~Mengapa sesuatu seakan memaksaku untuk terus memikirkan mu, apa ini yang disebut gerakan takdir?
Pov Agra.
"Aku ke sini cuma un--"
Bruk! Aku didorong kebelakang dan mataku serasa bergulir melihat langit.
"Tuk..."
Dalam sekejap aku terlentang dengan bokong yang terasa sakit dan kepala yang sedikit terbentur dengan lantai.
Sedikit kumeringis beberapa saat hingga tersadar saat seseorang kegirangan di atas tubuhku.
"Yey, aku belasil nangkap, kak Oli."
"Claudya." Olivia yang berjalan beriringan denganku sadari tadi memekik dengan nada rendah. "Buka matamu dan lihat siapa yang kau lompati."
Ku tatapi datar anak kecil yang sadari tadi menutup mata dan kini ia membukanya.
Mata itu berkedip-kedip memandangku. "Eh, Katak siapa?"
"Cepat turun dari tubuh kakak itu," suruh Olivia.
Namun anak kecil itu masih bingung hingga membuatku menghela napas untuk meredakan kekesalan karena kelemotannya. Aku pun memasukkan dua tanganku dalam ketiaknya, kemudian aku mengangkatnya sembari bangun untuk duduk dan membawanya ke samping. Barulah aku berdiri dan menepuk beberapa bagian pakaian ku.
"Apa kau terluka Agra?" tanya Olivia.
"Enggak." Aku pun berjalan duluan meninggalkan mereka. Yang mana masih terdengar suara Olivia yang menasehati anak perempuan kecil itu.
.
.
.
.
"Selanjutnya tinggal balutkan dengan kertas kado, baru jadi," jelas Olivia.
Ku ambil kotaknya dan ku putar hingga kotak berputar untuk beberapa saat. "Bagus," pujianku yang menerbitkan senyum Olivia dan jangan lupakan pipinya yang memerah itu.
"A-aku ambil cemilan dulu ya." Tanpa menunggu aku bereaksi, Olivia langsung pergi. Aku hanya memandanginya yang berlari sesaat menuju dapur.
Aku menghela napas. "Hais, naik kelas dua sudah di suruh kerja kelompok."
"Yeey."
Suara itu mengalihkan ku. Melihat anak kecil yang bahagia memandangi mata pensilnya miliknya sudah runcing yang kemudian secepat kilat diarahkan pada pergelangan tangannya.
Apa?
Mataku terbelalak.
Apa yang terjadi?
Segera ku hampiri adik Olivia yang menangis hebat melihat tangannya yang mengeluarkan darah.
"Akit...."
Aku, tanpa pikir panjang mencabut pensil tersebut. Berlari ke meja sofa dan mengambil tisu di sana dan menutup luka agar darahnya tak keluar lebih banyak lagi.
"OLIVIA!"
Ku lihat orang yang ku teriaki menyahut ku sambil berlari.
"Ada apa, Agra? Hah, Claudya!"
Untunglah, Olivia adalah gadis pintar. Dia langsung mendekati telepon dan menyuruh dokter kemari.
"Cepat ya, Dokter."
Ku pandangi anak kecil yang bernama Claudya itu lagi. Dia tidak menangis lagi dan kini terdiam dengan pandangan ke bawah.
Butuh beberapa menit sampai dokter datang dan menangani Claudya.
Aku berdiri sambil bersilang tangan di dada memperhatikannya. Disamping ku ada Olivia yang terus menangis.
"Syukurlah, penanganannya cepat dilakukan sehingga nona Claudya tidak kehilangan banyak darah." Dokter menjelaskan sambil mengusap kepala anak kecil itu.
Mendengarnya, Olivia pun berhenti menangis dan mengucapkan beribu syukur. Sedangkan aku? Sama juga. Ku pandangi si kecil yang tak sadari tadi tetap tak mengangkat wajahnya.
"Tolong awasi nona Claudya. Di masa kecil begini perasaannya masih bisa dikendalikan, jadi berilah perhatikan lebih."
Olivia mengangguk. "Baik, Dokter." Dia menghampiri Claudya dan memeluk anak kecil itu. Dan memberikan nasehat-nasehat padanya. "Jangan lakuin lagi ya."
Hanya sebatas itu, dan aku memutuskan untuk pulang.
"Sisanya biar aku yang kerjakan, jadi Agra enggak perlu ke sini lagi," kata Olivia.
Tumben. Tapi itu tak membuatku penasaran, justru aku merasa senang hingga membuatku mengangguk tanpa ragu.
Ku lirik anak kecil anak kecil yang digandeng Olivia. Anehnya, dia tersenyum padaku setelah kejadian yang dilakukannya. Sedikit menggangguku, tapi aku tidak peduli.
Hingga....
Ada hari yang membuatku kembali ke rumah itu.
"Kesal sekali rasanya. Bisa-bisa aku ketinggalan hadiah ibu untuk Aprilia di rumah Olivia."
Karena alasan itulah membuatku kembali keesokan harinya.
Namun entah bagaimana sosok anak kecil kemarin memberhentikan langkahku. Dia berdiri di atas kursi panjang di halaman dan menjatuhkan diri.
Tunggu!
Sontak aku berlari dan menangkapnya. Tubuhku terseret lantai halaman cukup keras karena menjatuhkan diri untuk menangkapnya di detik terakhir. Tidak peduli pada sakit dan lebih dulu mengkhawatirkan sosok yang ku tangkap dengan mendudukkan diriku langsung.
"Ada luka?" tanyaku sedikit ngegas.
Entengnya dia menggeleng membuatku jadi kesal.
"Kenapa melompat dari kursi?"
"Pengen lihat lantai." Dia tersenyum.
Apa?
Cuma gara-gara itu?
Rasanya ingin mengeluarkan tanduk dari kepala, namun aku berkepala dingin sehingga yang kulakukan cuma berdiri dan menggendongnya di ketiakku. Dia biasa saja saat kubawa masuk dalam keadaan sama.
"Nah, adikmu. Jaga baik-baik, dia membuatku sakit kepala." Ku serahkan pada Olivia yang langsung menggendongnya.
"Apa Claudya mengacau lagi, Agra?" tanya Olivia menyentuh hidup kecil anak itu yang membuat anak itu tertawa.
Aku kesal. Bisa-bisa ia tertawa setelah menyusahkan orang. "Hei, dari mana kau menemukan anak itu."
"Claudya ya? Papa membawanya pulang dua Minggu lalu. Dan sekarang Claudya bagian dari keluargaku," jawab Olivia.
"Berapa umurnya?"
"Empat tahun."
Empat tahun, tapi sudah punya keinginan melukai diri.
Sudahlah, bukan urusanku juga.
Aku mengambil paper bag di atas meja dan pergi begitu saja setelah melihat lambaian tangan dan senyum ceria dari anak itu.
Ternyata dua kejadian yang kulihat meninggalkan bekas di kepalaku sampai aku tak bisa tidur dan terus kepikiran sambil duduk atas kasur.
Apa anak kecil melakukannya lagi?"
Ku pandangi pintu mendengar suaranya terbuka dan sosok familiar yang muncul dibaliknya dan melangkah padaku.
"Kenapa ibu ke kamarku malam-malam?"
Ibuku meletakkan nampan di nakas dan duduk di kasur. Mengambil susu dan menyerahkannya padaku.
"Sadari makan malam ibu lihat kau melamun dan sekarang nggak bisa tidur, anak ibu kenapa?"
Aku menerimanya. "Bukan hal penting." Meminumnya setengah dan meletakkannya kembali pada nampan.
"Benarkah?"
"Ya." Aku mengangguk yakin.
"Baiklah, ibu nggak maksa. Tapi Agra taukan bisa menceritakan pada ibu apa saja."
Aku mengangguk.
Aku memang bukan orang yang suka bercerita apalagi hal yang menurutku sama sekali enggak penting.
"Ibu keluar ya."
Lagi, aku mengangguk. Dan ibu pun semakin tak terlihat seiring tertutup pintu.
Namun apa yang aku pikirkan ternyata terus menggerogoti ku, hingga aku tak bisa menahan diri ketika mendengar anak kecil itu mencoba meraih pisau atas dapur dari sopir yang menjemput Olivia.
"Untungnya pisaunya tidak jatuh ke kepala Nona."
Aku menawar diri untuk datang ke rumah Olivia yang selama ini selalu ku tolak undangan dari sang pemilik rumah.
"Hei, anak kecil!"
Ternyata pekikan ku membuat sosok yang ku maksud tersentak hingga membuatnya salah langkah saat menuruni tangga.
Lagi, tapi kali ini entah karena keinginannya atau salahku yang berteriak sampai mengejutkannya.
Aku berlari dan menangkapnya agar tak terperosok terlalu jauh.
"Kau anak kecil yang merepotkan."
~Setiap waktu yang aku habiskan bersamamu menciptakan berbagai rasa hadir dalam diriku, namun semuanya tak lebih banyak dari rasa bahagia.
🌸🌸🌸
Ku elus punggungnya yang pasti sakit karena terantuk tangga.
Dia menangis, namun tangisan setelah mendengar kata-kataku. Dan entah bagaimana intuisi membuatnya memeluk leherku hingga membuatku membeku.
"Dya hiks, melepotkan, ya Dya hiks, melepotkan."
Ucapanku membuat dia menangis, bukan karena kesakitan akibat terperosok dari tangga?
Ku usap rambut pendeknya.
Dia kesakitan tapi bukan raganya melainkan hatinya.
Entah apa yang terjadi pada anak sekecil ini, tapi satu yang pasti.
Aku merasakan sesuatu.
Sesuatu rasa ingin memberikan kenyamanan bagi seseorang dari luar lingkaran tanganku. Perasaan ingin melindungi dari bahaya di luar pelukanku.
Sungguh, di umur tujuh tahun aku tak percaya mengatakan sesuatu yang tak sesuai usiaku.
Dan benar-benar terperangkap dengan perasaan itu dimana aku selalu mengunjunginya, menemaninya di dunia yang awalnya kukira sangat sempit.
Aku bermain bersamanya....
"Lihat, kak. Aku gambarin kakak di samping Dya."
Aku melihatnya dan tanpa sadar tersenyum melihat dua sosok yang di gambarnya sedang bergandengan tangan.
Makan bersama....
"Kau suka makan ya?" Melihatnya yang mengunakan kedua tangannya untuk menyantap ayam goreng.
Dia cuma mengangguk dan melanjutkan makannya dengan lahap.
Memandikannya....
Claudya met ciprat air ke arahku, dan aku tak bisa bermuka masam lagi karena udah keseringan. Justru aku senang dengan raut bahagianya.
Dia yang berada dalam bathtub kecil benar-benar keasikan.
Dan menemaninya tidur.
Aku tertawa kecil. "Bagaimana bisa mulutnya meniup saat tertidur."
Posisiku saat ini terbaring sambil menopang kepala, sedang tangan satunya mengusap rambutnya.
Mataku bergulir menatap sekeliling kamarnya yang dipenuhi boneka, namun yang menarik perhatianku adalah laptop di atas meja.
Keningku mengkerut, lantas aku turun dari kasur secara perlahan agar si kecil tidak terbangun dan menghampiri laptop tersebut.
"Kenapa ada laptop di kamar anak-anak?"
Derit pintu membuatku berpaling dan melihat Olivia yang berjalan ke arahku.
"Kenapa ada laptop di kamar Claudya?"
"Itu karena Claudya suka nonton film negara bagian timur. Kau mau lihat." Lantas Olivia membuka laptop dan mengaktifkannya. Memperlihatkan padaku sebuah vidio.
"Ini film yang sering Claudya nonton."
Matanya ku terbelalak melihat alur film yang sering ditonton anak kecil itu. Suara perempuan yang berteriak frustasi, pemandangan laki-laki tanpa belas kasih memotong-motong tubuh orang lain, teriakan orang-orang yang berselisih.
Inikah film yang Claudya nonton. Kebanyakan isinya menyakiti diri sendiri dengan melakukan self harm.
Dengan perasaan marah aku mengambil vas keramik di sampingnya dan menghancurkan laptopnya dengan itu.
Prang!
Olivia memekik dan Claudya yang mendengar keributan pun ikut terbangun.
"Kak Oli, ada apa?" Dia berusaha turun dari kasur untuk menghampiri kakaknya.
"Pantas saja Claudya menyakiti diri sendiri, tontonan yang dilihatnya saja seperti ini!" teriakku pada Olivia.
"A-aku gak tahu. Ku-kupikir karena Claudya menyukainya, jadi gak masalah."
Olivia ketakutan, aku tau itu. Dia sampai memejam mata dan menutup telinga saking takutnya dengan aku sekarang, namun entah bagaimana tak timbul rasa kasihan pada dirinya yang seperti ini.
"Hanya karena Claudya menyukainya, bukan berarti boleh! Kau kakaknya 'kan? Harusnya tahu yang terbaik buat Claudya!"
"Sudah, kak Aga." Claudya datang dan berdiri di hadapan Olivia.
Aku menunduk agar dapat melihatnya.
"Jangan marah sama kak Oli."
Aku pun menggendongnya meskipun awalnya kesulitan karena Claudya memberontak.
"A-agra, aku...."
Aku berpaling menuju kasur dan membaringkannya Claudya di sana. "Tidur lagi ya?"
"Enggak, Dya gak ngantuk lagi. Kak Oli sini ya." Ia berkata sambil duduk dan mengulurkan tangannya pada Olivia.
Awalnya Olivia berniat menghampiri, namun tatapanku yang mengandung arti menahan langkahnya. "Gak papa, Dya. Kakak keluar ya, Dya di sini sama kak Agra aja."
"Tapi aku maunya sama, Kakak."
Sontak perkataannya mengalihkan pandanganku. Seiring dengan dadaku yang terasa dicubit menjadikan keningku mengkerut.
Dia lebih memilih bersama Olivia dari padaku?
Baik, yang aku rasakan pastilah perasaan kesal. Aku memberengut padanya.
"Sama saja 'kan, kak Agra juga kakaknya Dya. Tetap jadi anak baik ya," ucap Olivia tersenyum.
Kakak?
Kakaknya Claudya?
Benarkah peranku sekarang adalah kakak bagi Claudya?
Dan apakah perasaan yang aku rasakan ini adalah perasaan seorang kakak terhadap adik yang disayanginya.
"Baik." Claudya menunduk.
Barulah Olivia dengan kaki yang bergetar meninggalkan kamar Claudya.
Dan apa ini?
Claudya memberikan tatapan tajam padaku dengan mata bulatnya.
Yang benar saja.
Meskipun terlihat lucu, namun aku tak menyukainya.
Claudya berbaring dan menarik selimut hingga kepalanya tak terlihat.
Aku menghela napas. Selanjutnya menepuk bagian kepalanya agar kembali tidur, baru setelahnya aku pulang.
Sore hari.
Pertama kali terbuka pintu utama sudah berdiri sosok kedua dari pasangan Rangga-Amelia Pratama di hadapanku. Ya, adikku, Aprilia Pratama. Usianya baru dua tahun, lima tahun berbeda denganku.
Dia merentangkan tangannya mengisyaratkan padaku untuk menggendong.
Aku menghela napas, tapi ku turuti kemauannya dalam keterpaksaan. Tak mungkin 'kan kubiarkan adikku berjalan tertatih-tatih ke kamarku yang berada di lantai dua.
Memasuki kamarku, ku letakkan Aprilia di lantai. "Jangan kemana-mana, aku mau mandi."
Jadinya aku meninggalkannya dalam ruangan luas yang ku sebut kamar selama beberapa menit untuk membersihkan diri.
Aku keluar seraya mengeringkan rambutku dengan handuk. Berpaling pada ketukan pintu yang memperlihatkan ibuku.
"Aprilia bersamamu 'kan? Di mana dia?"
"Dia di.... Sana." Baiklah, ke mana bocah itu.
"Di sana di mana?" tanya ibu.
"Di sini." Aku berjalan ke tempat meletakkannya tadi. "Aku meletakkannya di sini."
"Meletakkannya? Kau pikir adikmu itu barang? Bagaimana bisa kau membiarkannya tanpa pengawasan?" ucap ibuku agar bernada tinggi.
"Aku sudah menyuruhnya untuk gak kemana-mana," balasku tak ingin disalahkan.
"Kau pikir anak berumur dua paham arti kata suruh? Aprilia! Aprilia!"
Hingga suara tawa terdengar. Ibu langsung mengintip di bawah kasur dan ternyata benar ada Aprilia di sana.
"Syukurlah. April, anaknya ibu sini," kata ibu merentangkan tangan di bawah ranjang. "Ayo, sini sayang."
Namun tawanya lah terdengar menandakan masalah belum selesai. Lantas ibu meraba-raba dan begitu mendapatkan kakiku.
Eh!
Ibu menariknya.
Bruk! Tubuhku terhantam lantai.
"Aww, ibu."
"Syut, cepat masuk ke dalam dan keluarkan adikmu."
"Gak, nanti April keluar sendiri."
Ku elus bagian tubuhku yang nyeri dan ibu tak peduli. Ternyata ada yang lebih merepotkan dari Claudya dan itu adikku sendiri.
~Mencintaimu menjadikanku laki-laki yang punya impian.
...🌸🌸🌸...
Sudah beberapa hari aku tak mengunjungi rumah Olivia karena harus menemani ibu dan adikku di rumah disaat ayah sedang berada di negara Green Life.
Dan hari ini aku datang, melihatnya di balik pagar yang butuh waktu untuk terbuka. Claudya yang sedang tertawa dengan laki-laki lain halaman rumah.
Laki-laki lain?
Kenapa kalimat itu terasa berulang-ulang di kepalaku dan, dan tubuhku panas karena cuacanya yang terik hari ini.
Ya, karena itu.
"Claudya!"
Aku menghampiri terkesan buru-buru seraya merentangkan tangan dengan harapan melompat padaku seperti saat pertama kali bertemu. Namun harapan tetaplah menjadi harapan, Claudya hanya tersenyum dan menyapu seperti biasa.
"Kak Aga!"
Sontak kumasukkan satu tanganku dalam saku celana dan berdiri tegap. "Siapa dia?"
Claudya menunjukkan. "Ini kak Kevin, tetangga di sebelah rumah kami."
"Oh, tetangga." Mata biruku melirik Kevin yang tetap tersenyum.
"Iya, kak Kevin sering ke sini dan main sama Dya."
Dengan raut bahagia Claudya mengatakannya, dan itu sanggup memanaskan diriku di cuaca yang cerah ini.
"Kak Kevin juga membawakan coklat untuk Dya."
Pernyataan yang membuatku terasa ditampar dikarenakan tak pernah memberikan apapun pada Claudya.
Aku mengepal tanganku.
"Claudya banyak bicara juga ya." Tiba-tiba Kevin menyambut pembicaraan sambil mengelus kepala Claudya.
Tap!
Suara yang dikeluarkan akibat aku yang menepis tangannya. Aku tak peduli atas keterkejutannya. Lantas menggenggam tangan Claudya, membawanya ke sampingku.
Dia tertawa canggung seraya mengusap tekuknya. "Aku sok akrab ya, maaf Agra. Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan diri dengan lengkap ya."
Dia menjulurkan tangannya. "Kevin Albert, putra sulung Geral Albert. Agra pasti mengenalnya karena ayahku bekerja pada ayahnya Agra."
Aku melirik uluran tangan yang tidak ada niatan untuk ku sambut. "Anda-saya. Kosakata yang harus kau gunakan ketika berbicara denganku."
"Apa?" Dia bingung.
"Aku ini anak dari bos ayahmu lho. Tentunya kau harus menghormati ku seperti yang diberitahukan paman Geral, atau jangan-jangan paman sama sekali tidak memberitahumu?"
Oh, lihatlah wajahnya yang menahan murka. Aku sebenarnya tak bermaksud memusuhi mu, tapi kau duluan yang mendekati milikku.
Ku pandangi Claudya yang menatapku bingung. Aku tersenyum.
"Ma-maafkan saya yang sudah lancang." Dia menunduk.
"Tidak papa." Aku pun tersenyum tipis.
"Ah, Agra juga datang. Bagaimana ini, aku cuma bawa dua gelas minuman? Aku ambil lagi ya." Olivia baru bergabung dengan membawa nampan dan berniat masuk ke rumah lagi.
"Gak perlu, aku minum punya Claudya saja. Susu coklat ini 'kan?" Aku mengambil dan meminumnya di depan Claudya yang menatapku tak percaya.
"Kak Aga, itu punya Dya."
Lihatlah keningnya yang menyatu dan ekspresi cemberutnya. Benar-benar....
Aku berjongkok dan memberikannya. Dia kegirangan meminum minuman yang aku tinggalkan setengah. Aku tersenyum.
"Dan ini untukmu, Kevin." Olivia menyerahkan gelas satunya pada Kevin.
"Terima kasih." Kevin menerimanya disertai ekspresi bahagia berlebihan menurutku. Mukanya memerah jika diperhatikan baik-baik.
Oh, bibirku tertarik sebelah.
.
.
.
.
Aku mengetuk pintu sebelum memasuki kamar ayah, dan kulihat beliau sedang duduk di kursi sofa sambil mengerjakan pekerjaan di laptop. “Ayah.”
“Ada apa?” sahut ayahku. Beliau menepuk paha mengisyaratkan agar aku duduk di sana.
“Aku bukan anak kecil lagi.” Ku palingkan wajah pertanda ketidakmauan ku, namun keras kepalaku berasal dari ayahku yang langsung menarikku untuk duduk di pangkuannya.
Ku pandangi layar laptop yang memperlihatkan gambar gedung-gedung. “Apa ada proyek yang sedang ayah kerjakan?”
“Ada, kenapa?”
“Berapa banyak proyek yang mengharuskan ayah keluar negeri?”
“Kalau proyek yang mengharuskan ayah keluar negeri sepertinya ada empat.”
Empat ya?
Aku mengambil alih laptop ayah dan ku ketikkan jari-jariku di sana seiring berjalannya pikiranku yang dipenuhi ide-ide.
“Nah, ini.”
Ayah melihat layar yang kuhasilkan. “Kenapa dengan hotel kita di negara Night Eyes?”
“Aku tahu Ayah pekerja keras dan suka melakukan semuanya sendiri, tapi tanggung jawab Ayah terlalu banyak dan butuh bantuan orang lain. Jadi, aku berpikir lebih baik Ayah menugaskan seseorang kepercayaan untuk memimpin beberapa usaha Ayah di negara lain. Dengan begitu, Ayah gak perlu bolak-balik dari satu negara ke negara lainnya.”
Ayah tersenyum mendengar penjelasan ku. “Kau benar, tapi apa alasanmu tiba-tiba menyarankan ini?”
Alasan?
“Aku cuma khawatir sama Ayah.”
Sungguh, aku merasa perutku mual.
Sesuai dugaanku, ayah menatapku tak percaya. “Gak usah norak ya. Ayah tahu setiap perkataan dan perbuatan mu ada maksudnya.”
Iya.
“Tapi siapa yang mau kau kirim ke negara Night Eyes,” tanya Ayah.
“Paman Geral Albert.”
“Geral? Kenapa?”
"Aku dengar paman Geral ahli di bidang manejemen, tentunya mengurus hotel sangatlah cocok untuknya. Aku juga kasihan padanya yang harus berpindah-pindah negara karena urusan pekerjaan, sehingga tidak punya tempat khusus untuk ditinggali," jelas ku dengan ekspresi datar.
"Kau benar, tapi kenapa paman Geral? Padahal banyak bawahan Ayah yang bekerja seperti itu juga."
Aku melirik ayahku. Dapat ku pahami ayah mencurigai ku ditambah mulutnya yang menyeringai sambil menuturkan kalimatnya.
"Selain karena kondisi dan keahlian paman Geral memumpuni untuk mengurus bidang ini.... Alasan lainnya karena aku kenal paman Geral dan beliau dapat dipercaya. Terlebih-lebih aku kasihan pada anaknya yang harus homeschooling karena hanya bisa menetap beberapa hari di sekolah."
Aku memberi penjelasan detail hari ini dan berbicara panjang lebar, tapi ayah tetap tersenyum jahil begitu dan itu membuatku mulai kesal.
"Tapi, benarkah alasannya itu? Bukan karena anaknya Geral mendekati kekasih kecilmu untuk terlihat baik di depan Olivia 'kan?"
"Bukan."
Menjawab secara spontan karena sudah ku perkirakan ayah akan berpikir begitu. Jadi, aku bisa mengatur ekspresiku tetap tak berlebihan seperti biasanya.
Dan aku juga tahu selama ini ayah menempatkan bawahannya untuk menjagaku, sehingga tak mungkin informasi begini tak diketahuinya.
Aku pun turun dari pangkuan ayahku dan keluar dari kamar dengan gaya satu tangan di saku celana.
Keesokan harinya.
Aku menyaksikan Kevin yang berpamitan pada Olivia dan Claudya di depan rumahnya. Di melirik tajam ke arahku.
Oh tentu, aku sedang tidak menyembunyikan diri dibalik mobil yang terparkir di seberang jalan, malah dengan senang hati menurunkan kaca mobil dan tersenyum padanya.
Namun senyumanku luntur seiring dia yang mengusap kepala Claudya sambil tersenyum. Lebih-lebih lagi Claudya senang atas perlakuan dan menunjukkan raut cerah seperti biasa.
Aku menaikkan kaca mobil dan memutuskan tidak melihatnya lagi. Jika tidak, kepalaku ini akan memikirkan cara agar bekas sentuhannya itu menghilangkan, baik bekasan perlakuannya dan waktu yang dihabiskan untuk perbuatannya.
Aku tak mau memikirkan cara agar hal ini tak pernah terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!