~Setiap waktu yang aku habiskan bersamamu menciptakan berbagai rasa hadir dalam diriku, namun semuanya tak lebih banyak dari rasa bahagia.
🌸🌸🌸
Ku elus punggungnya yang pasti sakit karena terantuk tangga.
Dia menangis, namun tangisan setelah mendengar kata-kataku. Dan entah bagaimana intuisi membuatnya memeluk leherku hingga membuatku membeku.
"Dya hiks, melepotkan, ya Dya hiks, melepotkan."
Ucapanku membuat dia menangis, bukan karena kesakitan akibat terperosok dari tangga?
Ku usap rambut pendeknya.
Dia kesakitan tapi bukan raganya melainkan hatinya.
Entah apa yang terjadi pada anak sekecil ini, tapi satu yang pasti.
Aku merasakan sesuatu.
Sesuatu rasa ingin memberikan kenyamanan bagi seseorang dari luar lingkaran tanganku. Perasaan ingin melindungi dari bahaya di luar pelukanku.
Sungguh, di umur tujuh tahun aku tak percaya mengatakan sesuatu yang tak sesuai usiaku.
Dan benar-benar terperangkap dengan perasaan itu dimana aku selalu mengunjunginya, menemaninya di dunia yang awalnya kukira sangat sempit.
Aku bermain bersamanya....
"Lihat, kak. Aku gambarin kakak di samping Dya."
Aku melihatnya dan tanpa sadar tersenyum melihat dua sosok yang di gambarnya sedang bergandengan tangan.
Makan bersama....
"Kau suka makan ya?" Melihatnya yang mengunakan kedua tangannya untuk menyantap ayam goreng.
Dia cuma mengangguk dan melanjutkan makannya dengan lahap.
Memandikannya....
Claudya met ciprat air ke arahku, dan aku tak bisa bermuka masam lagi karena udah keseringan. Justru aku senang dengan raut bahagianya.
Dia yang berada dalam bathtub kecil benar-benar keasikan.
Dan menemaninya tidur.
Aku tertawa kecil. "Bagaimana bisa mulutnya meniup saat tertidur."
Posisiku saat ini terbaring sambil menopang kepala, sedang tangan satunya mengusap rambutnya.
Mataku bergulir menatap sekeliling kamarnya yang dipenuhi boneka, namun yang menarik perhatianku adalah laptop di atas meja.
Keningku mengkerut, lantas aku turun dari kasur secara perlahan agar si kecil tidak terbangun dan menghampiri laptop tersebut.
"Kenapa ada laptop di kamar anak-anak?"
Derit pintu membuatku berpaling dan melihat Olivia yang berjalan ke arahku.
"Kenapa ada laptop di kamar Claudya?"
"Itu karena Claudya suka nonton film negara bagian timur. Kau mau lihat." Lantas Olivia membuka laptop dan mengaktifkannya. Memperlihatkan padaku sebuah vidio.
"Ini film yang sering Claudya nonton."
Matanya ku terbelalak melihat alur film yang sering ditonton anak kecil itu. Suara perempuan yang berteriak frustasi, pemandangan laki-laki tanpa belas kasih memotong-motong tubuh orang lain, teriakan orang-orang yang berselisih.
Inikah film yang Claudya nonton. Kebanyakan isinya menyakiti diri sendiri dengan melakukan self harm.
Dengan perasaan marah aku mengambil vas keramik di sampingnya dan menghancurkan laptopnya dengan itu.
Prang!
Olivia memekik dan Claudya yang mendengar keributan pun ikut terbangun.
"Kak Oli, ada apa?" Dia berusaha turun dari kasur untuk menghampiri kakaknya.
"Pantas saja Claudya menyakiti diri sendiri, tontonan yang dilihatnya saja seperti ini!" teriakku pada Olivia.
"A-aku gak tahu. Ku-kupikir karena Claudya menyukainya, jadi gak masalah."
Olivia ketakutan, aku tau itu. Dia sampai memejam mata dan menutup telinga saking takutnya dengan aku sekarang, namun entah bagaimana tak timbul rasa kasihan pada dirinya yang seperti ini.
"Hanya karena Claudya menyukainya, bukan berarti boleh! Kau kakaknya 'kan? Harusnya tahu yang terbaik buat Claudya!"
"Sudah, kak Aga." Claudya datang dan berdiri di hadapan Olivia.
Aku menunduk agar dapat melihatnya.
"Jangan marah sama kak Oli."
Aku pun menggendongnya meskipun awalnya kesulitan karena Claudya memberontak.
"A-agra, aku...."
Aku berpaling menuju kasur dan membaringkannya Claudya di sana. "Tidur lagi ya?"
"Enggak, Dya gak ngantuk lagi. Kak Oli sini ya." Ia berkata sambil duduk dan mengulurkan tangannya pada Olivia.
Awalnya Olivia berniat menghampiri, namun tatapanku yang mengandung arti menahan langkahnya. "Gak papa, Dya. Kakak keluar ya, Dya di sini sama kak Agra aja."
"Tapi aku maunya sama, Kakak."
Sontak perkataannya mengalihkan pandanganku. Seiring dengan dadaku yang terasa dicubit menjadikan keningku mengkerut.
Dia lebih memilih bersama Olivia dari padaku?
Baik, yang aku rasakan pastilah perasaan kesal. Aku memberengut padanya.
"Sama saja 'kan, kak Agra juga kakaknya Dya. Tetap jadi anak baik ya," ucap Olivia tersenyum.
Kakak?
Kakaknya Claudya?
Benarkah peranku sekarang adalah kakak bagi Claudya?
Dan apakah perasaan yang aku rasakan ini adalah perasaan seorang kakak terhadap adik yang disayanginya.
"Baik." Claudya menunduk.
Barulah Olivia dengan kaki yang bergetar meninggalkan kamar Claudya.
Dan apa ini?
Claudya memberikan tatapan tajam padaku dengan mata bulatnya.
Yang benar saja.
Meskipun terlihat lucu, namun aku tak menyukainya.
Claudya berbaring dan menarik selimut hingga kepalanya tak terlihat.
Aku menghela napas. Selanjutnya menepuk bagian kepalanya agar kembali tidur, baru setelahnya aku pulang.
Sore hari.
Pertama kali terbuka pintu utama sudah berdiri sosok kedua dari pasangan Rangga-Amelia Pratama di hadapanku. Ya, adikku, Aprilia Pratama. Usianya baru dua tahun, lima tahun berbeda denganku.
Dia merentangkan tangannya mengisyaratkan padaku untuk menggendong.
Aku menghela napas, tapi ku turuti kemauannya dalam keterpaksaan. Tak mungkin 'kan kubiarkan adikku berjalan tertatih-tatih ke kamarku yang berada di lantai dua.
Memasuki kamarku, ku letakkan Aprilia di lantai. "Jangan kemana-mana, aku mau mandi."
Jadinya aku meninggalkannya dalam ruangan luas yang ku sebut kamar selama beberapa menit untuk membersihkan diri.
Aku keluar seraya mengeringkan rambutku dengan handuk. Berpaling pada ketukan pintu yang memperlihatkan ibuku.
"Aprilia bersamamu 'kan? Di mana dia?"
"Dia di.... Sana." Baiklah, ke mana bocah itu.
"Di sana di mana?" tanya ibu.
"Di sini." Aku berjalan ke tempat meletakkannya tadi. "Aku meletakkannya di sini."
"Meletakkannya? Kau pikir adikmu itu barang? Bagaimana bisa kau membiarkannya tanpa pengawasan?" ucap ibuku agar bernada tinggi.
"Aku sudah menyuruhnya untuk gak kemana-mana," balasku tak ingin disalahkan.
"Kau pikir anak berumur dua paham arti kata suruh? Aprilia! Aprilia!"
Hingga suara tawa terdengar. Ibu langsung mengintip di bawah kasur dan ternyata benar ada Aprilia di sana.
"Syukurlah. April, anaknya ibu sini," kata ibu merentangkan tangan di bawah ranjang. "Ayo, sini sayang."
Namun tawanya lah terdengar menandakan masalah belum selesai. Lantas ibu meraba-raba dan begitu mendapatkan kakiku.
Eh!
Ibu menariknya.
Bruk! Tubuhku terhantam lantai.
"Aww, ibu."
"Syut, cepat masuk ke dalam dan keluarkan adikmu."
"Gak, nanti April keluar sendiri."
Ku elus bagian tubuhku yang nyeri dan ibu tak peduli. Ternyata ada yang lebih merepotkan dari Claudya dan itu adikku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments