Assalaamu 'alaikum Readers
Selamat datang di cerita Cinta Istiqomah
Vote dan komenmu jangan lupa ya
🌹🌹🌹
Sebuah pintu kamar terbuka perlahan. Menampilkan Zaura dan Filzah yang baru saja keluar dari kamar mereka. Mereka berdua sudah rapi bahkan keduanya sama-sama membawa tas. Zaura menggendong tas kecilnya sementara Filzah membawa tas kecil dan tas besar miliknya.
"Zaura kita ke kamarnya Kakek dan Nenek dulu ya, untuk berpamitan."
"Iya Bunda."
Kini Filzah dan Zaura sudah berada di dalam kamar sederhana. Tempat tidur Uzmah dan Jasir. Didapatinya sang pemilik kamar yang sedang berada di dalam kamarnya. Uzmah sedang menyuapkan Jasir sepiring makanan, menu makan malamnya.
"Eh ada Zaura cucuk Nenek dan Kakek." Sapa Uzmah ketika melihat Zaura mulai menghampirinya. Begitu juga dengan Filzah yang sudah menggantikan posisinya untuk menyuapkan Bapak mertuanya, Jasir.
"Bapak makan yang banyak ya Pak." Ucap Filzah disela-sela kegiatannya menyuapkan sendok demi sendok nasi dan lauknya ke mulut Bapak mertuanya.
"Kalian sudah mau pergi sekarang ya?" Tanya Jasir dengan raut wajah sedih. Namun sesekali ia menutupinya dengan senyuman keterpaksaan.
Filzah mengangguk pelan. Ia tidak kuasa melihat raut wajah Bapak mertuanya yang seketika bersedih ketika mendapat anggukan kepala darinya.
"Bapak sama Ibu nggak usah sedih ya, in syaa Allah kami akan kembali ke sini, kami akan menjenguk Bapak dan Ibu."
"Iya Nak, meskipun Fahril sudah meninggal tapi kamu tetap menantu kami, dan Zaura adalah cucu kami, jadi tolong jangan lupakan kami ya." Jasir sudah tidak kuasa menahan bendungan air matanya yang seketika meluruh begitu saja.
Filzah ikut berderai air mata meskipun awalnya ia berusaha mati-matian untuk tidak meneteskan air matanya setetespun agar Bapak dan Ibu mertuanya tidak bersedih. Namun apa daya bila hatinya yang selembut kapas dengan mudahnya tersentuh jika melihat orang-orang yang disayanginya meneteskan air mata.
"Iya Filzah Bapak benar, sampai kapanpun kamu adalah menantu kami, kamu adalah bagian dari kehidupan kami, begitu juga dengan Zaura, jadi tolong jangan lupakan kami ya."
Filzah semakin hanyut dalam kesedihannya. Linangan air mata Uzmah membuatnya ikut berlinang air mata pula. Filzah begitu merasakan bagaimana Bapak dan Ibu mertuanya begitu menyayangi dirinya juga Zaura. Rasanya semakin berat bagi Filzah untuk meninggalkan mereka berdua. Namun jika ia tidak pergi maka seterusnya ia akan selalu merepotkan mereka berdua dan Filzah tidak mau itu terus menerus terjadi.
"Iya Bapak, Ibu, in syaa Allah Filzah nggak akan melupakan Bapak dan Ibu, terima kasih atas kebaikan Bapak dan Ibu selama ini. Terima kasih selama tujuh tahun lamanya Bapak dan Ibu sudah membantu Filzah untuk membesarkan Zaura. Filzah nggak akan pernah melupakan kebaikan Bapak dan Ibu, Filzah juga nggak akan pernah melupakan jasa mulia Bapak dan Ibu. Sekali lagi Filzah ucapkan terima kasih Bapak, Ibu."
"Iya Nak sama-sama." Ucap Uzmah dan Jasir hampir bersamaan.
"Kalau begitu Filzah dan Zaura pamit pergi sekarang ya Pak, Bu."
Jasir menganggukkan kepalanya. Begitu pula dengan Uzmah yang semakin mempererat tubuh Zaura di dalam dekapannya.
Filzah beranjak dari tempat duduknya. Mencium tangan Bapak mertuanya dengan hormat seraya berkata "Bapak baik-baik ya di sini, in syaa Allah Filzah akan pulang dengan membawa uang untuk biaya berobat Bapak agar Bapak bisa berjalan seperti semula."
Jasir mengangguk penuh haru. "Aamiin, jaga diri kamu baik-baik ya Nak, kalau kamu nggak sibuk sering-sering telepon Bapak dan Ibu ya, karena kami akan sangat merindukan kalian nantinya."
"Iya Pak in syaa Allah."
Perlahan Filzah melangkahkan kakinya. Menghampiri Uzmah yang tidak sanggup berucap kata dan hanya bisa menangis memandangi wajah polos cucu sematawayangnya yang dalam beberapa menit ke depan tidak akan bisa ia pandangi dari jarak dekat lagi karena diantara mereka akan ada jarak yang memisahkan mereka.
Zaura menyeka lembut air mata sang Nenek yang jatuh perlahan. "Nenek jangan menangis lagi ya, Zaura sama Bunda cuma pergi sebentar kok, kalau Nenek rindu nanti Zaura akan telepon Nenek."
Uzmah bukannya berhenti menangis malah tangisannya semakin pecah bahkan sampai tersedu-sedu. "Cucuku Sayang." Uzmah langsung membawa Zaura ke dalam pelukan kasih sayangnya.
Setelah cukup lama berpelukan dengan Uzmah kini Zaura menghampiri Kakeknya yang sudah menunggu Zaura untuk berpamitan dengannya.
"Kakek, Kakek cepat sembuh ya, makan yang banyak supaya Kakek cepat besar, eh Kakek kan sudah besar ya." Zaura terkekeh diakhir ucapannya. Ia bahkan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal namun karena ia salah berbicara.
Jasir ikut terkekeh kemudian hanya bisa mengelus lembut puncak kepala sang cucu yang kini sudah berusia tujuh tahun. Jasir menjadi teringat ketika dulu sering mengelus puncak kepala Zaura waktu masih bayi.
"Kakek, Zaura minta maaf ya, Zaura sudah nggak bisa memijat kaki Kakek karena Zaura harus pergi." Zaura nampak bersalah karena ia sudah tidak bisa memijat kaki Kakeknya yang mana hampir setiap hari ia lakukan agar kaki Kakeknya cepat sembuh dan bisa berjalan lagi seperti sedia kala.
"Iya nggak apa-apa kok, Zaura hati-hati ya, ikuti semua perintah Bunda ya Nak."
Zaura memberi hormat kepada sang Kakek. "Siap Kek." Ujarnya bersemangat.
"Kalau begitu Zaura pamit dulu ya Kek, assalaamu 'alaikum." Zaura mencium tangan sang Kakek. Jasir pun ikut mencium kening Zaura dengan penuh kasih sayang.
"Bapak, Ibu ke depan dulu ya, mau mengantarkan Filzah dan Zaura sampai depan rumah."
Jasir menganggukkan kepalanya. Mengizinkan istrinya untuk mengantarkan menantu dan cucunya yang akan pergi dari rumahnya saat ini juga.
Ketiga perempuan beda generasi itu akhirnya telah sampai di depan rumah sederhana keluarga mereka yang mana orang-orangnya juga sederhana.
"Ibu, Filzah pamit pergi dulu ya, Ibu jaga kesehatan Ibu, jangan sampai kelelahan kerjanya."
"Iya Nak, kamu juga jaga kesehatan kamu ya, kalau nanti kamu sudah mendapatkan pekerjaan kamu juga nggak boleh sampai kelelahan."
Filzah tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Namun pada detik berikutnya ia kembali meneteskan air matanya. Ia tidak sanggup meninggalkan seorang perempuan baik hati di hadapannya yang selama ini membantunya mengurus dan membesarkan Zaura.
"Bu..." Tangis Filzah pecah seketika. Ia langsung berhambur ke pelukan Ibu mertuanya.
Uzmah pun demikian. Ia membalas pelukan menantunya dengan deraian air mata yang tidak kalah derasnya.
"Ibu terima kasih karena selama ini Ibu baik sekali sama Filzah, Filzah sudah menganggap Ibu seperti Ibu Filzah sendiri, Filzah sayang sama Ibu." Ucap Filzah dengan sesegukan.
Uzmah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ibu juga berterima kasih sama kamu Filzah, karena meskipun Fahril sudah meninggal kamu tetap bersedia untuk tinggal bersama Ibu dan Bapak, dan kamu juga memperbolehkan kami untuk membantu merawat serta membesarkan Zaura, Ibu juga sudah menganggap kamu sebagai anak Ibu dan Ibu juga sayang sama kamu dan Zaura."
Setelah cukup lama akhirnya pelukan mereka terlepas. Dan keduanya saling menyeka air matanya masing-masing. Menggantikannya dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.
"Ibu kami pamit pergi ya."
"Iya Nak."
"Assalaamu 'alaikum."
"Wa 'alaikumus salaam."
Kini Filzah mulai melangkahkan kakinya bersama Zaura. Meninggalkan Uzmah yang hanya bisa melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan kepada menantu dan cucu tersayangnya.
🌹🌹🌹
Filzah dan Zaura sudah sampai di stasiun Malang. Dan mereka juga sudah memasuki gerbong kereta api yang akan membawa mereka pergi dari tempat yang menyisakan banyak sekali kenangan, terutama kenangan Filzah bersama laki-laki yang dicintainya, Fahril.
"Bunda kita akan pergi ke mana?" Zaura masih belum tahu akan pindah ke kota mana. Filzah juga belum sempat memberitahu.
"Kita akan pergi ke Jakarta Sayang."
"Kenapa harus ke Jakarta Bunda?, Jakarta itu jauh kan Bunda?"
Filzah terdiam sejenak. Ia mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan sang putri tersayang.
"Karena Jakarta adalah Ibu kota Indonesia Sayang, kata orang-orang di Jakarta lebih banyak lowongan pekerjaannya dan in syaa Allah akan lebih cepat dapat, tapi kita kembali serahkan semuanya sama Allah. Zaura berdoa saja ya semoga rezeki Zaura ada di Jakarta."
"Aamiin, iya Bunda, Zaura berdoa semoga Bunda cepat dapat pekerjaan dan nanti kita bisa cepat pulang ke rumah Kakek dan Nenek."
"Aamiin." Filzah mengaminkan doa sang putri yang sepertinya tidak ingin berjauhan dengan Kakek dan Neneknya dalam waktu yang lama. Filzah juga berharap demikian. Ia berharap bisa kembali lagi ke rumah Bapak dan Ibu mertuanya dengan membawa uang untuk biaya berobat Bapak mertuanya serta uang untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari.
🌹🌹🌹
Rute perjalanan dari Malang ke Jakarta dengan menaiki kereta api menghabiskan waktu kurang lebih lima belas jam lamanya. Kini Filzah dan Zaura telah sampai di stasiun Kebayoran Jakarta Selatan. Waktu menunjukkan pukul 10.20 pagi. Filzah sengaja memilih jam pemberangkatan jam 19.00 malam agar ketika sampai Jakarta hari sudah pagi dan Zaura juga sudah bangun dari tidurnya.
"Bunda sekarang kita mau ke mana?" Tanya Zaura usai keluar dari gerbong kereta api. Dan kini mereka sedang berdiri di tengah-tengah stasiun yang cukup padat dengan para penumpang lainnya yang akan menggunakan alat transportasi kereta api juga.
"Kita akan mencari kontrakan Sayang, tapi sebelum itu kita ke toko emas dulu ya."
"Untuk apa Bunda?"
Filzah hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan kedua kalinya dari sang buah hati yang sudah aktif merespon setiap ucapannya.
Tanpa berlama-lama lagi di stasiun itu Filzah yang tidak pernah lepas menggandeng Zaura segera keluar dari stasiun dan menaiki angkot untuk menuju tempat yang tadi ia ucapkan kepada Zaura.
Kini Filzah dan Zaura sudah berdiri di depan salah satu toko Emas yang ada di kota Jakarta. Filzah mengalihkan pandangannya kepada benda mungil yang melingkar di jari manisnya. Sebuah cincin emas yang sudah bertahun-tahun melekat di jari manisnya.
"Mas maafkan aku, aku harus menjual cincin pernikahan kita. Aku nggak ada pilihan lain Mas. Hanya cincin ini yang bisa aku jual. Semoga kamu menyetujuinya ya Mas. Aamiin." Ucap Filzah di dalam hatinya yang sebenarnya berat untuk menjual cincin tersebut karena benda yang melingkar itu adalah satu-satunya peninggalan dari suaminya. Namun ia tidak punya pilihan lain.
Akhirnya Filzah benar-benar melangkahkan kakinya. Masuk ke dalam toko emas tersebut dan benar-benar menjual cincin pernikahannya dengan Fahril untuk membiayai kehidupannya di tanah perantauan, Ibukota Jakarta.
Setelah beberapa menit kemudian Filzah sudah keluar dari toko emas tersebut. Uang hasil menjual cincinya juga sudah ia masukkan ke dalam tas. Dan kini tujuan terakhirnya ialah mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal dirinya bersama putrinya.
🌹🌹🌹
Filzah dan Zaura sudah sampai di depan rumah sederhana yang mulai saat ini akan menjadi tempat tinggal mereka. Usai membayar uang kontrakan dan pemilik kontrakan memberikan kunci kepadanya, Filzah segera masuk ke dalam rumah kontrakannya. Tidak lupa ia bersama sang putri dengan bersamaan mengucapkan kalimat Basmalah sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam rumahnya.
"Alhamdulillah akhirnya kita sudah sampai di Jakarta ya Sayang, dan kita sudah punya rumah untuk tempat tinggal kita."
"Iya Bunda alhamdulillah."
Sejenak Filzah duduk di kursi yang sudah ada di rumah kontrakannya. Ia dapat bernapas dengan lega karena Allah telah melancarkan perjalanannya dari Malang menuju Jakarta.
Filzah berharap dengan ia membuka lembaran baru di Jakarta ia dapat mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan bisa menyekolahkan Zaura serta bisa mengumpulkan uang untuk biaya berobat Bapak mertuanya agar bisa sembuh dan bisa beraktivitas seperti sedia kala.
"Bunda ayo kita telepon Kakek dan Nenek, Zaura sudah rindu sama Kakek dan Nenek."
Zaura membuyarkan lamunan Filzah yang sedang merangkai harapan hidup ke depannya. Filzah akhirnya tersadar dan ia segera mengeluarkan handpone yang ia simpan di tas slempangnya.
Lantaran handponenya bukan handpone canggih yang bisa menelepon dengan sambungan video call maka Filzah hanya dapat menelpon Ibu mertuanya melalui sambungan telepon suara saja. Namun itu sudah cukup bagi Zaura yang sudah mulai merindukan Kakek dan Neneknya.
"Halo, assalaamu 'alaikum." Suara Uzmah di seberang sana mulai terdengar di pendengaran Zaura.
"Wa 'alaikumus salaam Nenek." Zaura menjawab salam Neneknya dengan sumringah. Ia senang karena bisa mendengar suara Neneknya. Perempuan yang telah membesarkan serta merawatnya dari kecil, sama seperti Bundanya.
"Nenek, alhamdulillah Zaura sama Bunda sudah sampai di Jakarta, dan sekarang Zaura sama Bunda sudah ada di rumah kontrakan." Zaura memberitahu kepada Neneknya bahwa ia bersama Bundanya sudah sampai di Jakarta.
Uzmah yang sedang duduk bersama Jasir di kamar mereka langsung mensyukuri kabar menantu dan cucunya yang sudah sampai di Jakarta dalam keadaan selamat.
"Alhamdulillah, Nenek dan Kakek senang dengarnya, Zaura baik-baik ya di sana Nak, sering-sering telepon Nenek dan Kakek ya."
"Iya Nenek in syaa Allah, Nenek dan Kakek juga baik-baik ya Di rumah." Ucap Zaura yang mengingatkan Nenek dan Kakeknya agar baik-baik juga di rumahnya, di Malang.
Sambungan teleponnya pun terputus usai salam Uzmah dijawab serentak oleh Filzah juga Zaura. Filzah kembali menyimpan handponenya dalam tas kecilnya.
"Zaura sekarang kita masukkan baju-baju kita ke lemari di kamar ya Sayang." Filzah mengajak putri tersayangnya untuk segera memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari yang ada di kamar mereka.
"Siap Bunda." Tanpa berlama-lama lagi Zaura segera menuju kamarnya serta membawa tas yang digendongnya sejak tadi.
Filzah ikut menyusulnya dengan membawa tas besar yang isinya baju-baju miliknya. Tidak banyak yang Filzah bawa dari rumah mertuanya. Ia hanya membawa pakaian saja bahkan ia hanya memiliki satu tas kecil saja dan tasnya itu warnanya sudah mulai memudar namun bagi Filzah yang terpenting masih bisa untuk dipakai. Filzah adalah tipe perempuan yang sederhana dalam hidupnya. Ia tidak seperti perempuan di luaran sana yang memiliki koleksi barang-barang banyak serta bermerek. Bagi Filzah yang terpenting ia bisa makan itu sudah cukup dan harus selalu disyukuri karena masih banyak orang-orang yang kurang beruntung ketimbang dirinya. Istilahnya Filzah tidak akan melihat orang yang di atasnya tetapi Filzah akan melihat orang yang berada di bawahnya agar ia selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepadanya.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Assalaamu 'alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh
selamat pagi untuk kita semua
🤗🤗🤗
Jangan lupa bersyukur atas setiap nikmat yang Allah berikan
Jangan lupa tersenyum untuk menikmati hidup ini
🌷🌷🌷
Alhamdulillah Ukhfira masih diberi kesempatan oleh Allah hingga saat ini menginjakkan jari jemari di lapak cerita cinta istiqomah part kedua
😊😊😊
Jazakumullah khoiron untuk kalian yang sudah mau meluangkan waktunya untuk bertandang di lapak ini ya
Semoga kalian suka
dan semoga selalu bermanfaat
Aamiin Allahumma Aamiin
🙏🙏🙏
Jangan lupa untuk sekadar menyapa Ukhfira dengan vote dan komen kalian di sini
🙌🙌🙌
In Syaa Allah Ukhfira akan menyempatkan untuk membalas komentar kalian karena bagi Ukhfira komentar dan vote kalian adalah suatu bentuk penghargaan kalian yang harus Ukhfira apresiasi dengan membalas komentar kalian juga
🤗🤗🤗
Tapi...
Mohon berhati-hati dalam berkomentar ya
Komentarnya yang baik-baik saja
Soalnya Author yang satu ini mudah baper dan takutnya ujung-ujungnya malah badmood deh
😢😢😢
Kalau badmood nggak selesai-selesai dong cerita Cinta Istiqomahnya
Intinya kalau kalian memberikan energi positif maka dampaknya akan positif jugak
😊😊😊
Sampai bersapa ria di part selanjutnya Readers
😎😎😎
Wassalaamu 'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Raudatul zahra
novel yg bagus thor...❤️❤️❤️
2023-09-11
0
Desy Tri Astuti
siapa neh yg motong bawang 😭😭
2020-09-13
2