Rasa Yang Hilang
~Mengapa sesuatu seakan memaksaku untuk terus memikirkan mu, apa ini yang disebut gerakan takdir?
Pov Agra.
"Aku ke sini cuma un--"
Bruk! Aku didorong kebelakang dan mataku serasa bergulir melihat langit.
"Tuk..."
Dalam sekejap aku terlentang dengan bokong yang terasa sakit dan kepala yang sedikit terbentur dengan lantai.
Sedikit kumeringis beberapa saat hingga tersadar saat seseorang kegirangan di atas tubuhku.
"Yey, aku belasil nangkap, kak Oli."
"Claudya." Olivia yang berjalan beriringan denganku sadari tadi memekik dengan nada rendah. "Buka matamu dan lihat siapa yang kau lompati."
Ku tatapi datar anak kecil yang sadari tadi menutup mata dan kini ia membukanya.
Mata itu berkedip-kedip memandangku. "Eh, Katak siapa?"
"Cepat turun dari tubuh kakak itu," suruh Olivia.
Namun anak kecil itu masih bingung hingga membuatku menghela napas untuk meredakan kekesalan karena kelemotannya. Aku pun memasukkan dua tanganku dalam ketiaknya, kemudian aku mengangkatnya sembari bangun untuk duduk dan membawanya ke samping. Barulah aku berdiri dan menepuk beberapa bagian pakaian ku.
"Apa kau terluka Agra?" tanya Olivia.
"Enggak." Aku pun berjalan duluan meninggalkan mereka. Yang mana masih terdengar suara Olivia yang menasehati anak perempuan kecil itu.
.
.
.
.
"Selanjutnya tinggal balutkan dengan kertas kado, baru jadi," jelas Olivia.
Ku ambil kotaknya dan ku putar hingga kotak berputar untuk beberapa saat. "Bagus," pujianku yang menerbitkan senyum Olivia dan jangan lupakan pipinya yang memerah itu.
"A-aku ambil cemilan dulu ya." Tanpa menunggu aku bereaksi, Olivia langsung pergi. Aku hanya memandanginya yang berlari sesaat menuju dapur.
Aku menghela napas. "Hais, naik kelas dua sudah di suruh kerja kelompok."
"Yeey."
Suara itu mengalihkan ku. Melihat anak kecil yang bahagia memandangi mata pensilnya miliknya sudah runcing yang kemudian secepat kilat diarahkan pada pergelangan tangannya.
Apa?
Mataku terbelalak.
Apa yang terjadi?
Segera ku hampiri adik Olivia yang menangis hebat melihat tangannya yang mengeluarkan darah.
"Akit...."
Aku, tanpa pikir panjang mencabut pensil tersebut. Berlari ke meja sofa dan mengambil tisu di sana dan menutup luka agar darahnya tak keluar lebih banyak lagi.
"OLIVIA!"
Ku lihat orang yang ku teriaki menyahut ku sambil berlari.
"Ada apa, Agra? Hah, Claudya!"
Untunglah, Olivia adalah gadis pintar. Dia langsung mendekati telepon dan menyuruh dokter kemari.
"Cepat ya, Dokter."
Ku pandangi anak kecil yang bernama Claudya itu lagi. Dia tidak menangis lagi dan kini terdiam dengan pandangan ke bawah.
Butuh beberapa menit sampai dokter datang dan menangani Claudya.
Aku berdiri sambil bersilang tangan di dada memperhatikannya. Disamping ku ada Olivia yang terus menangis.
"Syukurlah, penanganannya cepat dilakukan sehingga nona Claudya tidak kehilangan banyak darah." Dokter menjelaskan sambil mengusap kepala anak kecil itu.
Mendengarnya, Olivia pun berhenti menangis dan mengucapkan beribu syukur. Sedangkan aku? Sama juga. Ku pandangi si kecil yang tak sadari tadi tetap tak mengangkat wajahnya.
"Tolong awasi nona Claudya. Di masa kecil begini perasaannya masih bisa dikendalikan, jadi berilah perhatikan lebih."
Olivia mengangguk. "Baik, Dokter." Dia menghampiri Claudya dan memeluk anak kecil itu. Dan memberikan nasehat-nasehat padanya. "Jangan lakuin lagi ya."
Hanya sebatas itu, dan aku memutuskan untuk pulang.
"Sisanya biar aku yang kerjakan, jadi Agra enggak perlu ke sini lagi," kata Olivia.
Tumben. Tapi itu tak membuatku penasaran, justru aku merasa senang hingga membuatku mengangguk tanpa ragu.
Ku lirik anak kecil anak kecil yang digandeng Olivia. Anehnya, dia tersenyum padaku setelah kejadian yang dilakukannya. Sedikit menggangguku, tapi aku tidak peduli.
Hingga....
Ada hari yang membuatku kembali ke rumah itu.
"Kesal sekali rasanya. Bisa-bisa aku ketinggalan hadiah ibu untuk Aprilia di rumah Olivia."
Karena alasan itulah membuatku kembali keesokan harinya.
Namun entah bagaimana sosok anak kecil kemarin memberhentikan langkahku. Dia berdiri di atas kursi panjang di halaman dan menjatuhkan diri.
Tunggu!
Sontak aku berlari dan menangkapnya. Tubuhku terseret lantai halaman cukup keras karena menjatuhkan diri untuk menangkapnya di detik terakhir. Tidak peduli pada sakit dan lebih dulu mengkhawatirkan sosok yang ku tangkap dengan mendudukkan diriku langsung.
"Ada luka?" tanyaku sedikit ngegas.
Entengnya dia menggeleng membuatku jadi kesal.
"Kenapa melompat dari kursi?"
"Pengen lihat lantai." Dia tersenyum.
Apa?
Cuma gara-gara itu?
Rasanya ingin mengeluarkan tanduk dari kepala, namun aku berkepala dingin sehingga yang kulakukan cuma berdiri dan menggendongnya di ketiakku. Dia biasa saja saat kubawa masuk dalam keadaan sama.
"Nah, adikmu. Jaga baik-baik, dia membuatku sakit kepala." Ku serahkan pada Olivia yang langsung menggendongnya.
"Apa Claudya mengacau lagi, Agra?" tanya Olivia menyentuh hidup kecil anak itu yang membuat anak itu tertawa.
Aku kesal. Bisa-bisa ia tertawa setelah menyusahkan orang. "Hei, dari mana kau menemukan anak itu."
"Claudya ya? Papa membawanya pulang dua Minggu lalu. Dan sekarang Claudya bagian dari keluargaku," jawab Olivia.
"Berapa umurnya?"
"Empat tahun."
Empat tahun, tapi sudah punya keinginan melukai diri.
Sudahlah, bukan urusanku juga.
Aku mengambil paper bag di atas meja dan pergi begitu saja setelah melihat lambaian tangan dan senyum ceria dari anak itu.
Ternyata dua kejadian yang kulihat meninggalkan bekas di kepalaku sampai aku tak bisa tidur dan terus kepikiran sambil duduk atas kasur.
Apa anak kecil melakukannya lagi?"
Ku pandangi pintu mendengar suaranya terbuka dan sosok familiar yang muncul dibaliknya dan melangkah padaku.
"Kenapa ibu ke kamarku malam-malam?"
Ibuku meletakkan nampan di nakas dan duduk di kasur. Mengambil susu dan menyerahkannya padaku.
"Sadari makan malam ibu lihat kau melamun dan sekarang nggak bisa tidur, anak ibu kenapa?"
Aku menerimanya. "Bukan hal penting." Meminumnya setengah dan meletakkannya kembali pada nampan.
"Benarkah?"
"Ya." Aku mengangguk yakin.
"Baiklah, ibu nggak maksa. Tapi Agra taukan bisa menceritakan pada ibu apa saja."
Aku mengangguk.
Aku memang bukan orang yang suka bercerita apalagi hal yang menurutku sama sekali enggak penting.
"Ibu keluar ya."
Lagi, aku mengangguk. Dan ibu pun semakin tak terlihat seiring tertutup pintu.
Namun apa yang aku pikirkan ternyata terus menggerogoti ku, hingga aku tak bisa menahan diri ketika mendengar anak kecil itu mencoba meraih pisau atas dapur dari sopir yang menjemput Olivia.
"Untungnya pisaunya tidak jatuh ke kepala Nona."
Aku menawar diri untuk datang ke rumah Olivia yang selama ini selalu ku tolak undangan dari sang pemilik rumah.
"Hei, anak kecil!"
Ternyata pekikan ku membuat sosok yang ku maksud tersentak hingga membuatnya salah langkah saat menuruni tangga.
Lagi, tapi kali ini entah karena keinginannya atau salahku yang berteriak sampai mengejutkannya.
Aku berlari dan menangkapnya agar tak terperosok terlalu jauh.
"Kau anak kecil yang merepotkan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments