamar Zafran.
"Kamu senang kan akhirnya Zafran Mati? Kamu juga bisa menguasai uang adik ku sepenuhnya. Gara-gara kamu gak becus melayani adikku, sampai-sampai dia pergi dengan wanita lain. Gara-gara kamu juga, Zafran jadi pelit sama aku. Dasar benalu!! Kenapa dulu Zafran gak nikah aja sama Fiona yang sudah jelas kaya raya." Tatapan Zetta seaakan menghunus mata Maritsa.
"Astaghfirullah Kak, kenapa kak Zetta bicara seperti itu?."
"Halah! Jangan pura-pura sedih! Aku udah tau semua kebusukanmu. Aku pastikan hidup kamu setelah ini akan lebih menderita.!!!" Zetta pergi meninggalkan Maritsa yang mematung seorang diri.
"Ya Allah, kenapa kak Zetta terus membenciku? Apa salahku?" Maritsa kembali menangis dan meratapi nasibnya sambil mengusap foto mendiang suaminya itu.
Bagaimana kelanjutan hidup Maritsa tanpa suami dengan bayang-bayang kebencian kakak iparnya itu? Ikuti kisah Maritsa terus ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
𝐈𝐬𝐭𝐲
yg sabar Maritsa dan jadi wanita yg kuat..
2024-03-30
2