~Setiap perbuatan pasti ada alasannya, dan kamu yang menentukan alasan dibalik perbuatan mu.
...🌸🌸🌸...
Hari selanjutnya, aku diminta ke ruang kerja ayahku.
Aku pun mendatangi ayah dan duduk di kursi dengan meja sebagai penghalang antara kami berdua.
"Agra, ada pesan untukmu." Ayah mendorong amplop coklat ke hadapanku.
Lantas aku membuka dan membaca isi dari kertas yang ada di dalamnya.
Mataku terbelalak. "Ayah, apa maksudnya ini?"
"Seperti yang tertulis, kau diminta nenek untuk meneruskan pendidikan di negara Green Life," jelas ayahku.
"Bukan di bagian itu, Ayah. Tapi umurku ini baru tujuh tahun, dan sudah diberi tanggung jawab?" tanyaku dengan nada sedikit menekan. Jujur, ada perasaan marah dalam diriku ketika membaca permintaan yang berasal dari nenek.
Kumasukkan kembali kertasnya ke dalam amplop.
"Lebih tepatnya teori sebelum praktek, kau akan dididik sebelum menerima tanggung jawabmu. Jadi, tidak ada hubungannya dengan umurmu," sanggah ayah. Beliau menyatukan kedua tangan di atas meja.
Aku menunduk. Benar, umurmu tidak menjadi alasan supaya aku tidak menerima pendidikan di luar negeri.
Tapi, kenapa terasa berat saat aku memikirkan tidak akan ada lagi di sini? Padahal aku sudah lama menantikan waktu dimana aku menggantikan ayahku mengurus kerajaan Luxury.
"Tapi ayah tidak memaksamu, kau bisa memilih masa depanmu sendiri. Ayah memberitahukan ini karena mungkin kau pernah berpikir untuk menjadi penguasa negeri. Jika tidak mau, ya sudah. Ayah bisa memulangkan surat ini ke nenekmu," tutur ayahku sambil tersenyum.
Aku jadi ikut tersenyum. "Aku mau kok, tapi ada syaratnya."
"Membawa Claudya bersamamu? Kurasa sulit memintanya pada Johan." Ayah menjawab disertai gaya berpikirnya.
"Bukan!" Aku memukul meja. Oh tidak, wajahku memanas, dan lebih memerah lagi ketika melihat ayahku tertawa.
Meski dalam hati kecilku ada keinginan untuk membawanya juga, tapi aku tahu kerajaan Luxury bukan tempat yang aman untuknya.
"Aku mau Ezwar juga ikut denganku bersekolah di sana."
"Untuk apa?" tanya ayah kebingungan.
"Aku cuma butuh teman, tapi perkara Ezwar ikut denganku tolong rahasiakan dari nenek dan yang lainnya," jawabku seraya bersidikap dada.
"Baiklah, ayah tanyakan dulu pada Ezwar, dan kalau Ezwar tidak setuju kau masih bisa memilih untuk tidak jadi pergi. Lalu, apa ada syarat lainnya?"
Pertanyaan yang membuatku mencubit lenganku dan menahan sesak di dadaku untuk mengatakannya. "Aku mau kalian jangan pernah ke Negara Green Life selama waktu yang ditentukan, juga jangan pernah menghubungiku baik melalui Ezwar atau mengirim pesan dari merpati pos."
"Kau mau memutuskan komunikasi?" Ayahku terkejut dan wajahnya suram.
"Iya." Memang permintaanku ini sulit untuk diterima, namun aku punya alasan tersendiri hingga mengajukan syarat seperti ini.
"Tapi...." Ayah berpaling muka. "Kalau begitu syaratnya, lebih baik kau tidak usah pergi."
Aku menyatukan kedua tanganku di atas meja. "Aku mohon, ayah. Aku punya alasan melakukannya, dan aku sudah memikirkan resikonya. Jadi, ayah tidak perlu khawatir."
"Bagaimana ayah tidak khawatir? Anakku yang baru berumur tujuh tahun tiba-tiba mengatakan ingin hidup tanpa berhubungan dengan keluarganya, apa itu masuk akal?"
Ayah menaikkan suaranya, namun keputusanku tetaplah sama hingga mataku sama sekali tak berkedip memandanginya.
"Aku yakin kelakuanku kemarin membuat ayah lupa pada aku yang sebenarnya baru berumur tujuh tahun. Pemikiran ku dewasa dan mampu memilih keputusan yang tepat."
Terlihat ayahku yang menghela napas untuk meredakan emosinya. "Baiklah, ayah akan mencoba melakukan syarat darimu."
"Bukan mencoba tapi ayah harus benar-benar melakukannya." Aku turun dari kursi. "Ada alasan mengapa aku mengajak Ezwar juga."
Aku tersenyum.
"Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, aku mau ke rumah Olivia."
"Ya, pergilah. Dan jangan lupa juga untuk menghabiskan waktu bersama keluargamu."
Itu sindiran ya?
Ayah hanya tersenyum.
Segera aku keluar dari ruangan kerja ayahku.
Selama perjalanan menuju rumah Olivia, aku terus memikirkan keputusanku hingga tak mengeluarkan sepatah katapun kepada pak Radit.
Walau biasanya juga gitu. Bedanya kali ini aku memandangi bangunan-bangunan dibalik jendela mobil, bukan membaca buku dengan tenang.
Tak terasa mobil memasuki halaman rumah Olivia.
Aku keluar dari mobil dan tersenyum pada Claudya yang berlari ke arahku dan memelukku. "Kak Aga, mau main?" tanyanya seraya mendongak ke atas untuk melihatku.
Aku mengangguk dan dia langsung menarik ke dalam rumah.
Claudya membawaku ke ruang tamu yang berserakan dengan mainannya.
"Kak Aga, lihat. Dya buat istana."
Sebuah istana yang dibangun dari komponen-komponen mainan.
"Dan ini puti dan pangelannya." Claudya menunjukkan kedua boneka yang berbeda jenis modelnya.
Lantas aku mengambil boneka pangeran dan memperhatikannya. "Dya, apa Dya mau jadi seorang putri?"
Anak kecil itu tampak menimang-nimang. "Jika bisa, Dya mau."
"Mau ada pangerannya juga?"
"Mau, soalnya puti gak boleh kalau gak ada pangerannya. Jadi, halus ada pengelan." Jawaban yang membuatku tersenyum.
Terima kasih, sekarang aku punya alasan lagi untuk pergi ke sana.
Langsung saja aku mengelus rambutnya hingga membuatnya bingung. "Dya, jangan pernah lakuin hal yang bikin Dya terluka ya? Apalagi kalau kak Agra gak ada, harus pandai jaga diri sendiri."
"Memangnya kak Aga bakal gak ada?"
"Ya, gak mungkin 'kan Kakak selalu bersama Dya." Aku menjawab sambil tersenyum miris.
"Iya juga, kak Aga gak bersama Dya waktu pulang ke rumah."
"Maka dari itu, janji ya sama Kakak untuk jaga diri baik-baik."
"Baik." Claudya menjulurkan jari kelingkingnya yang langsung aku tautkan dengan jari kelingkingku. Kami sama-sama tersenyum.
Aku menghabiskan waktu bersama dengannya, begitu juga membagi momen bersama keluarga ku di meja makan diiringi obrolan hangat. Sampai hari keberangkatanku pun tiba.
Aku menoleh pada pak Radit melihat rumah yang familiar bagiku. Mempertanyakan kenapa berhenti di sini?
"Pergilah, kau pasti ingin menemuinya sebelum pergi," ucap ibu yang tengah duduk di sampingnya.
Tanpa sadar bibir ini menyungging senyum riang.
Aku seakan melompat keluar dari mobil dan berlari memasuki rumahnya Olivia dan berjalan cepat ke ruang tamu.
Aku terpaku pada dirinya yang tertidur di alas.
"Dia kelelahan bermain sampai ketiduran," cetus Olivia tiba-tiba ada di sampingku.
Awalnya aku hanya mengelus rambutnya, namun kemudian aku membaringkan dirinya dan memeluknya. Mendekatkan hidungku pada rambutnya yang wangi.
"Claudya, jaga diri baik-baik ya. Jangan lukai diri sendiri lagi. Aku pasti kembali dan menemui mu lagi," ucapku sebelum bangkit dan menggendongnya.
"Tunggu dulu, Agra. Memangnya kau akan kemana?" tanya Olivia mengikuti ku menuju kamar Claudya.
"Ke tempat nenekku, dan selama itu aku harap kau menjaga Claudya." Aku meletakkan Claudya di kasur dan menyelimutinya.
"Tentu saja, aku akan menjaganya. Aku kakaknya," tutur Olivia sedikit bernada tinggi.
Sedikit menganggu kenyamanan ku yang sedang mengelus rambut Claudya. "Bagus, kalau begitu jadilah kakak yang benar-benar kakak baginya."
Olivia kesal, aku tak peduli. Fokusku hanya pada menjepitkan rambut Claudya dengan penjepit bunga sakura berwarna perak.
Aku memandanginya lagi. Rasanya tidak cukup, namun aku tak boleh serakah. Aku tahu waktu terus berputar dan detik ini akan segera berganti ke detik selanjutnya.
Dan waktu di mana aku masih berada dalam kamarnya, kini berganti dengan aku yang berada di bandara.
Berpamitan dengan keluarga ku itulah hal yang terakhir yang aku lakukan di negara ini, setelahnya aku melangkah tanpa ragu memasuki pesawat pribadi menuju negara Green Life.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments