Assalaamu 'alaikum Readers
Selamat datang di cerita Cinta Istiqomah
Vote dan komenmu jangan lupa ya
🌹🌹🌹
Seorang gadis kecil sedang tersenyum memandangi dirinya sendiri di depan pantulan cermin. Pagi ini ia sudah rapi dengan seragam sekolahnya yang berwarna merah putih, dialah Zaura, putri tersayangnya Filzah.
"Zaura ayo kita sarapan dulu Nak." Filzah memasuki kamarnya. Mengajak sang putri untuk sarapan pagi.
Zaura beralih menatap sang Bunda. Wajahnya nampak berseri. Rona kebahagiaan tidak bisa disembunyikan lagi.
"Bunda, seragam sekolah Zaura sudah rapi kan?"
Filzah membalut wajahnya dengan senyuman. Ia mengelus lembut kepala sang putri yang terbalut khimar kecilnya yang senada dengan baju seragamnya.
"Sudah Sayang, Zaura juga sudah cantik seperti Bunda."
"Itu pasti Bunda." Balas Zaura dengan percaya diri.
Filzah terkekeh mendengarnya "Eh, tapi Zaura jangan lupa untuk mengucapkan..."
Alis sebelah Zaura naik. Mengeskpresikan wajah kebingungannya.
"Mengucapkan apa Bunda?" Tanya Zaura dengan polosnya.
Filzah tersenyum. "Jangan lupa untuk mengucapkan maa syaa Allah."
"Maa syaa Allah?" Ucap Zaura mengulangi perkataan Bundanya sembari tidak mengerti dengan maksud perkataan itu.
"Iya Sayang, maa syaa Allah, jadi setiap kali Zaura sedang memuji atau dipuji seseorang atau melihat sesuatu yang indah, Zaura jangan lupa untuk mengucapkan maa syaa Allah, yang artinya sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud."
"Kenapa harus mengucapkan kata maa syaa Allah Bunda?" Zaura masih belum mengerti dengan penjelasan sang Bunda.
"Iya Sayang, kata maa syaa Allah itu sebagai ucapan kekaguman kita kepada keindahan ciptaan Allah, jadi supaya kita tetap ingat bahwa keindahan yang kita kagumi itu semua atas kehendak Allah, sekarang Zaura sudah mengerti?"
Perlahan Zaura menganggukkan kepalanya. Zaura mengerti dengan penjelasan sang Bunda yang dapat dengan mudah dipahami.
🌹🌹🌹
Filzah dan Zaura telah sampai di depan bangunan besar bertuliskan SDN Pelita Ibu. Mereka berjalan kaki dari rumah mereka. Sekolah yang akan menjadi tempat Zaura mencari ilmu tidak terlalu jauh dari kediaman mereka sehingga untuk sampai ke sekolah itu bisa ditempuh dengan cukup berjalan kaki saja. Hitung-hitung juga mereka sedang olahraga pagi.
Karena tahun pelajaran baru sudah berjalan satu bulan yang lalu maka Zaura dapat dikatakan sebagai murid baru di sekolah itu sehingga Filzah harus menemui kepala sekolah terlebih dahulu.
Kini Filzah dan Zaura sudah duduk berhadapan dengan kepala sekolah SDN Pelita Ibu. Tidak banyak waktu yang mereka habiskan untuk berbincang karena Filzah cukup mengerti dengan penjelasan dari kepala sekolah tersebut.
"Baik kalau begitu mulai hari ini Zaura sudah resmi menjadi murid di sekolah ini, dan sekarang juga sudah bisa masuk ke kelas."
"Alhamdulillah." Baik Filzah maupun Zaura sama-sama mengucap syukur.
"Ibu Nisrin." Kepala sekolah itu memanggil salah satu guru yang dengan sigap memasuki ruangannya.
"Iya Pak ada apa?" Ucap seorang perempuan berbusana rapi, seragam khas seorang guru.
"Ini ada murid baru namanya Zaura, dan Zaura ini Ibu Nisrin wali kelasnya Zaura." Bapak kepala sekolah memperkenalkan Zaura kepada Nisrin, begitupun sebaliknya.
"Oh baik Pak, Zaura ayo kita masuk ke kelas Nak." Nisrin mengajak Zaura untuk masuk ke kelasnya karena jam pelajaran akan segera dimulai.
"Iya Ibu guru." Sahut Zaura dengan sopan.
Zaura beralih menatap sang Bunda. "Bunda, Zaura masuk ke kelas dulu ya, Bunda semangat ya kerjanya."
Filzah tersenyum. "Iya Sayang in syaa Allah, Zaura juga yang semangat ya sekolahnya."
"Iya Bunda in syaa Allah." Sahut Zaura. Kemudian Zaura mencium tangan Filzah. Dan Filzah mencium kening Zaura.
"In syaa Allah nanti Bunda jemput Zaura pulang sekolah ya Sayang."
"Iya Bunda jazakiah khoiron."
"Wa jazakillah khoiron Sayang."
"Assalaamu 'alaikum Bunda."
"Wa 'alaikumus salaam Sayang."
Akhirnya Zaura keluar dari ruangan kepala sekolah bersama Nisrin untuk menuju kelasnya. Filzah pun ikut pamit undur diri kepada Bapak kepala sekolah karena ia harus segera pergi untuk berangkat kerja.
🌹🌹🌹
"Assalaamu 'alaikum." Filzah berucap salam ketika sudah masuk ke dalam kedai sekaligus sudah bertemu dengan Hilyah.
"Wa 'alaikumus salaam, akhirnya Nak Filzah datang juga, oh iya ini celemeknya Nak Filzah dan langsung dipakai ya."
Filzah menerima lipatan kain berwarna coklat gelap yang tidak lain adalah celemek yang akan ia pakai saat bekerja.
"Selin."
Seketika Hilyah memanggil seseorang. Ia menoleh ke belakang. Refleks Filzah ikut menoleh. Terlihat di tempat kasir ada seorang perempuan muda berpenampilan modis dan fashionable serta riasan make up di wajahnya yang berwarna menyala membuatnya terlihat bengis.
Perempuan modis itu berjalan, berlenggak lenggok layaknya seorang model yang sedang berjalan di catwalk.
"Iya Ma ada apa?" Ujarnya ketika sudah berdiri di samping Hilyah.
"Filzah perkenalkan ini Selin, menantu saya, istri dari anak sulung saya, dan Selin perkenalkan ini Filzah pelayan baru di kedai keluarga kita."
Filzah langsung mengulurkan tangannya seraya tersenyum ramah kepada Selin. Semetara Selin dari tatapan matanya dapat terlihat jelas bahwa ia tidak menyukai kehadiran Filzah, terlebih lagi Filzah sedang mengulurkan tangan kepadanya.
Hilyah yang melihat sang menantu berdiam saja langsung menyuruhnya untuk menerima jabatan tangan dari Filzah. Akhirnya dengan berat hati Selin mau menjabat tangan Filzah. Namun hanya sekilas dan hanya sampai di ujung jari saja.
"Ya sudah kalau begitu Nak Filzah bisa langsung bekerja ya, dan ini menu makanan sama alat tulisnya."
"Baik Bu."
Tanpa berlama-lama lagi usai menerima menu makanan serta alat tulisnya Filzah langsung memulai pekerjaannya. Menyambut para pelanggan yang baru saja memasuki kedai. Sebelum itu tidak lupa Filzah mengucapkan bismillah untuk memulai pekerjaannya.
"Lho Ma, kok Mama nggak memberitahu Selin dulu kalau mau memperkerjakan karyawan baru di kedai kita?" Selin protes kepada Mama mertuanya yang main memperkerjakan karyawan baru di kedai mereka. Tanpa berunding terlebih dahulu kepada dirinya.
Hilyah melangkahkan kakinya menuju tempat kasir. Menghindari keramaian agar tidak mengganggu para pelanggan serta para karyawannya yang sedang bekerja terutama Filzah.
Selin memutar bola matanya jengah. Dengan malas ia mengikuti langkah Hilyah untuk meminta penjelasan darinya.
"Mama jawab dong pertanyaan Selin, Selin berhak tahu Ma, selama ini Selin kan juga sering bantu Mama kelola kedai ini."
Hilyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Menantunya yang satu ini pagi-pagi sudah mengomel ria untungnya ia sudah terbiasa mendengar omelan sang menantu yang hampir setiap hari mengomeli putranya, tak lain suami dari Selin.
"Iya ini Mama mau jawab." Hilyah akhirnya membuka suaranya. Ia tidak ingin menantunya melanjutkan omelannya.
"Sebelumnya Mama mau minta maaf karena nggak memberitahu kamu terlebih dahulu, tapi Mama rasa nggak masalah kalau kita mau menambah satu karyawan baru."
Selin menghela napas jengah. Kepalanya sudah bertanduk. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Mama mertuanya yang dengan sesuka hati menambah karyawan baru padahal menurutnya itu sebuah keputusan yang salah.
"Mama, kalau kedai kita menambah satu karyawan baru itu artinya uang pemasukan kita akan berkurang karena akan membayar uang gajiannya, lama-lama kedai kita bisa rugi Ma, mana bahan-bahan juga mahal lagi."
Hilyah menghela napas. Menambah stok kesabarannya agar tetap tetang seperti tenangnya air yang sedang mengalir.
"Selin rezeki itu ditangan Tuhan, lagi pula uang pemasukan kedai kan Mama yang mengatur, jadi kamu nggak usah repot-repot memikirkan untung ruginya kedai ini."
Selin sangat kesal dibuatnya. Mama mertuanya sama sekali tidak mau mendengarkan nasihatnya. Padahal ia sudah berbaik hati mengingatkan tentang untung ruginya kedai milik keluarga mereka jika menambah satu karwayan baru.
"Ya sudahlah terserah Mama, yang penting Selin sudah mengingatkan Mama, kalau begitu Selin pergi dulu."
"Lho mau ke mana?" Tanya Hilyah kebingungan lantaran sang menantu baru saja tiba di kedai mereka. Lebih tepatnya sebelum Filzah datang.
"Selin mau ke salon saja, kepala Selin mau pecah rasanya." Selin terang-terangan menyindir Mama mertuanya. Ia sama sekali tidak mempunyai sopan santun kepada Mama mertunya dan lebih parahnya lagi ia main pergi begitu saja. Tidak ada sopan santunnya sama sekali.
Hilyah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak banyak berkomentar atas sikap menantunya yang memang kurang sekali bersopan santun kepadanya. Padahal sudah jelas-jelas ia adalah mertuanya. Hilyah memang tidak ingin ambil pusing. Seburuk apapun perangai menantunya, dia adalah istri dari putra sulungnya serta ibu dari cucu pertamanya. Hilyah hanya bisa mendoakan semoga menantunya bisa mengubah perangai buruknya dengan perangai yang lebih baik lagi.
🌹🌹🌹
Bel pertanda istirahat telah berbunyi. Zaura keluar kelas dengan membawa kotak makanannya. Ia tidak sendirian melainkan bersama kedua temannya yang juga membawa kotak makanan masing-masing.
"Arifa, Dhiba kita mau makan di mana?" Zaura kebingungan ia menanyakan kepada kedua teman sekelasnya di mana mereka akan menyantap bekal mereka masing-masing.
"Kita makan di sana saja Zaura." Ucap Arifa sembari menunjuk ke arah taman kecil yang ada di area sekolah mereka.
"Iya Zaura, sebelum ada kamu kita sering makan di sana." Sambung Dhiba menjelaskan kepada Zaura.
"Ya sudah ayo kita makan di sana." Zaura menyetujuinya dan langsung mengajak kedua temannya menuju taman kecil yang tidak jauh dari kelasnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Zaura untuk cepat akrab dengan temannya. Zaura adalah tipe anak yang mudah bergaul. Bahkan ia tidak malu-malu untuk memperkenalkan dirinya lebih dulu kepada teman-temannya. Terlebih lagi Filzah mengajarinya untuk berteman dengan siapa saja. Tujuan Filzah hanya satu yaitu agar sang putri bisa menjalin tali persaudaraan dengan siapapun di sekitarnya termasuk teman-temannya.
"Zaura kenapa kamu ke sekolah memakai kerudung?, memangnya kamu nggak gerah?" Disela-sela aktivitas makan bersamanya tiba-tiba saja Arifa memberikan pertanyaan kepada Zaura. Pertanyaan tentang kain putih yang membaluti kepala Zaura.
"Iya Zaura kamu kan masih kecil, kata Mama aku kalau masih kecil nggak apa-apa kalau nggak pakai kerudung, Mama aku pakai kerudung tapi aku nggak dipakaikan kerudung, katanya aku masih kecil." Sambung Dhiba yang menceritakan bahwa Mamanya tidak memakaikan kerudung kepadanya karena alasan masih kecil.
Zaura terdiam sejenak. Ia memikirkan pertanyaan dari kedua temannya yang menanyakan alasan Zaura memakai kerudung ke sekolah padahal di rumah Zaura juga memakai kerudung sama seperti Bundanya. Tetapi Zaura belum pernah bertanya kepada Bundanya mengapa ia harus memakai kerudung sehingga saat ini Zaura tidak tahu harus menjawab apa.
"Emh, maaf ya Arifa, Dhiba, aku nggak bisa menjawab pertanyaan kalian, karena aku juga nggak tahu kenapa Bundaku memakaikan aku kerudung, tapi nanti setelah pulang sekolah aku akan bertanya sama Bunda dan besok aku akan beri tahu kalian."
"Iya Zaura nggak apa-apa kok." Arifa tidak mempermasalahkannya.
"Ya sudah kalau begitu ayo kita makan lagi Zaura" Dhiba mengajak Zaura untuk menyantap kembali bekal yang mereka bawa dari rumah masing-masing.
Zaura mengangguk. "Iya ayo kita makan lagi."
Kini ketiga gadis kecil itu kembali menyantap bekal mereka masing-masing tentunya dengan suasana kehangatan yang mereka ciptakan sendiri.
🌹🌹🌹
"Mohon maaf Mbak mau pesan apa?"
Filzah sedang melayani pelanggannya yang baru saja tiba dan duduk di kursi yang telah disediakan.
"Menunya yang paling enak apa ya Mbak?" Tanya pelanggan tersebut sembari membolak-balik menu makanan yang baru ia terima dari Filzah.
"Aduh mohon maaf Mbak saya kurang mengetahuinya karena saya pelayan baru di kedai ini, tapi kalau saya boleh memberi saran, Mbak sukanya seafood jenis apa ya?"
"Saya suka cumi Mbak."
"Kalau begitu Mbak pesannya nasi goreng cumi saja, sesuai dengan selera makanan kesukaan Mbak." Ucap Filzah menyarankannya.
Dari raut wajahnya pelanggan itu menerima saran dari Filzah untuk memesan makanan sesuai dengan selera makanan kesukaannya.
"Boleh deh Mbak, saya pesan nasi goreng cuminya satu sama minumnya es teh manis."
"Alhamdulillah, baik mohon ditunggu ya Mbak." Tidak lupa Filzah berucap syukur karena pelanggannya mau menerima saran darinya.
Filzah pun melangkahkan kakinya menuju dapur kedai untuk memberikan secarik pesanan pelanggannya kepada Chef yang bertugas. Namun di tengah perjalanan Filzah menghentikan langkahnya karena ada yang memanggilnya.
"Mbak."
Filzah menoleh ke arah sumber suara tersebut. Salah satu pelanggan yang sedang duduk di kursi yang telah disediakan memanggil dirinya. Filzah bergegas menghampirinya.
"Mohon maaf Ibu mau pesan apa?" Tanya Filzah dengan ramah.
"Saya mau pesan nasi goreng udang pedas."
"Minumnya Bu?"
"Minumnya es jeruk."
Filzah mengangguk seraya mencatat pesanan pelanggan keduanya.
"Kalau Bapaknya mau pesan apa?" Filzah juga tidak lupa untuk menanyakan kepada laki-laki paruh baya yang juga duduk satu meja bersama perempuan tersebut.
"Saya samakan saja dengan istri saya, tapi punya saya nggak pedas ya."
"Oh iya baik Pak, minumnya juga disamakan atau berbeda?"
"Samakan juga ya."
Filzah kembali mengangguk pertanda mengerti.
"Ih Papa ikut-ikutan Mama saja." Oceh pelanggan perempuan yang tidak lain ialah istri dari pelanggan laki-laki tersebut.
"Ya biar samaan Ma, namanya juga suami istri, bukan begitu Mbak?"
Filzah tersentak. Ia tidak menyangka akan diikutsertakan dalam perbincangan suami istri di hadapannya.
Filzah akhirnya mengangguk sembari tersenyum ramah. "Maa syaa Allah mereka romantis sekali, aku jadi teringat dengan Mas Fahril Rahimahullah." Ucap Filzah membatin.
Setelah tidak ada pesanan lagi Filzah langsung bergegas menuju dapur untuk disetorkan pesanan pelanggannya kepada Chef yang bertugas agar segera dibuatkan dan nantinya cepat disajikan kepada pelanggan-pelanggan yang memesannya.
Tanpa Filzah sadari rupanya sejak tadi Hilyah memperhatikannya. Memperhatikan kinerja kerjanya. Bagaimana ramahnya Filzah dalam menyambut serta melayani pelanggan. Hilyah semakin yakin untuk mempekerjakan Filzah di kedai nasi goreng topping seafood miliknya.
Usai kembali dari dapur Filzah menemui Hilyah di tempat kasir. Sesekali ia melirik jam di pergelangan tangannya.
"Ibu, mohon maaf Bu, saya boleh meminta izin untuk menjemput anak saya di sekolahnya, soalnya sekarang sudah waktunya pulang sekolah."
"Iya Nak Filzah silakan."
"Terima kasih Bu tapi saya mohon maaf kalau nantinya saya sedikit lama soalnya dari sini ke sekolahnya anak saya cukup jauh dan nanti juga saya harus mengantarkan anak saya ke rumah dulu." Filzah merasa tidak enak sekali. Ini pertama kalinya ia masuk kerja namun sudah meminta izin kepada Hilyah. Filzah terpaksa karena ia harus menjemput Zaura yang sudah waktunya pulang sekolah.
"Iya Nak Filzah tidak apa-apa, atau begini saja anak Nak Filzah bawa ke sini saja ya, sekalian saya mau berkenalan dengan anak Nak Filzah."
Filzah kebingungan. Ia tidak salah dengar?, Hilyah ingin berkenalan dengan putrinya?. Tetapi di sisi lain Filzah dapat bernapas dengan lega karena Zaura tidak akan tinggal sendirian di rumah melainkan akan menemaninya bekerja.
"Ta-tapi Bu, apa nantinya tidak merepotkan Ibu, takutnya anak saya nanti malah buat masalah di sini Bu."
"Lho memangnya anak Nak Filzah nakal?, susah diatur?, dan suka buat masalah?"
Filzah menggeleng cepat. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan putrinya di hadapan Hilyah. Hanya saja Filzah takut nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tidak Bu, Alhamdulillah anak saya memiliki sikap yang baik hanya saja saya takut nantinya malah merepotkan Ibu."
Hilyah tersenyum. "Tidak sama sekali Filzah, justru saya senang, saya suka anak kecil, saya juga punya cucu kok, jadi Nak Filzah tidak usah keberatan untuk membawa anak Nak Filzah ke sini ya."
Akhirnya Filzah mengangguk patuh. Ia akan membawa Zaura ke kedai ini. Dan tanpa berlama-lama lagi Filzah segera pamit undur diri untuk bergegas menjemput Zaura. Takutnya Zaura sudah lama menunggu dirinya.
🌹🌹🌹
Qodarullah, disaat Filzah sampai di depan sekolah, Zaura juga baru saja keluar dari sekolahnya.
"Bunda..." Zaura langsung berjalan cepat. Menghampiri sang Bunda yang sudah menunggunya di depan pintu gerbang sekolahnya.
Mereka berpelukan sejenak. Kemudian Zaura mencium tangan Bundanya. Dan Filzah mencium kening sang putri. Hal yang wajib mereka lakukan ketika akan berpisah sementara ataupun ketika mereka bertemu kembali.
"Assalaamu 'alaikum Bunda."
"Wa 'alaikumussalam Sayang, bagaimana sekolahnya?, Zaura senang?"
Zaura menggangguk senang. "Alhamdulillah senang Bunda, Zaura jadi punya banyak teman di sekolah."
"Alhamdulillah kalau Zaura senang Bunda juga ikut senang." Filzah ikut senang melihat sang Putri bersenang ria.
"Bunda, ada yang ingin Zaura tanyakan sama Bunda."
"Mau tanya apa Sayang?"
"Tadi waktu jam istirahat teman-teman Zaura, namanya Arifa sama Dhiba bertanya sama Zaura, katanya kenapa Zaura memakai kerudung ke sekolah?, kata Dhiba Mamanya pernah bilang kalau anak kecil nggak apa-apa kalau nggak memakai kerudung, jadinya tadi Zaura nggak bisa menjawab Bunda dan sekarang Zaura mau meminta jawaban dari Bunda."
Zaura teringat akan pertanyaannya tadi. Pertanyaan Arifa dan Dhiba tentang kerudung yang ia pakai kepada Bundanya. Zaura berharap bisa mendapatkan jawaban dari Bundanya dan besok ia akan memberitahu Arifa dan Dhiba.
"Sayang, Bunda jawab ya, di dalam agama kita agama Islam, Allah, Tuhan kita memerintahkan perempuan muslimah untuk menutup auratnya, karena Allah sayang sama kita, Allah ingin melindungi kita makanya Allah menyuruh kita untuk menutup aurat, tujuannya banyak sekali salah satunya demi kesehatan tubuh kita, karena tubuh kita tertutup maka akan terhidar dari polusi, kuman, virus dan yang lainnya, Sampai di sini Zaura sudah paham Sayang?"
Perlahan Zaura menganggukkan kelapanya. Ia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan dari teman-temannya. Tetapi Bundanya belum menjawab satu pertanyaannya lagi.
"Terus kenapa Zaura memakai kerudung Bunda, kan Zaura masih kecil, memangnya Allah sudah menyuruh Zaura untuk menutup aurat ya Bunda?."
Filzah tersenyum. Ia gemas sekali dengan putrinya yang mulai bertanya tentang hal yang berkaitan dengan agamanya. Filzah senang karena setidaknya ia akan memberikan pemahaman kepada Zaura sejak dini. Istilahnya memupuk keimanannya sejak kecil.
"Tidak Sayang, Allah belum menyuruh Zaura untuk menutup aurat, tetapi setidaknya Zaura sudah mulai menutup aurat dari sekarang agar nanti kalau Zaura sudah dewasa, Zaura sudah terbiasa menutup aurat dan Bunda tidak usah lagi menyuruh Zaura untuk menutup aurat."
Zaura kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat puas dengan penjelasan sang Bunda. Besok Zaura akan menjelaskan kepada teman-temannya, Arifa dan Dhiba.
"Ya sudah kalau begitu sekarang kita ke kedai tempat Bunda berkerja ya."
"Lho Zaura juga ikut ke sana Bunda?, memangnya Zaura boleh ikut Bunda?" Tanya Zaura tak percaya.
"Iya Sayang Zaura ikut Bunda ke kedai ya, Zaura boleh kok ikut Bunda ke kedai asal Zaura bisa bersikap baik ya di sana."
"Siap Bunda, in syaa Allah." Zaura senang sekali karena bisa menemani Bundanya bekerja. Dan Zaura berjanji akan bersikap baik di tempat kerja Bundanya.
"Nanti Zaura bilang terima kasih ya sama Nenek pemilik kedai tempat Bunda bekerja, karena Nenek itu yang memperbolehkan Zaura menemani Bunda kerja, dan katanya Nenek itu mau berkenalan sama Zaura."
"Benarkah Bunda?, oke Bunda, in syaa Allah Zaura akan menuruti semua perintah Bunda."
"Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu kita pergi sekarang ya Sayang."
"Tunggu sebentar Bunda."
Filzah bingung. Putrinya masih belum ingin beranjak dari sekolahnya.
"Iya Sayang kenapa?"
"Zaura boleh tanya satu lagi nggak Bunda?" Zaura terlihat memohon kepada Bundanya agar diperbolehkan untuk bertanya satu hal lagi. Entah apa yang ditanyakan olehnya.
Filzah nampak berpikir. Ia mempetimbangkan apakah ia memperbolehkan sang putri bertanya untuk yang kedua kalinya.
"Boleh ya Bunda." Ucap Zaura memohon.
"Emh, bagaimana ya?"
"Yahhh." Zaura nampak lesu seketika.
"Ya boleh dong Sayang, memangnya putri Bunda ini mau tanya apa lagi sih?" Filzah sempat terkekeh dalam ucapannya.
"Zaura mau bertanya Bunda, artinya in syaa Allah itu apa Bunda?, Zaura belum diberitahu sama Bunda, Bunda cuma pernah bilang kalau sedang berjanji harus mengucapkan in syaa Allah."
"Oh itu, artinya in syaa Allah adalah jika Allah mengizinkan, jadi kalau Zaura berjanji atau mengatakan iya Zaura harus bilang in syaa Allah, karena kalau Allah menghendaki maka janji Zaura tertepati tapi kalau janji Zaura tidak tertepati Zaura tidak berdosa karena Zaura sudah bilang in syaa Allah."
Zaura sudah sangat puas dengan penjelasan sang Bunda. Setiap kali Zaura bertanya Bundanya selalu menjelaskannya dengan bahasa yang mudah dimengerti sehingga gadis kecil seperti Zaura bisa dengan mudah memahaminya.
🌹🌹🌹
Kini Filzah dan Zaura telah sampai di kedai nasi goreng topping seafood milik Hilyah. Mereka juga sudah bertemu dengan Hilyah. Dan tanpa disuruh lagi Zaura langsung mencium tangan Hilyah dengan hormat.
"Halo Sayang ini namanya siapa?" Tanya Hilyah dengan ramah kepada Zaura.
"Nama aku Zaura, nama Nenek siapa?" Zaura balik bertanya nama Nenek di hadapannya.
"Nama Nenek, Nenek Hilyah, Zaura bisa panggil Nenek dengan sebutan Oma ya, sama seperti cucu Nenek yang memanggil Nenek dengan sebutan Oma."
Zaura mengangguk patuh. "Iya Nenek, eh iya Oma." Zaura menutup mulutnya karena masih memanggil Hilyah dengan sebutan Nenek. Namun secepat mungkin Zaura menggantinya dengan panggilan Oma.
Hilyah terkekeh. Ia gemas sekali dengan tingkah lucu Zaura.
"Kalau Oma boleh tahu Zaura umur berapa?, dan sekarang Zaura sudah kelas berapa?"
"Alhamdulillah Zaura sudah umur tujuh tahun Oma, dan Zaura sekarang kelas satu SD."
"Oh iya?" Hilyah tidak menyangka bahwa Zaura berumur tujuh tahun dan kelas satu SD.
"Kalau begitu sama dong dengan cucu Oma, dia juga umur tujuh tahun dan kelas satu SD, kapan-kapan Oma kenalkan Zaura sama cucu Oma ya."
Zaura mengangguk senang. Ia senang sekali karena akan mempunyai teman baru.
"Ya sudah kalau begitu Zaura duduk sama Oma ya di sana." Hilyah menunjuk ke salah satu meja yang kosong. "Biar Mama Zaura kembali berkerja."
Zaura mau-mau saja namun Filzah merasa tidak enak dengan Hilyah.
"Tapi Bu."
"Sudah tidak apa-apa, Nak Filzah kembali bekerja saja ya."
"Iya Bunda, Bunda semangat ya kerjanya." Zaura menyemangati Sang Bunda agar semangat bekerja.
Akhirnya Filzah menganggukkan kepalanya. Ia kembali memasang celemeknya dan bergegas untuk kembali bekerja. Menyambut serta melayani pelanggan yang datang ke kedai tempatnya bekerja. Sementara Hilyah dan Zaura asyik bercengkrama. Bahkan Hilyah sempat tertawa dengan tingkah lucu serta menggemaskannya Zaura.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Assalaamu 'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh
Alhamdulillah part ke 5 sudah hadir di tengah-tengah kita
Semoga kalian suka ya
Dan tentunya semoga bermanfaat
🍃🍃🍃
Dan seperti biasa jangan lupa awali hari ini dengan memupuk rasa syukur yang lebih dari hari kemarin
Syukurilah setiap keadaan yang kita jalani saat ini
Jangan banyak mengeluh dan ambil hikmahnya disetiap hal yang terjadi di kehidupan kita
Jangan lupa bahagia
Dan
Jangan lupa tersenyum
😊😊😊
Sampai bersapa ria di part selanjutnya Readers
😎😎😎
Wassalaamu 'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments