Assalaamu 'alaikum Readers
Selamat datang di cerita Cinta Istiqomah
Vote dan komenmu jangan lupa ya
🌹🌹🌹
Pagi-pagi sekali Filzah sudah keluar dari rumahnya. Seperti hari kemarin Filzah pergi dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Sebenarnya Filzah berat untuk meninggalkan Zaura seorang diri di rumah namun mau bagaimana lagi ini semua ia lakukan justru demi kebahagiaan Zaura. Tujuan ia mencari pekerjaan salah satunya agar Zaura bisa sekolah.
"Bismillahirrohmaanirrohiim."
Filzah mengatur napasnya. Ia sedang berdiri di salah satu cafe makanan cepat saji yang sedang terpampang tulisan "membutuhkan pelayan baru".
Filzah mulai memasuki cafe tersebut. Ia langsung disambut ramah oleh salah satu pelayan serta mempersilakan dirinya untuk menduduki kursi yang kosong.
"Mohon maaf Mbak saya tidak mau pesan makanan." Filzah menolak dengan halus.
"Kalau begitu Mbak ke sini ada apa ya?, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Pelayan tersebut dengan ramah.
"Saya ingin bertemu dengan pemilik cafe ini Mbak."
"Oh, kalau begitu mari ikut saya Mbak."
Filzah mengikuti langkah pelayan itu yang membawanya ke sebuah ruangan. Dan Filzah pun bertemu dengan pemilik cafe tersebut. Seorang laki-laki dewasa yang dari penampilannya berumur kisaran 40 tahun.
Pria itu menatap Filzah dari bawah hingga atas. Namun tatapannya seolah mengejek dan kurang menyukai penampilan Filzah. Baju gamis yang menjuntai serta khimar syar'i yang panjangnya menutupi dada.
"Maaf Pak mengganggu, Mbak ini ingin bertemu dengan Bapak." Pelayan itu menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan Filzah ke cafe tempatnya bekerja yaitu ingin bertemu dengan Bosnya.
"Oh, iya. Mari silakan duduk. Dan kamu boleh kembali ke depan."
"Baik Pak."
Kini Filzah sudah duduk di tempat duduk yang telah disediakan. Dan pelayan yang membawanya tadi juga sudah kembali ke depan untuk menyambut para pelanggan di cafe tersebut.
"Mohon maaf ada apa ya Mbak ingin bertemu dengan saya?" Tanya laki-laki tersebut usai mendudukkan dirinya di hadapan Filzah yang sudah duduk lebih dulu.
"Mohon maaf Pak sebelumnya sudah mengganggu, saya ke sini ingin melamar pekerjaan, saya melihat di depan cafe Bapak ada tulisan membutuhkan karyawan baru dan saya ingin melamar pekerjaan di sini Pak." Filzah menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya ke cafe itu dengan detail.
Laki-laki tersebut mengangguk-anggukan kepalanya. Mengekspresikan bahwa ia mengerti akan penjelasan dari Filzah.
"Oh jadi Mbak..., maaf dengan Mbak siapa?"
"Saya Filzah Pak."
"Oh Mbak Filzah, jadi kedatangan Mbak Filzah ke sini untuk melamar pekerjaan menjadi pelayan di Cafe saya, betul begitu?"
Filzah mengangguk pelan. "Iya Pak betul."
Pemilik cafe itu terdiam sejenak. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya sedang mempertimbangkan lamaran pekerjaan Filzah yang akan diterima atau akan ditolak.
"Baik, saya terima lamaran Mbak Filzah, dan hari ini juga Mbak Filzah bisa langsung berkerja."
Filzah terkejut mendengarnya. Matanya berbinar-binar bahagia. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan bahkan saat ini sudah bisa langsung bekerja. Filzah akan semakin tambah bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
"Tapi ada syaratnya."
Filzah kembali terkejut untuk yang kedua kalinya. Ia juga kebingungan atas kelanjutan ucapan pemilik cafe tersebut yang melayangkan sebuah syarat kepadanya.
"Syarat?" Tanya Filzah tak mengerti.
"Iya syarat."
"Syaratnya apa Pak?"
Pemilik cafe itu menyeringai. "Syaratnya adalah, kamu melepas kain panjang di kepalamu itu, dan kamu pakai baju seragam di cafe ini, contohnya seperti pelayan yang tadi mengantarkan kamu ke sini."
Filzah tersentak. Kedua bola matanya membulat. Ia sangat-sangat terkejut. Tak menyangka bahwa syaratnya adalah melepas kain panjang yang membaluti kepalanya yang secara tidak langsung menyuruhnya untuk membuka auratnya.
Filzah mengatur napasnya yang mulai terengah-engah akibat terkejut dengan ajuan syarat yang diluar dugaannya.
"Jadi bagaimana, Mbak Filzah bersedia kan menerima syarat yang saya ajukan?"
Filzah mengelengkan kepalanya dengan tegas. Ia menarik lagi senyuman yang tadinya sempat terukir di wajahnya.
Pemilik cafe tersebut sangat kecewa dengan keputusan Filzah yang terburu-buru menolaknya. Ia sangat menyayangkan keputusan Filzah itu.
"Lho kenapa Mbak Filzah menolaknya?, ini kesempatan berharga yang harusnya Mbak Filzah ambil, belum tentu di luar sana Mbak Filzah bisa mendapatkan pekerjaan, Jakarta keras lho, sekarang mencari pekerjaan itu sulit, sangat sulit.
"Mohon maaf Pak lebih baik saya tidak mendapatkan pekerjaan dari pada saya harus membuka aurat saya." Keputusan Filzah sudah bulat. Tidak bisa diganggu gugat. Bila masalah perintah Allah Filzah tidak akan pernah main-main. Ini menyangkut keimanan kepada Tuhannya.
"Tapi mencari pekerjaan itu susah lho, apalagi di ibu kota Jakarta ini, sudahlah Mbak Filzah terima saja, syarat yang saya ajukan mudah sekali kok." Pemilik cafe tersebut masih saja membujuk Filzah. Bahkan ia mengatakan bahwa syarat yang diajukannya mudah sekali. Filzah semakin sesak dibuatnya.
"Mohon maaf Pak, sampai kapanpun saya tidak akan pernah mempertaruhkan aurat saya hanya demi sebuah pekerjaan, selama masih ada Allah in syaa Allah rezeki saya terjamin."
"Saya permisi, assalaamu 'alaikum."
Tanpa berlama-lama lagi Filzah langsung angkat kaki dari ruangan tersebut. Ia tidak mempedulikan laki-laki yang berstatus sebagai pemilik cafe itu memanggil-manggil dirinya. Filzah sudah terlanjur kesal akan ucapan semena-mena pemilik cafe tersebut.
🌹🌹🌹
Filzah baru saja keluar dari masjid. Ia baru selesai menggugurkan kewajibannya melaksanakan sholat dzuhur. Filzah kembali menyusuri jalanan untuk mencari lowongan pekerjaan. Jujur saja Filzah masih kesal dan sebal atas kejadian tadi. Ia disuruh melepas pakaian syar'inya hanya agar ia bisa mendapatkan pekerjaan. Hal yang tidak akan pernah Filzah lakukan. Filzah percaya bahwa Allah akan memberikan rezeki yang halal kepadanya dan tidak akan pernah membiarkan dirinya membuka auratnya hanya karena sebuah pekerjaan. Filzah yakin jika ia membuka auratnya karena pekerjaan maka uang hasil kerjanya itu tidak akan pernah berkah karena mendapatkannya dengan menentang perintahNya.
"Aku harus semangat aku nggak boleh menyerah, usahaku belum maksimal makanya Allah belum memberiku pekerjaan, sekarang aku harus keliling lagi, aku harus optimis, Allah akan membantuku untuk mendapatkan pekerjaan." Filzah menyemangati dirinya sendiri. Bahkan ia masih teringat akan putrinya yang memberikan semangat kepadanya. Tak terasa air matanya terjatuh begitu saja. Filzah mudah rapuh jika teringat akan putri sematawayangnya. Putri sholihahnya yang semakin hari semakin tumbuh menjadi gadis kecil yang pintar.
Disaat Filzah sedang semangat mencari lowongan pekerjaan tiba-tiba saja bulir-bulir air jatuh dari atas langit. Filzah mengadahkan tangannya. Dan air yang jatuh semakin deras.
"Ya Allah hujan." Filzah langsung berlari kecil. Menghindar dari derasnya air hujan yang mengguyur bumi di siang hari.
Akhirnya Filzah bisa berteduh di depan salah satu kedai makanan yang cukup besar namun tidak ramai pengunjung karena hujan tiba-tiba datang dengan derasnya.
"Allahumma shoyyiban naafi'an." Filzah berucap doa saat hujan turun.
Gemercik air hujan semakin derasnya turun. Filzah menjadi kepikiran dengan Zaura yang ia tinggal sendirian di rumah kontrakannya. Ia takut Zaura ketakutan karena sendirian di rumah dalam keadaan hujan turun. Deras sekali.
"Astaghfirullahal adzim, Zaura sendirian di rumah, ya Allah lindungi anak hamba, semoga dia baik-baik saja di rumah. Aamiin."
Tanpa Filzah sadari, di dalam kedai makanan itu terlihat seorang perempuan paruh baya sedang memperhatikannya. Raut wajahnya nampak iba melihat Filzah yang sedang berteduh di depan kedai makanannya.
Dan detik berikutnya perempuan paruh baya itu keluar dari kedai makanannya. Menemui Filzah yang mulai menggigil karena terkena percikan air hujan.
"Mbak."
Filzah terkejut. Tubuhnya tersentak karena ada yang sedang menyentuh pundaknya. Filzah menoleh ke arah perempuan paruh baya itu.
"Mari masuk ke dalam." Ajak perempuan paruh baya itu kepada Filzah.
Filzah menggeleng pelan. "Tidak usah Bu terima kasih, saya di sini saja." Filzah menolaknya karena ia tidak enak masuk ke dalam kedai makanan itu tetapi tidak membeli.
"Tapi di luar sedang hujan, nanti lama-lama Mbak kehujanan juga, lebih baik Mbak masuk saja, tidak apa-apa Mbak, kedai ini milik saya, jadi tidak akan ada yang marah jika Mbak masuk ke dalam."
Perlahan Filzah menerima ajakan tersebut. Perempuan paruh baya itu begitu baik kepadanya. Memperbolehkan Filzah masuk ke dalam kedainya padahal Filzah tidak ingin memesan makanan hanya sekadar berteduh saja.
Filzah diperkenankan duduk di salah satu kursi yang kosong. Dan beberapa menit kemudian perempuan paruh baya itu kembali menemui Filzah dengan membawa secangkir teh hangat untuk Filzah.
"Ini Mbak silakan diminum dulu."
Filzah ragu untuk menerimanya. Ia merasa tidak enak karena sudah merepotkannya. Bagi Filzah diberikan tumpangan untuk berteduh saja sudah cukup.
"Ini teh hangatnya mohon diterima ya, supaya tubuh Mbak lebih hangat, biar tidak masuk angin."
Akhirnya Filzah mau menerima secangkir teh hangatnya. "Terima kasih Bu, mohon maaf sudah merepotkan Ibu."
Perempuan paruh baya itu menggeleng. "Oh tidak, Mbak tidak merepotkan saya sama sekali, oh iya perkenalkan nama saya Hilyah."
Filzah ikut mengulurkan tangannya. Menjabat tangan Hilyah sebagai bentuk salam perkenalan.
"Nama saya Filzah Bu."
Hilyah ber-o ria. Setidaknya dia mengetahui nama perempuan muda di hadapannya yang kini sedang berbincang dengannya.
"Kalau boleh saya tahu Nak Filzah mau ke mana siang-siang seperti ini?"
Filzah baru saja menyeruput teh hangatnya. Dan benar saja tubuhnya kembali hangat.
"Saya sedang mencari pekerjaan Bu, tapi dari tadi pagi sampai sekarang saya belum mendapatkan pekerjaan." Filzah berusaha tersenyum tegar meskipun sampai saat ini ia belum kunjung mendapatkan pekerjaan.
"Memangnya Nak Filzah mau mencari pekerjaan yang seperti apa?" Hilyah kembali melontarkan pertanyaan kepada Filzah.
"Apa saja Bu yang terpenting pekerjaannya halal."
"Memangnya suami Nak Filzah tidak bekerja?"
Filzah tersenyum. "Suami saya sudah meninggal Bu, lebih tepatnya tujuh tahun yang lalu, saat saya sedang hamil sembilan bulan." Tanpa ragu Filzah menceritakan kisah pilu kehidupannya.
"Innaa lillahi wa innaa ilaihi roojiuun, mohon maaf Mbak Filzah saya tidak bermaksud untuk-"
Filzah menggeleng cepat. "Tidak apa-apa Bu, semuanya sudau berlalu, saya sudah ikhlas dengan kepergian suami saya."
Hilyah dapat bernapas dengan lega. "Lalu sekarang Nak Filzah tinggal dengan siapa?, orang tua Nak Filzah masih ada?"
Filzah kembali tersenyum tegar. "Orang tua saya juga sudah meninggal Bu, sejak kecil saya sudah tinggal di panti asuhan."
"Ya Allah, innaa lillahi wa innaa ilaihi roojiuun, sekali lagi Ibu minta maaf ya."
"Iya Bu tidak apa-apa, Ibu tidak perlu meminta maaf lagi." Filzah sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, karena baginya hal itu sudah berlalu dan tidak baik jika ia harus meratapi kesedihannya berlarut-larut.
"Jadi Nak Filzah sekarang tinggal sama siapa?" Hilyah masih penasaran dengan kehidupan Filzah yang amat tragis.
"Sejak suami saya meninggal saya dan putri saya tinggal bersama mertua saya di Malang, tapi sekarang di Jakarta saya tinggal hanya berdua dengan putri saya, saya ingin hidup mandiri Bu, saya tidak ingin merepotkan Ibu dan Bapak mertua saya, sudah cukup selama ini saya dan putri saya menjadi beban di hidup mereka." Filzah tidak keberatan untuk bercerita kepada Hilyah, perempuan paruh baya yang baru dikenalnya. Sejujurnya Filzah tidak mudah untuk menceritakan tentang kisah hidupnya kepada siapapun namun kali ini berbeda, Filzah justru merasa beban pikirannya menjadi berkurang karena sudah berbagi cerita dengan seorang Ibu yang terlihat keibuan sekali sehingga Filzah merasakan suatu kenyamanan.
"Ya Tuhan kisah hidupnya Nak Filzah hampir mirip denganku. Sedih sekali mendengarnya." Ucap Hilyah membatin. Dan tanpa tersadar air mata mulai menetes satu persatu. Membasahi wajahnya yang seketika berselimutkan kesedihan.
Filzah terkejut melihat Hilyah menangis sesegukan di hadapannya.
"Ibu kenapa menangis?" Tanya Filzah panik.
Hilyah menyeka air matanya. Menggantikannya dengan senyuman termanisnya.
"Saya tidak menyangka ternyata kisah hidup saya dengan Nak Filzah hampir sama, saya seorang janda beranak dua, suami saya meninggal waktu anak kedua saya baru berumur satu tahun, Kedai ini adalah sumber kehidupan kami, dan kedai ini adalah peninggalan dari suami saya dan alhamdulillah masih berdiri sampai sekarang, sampai anak-anak saya sudah bisa cari uang sendiri."
Filzah ikut terharu mendengar perjalanan kehidupan Hilyah yang tidak jauh berbeda dengannya. Namun Hilyah jauh lebih beruntung karena ia memiliki sumber rezeki peninggalan dari suaminya sementara Filzah harus membanting tulang mencari rezeki untuk putrinya dan sampai saat ini belum juga mendapatkan pekerjaan.
"Oh iya, bagaimana kalau Nak Filzah kerja di sini saja, kerja sebagai pelayan, apakah Nak Filzah bersedia?"
Filzah terkejut. Ia tidak menyangka perempuan baik hati di hadapannya mau menawarkan pekerjaan untuknya. Padahal ia belum sempat melamar pekerjaan kepadanya.
"I-Ibu serius?, saya, saya boleh bekerja di sini?" Filzah masih tidak percaya.
Hilyah tersenyum lebar. "Iya Nak Filzah, Ibu serius, Nak Filzah boleh bekerja di sini, dan mulai besok Nak Filzah sudah bisa bekerja."
Filzah senang bukan main. Kedua matanya berkaca-kaca. Tidak sanggup menahan rasa bahagia campur haru. Hari ini ia sudah mendapatkan pekerjaan. Perempuan baik hati bernama Hilyah yang memberikannya pekerjaan. Namun Filzah tidak akan lupa bahwa ini semua adalah campur tangan dari Allah. Allah yang memberikannya pekerjaan, melalui Hilyah.
"Alhamdulillahirobbil 'aalamiin." Puji syukur Filzah ditengah-tengah rasa bahagianya.
"Ibu Hilyah terima kasih Bu, terima kasih banyak karena Ibu sudah mau memberikan saya pekerjaan." Filzah meraih tangan Hilyah. Mengucapkan terima kasih kepada Hilyah yang telah memberikannya pekerjaan.
"Iya Nak Filzah sama-sama, sudah kewajiban saya untuk membantu Nak Filzah." Hilyah ikut mengelus lembut punggung tangan Filzah. Ia ikut senang melihat Filzah begitu senang karena sudah mendapatkan pekerjaan darinya.
"Tapi Bu..." Tiba-tiba saja Filzah teringat akan sesuatu hal.
"Ada apa Nak Filzah?" Tanya Hilyah bingung.
"Tapi apakah saya boleh bekerja menggunakan busana muslimah ini Bu?, sementara saya lihat pelayan yang lain menggunakan baju dan rok pendek." Sesekali Filzah mengamati para pelayan di kedai itu. Rata-rata mereka menggunakan baju dan rok pendek namun itu bukan baju seragam, hanya baju biasa yang warna dan modelnya juga tidak sama.
Hilyah ikut mengamati para pelayan yang bekerja di kedai makanannya. Lalu ia kembali menatap Filzah dengan senyuman masih terukir di wajahnya.
"Oh kalau masalah pakaian itu haknya Nak Filzah, terserah Nak Filzah mau mengenakan pakaian yang seperti apa, yang terpenting rapi dan Nak Filzah semangat dalam bekerja."
"Alhamdulillah ya Allah." Filzah sangat bersyukur karena Hilyah tidak mempermasalahkan pakaian yang dikenakannya. Tidak seperti kejadian tadi yang sudah tidak ingin Filzah ingat kembali.
"Tapi Nak Filzah harus memakai celemek dari kedai ini yang menandakan bahwa Nak Filzah adalah salah satu pelayan di kedai ini seperti para pelayan yang lain."
Awalnya bisa terkejut ia kira Hilyah akan menyuruhnya untuk memakai baju yang aneh-aneh namun nyatanya ia hanya disuruh untuk memakai celemek ciri khas pelayan di kedai ini.
"Iya Bu saya tidak keberatan sama sekali."
"Syukurlah kalau begitu."
"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Ibu karena sudah mau memberikan saya pekerjaan."
Hilyah hanya tersenyum. Sedari tadi Filzah tiada henti-hentinya berterima kasih kepadanya. Namun Hilyah memakluminya. Karena ia ikut merasakan betapa bahagianya Filzah saat ini karena sudah mendapatkan pekerjaan.
🌹🌹🌹
Filzah melangkahkan kakinya dengan sedikit cepat. Sesampainya di depan rumah ia langsung memasuki rumahnya. Memastikan bahwa putrinya sedang baik-baik saja.
"Assalaamu 'alaikum, Zaura."
"Zaura kamu di mana Sayang?"
Filzah mencari-cari keberadaan putrinya. Dan beberapa detik kemudian yang dicari memunculkan dirinya. Zaura keluar dari kamarnya. Dari raut wajahnya ia terlihat baru bangun tidur.
"Wa 'alaikumus saalam, Bunda sudah pulang." Ucap Zaura dengan nada serak karena baru terbangun dari tidurnya.
"Sayang." Filzah langsung memeluk sang putri tersayang.
"Bunda ada apa?, sepertinya Bunda sedang senang." Zaura kebingungan melihat sang Bunda pulang-pulang langsung memeluknya. Serta raut wajahnya sedang bahagia.
"Sayang, alhamdulillah Bunda sudah mendapatkan pekerjaan."
"Alhamdulillah." Zaura tidak kalah senangnya ketika mendengar kabar bahagia dari Bundahnya.
"Dan besok Zaura sudah bisa sekolah." Lanjut Filzah dengan tersenyum lebar.
Mata Zaura membulat. Zaura terkejut sekaligus gembira karena besok dia sudah bisa sekolah.
"Serius Bunda?" Tanya Zaura tak percaya.
Filzah mengangguk berkali-kali. Meyakinkan sang putri bahwa ia serius dengan ucapannya.
"Iya Sayang, besok Zaura sudah bisa sekolah, in syaa Allah besok pagi sebelum Bunda berangkat kerja, Bunda antar Zaura ke sekolah."
"Alhamdulillah." Zaura kembali berucap syukur dengan sumringah. Namun pada detik berikutnya ekspresi wajahnya langsung berubah.
"Tapi Bunda, Zaura kan belum punya seragam sekolah dan peralatan sekolah."
Filzah tersenyum lebar. Pandangannya beralih ke arah goody bag yang sejak tadi ia bawa.
"Oh iya Bunda lupa Sayang, ini Bunda sudah beli seragam sekolah, tas dan alat-alat tulis untuk Zaura sekolah." Filzah menunjukkan isi goody bagnya. Dan Zaura gembira sekali mendapatkan perlengkapan sekolah yang dibelikan oleh Bundanya.
"Jazakillah khoiron Bunda."
"Wa jazakillah khoiron Sayang."
Zaura langsung berhambur ke pelukan sang Bunda. Wajah gembiranya tidak bisa disembunyikan lagi.
"Zaura jangan lupa ya, ini semua dari Allah Sayang, Allah yang memberikan kita rezeki, Allah yang memberikan Bunda pekerjaan dan Allah juga yang memberikan Zaura semua perlengkapan sekolah ini." Ditengah-tengah rasa bahagianya Filzah tidak akan pernah lupa untuk menanamkan tauhid kepada Zaura dengan mengatakan bahwa semua yang mereka miliki saat ini adalah dari Allah, Tuhan semesta alam.
"Iya Bunda, Zaura nggak akan pernah lupa kalau semua ini dari Allah, Zaura sayang Allah, karena Allah baik sama kita ya Bunda."
"Iya Sayang, alhamdulillah."
Filzah dan Zaura kembali berpelukan. Pelukan bahagia karena doa mereka sudah Allah kabulkan. Filzah tersenyum bahagia ia sangat bersyukur karena Allah mengabulkan doanya selama ini. Doa yang selalu ia panjatkan bersama Zaura disetiap sholatnya.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Assalaamu 'alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh
Selamat siang menjelang sore
Selamat menunggu senja Readers
Jangan lupa bersyukur
Jangan lupa bahagia
Dan jangan lupa tersenyum untuk hari ini
Alhamdulillah part ke 4 part sudah hadir
Jazakumullah khoiron yang sudah menyempatkan waktunya singgah di lapak ini
Di cerita Cinta Istiqomah
🤗🤗🤗
Janhan lupa vote dan komennya yak
Kalau bisa sapa Ukhfira juga yak
Biar Ukhfira tahu siapa saja nih yang sedang baca oret-oretannya Ukhfira
🤓🤓🤓
Sampai bersapa ria di part selanjutnya Readers
😎😎😎
Wassalaamu 'alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Raudatul zahra
maasya Allaah....
2023-09-13
0
dian arum sari
terharu baca cerita dari km thor☺
2020-10-24
1
Aty'3k
Alhamdulillah,, AkhirNya Dapat Pekerjaan 😇
2020-09-23
1