Pagi hari yang buruk bagi Luna. Hari ini rasanya sangat tidak bersemangat bagi Luna, namun jika ia tak sekolah harinya akan lebih buruk karena hanya sendirian di kamar. Mau shoppingpun juga tetap sendirian.
Selesai siap-siap, Luna segera turun kebawah untuk sarapan lalu bergegas menuju sekolah tercinta.
Namun seseorang yang kini tengah ia diami sejak semalam sudah ada di meja makan menunggu dirinya, Luna mengurungkan niatnya untuk sarapan pagi.
"Luna, mau kemana kamu? Sarapan dulu sini, daddy mau bicara." Luna tak mengindahkan panggilan daddynya.
"Luna udah telat, Dad." sahut Luna berbohong.
"Kalau kamu gak nurutin perintah Daddy, Daddy akan blokir semua atm kamu dan daddy akan cabut semua fasilitas kamu." ucapan Daddy membuat Luna berhenti, mengapa sekarang Daddynya jadi mengancamnya perasaan dari dulu daddynya selalu membelanya, selalu memanjakannya. Tapi ini.
Mau tak mau Luna menuruti perintah Daddynya itu.
"Kenapa Dad?" ucap Luna dingin.
"Daddy kecewa atas sikap kamu kemarin Luna." jawab Thomas kecewa.
"Luna yang kecewa dan gak habis pikir sama tindakan yang Daddy ambil. Asal daddy tau ya, jaman sekarang gak ada yang namanya cinta Dad, apalagi cewek itu? Apa daddy gak tau, cewek itu cantik dan masih muda, apa lagi yang dia incer dari daddy selain harta daddy? Think dad." ujar Luna meluapkan apa yang ia takutkan.
"Melly tidak seperti itu Luna, dia sangat baik dan perhatian pada Daddy, she is so kind." jawab Thomas.
"Itu didepan daddy kan? Daddy gak tau di belakang daddy dia kaya gimana. Pokoknya Luna gak setuju dan menentang berat daddy sama perempuan itu." ucap Luna kekeuh.
"Sayangg come on, daddy udah tua, daddy butuh seseorang yang bisa ngurusin daddy. Daddy gak bisa ngelakuin semuanya sendirian." ujar Thomas.
"Terus gimana aku Dad? Gimana aku yang harus lewatin semuanya sendirian? Gimana aku yang setiap hari harus kesepian? Disaat semua temen-temen aku berkumpul, bercanda, ketawa-ketawa sama keluarganya sama orang tuanya? Gimana aku yang gak ada satupun orang yang peduliin aku? Daddy sibuk kerja, Ka Aril dan Ka Eva sibuk sama keluarganya. Sedangkan aku? Gak ada yang peduli sama aku, bahkan aku sakit aja kalian pada gak tau dan gak peduli." Luna sudah habis kesabaran, dirinya sudah tak kuat lagi untuk meluapkan apa yang ia rasakan, ia segera bangkit dari duduknya lalu pergi menuju sekolahnya. Panggilan dari Daddynya tak ia hiraukan.
"Laluna!"
"Laluna!"
"Laluna!"
Saat ini ia tak butuh siapa-siapa, ia tak butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya, ia juga tak butuh bahu seseorang sebagai tempatnya bersandar. Ia hanya butuh sendirian, ia hanya butuh ketenangan. Karena kesendirianlah yang setia menjadi temannya hingga saat ini.
🌻🌻🌻🌻🌻
"Sya, nih buku catetan matematikanya Luna yang kemaren gue pinjem." ucap Hendar mengembalikan buku catatan matematika milik Luna.
"Ngape lo?" tanya Hendar saat melihat Asya yang gelisah memandangi ponselnya sedari tadi.
"Luna gue telfon gak diangkat, gue chat gak dibales. Dia gak ada kabar masuk apa nggak, gue takut dia sakit atau kenapa-napa deh." ucap Asya khawatir, ponselnya tak berhenti ia mainkan guna menelfon sahabatnya itu.
"Lo hubungin Bik Surti aja sih." saran Hendar.
"Ahh..cakep, tumben lo pinter Dar." dengan segera Asya menelfon Bik Surti asisten rumah tangga Luna.
"Emang dari dulu Sya, baru tau lo? Kemane aje." sahut Hendar.
"Halo Bik Surti, ini Asya. Lunanya udah berangkat belom?"
"......"
"Ohh gitu ya Bi, oke makasih ya."
"Gimana Sya?" tanya Hendar khawatir
"Luna udah berangkat dari tadi, Dar." ucap Asya makin khawatir.
"Waduhh, seriusan Sya?" Asya mengangguk.
"Macet kali."
Puk
"Macet gak sampe satu jam gila, dari rumah Luna ke sekolah kan lumayan deket." jawab Asya.
"Yaudah gak usah gebuk juga, sakit tauk." sahut Hendar mengusap kepalanya yang baru saja dipukul Asya.
"Gue mao cari Luna." ucap Asya, sudah bergegas dengan tasnya.
"Ehh mao nyari kemana lu?" tanya Hendar.
"Kemana aja asal gue ketemu sama Luna, perasaan gue gak enak banget."
"Yaudah gue ikut." ucap Hendar.
"Seriusan lo?" Hendar menjawab dengan anggukan.
"Iye, gue ambil tas dulu. Lo nunggu gerbang belakang aja, soalnya gerbang depan pasti udah ada Pak Gery." ujar Hendar.
"Yaudah lo cepetan ya." Hendar mengangguk lalu segera bergegas menuju kelasnya.
"Nih dia yang dicariin. Abis dar-- lo ngapain bawa tas? Cabut ya lo?" tanya Gavin.
"Gue mau cari Luna." sahut Hendar terburu-buru.
"Luna kemana emang?" tanya Gavin khawatir.
"Luna udah berangkat sekolah dari tadi pagi, tapi sampe sekarang belom sampe, Asya telefon dan chat gak dibales." jawab Hendar.
"Gue ikut." ucap Gavin
"Gue juga." sambar Alfi
"Yaudah ayo cepetan, sebelum Bu Rina dateng." mereka bertiga segera bergegas pergi mencari Luna.
"Loh kok lo bawa rombongan Dar?" tanya Asya.
"Mereka mau ikut cari Luna." jawab Hendar.
"Yaudah ayok."
Mereka berempat berpencar mencari Luna, bahkan telfon dan chat tak putus mereka sambungkan ke ponsel Luna.
Hendar dan Asya.
Gavin dan Alfi.
"Fi, gue cari disini lo cari disana ya." Alfi mengangguk menuruti perintah Gavin.
Namun, Gavin berhenti sejenak.
"Fi, lo nanti sama yang lain tunggu disini aja ya. Ada tempat yang mau gue kunjungin barangkali Luna disana." ujar Gavin.
"Yaudah kalo ada kabar, langsung hubungin kita ya Vin." Gavin hanya mengangguk lalu segera bergegas menuju tempat yang ia maksud. Tempat yang sering menjadi tempat ia dan Luna berbagi kisah, tempat yang jauh dari suara kebisingan ibukota.
"Lun, lo dimana sih? Gue khawatir tau." sesampainya Gavin di tempat yang ia maksud.
Tanpa babibu Gavin langsung berlari menuju tempat dimana Luna berada. Disana, di bangku biasa tempat ia dan Luna bertukar kisah. Terdapat malaikat cantik yang sedang menangis terisak. Bahunya bergetar, wajahnya ditutupi oleh tangannya.
Tanpa babibu Gavin langsung mendekap perempuan itu penuh sayang, perempuan yang sejujurnya mempunyai ruang dihatinya tersendiri. Perempuan yang sangat sering ia sakiti. Perempuan yang selalu bisa membuatnya merasa tak bisa jauh darinya.
Luna kaget dan langsung melihat siapa seseorang yang mendekap dirinya, namun sepersekian detik dirinya luluh, dirinya merasa nyaman dalam dekapan seseorang yang masih ada dihatinya. Gavin.
"Lo gak sendirian. Lo punya gue." hanya itu yang Gavin ucapkan. Luna semakin merasa nyaman. Rasanya ia ingin memberhentikan waktu agar pelukan ini tak terlepas.
Isak tangis masih saja terdengar yang membuat Gavin makin mengeratkan pelukannya, jujur hatinya terluka melihat orang yang ia sayang menangis pilu.
"Jangan tinggalin gue, Vin."
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Phoenix VR
lanjut
2021-04-07
1